SANKHYA



                          SANKHYA–YOGA:

Perkembangan Strukturnya

I Wayan Suka Yasa

I Pendahuluan

                 Dalam rangka studi agama dan kebudayaan Hindu Bali, pendalaman ajaran Saòkhya dan Yoga dalam berbagai versinya sangat penting dilakukan. Oleh karena teks agama, khususnya teks tattwa otoritas yang menjadi akar tradisi Bali, sebagian besar doktrinnya berisikan ajaran Saòkhya dan Yoga. Akan tetapi ajaran Saòkhya dan Yoga yang khas Úiwa Siddhanta Jawa kuna-Bali. Lontar Bhuwanakosa pada bab III menyebut bahwa bab yang menjabarkan tentang evolusi alam semesta adalah ajaran Bhaþàra Kapila. Kata bhaþàra, di samping berarti dewa juga berarti leluhur atau orang suci; pribadi yang patut dihormati (Zoetmulder,l995:114). Dengan demikian Bhaþàra Kapila boleh jadi adalah Maharsi Kapila pendiri ajaran Saòkhya. Setiap lontar tattwa, teksnya berisi atau dimulai dengan penjabaran ajaran Saòkhya, yang di Bali lebih populer dengan istilah tattwa jñàna. Setelah itu dilanjutkan dengan ajaran Yoga. Keterpaduan dua ajaran ini dapat dipandang sebagai teori dengan metodenya, peta spiritual dengan laku spiritualnya.
                 Maharûi Kapila mendirikan ajaran Saòkhya jauh sebelum jaman Buddha. Beliau diperkirakan mengarang Saòkhya Sutra, tetapi sayang kitab ini telah hilang. Kitab Saòkhya yang kita warisi adalah Saòkhya Karika yang konon digubah oleh Isvara Krishna. Pengaruh ajaran Sankhya sangat luas. Bahkan dikatakan sebagai fondasi filosofis seluruh kebudayaan Oriental, kesusastraan Hindu, dasar semua pengetahuan rsi-rsi kuno dan kunci simbolisme Oriental (Suamba.Dlm.Cintamani ed.01.2002:54).
                 Akan tetapi ajaran Yoga disistematisasi menjadi sebuah kitab yang berjudul Yoga Sùtra oleh Maharsi Patañjali pada abad ke 5 Masehi. Ajaran Yoga sebenarnya sudah ada dan berkembang sejak jaman silam bahkan sebelum jaman Veda. Sebuah patung dewa berkepala tiga  duduk dengan sikap padmàsana, pandangannya terfokus pada ujung hidung dan dikelilingi oleh binatang dari peninggalan peradaban Harappa dan Mohanjodaro memberi kesan bahwa ajaran Yoga pada masa itu telah dimulyakan. R.C. Majundar memberi tafsir bahwa patung itu mencerminkan tiga konsef penting yang biasanya diasosiasikan dengan nama Siva, yaitu (1) Trimukha (bermuka tiga), (2) Pasupati (penguasa binatang), dan (3) Yogisvara atau Mahayogi. (IBP. Suamba.2003: l3). Ternyata pula bahwa dalam perjalanan waktu semua sistem filsafat India dan sekte-sekte religius lainnya menerima ajaran Yoga sebagai jalan spiritualnya. Bahkan gerakan-gerakan spiritual yang berkembang belakangan, mendasar-praktekkan  doktrinnya dengan sistem yoga yang khas. Yoga telah menjadi khasnah dunia spiritual secara universal.  
                 Maharsi Patanjali  menerima 25 tattva Saòkhya sebagai dasar filsafat sistem yoganya. Tetapi juga mengembangkan tattva Saòkhya dengan menambah satu tattva puncak, yaitu Iúvara Tattva. Sehingga ajaran Saòkhya yang sebelumnya bersifat atheis menjadi lebih sempurna dan bersifat theistik.
                 Untuk memahami dua darsana penting ini penulis mencoba menerapkan teori struktural dengan memusatkan perhatian pada deskripsi  teks untuk menangkap struktur inti dari ajaran Saòkhya awal dan Yoga Sùtra Pantañjali. Yang diutamakan adalah hirarki, kaitan timbal-balik antar unsur-unsur pada setiap tingkat (Loren Bagus.2002:1040). Kedua struktur inti tersebut akan dicoba dibandingkan untuk mendapatkan persamaan, perbedaan dan arah perkembangan azas-azasnya. Untuk mendapatkan isinya, istilah-istilah pokok akan direbut maknanya dengan memerikan istilah-istilah tersebut menurut kode bahasa sùtra. Kemudian ditafsir seperlunya menurut kode tattva Úiva Siddhanta Jawa kuna. Cara bedah ini dilakukan dengan asumsi bahwa tatanan kata-kata mengandung kunci bagi pengertian, baik dalam bidang filsafat atau bidang lain (Machel Foucault dlm. Loren Bagus. 2002:1042).

II. Perbandingan Tattva Saòkhya Dengan Tattva Yoga
Saòkhya                                                     Yoga
                                                                             
Iûvara
Puruûa .....       Prakåti                                Puruûa ........................ Prakåti

   Mahat                                                Citta:        Buddhi,      
                      Ahaòkara                                                                      Ahaòkara
Manah                                                                                                  manah              
Daúendriya               P. tanmatra            Daúendriya             P. tanmatra  
                          P. Mahàbhùta                                        P. Mahàbhùta

2.1. Iúvara.
                 Dalam Yoga Sùtra, Iúvara dijelaskan sebagai Puruûa Viúeûa (I:24). Kata  viúeûa artinya unggul, terkemuka  atau kuasa (Sura.2002:199). Dengan demikian Ia adalah Puruûa Yang Kuasa, mengungguli   puruûa-puruûa lainnya. Kata iúvara berarti tuan, yang berkuasa, raja, nama Úiwa (Zoetmulder. 1995:399). Anandamurti menjelaskan bahwa Iúvara  memiliki dua arti: (1) berarti pengendali alam semesta raya atau yang mengendalikan berbagai gelombang pikiran di alam raya ini; (2) berarti Dia yang menyaksikan prakåti (l991:33-34).  Lebih lanjut Maharsi Patañjali menjelaskan konsep iúvara-nya sebagai Ia tidak tersentuh oleh kesengsaraan, tidak tersentuh pahala perbuatan (I:24); Sarvajñà bijam, biji kemaha-tahuan yang tak terhingga (I:25);  Mahaguru; Tak terbatas oleh waktu (I:26); Dan Ia adalah tujuan penyerahan diri, Iúvarapranidhàna (I:23). Jadi jelaslah Iúvara itu adalah Tuhan. Perwujudan-Nya  Pranava , Om (I:27).
            Isvara tattva inilah yang kemudian menjadi penyempurna ajaran Saòkhya. Kemudian dari ke lima sùtra tersebut kita dapat menangkap aspek teologis ajaran Saòkhya, bahwa Iúvara itu tentulah  Tuhan yang saguóa. Artinya, Tuhan yang berkepribadian, karena Ia beratribut: Maha Kuasa, Maha Tahu, Maha Guru. Adanya abadi dan menjadi orientasi bhakti. Di kemudian hari, pada paham Úiva Siddhanta Jawa kuna-Bali, karena persamaan atributnya itu dipahami sebagai Sadaúiwa.

2.2       Puruûa
    Puruûa dalam Yoga Sùtra dijelaskan sebagai jiwa individu yang keadaannya dibedakan dengan Puruûa Viúesa. Ia adalah spirit yang mengalami triguóa (IV:l3). Karenanya  ke-aku-annya, ia mentranspormasikan dirinya dalam ciptaan-Nya (IV:4). Maka   ia mengalami dan terikat oleh  akibat kerjanya. Itulah sebab ke-avidya-annya, kealpaannya (IV:11).  Dalam Úiva siddhanta, Puruûa yang berkeadaan seperti itu disebut Àtmika Tattva atau Úiva Tattva atau Úivàtma Tattva, yaitu spirit yang utaprota. Artinya, atas kehendak Sadaúiwa, kesadaranNya  menyusup-menguntai pada Màya Tattva, azas yang lupa (Wrhaspati tattwa:14). Tetapi avidya bukanlah sifat sejati Puruûa. Saòkhya menjelaskan sifat asalinya absolut, murni. Kesadaran yang independen.  Kembalinya Puruûa ke sifat asalinya, yaitu Puruûa mencapai kaivalya, kalepasan (IV:34) inilah tujuan Maharsi Patañjali mengajarkan yoga . Dalam Jñana Tattwa, jiwa yang telah sadar akan jati dirinya dan mencapai kalepasan seperti itu, disebut Àtma Wiúeûa.
2.3       Prakåti dan Triguóa
    Prakåti adalah azas materi. Kata prakåti berasal dari akar kata pra “sebelum atau pertama” dan akar kata “membuat atau menghasilkan”. Jadi prakåti artinya ada sebelum segala sesuatu dihasilkan. Ia adalah sebab segala produk yang diciptakan. Prakåti mengandung tiga elemen yang disebut triguóa: sattva, rajas dan tamas. Sifatnya ringan dan terang, aktif dan energik, berat atau gelap. Yoga sutra menjelaskan bahwa triguóa inilah yang kemudian menjadi sifat segala perwujudan, baik yang tampak atau yang tidak tampak (IV:13,14).
2.4 Mahat dan Citta
                 Mahat adalah produk pertama yang muncul akibat  “pertemuan” puruûa dengan prakåti. Mahat artinya maha agung atau maha besar. Ia adalah intelek kosmis yang secara psikologis disebut buddhi yaitu aspek pikiran yang berfungsi sebagai viveka, memberi pertimbangan dan penyimpan memori.
                 Akan tetapi dalam Yoga Sùtra, buddhi bersama-sama dengan ahaòkara dan manah disebut citta, pikiran. Rsi Patañjali, tampaknya menaruh perhatian besar pada citta. Pikiran menjadi tema sentral dan menjadi objek sistem yoganya. Maka beliau merumuskan yoga adalah mengendalikan gerak-gerak pikiran, yogas’cittawåtti nirodah (I:2). Karena pikiranlah yang menyebabkan orang bersedih atau berbahagia (I:5). Ada lima  keadaan pikiran: (a) pramana yaitu pikiran yang berpengetahuan  benar; (b) wiparyaya, yaitu pikiran yang berpengetahuan  salah; (c) wikalpa, yaitu pikiran yang penuh khayalan; (d) nidra, yaitu absennya yang diketahui dari pikiran; dan (d) småti yaitu memori (I: 5-11).
                 Pramana dan smrti inilah dalam Saòkhya disebut buddhi dalam aspeknya yang murni yang menyebabkan orang berbahagia. Maharsi Patañjali menerima tiga pramana: (a) pratyaksa, yaitu pengamatan langsung, (b) anumana, yaitu penyimpulan dari gejala yang diamati; dan (c) àgama, yaitu berdasarkan sabda suci, Veda (I:7). Sedangkan pengetahuan yang salah, khayalan dan kealpaan menyebabkan orang menderita. Bagian ini, dalam Saòkhya disebut ahaòkara atau ego, dan manah atau pikiran yang lebih rendah.
                 Nanti dalam Úiwa Siddhanta Jawa kuna pikiran itu diklasifikasikan atas empat bagian: (a) citta: memori. (b) buddhi: intelek; (c) ahaòkara: ego; dan (d) manah: pikiran yang lebih rendah atau perasaan (Wrhaspai Tattwa:l5-33, Tattwa Jñàna).
2.5 Ahaòkara
            Ahaòkara adalah aspek ke-aku-an  yang muncul dari mahat. Kata ahaòkara berasal dari akar kata aham “aku” dan kàra “membuat”. Jadi ahaòkara berarti aku yang membuat, kepribadian yang mengakui. Ada tiga jenis ahaòkara:
(a)     Ahaòkara satvika adalah ahaòkara yang lebih mencerminkan sifat satwam, terang dan cerdas. Fungsinya untuk menciptakan ekadaúendriya: manah, pikiran yang lebih rendah; pañca buddhindriya, lima alat persepsi; dan pañca karmendriya, lima alat pekerja.
(b)     Ahaòkara bhùtadi adalah ahaòkara yang lebih bersifat tamas. Fungsinya untuk menciptakan pañca tanmatra, lima elemen halus. Dan darinya terwujudlah pañca mahàbhùta, lima elemen besar alam semesta beserta isinya.
(c)     Sedangkan ahaòkara tejasa yaitu ahaòkara yang bersifat rajas hanya berfungsi sebagai sumber energi bagi kedua ahaòkara di atas dalam menjalankan fungsinya.
      Penjelasan tersebut tampaknya diterima oleh Rsi Patañjali, demikian pula oleh para rsi Jawa kuna.  Lontar Tattwa Jñàna menjelaskan bahwa, itulah pengetahuan yang pertama-tama harus dipejajari dengan penuh hati-hati oleh ia yang hendak mengabdikan dirinya kepada dharma. Karena dengan menguasai ajaran Tattwa Jñana seseorang akan tahu betapa menderitannya hidup dalam lingkaran kelahiran. Dan dengan Tattwa Jñàna pula orang menjadi tahu akan jalan kalepasan. Tetapi lebih  tandas  ditekankan bahwa, niscaya jika hanya tahu Tattwa Jñàna saja. Kaivalya, kalepasan akan tercapai jika ajarat tattwa Jñàna itu dibumikan dengan mangamalkan brata, tapa, yoga dan samàdhi (2003:74).

III. Astaòga Yoga
                 Bagaimana mengontrol pikiran agar tidak menyebabkan  penderitaan. Bukankah Maharsi Patañjali menjelaskan bahwa manusia memiliki enam kelamahan: (1) Avidya yaitu kesadaran akan realitas cendrung melemah; (2) Asmita, yaitu keakuan yang cendrung meningkat; (3) Ràga, yaitu keterikatan akan objek pesona semakin menjadi-jadi; (4) Dveûa, yaitu kebencian kepada yang tidak menyenangkan semakin menyebabkan  stres; dan (5) Abhinivesà, yaitu ketakutan menghadapi kematian menambah kita lebih stres lagi.   
                 Untuk menjawab  permasalahan ini, Mahàrsi Patañjali mengajarkan Astaòga Yoga, delapan tahap yoga. Pengendalian dengan sistem yoga ini hendaknya dilakukan terus-menerus, abhyàsa (I:12). dan yoga hendaknya dilaksanakan dengan semangat ketidak terikatan, wairàgya (I: l2,15). Yang dimaksud Astaòga Yoga ialah seperti berikut.
3.1  Yama adalah pengendalian diri dengan mengamalkan lima prilaku bajik yang utama yang disebut mahà wrata (II:30-31,35-39): (a) Ahiýsà, tanpa melakukan tindak kekerasan; (b) Satya, berlaku benar dan jujur; (c) Asteya, tidak mencuri; (d) Brahmacari, tidak mengumbar nafsu (seks); dan (e) Aparigraha, hidup sederhana, tidak tamak.
3.2         Niyama adalah janji diri. Ada lima janji diri, disebut pañca niyama brata (II:32, 40-45):  (a) Úaoca, suci lahir-batin; (b) Saýtosa, sentosa; (c)Tapas, pengekangan diri atau pengendalian indria; (d) Swadhyàya, tekun belajar sendiri; dan (e) Iúvarapranidhàna, bakti kepada Iúvara.
                                                                                                                  Yama-niyama brata tersebut di atas adalah aspek moral yang menjadi fondamen ajaran Yoga. Tetapi sebelum menjabarkan Astaòga Yoga, Mahàrsi Patañjali mengajukan yoga pendahuluan yang disebut Kriya Yoga: tapa, svadhyaya, dan Iúvarapranidhàna (II:1). Ketiga bagian tersebut tampaknya adalah aspek yang mendapat tekanan penting yang dapat dipandang sebagai tahapan pra-yoga. Menurut beliau, Kriya Yoga ini berfungsi epektif  untuk melenyapkan klesa, penderitaan dan mengantarkan orang mencapai samadhi (II:2).
3.3       Àsana adalah sikap badan yang mantap dan nyaman (II;46-48). Bagian ini bersama dengan praóàyàma mendapat tanggapan yang luas. Maka terdapat berbagai versi àsana dan praóàyàma yang dikembangkan oleh guru-guru spiritual untuk kepentingan sekolah spiritual yang dibinanya.
3.4       Praóàyàma adalah  sistem pengendalian nafas (II:49-52).
3.5       Prathyàhàra adalah penarikan daya persepsi indra-indra dari objek pesonanya agar layak untuk melakukan dhàrana, konsentrasi (II:53-55).
Bagian Astaòga Yoga dari yàma sampai kepada prathyàhàra disebut bahiraòga yoga atau hatha yoga. Bagian ini berfungsi untuk menyehatkan  fisik. Bila fisik dalam keadaan sakit mustahil melakukan pendakian spirtual. Badan dan pikiran harus dirawat dan dikendalikan agar mampu mengantarkan kita menuju cita-cita hidup tertinggi (Suamba.2003:28). Setelah fisik berfungsi sempurna, mesti dilanjutkan dengan melakukan pelatihan pikiran yang disebut antaraòga yoga atau ràja yoga seperti berikut.
3.6        Dhàraóà, yaitu memusatkan perhatian pada objek meditasi (III:1). Vyàsa memberi komentar bahwa maksud pemusatan ini adalah untuk samadhi, bukan tujuan yang lain. Oleh karena itu objek meditasi adalah suatu tempat di badan, misalnya apada nabhi cakra, cakra pada pusar; hådaya puóðarika, cakra jantung; Jyotis cakra, cakra di tengah-tengah alis (Saraswati.l996:221).
3.7       Dhyàna, kontemplasi yaitu bilamana pikiran mengalir, meresap dan mantap hanya pada objek meditasi (III:2). Saòkhya Sùtra menjelaskan dhyàna adalah pelepasan segala ikatan. Perbedaan pengertian tersebut dijelaskan sebagai perbedaan pendekatan. Yang pertama menggunakan pendekatan positif, bahwa arus yang terus-menerus dari pikiran ke tujuannya, menuju realisasi Diri. Sedangkan dalam Saòkhya Sùtra menggunakan pendekatan negatif: mencegah pikiran supaya jangan tersesat menuju ràga atau ikatan duniawi (Saraswati. .1996:234).
3.8       Samàdhi yaitu kontemplasi dimana pikiran telah terserap pada objek meditasi (III:3). Bagian puncak dari yoga ini dijelaskan sebagai persatuan yang sempurna antara pikiran orang yang merenung, usaha merenung dengan objek renungannya. Dalam keadaan supra sadar ini, puruûa terserap mencapai kaivalya, mempersamakan dirinya dengan Iúvara. Tetapi jelas ia bukan Iúvara. Yoga Sùtra (I:3) menjelaskan bahwa pada waktu samàdhi, puruûa bersandar pada keadaannya sendiri. Maharsi Patañjali kembali menegaskan: Puruûàrtha úùnyànaý guóanàm prati-prasavaá kaivalyaý svarùpa pratiûþha va citiúakter iti (IV:34). Dapatkah sùtra yang sulit ini diterjemahkan begini: (Dalam keadaan samàdhi) Puruûa bebas-sunyi dari tujuan, guóa-guóa telah lebur dalam sumbernya (Prakåti). Ia dalam keadaan kaivalya: suci dan sadar dalam wujud sejatinya.
    Sampai di sini dapat sedikit dipahami persamaan pandangan Saòkhya dengan Yoga tentang puruûa mencapai kaivalya. Tetapi jalan pencapaiannya cukup berbeda: Saòkhya memandang keadaan ini dapat dicapai cukup dengan tattva jñàna, tanpa memerlukan bantuan oknum lain di luar dirinya. Sedangkan Yoga memandang bahwa kaivalya ini, tidak akan terealisasi jika hanya dengan pengetahuan trans empirik saja, tetapi harus dibarengi dengan praktek Yoga dengan berkontemplasi kepada Iúvara. Beliaulah yang bertindak sebagai Maha Guru, meuntun puruûa sehingga dapat lepas dari pengaruh guóa dan mencapai kalepasan. I Gede Sura menyimpulkan: bakti kepada Tuhan tidak hanya merupakan praktek yoga, tetapi juga merupakan sarana pemusatan dan samadhi yoga (1991:35). Ajaran Yoga Maharsi Patañjali tersebut jelas menyempurnakan ajaran Maharsi Kapila. Tetapi tampaknya masih menyisakan persoalan penting: Bukankah Maharsi Patañjali mengajarkan bahwa, yang menjadi pusat bakti adalah Iúvara (I:23), dengan melakukan japa dan kontemplasi pada Pranawa, perwujudan Iúvara (I:27-29), dan dalam samàdhi subjek lenyap menyatu pada objek meditasi. Lalu bagaimana kemudian kita dapat mengatakan bahwa puruûa yang mencapai kaivalya ini berbeda dengan Iúvara. Persoalan ini dikemudian hari dijawab oleh para kawi-wiku Úiwa Siddhanta Jawa kuno-Bali.  Maharsi penulis Sang Hyang Tattwa Jñàna menjelaskan bahwa, puruûa dapat menjadi Puruûa Wiúeûa dengan mengamalkan secara tuntas ajaran Tattwa Jñàna-Prayogasandhi. Dan dalam Wåhaspati Tattwa (sloka 52) Bhaþara Iúwara menjelaskan kepada Bhagawan Wåhaspati bahwa kalepasan itu dapat dicapai melalui tiga jalan: (1) Jñana bhyudireka, mengetahui semua tattwa; (2) Indriya yoga màrga, pengendalian indra-indra melalui yoga; dan (3) Tåûóa doûa kûaya, menghilangkan keterikatan akan pahala perbuatan baik-buruk.

IV. Úiwa Siddhanta Jawa kuno-Bali
                 Úiwa siddhànta adalah salah satu àgama atau sekta Hindu yang dianut umat Hindu di Indonesia (Jawa-Bali). Mazhab ini dikenal pula  dengan sebuatan Úiwàgama, yaitu tradisi religius yang memulyakan Bhatara Úiwa sebagai istadewatanya. Bhatara Brahma, Wisnu, Rudra, Mahadewa dan yang lain-lainnya diakui sebagai perwujudan-Nya yang lain, nahan tàwak ning tunggal mapalenan (Bhuwanakosa,XI:14). Luwir Bhaþàra Úiwa magawe jagat, Bràhmà rùpa siràn panrêsti jagat, Wiûóu rùpa siràn pangraksa jagat, Rudra rùpa siràn mralayakên ràt, nahan tàwak nira tiga, bheda nama (Bhuwanakosa.III:76). Artinya: Manakala Bhaþàra Úiwa membuat alam semesta: Bràhmà wujud-Nya ketika menciptakan alam semesta, Wiûóu wujud-Nya ketika memelihara alam semesta, Rudra wujud-Nya ketika melebur alam semesta. Demikianlah perwujudan-Nya dalam yang tiga. Hanya beda nama. Pada sloka yang lain dijelaskan bahwa, Bhatara Úiwa sira eka wiúeûa, umunggw ing rat kabeh (Bhuwanakosa.II:l6). Artinya: Bhatàra Úiwa, Ia Maha Esa, berstana di semua alam.
                 Ajaran paham ini disebut Úiwa Tattwa atau Jñàna siddhànta atau Sang Hyang Siddhànta sebagaimana yang tertuang dalam lontar-lontar, baik lontar tattwa, susila, acara dan yang lainnya seperti: Bhuwanakosa, Tattwa Jñàna, Wrhaspati Tattwa, Jñàna Siddhànta, Gaóapati Tattwa, Bhuwana Sangksepa, Bhuwana Mahbah; Úiwa Seúana, Wratti Seúana, Agastya Parwa; Bhama kretih, Ngekadaúarudra, Yama Purwa Tattwa, Puja Pitra Úiwa.
                 Di antara lontar-lontar kramat itu, lontar Bhuwanakosa disebut sebagai lontar tertua dan terpenting. Mengingat lontar ini menjadi sumber inspirasi ditulisnya lontar-lontar paham Úiwa yang lainnya. Akan tetapi sekaligus juga lontar tersulit untuk dipelajari. 
                 Kata siddhànta terdiri dari siddha dan anta. Kata siddha artinya sukses, menjadi sempurna, berhasil, kesempurnaan. Kata anta berarti akhir, batas. Jadi kata siddhànta berarti kesempurnaan akhir. Kata ini sering digabung dengan kata jñàna dan sang hyang, sehingga menjadi jñàna siddhànta, atau sang hyang siddhànta. Kata jñàna siddhanta berarti pengetahuan kesempurnaan terakhir. Kata sang hyang siddhànta berarti ajaran kesempurnaan terakhir. Dalam lontar Bhuwanakosa (XI:41) dijelaskan: sangksiptanika, sang hyang siddhànta jñàna, parama guhya sira, sang úadhaka kumawruhi sira, sira ta mukta. Artinya: Ajaran Jñàna Siddhànta adalah ajaran yang sangat rahasia, orang suci yang mengetahuinya, ia mencapai moksa. Manjadi jelaslah bahwa ajaran Úiwa siddhànta adalah ajaran kalepasan menurut paham Úiwa.


V. Struktur Ajaran Úiwa Siddhànta Jawa kuma-Bali
            Untuk memperjelas pemahaman kita, maka struktur ajaran Úiwa Siddhanta dipolakan sebagai berikut.


 
                     Paramaúiwa
                  
                     Sadaúiwa

                       Úiwàtma :   CETANA                          ACETANA

                   PURUÛA                         PRADHANA

                    CITTA                                   TRIGUÓA: Satwa-rajah-tamah

                    BUDDHI                             CATUR AIÚWARYA
                                                                     CATUR ANAIÚWARYA
                                  AHAÓKÀRA:                     

(A. SI WEKRETA       A. SI TEJASA           A. SI BHÙTÀDI)
      
MANAH                                                            PAÑCA TANMATRA
PAÑCA BUDDHINDRIYA                         
PAÑCA KARMENDRIYA                        PAÑCA MAHÀBHÙTA
 

                                                                            BHUWANA AGUNG
                                                                   BHUWANA ALIT



Kutipan Teks:
            Pola ajaran Úiwa Siddhànta tersebut di atas disarikan dari lontar Tattwa Jñàna dan Wrehaspati Tattwa. Kutipan kata dan kalimat kuncinya sebagai berikut.

 Tattwa Jñàna                                                   Wrehaspati tattwa
a. Cetana-Acetana:                      
-Cetana ngaran jñàna wruh                         - Cetana ngaranya jñàna swabhawa
 mengêt ring tutur tan pabalik                        wruh tan keneng lupa,
 lupa.
-Acetana ngaranya ikang lupa                     - Acetana ngaranya, ikang tan pajñà-
 wyamoha tan kahanan tutur.                          na, kadyangga ning watu.
-Taya pinakàwaknya.                                  – Úùnya tàwaknya Acetana.

(a1) Paramaúiwa Tattwa:
-Kasthityan Bhaþàra ring niskala               -Tan pangên-angên, apa hetu, ri kada-
 :tan polah, tan limbak, tan laku,                  dyanyan ananta.
  tan pasangkan, tan paparan, nis                  Tan patuduhan, ri kadadinyan tan
  karya, nisprayojana,nirhuninga.                  palaksaóa.                   
  tan para-wyapara ring hala-                        tan papada, rikadadinyan tan hana
  hayu.                                                                    padanira.

(a2) Sadaúiwa Tattwa:
-Wyàpàra ngaranya kinahanan                 - Savyaparah, Bhatara Sadaúiwa sira,
  Sira sarwajnña mwang sarwa                    Hana padmàsana pinaka palungguh-
  karyakàrta:                                                         an nira. Aparan ikang padmàsana
  Anampih hana padmàsana pa-                   ngaranya: úaktinira. sakti ngaranya:
  lungguhan Bhaþàra, caduúakti                  wibhuúakti, prabhuúakti, jñànaúakti,
  ngaranya: Jñanaúakti, wibhu-                    kriyaúakti.
  úakti, prabhuúakti, kriyaúakti.

(a3) Àtmika Tattwa:                                              Àtma Tattwa:
-Bhatara Sadaúiwa Tattwa ku-                  - Utaprota pweka dening Úiwa Tattwa.
 nang laksaóanira utaprota. Sira                   Mawyapaka ikang uta. Wibhuh ring
 wibhuh umibêking Màyàtattwa.                  awak nikang Màyà. Ikang prota
-Koparêngga sinaput de nikang                    mangekadeúa.
  Màyà Tattwa (mala).                                -Ya ta matangnyan koparêngga
-Tuhun  cetananira juga karaket-                 mala.Hilang ta saktinira. Cetana
  an mala.Tuhun cetananira lumra               lêngêng-lêngêng ngaranya.
  Kadyangganing Sang Hyang                  - Akweh pwekang Àtma Tattwa.
  Aditya, tunggal sira. tuhun teja                  ya ta matanggyan sesök tang Màyà
  nira juga lumra, mahas ing                        Tattwa. Kadyangganing umah ning
  deúa-deúa.                                                  tawan, matap matumpang-tumpang
  Humibek ing ràt kabeh, tume-                    an. Ikang Màyà Tattwa yàngkêna
  janing halàhayu, abö lawan                        umahning tawwan. Ikang Àtma
  awangi.                                                       yàngkêna anak ning tawwan,
-sira pinaka hurip ing ràt kabeh.                   adhomuka tumungkul......

b. Puruûa-Pradhàna:      
-Bhatara Mahulun sira mahyun                  -Inulahakên pwekang Màyà tattwa 
  manon wastu sekala.                                  dening úakti Bhatara, mêtu tang
                                                                     Pradhàna tattwa. Ganal-ganal ning
              Màyà.
-Inica-nica ta Sang Hyang Àtma                -Pinatmwakên pwekang àtma Tattwa
 pinatmwakên lawan Pradhàna                    lawan ikang Pradhana hàhàna
 Tattwa de
-Pradhàna tattwa ngaranya anak                  Bhatara.
  ning Màyà Tattwa.                                    -Mawyapakeng Pradhana tattwa ika
-Tutur prakasapwàwak Sang                                ta maweh lupa ring Àtma.
 Hyang Àtma.
-Ikang tutur matêmu lawan lupa
 ya ta sinangguh Pradhàna-Puru-
 ûa ngaranya.

c. Citta - Triguóa:
-Ri pamanggih ikang Pradhàna                 -Inulahakên pwekang Pradhàna
 lawan Puruûa, ika ta yan pànak                Tattwa dening kriyaúakti Bhaþàra,
 Citta lawan guóa.                                      an panàk triguóa ngaranya:
-Citta ngaranya ganal ning Puru-               sattwa, rajah, tamah.
 ûa. Guóa dadi ning Pradhàna
 Tattwa. Ikang guóa tiga pra-
 bhedanya mapêlenan: sattwa,
 rajah, tamah.
-Citta ngaranya cetana Sang
 Puruûa karakêtan koparêngga
 dening triguóa.
-Citta satwa: yeka prajñan wi-                   -Ikang citta mahangan màwas
 dhagda, wruh ring yogya lawan                 yeka sattwa ngaranya.
 tan yogya.
-Citta rajah: cañcala, madrês,                     -Ikang madrês molah, yeka
 molah, asighra, panasbàran.                        rajah ngaranya.
-Citta tamah: abayet, almêh,                      -Ikang abwat pêtêng, yeka tamah
 abot aturu, göng mudha, göng                    ngaranya.
 ràga.
-Yeka nimitaning àtma patmah-                 -Ikang citta hetu nikang Àtma an
  tmahan.                                                       pamukti swarga, naraka, tiryak,
                           manusa, kamoksa. 

d. Buddhi:
-Ri pamangguh ning triguóa                      -Sangka ring triguóa mêtu tang
 lawan citta, mêtu tang buddhi.                    buddhi.
-Palakûaóa ning buddhi: kadi tan               -Makweh prakara ning buddhi
 wruh, ndan wruh ya.                                          lwirnya: Dharma, jñàna, wairàgya,
 Lngê-lngê sthiti humingêng                               aiúwarya. adharma, ajñàna,awairà-
 lngêng. Mengêt ring hala-hayu                   gya, anaiúwarya.
 jugekang buddhi.

e. Ahangkàra:
-Sangkaning buddhi mêtu tang                 -Sangka ring buddhi mêtu tang
 ahangkàra.                                                  ahangkàra.
-Guóa nikang ahangkara: ma-           ----
 mastwani ring hana lawan tan
 hana. manglêkasakên karya
 hala-hayu. Mangaku sarwa
 drêbya.
-Tri bhedanya: si wekrê ta                           -Têlu prakàranya,lwirnya: sattwika,
 si tejasa. si bhùtàdi                                               rajasa, tamasa.
-Ahengkàra si wekrêta magawe               -Sangka ring ahangkàra si waikkrêta
 manah mwang daúendriya:                                mêtu tang manah lawan daúendriya:
-caksu, úrota, ghràna, jihwa,                          -úrota, twak, caksuh, jihwa, ghrana,
 twak. Pañcendriya ngaranya.                         wàk, pàni, pàda, upaûtha.
-Wàk, pàni,pàda, upaûtha,payu,
 sinangguh pañca karmendriya.
-Ahangkàra sibhùtadi yekàgawe               -Sangka ring ahangkàra si bhùtadi
 pañca tanmàtra:                                  mêtu tang pañca tanmàtra.
-úparsa, rùpa, rasa, úabda,                   -Úabda, úparsa, rùpa, rasa, gandha
 gandha tanmatra.                                   tan màtra.
-Ahangkara si tejasa, tumulung            -Ahàngkara si taijasa yeka umilu
 si wekrêta lawan si bhùtàdi.                 mamêtwakên karya nikang ahang-
                   kara si waikrêta lawan si bhùtàdi,
                   apan maka swabhawa mangulahakên.

f. Pañca Mahàbhùta:
-Sakeng pañca tanmàtra mêtu          -               (sama)
 tang pañca mahàbhùta:
 àkàsa sakeng úabda tanmàtra,
 wàyu sakeng úparsa  tanmàtra,
 teja sakeng rùpa tanmàtra,
 àpah sakeng rasa tanmàtra,
 påthiwi sakeng gandha tanmatra

g. Bhuwana:
-Ikang prêthiwi, àpah, teja, bàyu
 àkàsa, an pawor guóa, ginawe
 andabhùwana de bhaþàra.
 Lwirnya: saptaloka sapta patala.
-Bhùwana úarira ngaranya.

Daftar Bacaan
A

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...