SARACAMUSCAYA



PESAN MORAL DALAM GEGURITAN SARACAMUSCAYA
KARYA I WAYAN DJAPA[1]

I Wayan Suka Yasa & W.A. Sindhu Gitananda

Abstrak
Ada dua arus yang dialirkan oleh Djapa dalam kerja kreatifnya, yaitu arus mempertahankan tradisi nyastra dan arus mentransformasikan nilai teks Jawa Kuno ke dalam ranah sastra Bali tradisional. Dalam rangka mempertahankan tradisi nyastra, Djapa menjadikan dirinya guru tradisi tersebut. Di situ terjadi proses pembelajaran bahasa-sastra Jawa Kuno dan Bali. Di sisi lain, dalam konteks mengelirkan teks, terjadi proses kreatif merebut makna dan membahasakan kembali teks itu dengan bahasa Bali.  Geguritan Saracamuscaya adalah salah satu karya kreatifnya yang kaya pesan moral. Tindakan bermoral, seperti bersyukur, melaksanakan kewajiban hidup, mengendalikan perilaku, mematuhi janji diri, dan membebaskan diri dari keterikatan duniawi adalah perilaku dharma ’bajik’. Sebab, tanpa berperilaku bajik tidak mungkin hidup bahagia.

Kata kunci: Anak nyastra, dharma.

PENDAHULUAN
Bagi anak nyastra ‘para pencinta sastra Bali’, geguritan adalah media utama untuk mengabadikan dan menyebarluaskan gagasan kreatif. Salah satu dari sekian banyak anak nyastra yang produktif adalah I Wayan Djapa. Ia adalah seorang guru. Lahir di Tabanan Bali tahun 1939. Orang tuanya petani perantau yang berasal dari Singaraja, Bali. Dari sejak kecil Djapa memiliki hobi nyastra ’olah sastra Bali tradisional’. Kerja kreatifnya adalah kerja persembahan yang karena itu laku hidupnya adalah sebuah keteladanan. Karena baginya, kerja kreatif adalah proses menuju kelepasan. Dalam rangka itu, belajar, bekerja, meladeni masyarakat, dan bersyukur adalah sebuah yadnya ’kurban suci’. Kerja yang benar dan bermanfaat adalah kerja profesional yang ikhlas atas dasar bakti untuk pencerahan diri dan masyarakat.
            Djapa bersama sang istri, Luh Sucika, memiliki rasa cinta yang demikian mendalam pada nilai-nilai luhur sastra Jawa Kuno. Baginya, Dharma adalah pesan moral yang bernilai universal. Itulah nilai sastra Jawa Kuno yang menjadi daya spiritual yang jika dibatinkan tentu dapat menjadikan orang berdaya dan berjaya dalam melakoni hidup (Yasa, 2010:124). Tetapi sayang, proses pewarisan nilai itu ”terputus”. Hal itu disebabkan, antara lain, oleh kesenjangan bahasa, bahwa bahasa Jawa Kuno yang menjadi media karya-karya para kawi Jawa Kuno yang diwarisi di Bali tidak lagi diminati oleh generasi Bali di abad modern ini. Oleh karena itu, dan mengingat tradisi macapat di Bali masih eksis, maka Djapa dengan senang hati mengurbankan dirinya sebagai media transpormasi dengan jalan mem-Bali-kan nilai-nilai teks sastra Jawa Kuno dimaksud ke dalam bentuk geguritan berbahasa Bali. Salah satu karya Djapa yang kaya pesan dharma yang kali ini dibicarakan adalah Geguritan Saracamuscaya. Bagaimanakah unsur-unsur dharma itu diwacanakan kembali oleh Djapa?

PEMBAHASAN
Saracamuscaya Sebagai Nyanyian Dharma
Bagi Djapa, karya sastra adalah sarana pembelajaran sosial-religius. Dalam epilog Geguritan Saracamuscaya (XXXVII, Pangkur:30) ia menyatakan pendiriannya: “Boya saking titiang uning, melede ngawinang purun, madàna-puóya amàtra, maúaraóa antuk geóðing, mogi ratu,  wénten pikenohnya”. ‘Bukan karena saya berpengetahuan. Tetapi, karena saking ingin (berbuat baik) maka saya memberanikan diri untuk mempersembahkan sedikit dana dalam bentuk nyanyian. Semogalah Tuan, nyanyian ini ada manfaatnya’.
Geguritan adalah gending, yaitu karya seni untuk dinyanyikan. Tanpa dinyanyikan geguritan itu mati. Oleh karena itu, sebagai seorang guru, secara tersamar Djapa berharap: “Mogi ratu wenten pikenohnya”. ‘(Bacalah) Tuan, semoga ada manfaatnya’. Adapun yang bermanfaat itu, di samping aspek estetik irama dan kekhasan bahasanya, tentu adalah pesan moral yang terkandung di dalam gending itu. Gending tanpa pesan moral tidak banyak gunanya. Oleh karena itu, atas argumen keyakinan religius Djapa mengimbau:
Widyà  Sàrasamuúcaya, sàrin-sàrin Sang Hyang Aji, jroning Mahàbhàrata, Mahàbhàratane raris, Itihàsa kawastanin, jalaran molih kaweruh, sakàjaring Catur Weda, awinan ya sareng, patùt cumpu, ngwacen Sàrasamuúcaya (GSS, XXXVII, Pangkur:31)
‘Pengetahuan Saracamuúcaya adalah sari-sarinya ilmu pengetahuan suci yang terdapat dalam Mahàbhàrata. Mahàbhàrata adalah kitab Itihàsa ‘epos’, yaitu media untuk memperoleh pengetahuan sebagaimana yang diajarkan oleh empat kitab Weda. Oleh karena itu, kita sepatutnya ikut membaca Sàrasamuúcaya dengan penuh keyakinan’.

            Sàracamuúcaya yang digubah kembali oleh Djapa ke dalam bentuk sastra geguritan adalah salah satu kitab suci agama Hindu di Indonesia yang pa-ling populer di antara kitab etik lainnya. Isinya adalah kearifan hidup dengan penekanan ajaran pada aspek susila ‘ajaran moral religius’ yang disarikan dari itihàsa ‘epos’ Mahàbhàrata oleh Bhagawan Wararuci. Sebagaimana halnya kitab Hindu di Indonesia umumnya, teksnya dibangun atas dalam bentuk sloka ‘syair suci’. Jumlah sloka-nya 517 bait. Masing-masing sloka itu diterjemahterangkan dalam bahasa Kawi. Sejak Indonesia merdeka, kitab itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Yang populer antara lain oleh, I Gusti Bagus Sugriwa dengan judul Kitab Sutji Saracsamustjaja (1962); I Nyoman Kajeng dengan judul Sarasamuscaya dengan teks Bahasa Sanskerta dan Jawa Kuna (1979); I Gde Pudja dengan judul Sarasamuúcaya (?). Diterjemahkan ke dalam bahasa Bali oleh I Made Menaka dengan judul Saracamuccaya (1985). Disadur ke dalam bentuk Geguritan oleh I Ketut Repet dengan judul Geguritan Saracamuscaya (1964) dan oleh I Wayan Djapa dengan judul Geguritan Sarasamuúcaya (2009).
Karena merupakan karya seorang bhagawan ‘guru suci’, maka kitab Sarasamuscaya bukanlah karya biasa, tetapi karya yang mijil saking buddhi sang kawi kajanaloka ‘lahir dari batin seorang  pengarang yang sudah terkenal kesuciannya’(GSS, I, Sinom:6). Oleh karena itu, tan mari dados penuntun, úàstràgama maring jagat ‘selalu menjadi tuntunan hidup di dunia, yaitu sebagai úàstràgama ‘kitab agama’.  Artinya, tema dan amanat karya seorang maharsi, yaitu orang yang mengetahui masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang, akan selalu relevan sebagai suluh dan katarsis ‘menyucikan’ hidup pembacanya. Atas dasar pemahaman, pengalaman, dan keyakinan seperti itulah, maka Djapa mengimbau bahwa dalam menyanyikan Geguritan Sarasamuúcaya pembaca patut cumpu ‘sebaiknya menyanyikannya dengan penuh keyakinan’. Tujuannya agar pembaca memperoleh pencerahan dan pibrasi aura mistis yang maksimal dari teks suci yang dicerap.
            Dalam tradisi nyastra atau aguron-guron ‘sistem belajar dalam tradisi religius Bali’, gending atau lebih luas karya sastra adalah sarana pendidikan yang efektif.  Karena sastra dapat sekaligus mengasahhaluskan dua kecerdasan, yaitu memperhalus kecerdasan emosional dan mengasah kecerdasan intelektual. Artinya, tujuan pendidikan dalam tradisi nyastra adalah menjadikan orang bermoral dan sekaligus memiliki wawasan yang luas dan dalam. Maka dalam tradisi nyastra, moral itulah yang menjadi tujuan pendidikan yang pertama, tidak sebaliknya. Keyakinan para guru tradisi ini adalah tanpa moral yang baik, tanpa keluhuran budi ilmu pengetahuan yang dipelajari dapat menjadi bumerang, baik bagi sang pemiliki ilmu maupun bagi masyarakat.

Bersyukurlah Atas Karunia Hidup Sebagai Manusia
 Moral pertama-tama bersangkutan dengan keadaan mental seseorang, yaitu perasaan. Kenyataan hidup yang dirasakan oleh sebagian besar manusia yang waras adalah merasakan diri sebagai makhluk malang. Malang karena hidup mengalami dan dihadang oleh berbagai macam tekanan. Misalnya, tertekan karena mengalami krisis kesehatan, cinta, usia tua, kematian, sosial, ekonomi, ekologi, dan yang lainnya. Artinya, secara psikologis manusia seringkali merasakan dirinya stres. Menyadari hal itu, setelah menyimpulkan hasil kontemplasinya tentang hidup, anak nyastra melakukan tindakan didaktis dengan pertama-tama menyasar kondisi psikologis masyarakat (pembaca). Asumsi mereka bahwa sebagaian besar anggota masyarakat tidak memahami dasar, cara, dan tujuan hidup yang sejati. Oleh karena itu, mereka ada dalam  kondisi stres. Untuk menolong mereka agar tidak stres, maka langkah pertama yang dilakukan oleh anak nyastra adalah menghiburtenangkan emosi masyarakat (pembaca). Ajakan mereka: “Ngiring magending sambilang malajahang dewek” ‘Mari bernyanyi sambil mengajar diri’ agar dapat memahami, menikmati, dan mensyukuri hidup ini.  Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya hidup ini adalah sebuah karunia.
Awinannya sampunang juwa sungkawa, padé dados anak miskin, dumadi dados manusa, agetang pesan ring manah, duaning dahat ketil, si janma manusa, yadyastun candala yoni (GSS, I, Durma:4).
‘Oleh karena itu, janganlah bersedih walaupun menjadi orang miskin sekali pun. Sebab, dapat menjelma menjadi manusia adalah kesempatan yang sangat langka, walau pun berkewangsaan hina sekali pun’.
Mengapa?
Wireh indik manumadi dados manusa, jati dahat mahotami, mawinan sapunika, sida ruwat saking sangsara, úubha karma maka titi, lintang sadia, sang dumadi dados jadmi (GSS, I, Sinom:5).
‘Sebab, prihal menjelma menjadi manusia sungguhlah sangat utama. Dikatakan demikian, karena dengan menjelma menjadi manusia, kita dapat ruwat dari kesengsaraan. Jalannya adalah dengan melaksanakan úubha karma ‘perbuatan baik’. Itulah keutamaan dari jiwa yang dapat menjelma menjadi manusia’.

            Dalam sistem keyakinan Hindu, hidup sebagai manusia ini adalah bagian dari sebuah proses kehidupan yang panjang. Hidup ini adalah sebuah evolusi. Makhluk mengalami tumimbal lahir berulang kali yang disebut punar-bhawa. Setiap kelahiran mendapat wujud yang berbeda tergantung dari bekas akibat perbuatnya di masa lalu: “Tùt phala karma wasàna, wasàna ngaran sangskàra, ambun laad kardine nguni ‘yaitu mengikuti pahala karma wasàna. Karma wasàna adalah sangskara, yaitu bekas perbuatan dahulu’ (GSS, I, Durma:9). Perbuatan baik berpahala sorga. Manakala masa memetik pahala baik itu habis, tinggallah wasana ‘bekasnya’. Bekas karma yang membungkus roh itulah yang menyebabkannya kembali lahir ke dunia. Kelahiran sorga inilah yang disebut dewai sampad. Tanda orang kelahiran sorga adalah nasib baik. Sebaliknya, hidup dalam nasib buruk adalah tanda kelahiran asuri sampad ‘dari neraka’. Lahir sebagai manusia, walaupun bernasib buruk adalah tanda keberuntungan. Jauh lebih beruntung ketimbang lahir sebagai binatang. Oleh karena itu, Bhagawan Wararuci menasehati pembacanya:
Matangnyan haywa juga wwang manastapa, an tan paribhàwa, si dadi wwang ta pwa kagöngakêna ri ambêk, apayapan paramadhurlabha i-king si janma mànuûa ngaranya, yadyapi caóðàla yoni tuwi (SS:3).
‘Oleh karena itu jangan sekali-kali bersedih, sekalipun hidupmu tidak makmur. Kelahiran sebagai manusia sepatutnya menjadikanmu berbangga. Sebab, amatlah sukarnya dapat lahir sebagai manusia, walaupun lahir sebagai orang hina sekalipun’. Mengapa?

Laksanakanlah Dharma
            Dalam sistem keyakinan Hindu di Indonesia, Karma-phala adalah sebuah kepastian, yaitu hukum sebab-akibat. Oleh karena itu, karma phala adalah sraddha ‘iman’ yang ketiga dari lima iman yang disebut panca sraddha ‘percaya bahwa ada Tuhan,  roh, hukum sebab-akibat, evolusi, pembebasan’. Tidak ada akibat tanpa sebab. Tidak ada sesuatu apapun yang tercipta dapat terhindar dari hukum ini. Karma dengan demikian, adalah salah satu aspek ontologis ajaran susila ‘moral’ yang menjawab permasalahan mengapa orang dihimbau untuk selalu berusaha untuk berbuat baik dan menghindarkan diri untuk berbuat buruk.
Manusia tidak dapat duduk diam tanpa melakukan karma. Tidak seorang pun dapat menghindari keadaan yang sulit ini. Oleh karena itu, setiap orang harus memahami sejelas-jelasnya jenis karma apa yang harus dilakukannya. Hanya ada dua jenis karma: (1) karma yang berhubungan dengan panca indera atau karma yang mengikat. Dalam bahasa Sanskerta disebut vishaya karma. (2) karma yang membebaskan atau sreyo karma (Narayana,1991:1). Bhagawan Wararuci mengistilahkan dua karma itu menurut akibat yang ditimbulkannya: aúubha karma ‘perbuatan yang berakibat buruk’ dan úubha karma ‘perbuatan yang berakibat baik’(SS:7).
Keberuntungan lahir sebagai manusia adalah karena manusia wenang tumulung awaknya sangkeng sangsàra, maka sàdhanang úubhakarma (SS:4). ‘dapat menolong dirinya sendiri dari kesengsaraan dengan cara berbuat bajik’. Pernyataan SS sloka 4 selengkapnya dibahasabalikan oleh Djapa sebagai berikut.
Wireh indik numadi dados manusa, jati dahat mahottami, mawinan asapunika, sida ruwat saking sangsara, úubha karma maka titi, lintang sadia, sang dumadi jadmi (GSS, II, Durma:5).
‘Sebab, prihal menjadi manusia sungguh sangat utama. Mengapa demikian, karena manusia dapat meruwat dirinya dari sangsara dengan jalan úubha karma. Maka itu, sungguh beruntunglah ia menjelma menjadi manusia’.

            Walaupun sejak purwakala orang-orang arif telah menginformasikan kepastian seperti itu, toh fenomena hidup, terlebih-lebih di zaman modern ini, menunjukkan bahwa orang lebih cenderung melakoni hidup dengan melakukan vishaya karma ‘perbuatan untuk memuaskan hasrat duniawi’ secara tak terkendali. Amir Piliang (2004) bahkan sampai pada simpulan bahwa kini dunia telah dilipat melampaui batas-batas kebudayaan sehingga terjadilah berbagai musibah seperti banjir Nabi Nuh. Pemicunya adalah manusia dibanjiri oleh tawaran-tawaran instan yang merangsang ambisinya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih. Inilah keadaan yang disebut sebagai fenomena globalisasi hasrat yang justeru berpacu menuju ekstrimitas. Dan inilah persoalan kemanusiaan yang memprihatinkan anak nyastra di sepanjang jaman. Wacana keprihatianan Bha-gawan Wararuci dibahasabalikan oleh Djapa sebagai berikut.
Awanan kadi titiang, mangulapin kauk-kauk mapakeling, sajroning mangaruruh, artha kàmané punika, wantah dharma maka titi mangaruruh, sampunang miwalin dharma, sapunika titiang makeling.
Sakewanten arang pisan, mangarungu réhning kocap dahat ketil, manyolahang dharma sàdhu, napi minab ne mangawinang, sujatinnya sajeroning mangaruruh artha kamané punika dharmané margiang rihin (GSS, III, Pangkur: 1-2).
‘Mengingat hal yang memprihatinkan itu, maka saya memanggil-manggil mengimbau. Di dalam mencari harta dan nikmat duniawi, hanya dharma itulah jalan untuk mendapatkannya. Jangan sekali-kali meninggalkan dharma. Demikianlah saya mengimbau.
Tetapi sayang, jarang sekali orang mau mendengarkan panggilanku. Sebab, kata mereka, sangat sulit berbuat arif menurut dharma. Heran, apakah kira-kira yang menyebabkan mereka berkata demikian? Padahal telah dipastikan, dalam mencari harta dan kesenangan, dharma itulah yang patut dilaksanakan terlebih dahulu’.

Dibanding dengan menjalankan wiûaya karma ‘bersuka ria’: mendapatkan harta dan nikmat sensual melalui jalan pintas memang jauh lebih sulit sreya karma ‘berbuat baik’. Terlebih-lebih lagi, hasil berbuat baik itu tidak diperoleh seketika. Jadi, berbanding terbalik dengan hasil instan yang dirasakan ketika orang melaksanakan aúubha karma.   Akan tetapi, orang nyastra mengatakan: “Tan pasari iku artha kàma punika, yan kakeniyang antuk dasar tan rahayu” (GSS, III, Pangkur:3) ‘Tidak ada gunanya harta dan kenimatan yang diperoleh dengan cara tidak bajik’. Karena, harta dan kesukaan yang diperoleh dengan jalan pintas berakibat tidak baik di kemudian hari. Oleh karena itu, sampai sejauh ini orang arif tetap bersikukuh pada dan menyerukan jalan dharma. Katanya lebih lanjut: “dharmané margiang rihin” ‘Laksanakanlah dharma itu terlebih dahulu’. Tetapi, apakah dharma?
Karena saking luas cakupannya, istilah dharma sungguh sulit didefinisikan. Bhagawan Wararuci mendefinisikan: “Ikang dharma ngaranya, hênuning mara ring swarga ika, kadi gatining parahu, an hênuning baóyaga nêntasing tasik” (SS,14) ‘Dharma ialah jalan pergi ke sorga. Bagaikan fungsi perahu. Bagi pedagang perahu adalah alat untuk menyeberangi lautan’. Penjelasan dharma itu disyairkan oleh Djapa sebagai berikut.
Ne kasengguh madan dharma, jatinipun wantah marupa margi, mangulati swarga iku, kadi gatining banawa, ne mateges sampan jukung lan perahu, kantisrayan i saudagar, rikala nglintangin pasih (GSS,III, Pangkur:5).
‘Yang disebut dharma, sesungguhnya hanya berupa jalan menuju sorga. Seperti halnya banawa, yaitu sampan, jukung, dan perahu adalah sahabat penting bagi si pedagang ketika  ia menyeberangi lautan’.
Penjelasan yang singkat itu tentu belum banyak manfaatnya bagi pembaca awam. Oleh karena itu, penjelasan dharma itu lebih dirinci:
Wantah dharmane punika, kapatutan sampun pasti, wibhàwa taler punika, wantah kalebaning hati, tatak maring panes etis, nika tamba pinih manjur, maka miwah prayaúcitta, pamunah laraning ati, jatin ipun, tamba wénten jalan mula.
Kaweruh sane sampùróa, tampih antuk éling tiling, panguning telebing tatwa, nika tatujone jati, sida ngawé idup trepti, ahimsàné patut duluh nénten ngadok sakawenang, nénten konggwan krodha malih, ika tuhu, kabawos jatining suka (GSS,III, Sinom:25-26).

Dharma itu sudah pasti adalah kebenaran. Kewibawaan juga adalah itu. Itu juga adalah kelembutan hati. Ketahanan mental menghadapi panas dingin. Itu juga adalah obat yang paling utama dan prayascita, yaitu pemusnah derita hati. Dan sesungguhnya, dharma itu adalah obat yang ada di sini, dekat di tempat.
Dharma adalah pengetahuan yang sempurna yang didampingi oleh kesadaran yang terfokus, yaitu pengetahuan yang mendalam tentang hakikat. Itulah tujuan yang sejati yang dapat membuat hidup ini bahagia. Dharma adalah ahimsà ‘tidak menyakiti’. Itulah jalan yang patut dilalui, yaitu tidak menghalalkan segala cara. Dan tidak dikusai oleh sifat marah. Itulah yang disebut suka sejati’.

Dari syair tersebut dapat diketahui bahwa dharma itu adalah kebenaran, kesadaran, sumber kewibawaan, sarana penyuci pikiran, tapa, kehalusan hati, emoh kekerasan, dan sifat tidak pemarah. Dan karena itu, dharma adalah penyebab orang dapat hidup bahagia. Dalam wujud teks dan prilaku, Dharma itu adalah “asing kàjar dening Hyang Sruti, sakàjar Smreti muwah, dharma kawastanin, úiûþa àcàrane malih, taler dharma kawastanipun” (GSS, IV, Sinom:4) ‘segala yang diajarkan dalam kitab wahyu, segala yang diajarkan oleh kitab tafsir adalah dharma. Demikian pula siûþa àcàra itu juga disebut dharma. Siûþa àcàra adalah perilaku orang yang berpegang teguh kepada kebenaran. Perilaku dharma Beliau itulah yang patut diteladani’. Demikian penjelasan Bhagawan Wararuci. Lalu bagaimanakah perilaku dharma orang suci itu?

Kendaikanlah Tindakanmu
            Dalam terminologi Hindu, tindakan itu ada tiga disebut trikaya, yaitu tindakan pikiran, tindakan mulut, dan tindakan badan. Apabila tiga tindakan itu berjalan harmonis menurut dharma disebut trikaya parisuddha ‘tiga tiga tindakan suci’. Tiga tindakan suci inilah yang disebut perilaku dharma. Beginilah Djapa mebahasabalikan wejangan Bhagawan Wararuci tentang perilaku dharma itu:
Sane patut waspadayang, yéning wénten prawretti, malantaran Teri Kàya, nénten manglédangin kayun, ngawé duhka sungkan manah, sampunang ugi, tibakanga ring wong liyan. Harimbawané punika, maka titi maprawretti, yening sida sapunika, dharma iku wastanipun...(GSS, V, Ginada:1-2).
‘Inilah yang patut diwaspadai. Jika ada perbuatan, yaitu dalam tiga perbuatan yang tidak menyenangkan hati, perbuatan yang menyebabkan pikiran sendiri berduka. Jangan sekali-kali menimpakan perbuatan itu kepada orang lain. Itulah perbuatan yang disebut harimbhawa, yaitu jalan yang menuntun orang dalam berperilaku. Dapat berbuat bajik demikian itulah yang disebut perbuatan dharma’.

            Harimbawà adalah moto moral dalam kitab Sarasamuscaya (40). Secara leksikal kata harimbawà berarti baik budi, penuh perhatian, sangat merasa kasihan, simpatik, altruistik (Zoetmulder, 1995:339). Sikap dan perilaku yang penuh tenggang rasa itu dijelaskan: “Hana ya prawretti, kapuhara dening kàya, wàk, manah, ndàtan panukhe ya ri kita, magawe duhka puhara hågroga, yatika tan ulahakênanta ring len” ‘Jika ada hal yang ditimbulkan oleh perbuatan, perkataan, dan pikiran yang tidak menyenangkan dirimu sendiri, apalagi itu menyebabkan kamu menderita sakit hati, hal itu jangan sekali-kali dilakukan pada orang lain’. Sekali lagi Wararuci mengimbau: “Sàsing tan kahyun yàwakta, yatika tan ulahakênanta ring len” (SS,44) ‘Segala hal yang tidak menyenangkan dirimu, hal itu jangan pula dilakukan pada orang lain’.
Rincian tindakan baik itu dikenal dengan istilah karma patha, yaitu kahretaning indriya ‘cara mengendalikan indera’ agar dapat hidup dalam suasana damai. Rinciannya ada sepuluh sebagai berikut.
Prawrettin manahé wedar, palih ipun telung bagi, nénten iri muwah péstad, maring gelah anak iku, nenten krodhéng sarwa satwa, kaping teri, seken ngugu karma phala.
Prawettin bawosé wedar, palih ipun petang bagi, nénten kéngin mojar hala, nénten bangras cegak-ceguk, nénten miúuna lan mithya, jeg impasin, sajeroning mawacana.
Prawrettining kàya wedar, palih ipun telung bagi, ahimsàne kaprethama, tan mamandung dulur ipun, miwah nénten paradàra, mogi éling, anggén bekel kahuripan (GSS, VII, Ginada:2-5).

‘Tindakan pikiran dijabarkan atas tiga bagian, yaitu (1) tidak sirik dan menginginkan milik orang lain. (2) Tidak marah kepada segala jenis makhluk, Dan (3) berkeyakinan teguh kepada karma phala.
Tindakan mulut dijabarkan. Bagiannya ada empat jenis, yaitu (1) pantang berkata buruk, (2) tidak berkata-kata kasar menghardik, (3) tidak berkata fitnah, dan (4) tidak berbohong. Pokoknya hindarilah ke empat itu dalam berbicara.
Tindakan badan dijabarkan. Bagiannya ada tiga jenis, yaitu (1) tidak membunuh, (2) tidak mencuri, dan (3) tidak berselingkuh. Demikianlah semoga diingat sebagai bekal kehidupan’.

            Dari uraian tersebut di atas dapatlah dimengerti bahwa aspek epistemologi ajaran moral dalam GSS adalah trikaya parisuddha. Sikap dan perilaku harimbawà ‘altruistik’ adalah motonya: sikutang ke dewek ‘berbuatlah menurut ukuranmu’. Artinya, jika hal itu menyebabkan diri sendiri berduka, jangan pula hal itu dilakukan kepada orang lain.

Kuasailah Pikiranmu
            Di antara trikaya itu manah ‘pikiran’ adalah kunci kehidupan. Berhasil tidaknya orang mengelola hidup ditentukan oleh pikirannya. Yad bhàvam tad Bhàvati ‘ bagaimana kamu berpikir demikianlah kamu menjadi’.  Dalam GSS (VIII, Ginada:1-2) kedudukan dan fungsi pikiran itu disyairkan sebagi berikut.
Daging ipun yan bawosang, manahe ya dados bibit, andelé jeroning manah, saking andel bawos metu, tumuli ya malaksana, wastu raris, manah kabawos pradana.
Munggwing manahe punika, bongkol indriyane jati, tumuli ya malaksana, úubhàsubha karméku, mawinan sampunang ampah, yatna ugi, ngeret miwah mitet manah.

‘Jika dibicarakan simpulannya, bahwa pikiran itulah benih. Manakala orang telah yakin dalam pikirannya, maka keluarlah ia berupa kata-kata lalu bertindak. Oleh karena itu, pikiran itulah penyebab.
Ketehuilah bahwa, pikiran itulah pangkal indera yang sesungguhnya. Pikiranlah yang menyebabkan orang melaksanakan yang disebut úubha karma ‘perbuatan baik’ atau aúubha karma ‘perbuatan buruk’. Oleh karena itu, jangan sekali-kali mengabaikannya. Hati-hatilah, ikat dan mengendalikanlah pikiranmu’.

            Membatasi dan mengendalikan pikiran adalah persoalan yang sangat penting dan sekaligus sangat pelik. Djapa pun menyadari betul kesulitan ini. Walaupun demikian, kita tak usah berkecil hati. Katanya mengimbau:
Kabawosang dahat sengka, nyaluhang ne madan becik, sajeroning terikaya, diastu yukti dahat kéwuh, utsahayang nyabran dina, da makirig, mula ketil ngalih melah (GSS, VII, Ginada:7).
‘Dijelaskan bahwa memang sulit untuk membiasakan diri melaksanakan hal yang disebut baik dalam tiga tindakan. Walaupun betul sangat pelik, usahakanlah setiap hari. Jangan mundur. Memang sulit mencari yang baik’.

Jalan úubha karma, adalah nyaluhang ne madan becik ‘membisakan diri agar selalu berbuat baik’. Benar, memang tidak ada pilihan lain jika orang ingin bahagia. Oleh karena itu, úubha karma adalah jalan yang tidak henti-hentinya dihimbaukan oleh orang arif.  Mereka menegaskan, utsahayang nyabran dina ‘berusahalah berbuat baik setiap hari’. “Abhyàsavairagyàbhyàý tannirodaá”. Demikian kata Patanjali (YS, II:12) ‘Tekunlah berlatih dengan tekad wairaghya ‘melepaskan diri dari keterikatan duniawi’. Mengkuti himbauan inilah yang sulit, Djapa menyadari hal itu, maka ia berkata: “Mula ketil ngalih melah” ‘Memang sangat sulit mencari yang baik’. 
Walaupun demikian, karena tujuan hidup ini adalah meningkatkan kualitas diri, maka satu-satunya jalan adalah menerima hidup ini sebagai sebuah perjuangan melawan manah bhranta ‘pikiran yang bingung’. Akan tetapi, sebelum berjuang mengusir kebingunan diri, Maharsi Wararuci menyarankan agar orang terlebih dahulu mempelajari seluk-beluk pikiran.Tanpa mengetahui hakikat dan perilaku pikiran, tentulah sulit untuk dapat melatihnya. Pandangan Wararuci tentang sifat pikiran sebagai berikut.
Nihan ta kraman ikang manah, bhrànta lungha swabhàwanya, akweh inangên-agênnya, dadi pràrthana, dadi sangúaya, pinaka swabhàwanya (SS:81).
‘Beginilah prihal pikiran itu. Sifatnya bingung, pergi ke sana ke mari, banyak yang diangan-angankan, keinginannya menjadi-jadi, dan menjadi penuh kesangsian. Demikianlah wujud sifatnya’.
Wacana itu kemudian disyairkan oleh Djapa sebagai berikut.
Kraman ipun sane kawastanin i manah, bhrànta lunga mrika-mriki, tan kidikan acepannya, pràrthana dadi sangúaya, parupayan ipun jati, makawinan manahe patut tilikin (GSS, VIII, Durma:1).
‘Sifat dari yang disebut pikiran itu adalah bhrànta, yaitu bingung atau kacau, pergi ke sana ke mari, tidak sedikit cita-citanya, keinginannya menjadi-jadi, dan sering kali penuh keragu-raguan. Demikianlah sesunguhnya perwujudan pikiran itu. Oleh karena itu, pikiran itulah yang pertama-tama patut diselidiki’.

            Jadi sifat dasar pikiran itu adalah bhrànta ‘mengembara, bingung, ragu-ragu, dan keliru’. Patanjali menyebut keadaan pikiran itu sebagai wretti ‘gerak, fluktuasi, gelombang pikiran’. Ada empat jenis gelombang pikiran: pramàna, viparyaya cikalpa nidrà småtaá (YS, I:6) ‘pramana, yakni pikiran yang benar, viparyaya, yakni pikiran yang keliru, vikalpa, yakni pikiran yang mengkhayal, nidra, yakni pikiran yang lembam, dan smreti, yakni pikiran yang mengingat’. Dan yang disebut pikiran yang bhranta adalah pikiran yang keliru, yang mengkhayal, yang lembam, dan ingatan salah.
Patanjali mengajarkan, pramana ‘pikiran yang benar’ hanya mungkin dimiliki apabila  orang mau melakasanakan tapa svadhyaya Iúvarapranidhana (YS,II:1) ‘tapa, yaitu mengurbankan diri dengan mengendalikan pikiran, perkataan, dan perbuatan agar berjalan di jalan kebenaran; svadhyaya, yaitu giat belajar secara mandiri sehingga hakikat, cara, dan tujuan hidup diketahui; dan Iúvarapranidhana, yaitu selalu bakti kepada Tuhan sampai memiliki kesadaran religius bahwa tiada sesuatu apapun selain Tuhan. Bahwa Ia Yang Esa itulah yang sesungguhnya berkenan menghadirkan diri-Nya menjadi berbagai wujud ini.

Patuhilah Dua Puluh Janji Diri
Tiga metode pengendalian pikiran tersebut di atas merupakan bagian yang penting dari unsur ajaran moral yoga yang disebut yama niyama brata (YS, II:29). Yoga adalah cara untuk menghubungkan diri dengan Tuhan, yaitu dengan jalan mengendalikan fluktuasi pikiran agar bergerak tenang terfokus menuruti jalan kebenaran (YS, I:2). Adapun yang dimaksud dengan yama adalah ne patut kardinin ‘mengerjakan yang benar’ (GSS,XXI, Ginanti:1). Sementara niyama adalah unsur-unsur pengukuh yama. Unsur-unsur moral yama-niyama dijabarkan secara panjang lebar oleh Bhagawan Wararuci dalam kitab SS. Lalu Djapa  menyairlagukannya dalam bahasa Bali. Dikutif selengkapnya sebagai berikut.
Sane madan yama iku, gebogannya dasa sami, munggwing carcan ipun sowang-sowang, anreúangsa kûama malih, satia ahimsà lan dama, àrjawa prasàda prìti (GSS, XXI, Ginanti:3).
‘Adapun yang dimaksud yama itu, seluruh unsurnya ada sepuluh. Rinciannya masing-masing,  yaitu anreúangsa, kûama, satia, ahimsà, dama, àrjawa, prasàda, prìti’,
Màdhurya màrdawa muwah, jangkep ya adasa sami, anreúangsa harimbawa, tan ngulah suka padidi, kûama ya martos tatak, kelan maring panes tis (GSS, XXI, Ginanti:4).
Màdhurya, dan màrdawa. Lengkaplah sudah sepuluh banyaknya. (1) anreúangsa adalah harimbawa, yaitu tidak semata-mata mengusahakan kesenangan diri; (2) kûama artinya tahan, yaitu tahan uji menghadapi keadaan panas dan dingin’;
Satia tuwon teges ipun, nenten nanin mreûàwàdi, ahimsà mangawe suka, sarwa bhàwa maring gumi, dama ngaran upaúama, uning mituturin diri (GSS, XXI, Ginanti:5).
‘(3) Satia artinya tidak pernah berbohong; (4) ahimsà, yaitu berusaha membuat bahagia semua makhluk hidup di dunia; (5) dama artinya sabar dan tahu menasehati diri sendiri’;
Arjawa ne mangkin wuwus, duga-duga bener yukti, prìti ngaran göng karuóa, prasàda ya manah hening, màdhurya wàk panon lindya, màrdawa lemuhing budddhi (GSS, XXI, Ginanti:6).
‘(6) Arjawa sekarang dijelaskan, yaitu terus terang atau tulus hati; (7) prìti, yaitu sangat welas asih; (8) prasàda, yaitu berpikiran jernih; (9) màdhurya, yaitu pandangan dan perkataan yang manis; dan (10) mar-
dhawa, yaitu berbudi lembut’.
Ne madan niyama wuwus, gebogan dasa sami, bacakannya sowang-sowang, dàna ijyà tapa malih, dhyàna, swàdhyàya muwah, upasthanigraha malih (GSS, XXI, Ginanti: 7).
‘Adapun yang disebut niyama, jumlahnya juga sepuluh semuanya. Masing-masing yaitu, dàna,  ijyà,  tapa, dhyàna, swàdhyàya, upasthanigraha’,
Brata upawàwa muwuh, mona miwah snàna malih, jangkep sampun adasa, dàna weh anna dhànàdi, ijyà ngaran dewa pùjà, pitra pùjà tiyos malih (GSS, XXI, Ginanti: 8).
Brata, upawàsa,mona, dan snàna. Lengkaplah sudah sepuluh. (1) Dàna artinya menyumbangkan makanan dan dana yang lainnya;  (2) ijyà artinya memuja dewa dan yang lainnya lagi adalah memuja leluhur’;
Tapa ngiring lantur wuwus, purun mamanesin diri, nenten ajrih aking berag, nenten nayub toya nawi, miwah sane lian-liyanan, sirep duur tanah malih (GSS, XXI, Ginanti: 9).
‘Mari kita lanjut membicarakan (3) tapa, yaitu berani mengurbankan diri, tidak takut diri menjadi kurus kering, puasa tidak minum air, tidur di atas tanah, dan yang lain-lainnya’;

Dhyàna mùjà Siwa iku, swàdhyàya Weda purukin, teges upasthanigraha, mitet pacumbanan tuwi, brata janji maring raga, upawasa anna-warjàdi, (GSS, XXI, Ginanti: 10).
‘(4) Dhyàna yaitu tekun memuja Siwa ‘Tuhan’; (5) swàdhyàya, yaitu tekun mempelajari Weda; (6) upasthanigraha artinya membatasi diri dalam melakukan hubungan seks; (7) brata adalah janji diri, (8) upawasa ‘melakukan puasa anna-warjàdi,
Anna-warjàdi teges ipun, mitet pangan kinum, miwah sakancan punika, mona ne mangkin tegesin, wàcang yama ngeret ujar, mitet bawos ketegesin (GSS, XXI, Ginanti: 11).
Anna-warjàdi artinya, mengendalikan diri dalam hal makan dan minum dan yang sejenis itu; (8) mona sekarang dijelaskan, yaitu bagian niyama yang berarti mengendalikan wicara atau mengendalikan pembicaraan;
Snàna bratane pamuput, trisandhyà sewana màrti, ma-trisandhyà ya tegesnya, ne ping tiga ya awai, mabresih nyuciang raga, taler ping tiga awai (GSS, XXI, Ginanti: 12).
‘(9) Snàna adalah janji spiritual yang terakhir, yaitu  trisandhyà sewana yang artinya melakukan trisandhya, sembahyang tiga sekali sehari. Membersihkan dan menyucikan diri, juga tiga kali sehari’.

Kedua puluh unsur moral dalam SS (258-260) yang dibahasabalikan tersebut merupakan pengembangan lebih lanjut dari unsur pertama dan kedua, dari aûþàngga yoga ‘delapan tangga yoga’ sebagaimana yang disusun oleh Maharsi Patanjali dalam buku YS (II:30,32): (1) yama terdiri atas ahimsà ‘pantang mengakukan tindak kekerasan’, satya ‘jujur, pantang berbohong’, asteya ‘pantang mencuri’, brahmacari ‘pantang mengumbar nafsu seks’, dan aparigraha ‘pantang berpoya-poya’. Sedangkan (2) niyama terdiri atas sauca ‘suci lahir-batin’, santosa ‘tenang, sentosa’, tapa ‘tahan uji’, swàdhyàya ‘tekun mempelajari kitab suci’, dan iúwarapranidhàna ‘bakti kepada Tuhan’. Tiga unsur niyama, yaitu tapa, swàdhyàya, dan Iúwarapranidhana kemudian dijadikan sebagai unsur inti ajaran kriyà yoga  (SS,II:1).
Kriyà adalah kata lain dari karma, yaitu tindakan, usaha, pekerjaan. Suatu tindakan atau kerja akan disebut yoga ababila kerja itu dilakukan sebagai persembahan kepada Tuhan. Badan berkaitan langsung dengan karma. Badan merupakan lapangan untuk segala perbuatan, maka disebut karma ksetra. Waktu dan tempat karma diatur oleh alam. Oleh karena itu, dalam karma itulah Tuhan, manusia, dan alam menyatu. Segala sesuatu di dunia ini adalah hasil karma. Atas kesadaran ketunggalan tiga unsur itulah, maka para yogi beranggapan bahwa berbuat baik adalah kewajibannya yang utama. Dengan demikian, karma  bersifat sakral. Rsi Upaniûad mengimbau: “Bersujudlah pada karma” (Narayana, 1996:392).
Berbuat baik adalah tindakan moralis, yaitu tindakan yang (1) anresangsya ‘tidak mementingkan diri sendiri’; (2) ksama ‘pemaaf’; (3) satya ‘tidak berdusta’; (4) àhimsa ‘tidak menyakiti makhluk lain’; (5) dama ‘sabar dan dapat menasehati diri sendiri’; (6) arjawa ‘terus terang’; (7) priti ‘welas asih’; (8) pradasa ‘berhati murni’; (9) madhurya ‘menatap lembut dan bertutur kata manis’; (10) madharwa ‘lembut hati’; (11) dàna ‘dermawan’; (12) ijya ‘bakti kepada para dewa dan leluhur’; (13) tapa ‘giat dengan olah tapa’; (14) dhyàna ‘kontemplatif kepada Tuhan’; (15) swadhyaya ‘tekun mempelajari pengetahuan suci’; (16) upasthanigraha ‘mengekang nafsu seks’; (17) brata ‘teguh memegang janji diri’ (18) upawasa ‘berpuasa makan-minum’; (19) mona ‘berpuasa bicara’; dan (20) snàna ‘memuja Tuhan tepat waktu’.

Nikmatilah, Tetapi  Bebaskan Diri Dari Hasil Kerja
Seperti telah dijelaskan di depan, karma pasti berpahala. Dikatakan bahwa badan terbentuk atas dasar berbagai perbuatan yang dilakukan pada kelahiran-kelahiran yang telah lalu. Manusia menerima badannya agar dapat menikmati buah perbuatannya yang lampau. Demikianlah asal-usulnya badan yang fana ini. Karma itulah yang menjadikan manusia terikat pada siklus tumimbal lahir. Jadi, badan berkaitan langsung dengan karma dan dengan demikian, karma berarti badan (Narayana, 1996:391). Hasil perbuatan bajik yang dilakukan sekarang tidak hanya diterima pada kehidupan yang akan datang, tetapi juga pada masa hidup ini. Salah satu perbuatan baik itu adalah mengendalikan nafsu atau emosi. Apakah hasilnya?
Pikolih ngeret indriya, dirghàyuûa solah becik, pageh kàlaning mayoga kaúaktian minakadi, yaúa dharma artha malih, punika pacang kapangguh, yan kasidan ngret indriya, patut sareng sami tiling, jroning kayun, sampunang ngalumbar indriya (GSS, VI, Sinom:30).
‘Hasil mengendalikan nafsu adalah panjang umur, perilaku baik, teguh saat beryoga, kejayaan antara lain berupa nama baik, darma, dan kekayaan. Itulah hasil yang akan diperoleh jika berhasil mengendalikan nafsu. Oleh karena itu, kita semua sebaiknya memusatkan perhatian (untuk dapat bertindak baik), jangan mengumbar nafsu’.

Badan yang diterima sekarang merupakan perwujudan perbuatan di masa lalu. Selanjutnya, perbuatan yang dilakukan sekarang, pada masa hidup ini, akan menentukan wujud yang diterima oleh jiwa yang bersangkutan pada kelahiran berikutnya. Subha aúubha karma, pacang dados bekel mulih, miwah mangjanma, sara ledang mangkin milih (GSS, II, Durma: 10) ‘Baik buruk perbuatan, akan menjadi bekal pulang ke alam baka (sorga atau neraka) dan kembali menjelma. Hasilnya terserah pilihan masing-masing’. Untuk mendapatkan badan yang lebih baik di masa yang akan datang. Bhagawan Wararuci me-ngimbau umatnya untuk giat berbuat baik. Apakah antara lain ciri-ciri kelahiran dari orang yang pada masa hidupnya di masa lalu penuh dengan perbuatan baik? Beberapa contoh hasil perbuatan baik di masa lalu yang telah dibahasabalikan oleh Djapa sebagai berikut.
Sang pagehing úubha karma, benjang pungkur yening malih, manumadi ka mrecapada saking swarga rawuh jagi, sujanma wìrya guóàdi, sugih rendah  lituhayu, tandang bungah hinaleman, wasanan karmane becik ya pupu, sang pagehing úubha karma (GSS,III, Sinom:12).
‘Ia yang tekun melaksanakan kebaikan, suatu saat nanti jika menjelma kembali ke alam ini, ia lahir dari (sorga dengan berbagai ciri) keberuntungan (antara lain,) berkuasa, gunawan, kaya, rupawan, pantas segala yang disandangnya. Itulah tanda bekas akibat perbuatan baik yang diterima oleh orang yang berbuat baik’.

Sebaliknya, ia yang berperilaku durjana, bila tiba waktunya akan menjelma ke alam ini, ia diyakini lahir dari neraka dengan berbagai ciri kesialan, antara lain, menjadi orang miskin, tanpa guna, buruk rupa, dibenci sesama, sakit-sakitan, dan hal buruk lainnya. Dicontohkan sebagai berikut.
Sang manyuwang gelah anak, daweg idupnyane rihin, dumadi dados daridra, ngamatiyang sane rihin, kapademang ipun jagi, nganutin tanduran ipun, daweg nimuh bibit karma, sakantune urip rihin, ngintil nutug, woh ipun patut terima (GSS, XXIX, Sinom:11).
‘Ia yang mencuri milik orang pada masa hidupnya dahulu, lahir menjadi orang yang hina. Membunuh (sesama) di masa lalu, nanti pun akan dibunuh. Sesuai dengan yang ditanam ketika menabur benih karma pada masa hidupnya dahulu. Pahalanya pun setia mengikuti dan harus diterima’.

Tumimbal lahir mengambil berbagai wujud yang bersifat fana sesuai dengan baik-buruk perbuatan di masa lalu adalah sebuah keterikatan dan karena itu adalah penderitaan. Disebut demikian, karena yang lahir pasti akan mati. Di tengah-tengah itu berisi lara perih hati lan pakewuh, yusa lingsir lan wi-ghna (GSS, XXX, Ginada:5) ‘duka sakit hati, berbagai masalah, umur tua, dan berbagai rintangan’. Lanjut Djapa menyairkannya:
Punika i sarwa bhàwa, keleb maring bhàwodadhi, sane dalem turin jimbar, lara tuha lan pakewuh, waluya buwayanya, nanging jàti, arang pisan matutura (GSS, XXX, Ginada:6).
‘Itu segala makhluk hidup tenggelam dalam lautan tumimbal lahir yang dalam dan luas. Sakit, umur tua, dan berbagai masalah. Itu ibarat buwayanya. Tetapi sayang, jarang yang menyadarinya’.
Persoalan peliknya, bagaimanakah caranya keluar dari jebakan bhàwodadhi ‘pusaran lautan kelahiran’ yang mengerikan itu? Wararuci memberi jawaban puóia karma ‘mempersembahkan kerja’. Djapa mengimbau: “Jeg giyetang saking mangkin, gumawayang puóia karma, saluwiring gawe hayu, pawakan dharma sàdhana, bekel nganti, pangrawuh Hyang Kalantaka” (GSS, XXX,Ginada:21) ‘Pokoknya, semangatkan diri dari sekarang untuk melaksanakan puóia karma. Segala perbuatan bajik adalah perwujudan dharma sàdhana ‘jalan darma’. Itulah bekal menanti kedatangan Hyang Kalantaka ‘dewa kematian’.
Puóia karma adalah tawaran halus yang merupakan jalan spiritual lebih lanjut dari marga úubha karma ‘perbuatan baik’.  Jika úubha karma adalah jalan untuk masuk sorga, maka puóia karma adalah jalan untuk mencapai mokûa ‘pembebasan’. Artinya, Berbuat baik dan mengharapkan hasil dari perbuatan baik itu menyebabkan orang tetap terikat oleh lingkaran kelahiran sorga-bumi. Akan tetapi, jika ingin bebas dari lingkaran sorga-bumi, Bhagawan Wararuci mengajarkan puóia karma: “Kerjakan hal yang baik dan persembahkanlah hasil perbuatan baikmu itu kepada Tuhan. Itulah dharma sàdhana ‘jalan spiritual’ untuk mencapai mokûa ‘kelepasan atau keabadian”.

PENUTUP
            Ada dua arus yang dialirkan oleh Djapa dalam kerja kreatifnya, yaitu arus mempertahankan tradisi nyastra dan arus mentransformasikan nilai teks Jawa Kuno ke dalam ranah sastra Bali tradisional. Dalam rangka mempertahankan tradisi nyastra, Djapa menjadikan dirinya guru tradisi tersebut. Di situ terjadi proses pembelajaran bahasa-sastra Jawa Kuno dan Bali. Di sisi lain, dalam konteks mengelirkan teks, terjadi proses kreatif merebut makna dan membahasakan kembali teks itu dengan bahasa Bali. Maka, dari proses kreatif ini lahirlah karya-karya alih aksara, terjemahan, peparikan (geguritan) ketusan, dan yang lainnya. 
            Geguritan Saracamuscaya adalah salah satu karyanya yang kaya pesan moral. Tindakan bermoral,  seperti bersyukur atas karunia hidup sebagai manusia; melaksanakan kewajiban dengan sebaik-baiknya; mengendalikan perilaku dalam berpikir, berkata, dan berbuat; memetuhi dua puluh janji diri; dan membebaskan diri dari keterikatan duniawi adalah perilaku dharma ’berkebajikan’. Pesannya: ”Dharma adalah sumber kebahagiaan. Tanpa berperilaku bajik tidak mungkin hidup bahagia”.

DAFTAR PUSTAKA

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...