Asrama, Sekolah Kehidupan
I Wayan Sukarma
Asrama adalah sekolah kehidupan. Lingkungan
pendidikan orang-orang beragama untuk menyatakan dan mengakui hubungannya
dengan Tuhan. Sekolah ini terbuka sepanjang kehidupan manusia, yaitu dari
brahmacari, grehasta, wanaprasta, hingga bhiksuka. Tujuan akhirnya
merealisasikan ketuhanan dalam diri. Inilah asrama, pendidikan hidup bersama
Tuhan.
Pendidikan itu kebutuhan manusia. Makhluk,
selain manusia tidak membutuhkan pendidikan, karena itu pendidikan semestinya bersifat
manusiawi. Malahan dalam koran terbitan lokal, Wayan Sukarma pernah mengandaikan,
“pendidikan dan manusia bagaikan wadah dan isinya”. Membicarakan pendidikan sesungguhnya
memperbincangkan manusia itu sendiri. Pendidikan merupakan upaya manusia hendak
mengenal, mempertahankan, dan mengembangkan potensi dirinya sebagai makhluk
multidimensional. Manusia tidak hanya merupakan realitas raga, tetapi juga realitas
jiwa. Dimensi raga mungkin sudah jelas, tetapi dimensi jiwanya tetap menjadi misteri.
Misteri inilah mendorong upaya manusia melalui pendidikan hendak mengungkap dan
memahami dimensi dirinya secara lebih utuh dan menyeluruh. Upaya ini ditujukan bagi
perkembangan harkat dan martabatnya yang pada hakikatnya merupakan sifat warisan
dari sifat Tuhan. Sifat-sifat warisan ini begitu banyak diperbincangkan Mahaguru
Weda dalam Upanisad yang dinyatakan dalam beragam bentuk rumusan emanasi, seperti
“neti-neti” (bukan ini, bukan ini), “tat twam asi” (itulah engkau), dan “aham Brahman asmi” (akulah Brahman). Intinya,
manusia adalah makhluk ilahiah.
Keilahian biasanya dipahami melalui iman
atau sraddha, karena itu sraddha dapat dijadikan landasan pendidikan
Hindu dalam rangka mengungkap dan memahami dimensi jiwa manusia yang idealistik.
Iman berarti kepercayaan, ketetapan hati, keteguhan batin, dan keseimbangan batin.
Orang beragama beriman kepada Tuhan berarti percaya kepada Tuhan. Mereka memiliki
ketetapan hati dan keteguhan batin mengabdikan diri kepada Tuhan dalam rangka
menjaga keseimbangan batin. Begitulah dalam kehidupannya, orang beragama mengandalkan
diri kepada Tuhan. Umat Hindu mengandalkan diri, selain kepada Tuhan juga kepada
atman (jiwa), karmaphala (perbuatan), punarbhawa
(reinkarnasi), dan moksa (pembebasan).
Panca Sraddha ini dapat dirumuskan menjadi landasan pendidikan Hindu seperti berikut.
Tuhan dan atman merupakan azas penyebab
kehadiran manusia; karmaphala merupakan
azas eksistensi mempertahankan keberadaannya; punarbhawa dan moksa merupakan
azas akibat merupakan tujuanya. Dalam manifestasi Tuhan sebagai tri murti dapat dirumuskan seperti pola berikut.
Dewa Brahma menghadirkan manusia, Dewa Wisnu mempertahankan keberadaannya, dan Dewa
Siwa menyempurnakannya. Sepanjang masa kehidupannya, manusia belajar mengungkap
dimensi ketuhanan dirinya, karena itu kehidupan manusia adalah lembaga pendidikan.
Kehidupan itu sekolah, asrama tempat manusia belajar. Dalam
sekolah kehidupan, manusia berupaya mendidik dirinya dengan membangun keselarasan
antara pengetahuan dan tingkah lakunya. Dalam asrama inilah manusia berupaya mencapai kedewasaan dan kematangan
dirinya. Pendidikan memang secara kodrati sudah melekat pada diri manusia. Pendidikan
tersebar dalam kehidupan manusia dalam beragam bentuk interaksi. Interaksi
pendidikan begitu jelas saat manusia hening
mulat sarira dalam kesendiriannya (samadhi); saat melakukan kegiatan kemasyarakatan
(manusa yadnya); saat menjalin hubungan
adil dan berimbang dengan alam (bhuta
yadnya); ketika memuliakan leluhur (pitra
yadnya); ketika menghormati guru suci
sulinggih (rsi yadnya); bahkan interaksi
pendidikan semakin jelas, ketika manusia melaksanakan upacara yadnya. Dalam yadnya,
manusia mengakui dan menyatakan hubungan dengan Tuhan untuk mewujudkan ketuhanan
dirinya. Begitulah interaksi pendidikan berlangsung dalam kehidupan sehingga kegiatan
pendidikan berada dalam tahapan masa kehidupan manusia. Seluruh tujuan pendidikan
terletak pada tujuan tahapan masa kehidupan manusia sehingga tujuan pendidikan mencakup
seluruh tujuan tahapan masa kehidupan manusia itu sendiri. Dengan begitu,
tujuan pendidikan Hindu adalah tujuan kehidupan manusia.
Manusia mempunyai empat tujuan kehidupan,
yaitu kama, artha, dharma, dan moksa. Pertama, Kama berarti nafsu, hasrat, dan keinginan adalah tujuan sekaligus
dasar komitmen moral. Dalam hasrat tersimpan daya dan motivasi yang membentuk sikap
hidup, karena itu pada keinginannya manusia menggangtungkan masa depan
kehidupan. “Kakak, bukankah para resi zaman Weda hanya dengan menghasratkan
kebebasan, mereka mencapai kebebasan sempurna”. Begitu jawaban Bima setelah
Bharatayudha berakhir atas pertanyaan Yudistira, “apakah sesungguhnya tujuan
kehidupan manusia?”. Selain itu, juga kama
dapat berarti kesenangan dan cinta, seperti banyak diperbincangkan dalam kitab-kitab
sastra dan sutra-sutra. Dalam mitologi India, Kama adalah bagian dari Dewa
Asmara, Dewa Cinta Hindu. Kama adalah hasrat berinkarnasi, tuan, dan guru bumi,
penguasa wilayah langit bagian bawah. Kamasutra
misalnya, seringkali secara sekuler dianggap sebagai metode mengembangkan hubungan
percintaan birahi semata. Padahal sesungguhnya Kamasutra menyajikan sikap hidup utama, seperti teliti, hati-hati, tenang,
dan suci ditandai dengan pencarian mendalam yang sepenuhnya spiritual, kekhusukan
pengalaman religius, dan berdaya mistis. Kama adalah tujuan menjaga spirit
kehidupan.
Kedua, Artha berarti harta
dan benda merupakan tujuan kepemilikan material. Ilmu yang melatari tujuan ini
adalah arthasastra, yaitu ekonomi dan
politik; teknik bertahan hidup melawan sifat dengki, iri hati; turut dalam
persaingan; menentang fitnah, pemerasan, dan tirani kekuasaan. Artha meliputi
seluruh objek nyata yang dinikmati untuk memenuhi kebutuhan hidup yang benar. Artha
adalah objek yang memberikan kontribusi kesenangan indrawi, kenikmatan
perasaan, dan kepuasan manusiawi. Artha berkonotasi memperoleh kekayaan,
kesejahteraan duniawi, kemajuan, dan keuntungan. Dalam dunia eksternal, artha berarti objek indrawi dan yang
dapat dipahami. Dalam dunia jiwa batiniah, artha
berarti objek harapan, akhir, tujuan; nafsu, motif, penyebab, alasan; serta kepentingan,
manfaat, keinginan, dan kepedulian. Artha sebagai kata majemuk berarti demi
kepentingan, atas nama, dan dengan maksud. Artha
meliputi semua makna objek pencarian manusia, alat untuk mencari, kebutuhan dan
nafsu yang mendorong pencarian manusia. Artha adalah alat-alat, perangkat, perlengkapan,
dan instrumen kehidupan, seperti kaki dan tangan menyelengkapi kesempurnaan struktur
badan manusia. Tanpa tangan dan kaki, manusia tidak dapat melaksanakan
kewajibannya dengan sempurna.
Ketiga, Dharma berarti
kebenaran, kewajiban, dan kebiasaan merupakan tujuan memahami dan mematuhi norma,
hukum, dan aturan kehidupan, karena itu pada tradisilah manusia mengikatkan masa
lalu kehidupannya. Tradisi memang mengandung simbol masa lalu dan tanggung
jawab setiap generasi. Menghormati tradisi berarti memuliakan leluhur merupakan
kehendak mewujudkan kehidupan berdasarkan dharma.
Dharma berisi seluruh kewajiban agama dan moralitas. Dharma adalah ajaran
tentang hukum kewajiban manusia dalam sebuah masyarakat ideal yang mencerminkan
seluruh perilaku moral. Kewajiban ini banyak dibahas dalam kitab Dharmasastra dan Dharmasutra, buku-buku tentang hukum. Sebagian buku ini
diatribusikan kepada tokoh terkemuka, seperti Manu, nenek moyang manusia;
sedangkan sebagian buku-buku lainnya diatribusikan kepada para resi dan guru Brahman.
Karya-karya awal berisi petunjuk sosial, ritual, dan agama kemudian, menjadi
aliran-aliran Wedik. Buku hukum kewajiban yang paling terkenal adalah ikhtisar
besar Manawadharmasastra berisi
seluruh konteks kehidupan yang disusun oleh Manu. Dharma mengembangkan
kecerdasan, agar manusia mampu menjalin hubungan adil-berimbang dengan alam, sanggup
membangun hubungan arif-bijaksana dengan sesama, serta tulus mengakui dan
menyatakan hubungan dengan Tuhan.
Keempat, Moksa berarti kebebasan,
kelepasan, kebahagiaan, kesempurnaan, dan keindahan merupakan tujuan akhir dan puncak
kehidupan. Moksa atau apavarga adalah pembebasan spiritual. Secara
literal, moksa berarti melepaskan, mengeluarkan,
mengirim, membebaskan, meninggalkan; pembebasan, pelarian, kebebasan, pelepasan;
penyelamatan, pembebasan jiwa terakhir. Apavarga
berarti mencegah, menghancurkan, menghilangkan, mencabut, melepaskankan,
mengeluarkan; pelemparan, pembebasan; penyempurnaan, pencapaian, pembebasan
dari eksistensi, kepuasan, kebahagiaan, penyudahan, pelenyapan; pantangan dari
kegiatan kerja; pemberhentian, pengunduran diri; berhenti dari perilaku atau
emosi duniawi; diam, pelepasan dari dunia; istirahat, tidur, kebahagiaan. Semua
istilah ini berarti suatu tujuan tertinggi manusia, yaitu realisasi diri. Pembebasan
spiritual sebagai tujuan akhir dan puncak adalah kebaikan manusia tertinggi yang
mengatasi tiga tujuan sebelumnya, artha,
kama, dan dharma yang juga dikenal dengan Triwarga. Ketiga tujuan ini
merupakan pencarian duniawi yang mengimplikasikan orientasi kehidupan masing-masing.
Ketiga tujuan ini menjadi landasan untuk mencapai tujuan kehidupan terakhir,
yaitu moksa. Moksa sebagai tujuan tertinggi kehidupan menyangkut pembebasan
spiritual adalah terbebas dari kebodohan dan nafsu ilusif duniawi.
Keempat tujuan ini menjadi rangkaian yang
utuh dalam karma (perbuatan) karena manusia
tidak dapat berbuat secara bertanggung jawab hanya berdasarkan keinginan dan
alat-alat, tanpa aturan hidup. Apalagi membebaskan diri dari kebodohan dan
nafsu ilusif duniawi tidaklah mungkin dicapai tanpa sikap patuh dan tunduk pada
aturan kehidupan. Kepatuhan dan ketundukan pada aturan kehidupan itulah
kebebasan moral, kewajiban manusia sebagai dasar untuk mengajukan klaim hak dalam
kehidupannya. Pada kewajiban inilah harkat dan martabat manusia berstandar,
karena itu pendidikan tidaklah mungkin mengabaikan kewajiban moral. Apalagi
prinsip pendidikan Hindu adalah upaya perbaikan kualitas karma (perbuatan) sehingga tidak dapat mengabaikan ajaran moralitas
atau susila. Susila adalah tingkah laku berdasarkan norma dan nilai kebaikan.
Hidup berdasarkan susila merupakan upaya membangun kesadaran akhlak. Kesadaran
akhlak adalah kesanggupan manusia merasakan dirinya berhadapan dengan penilaian
baik dan buruk. Kesanggupan ini begitu diutamakan dalam kehidupan bermasyarakat
dari orang-orang beragama atau sering disebut Asrama. Asrama sebagai ajaran menguraikan
empat tahapan masa perkembangan kehidupan manusia, dari brahmacari, grehasta, wanaprasta, hingga bhiksuka.
Pertama, Brahmacari merupakan
masa belajar untuk memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan hidup. Melalui
pembelajaran, manusia mendapatkan ilmu pengetahuan bernilai kebenaran (gunawidya) untuk membentuk kebajikan dan
keadilan. Gunawidya ini merupakan
ilmu-ilmu penopang kehidupan untuk membangun kebudayaan, yaitu landasan
kehidupan. Landasan yang dapat menopang dan melontarkan upaya manusia memahami diri
untuk meningkatkan partisipasi dan produktivitas sosialnya. Dalam rangka ini manusia
secara sadar merencanakan suasana dan proses pembelajaran, agar dapat mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, religiusitas, pengendalian
diri, integritas kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, budi luhur termasuk
keterampilan. Semua kekuatan ini dibutuhkan untuk membangun keluarga produktif dalam
makna pendidikan. Keluarga menjadi lingkungan nyaman bagi pertumbuhan anak, agar
berkembang menjadi suputra, yaitu anak
yang kuat, sehat, dan mandiri. Sanggup mewujudkan sraddha-bhaktinya dan mempunyai integritas moral. Memiliki akal dan
menalar, seperti kecakapan, kecerdasan, kreatif, inovatif, komunikatif, dan bertanggung
jawab. Pada masa brahmacari ini manusia
didorong menuju kedewasaan, seperti kuatnya fungsi akal, kemampuan nalar, dan
kearifan budi hingga terbentuk kemandirian mengelola kelangsungan kehidupannya
dalam wadah perkawinan.
Kedua, Grehasta, merupakan
masa berumahtangga membangun keluarga. Pada masa ini kedewasaan manusia mendapat
batu ujian dalam berbagai situasi dan suasana kehidupan. Situasi sosial dan
suasana kebudayaan senantiasa menantang kearifan budinya agar mampu menghargai
keadilan, menghormati tatanan kehidupan, dan sanggup memuliakan kemanusiaannya.
Manusia dihimbau senantiasa menjaga harmoni kehidupan yang memberikannya pengalaman
pendidikan dalam mengembangkan kodrat hidupnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Kodrat
hidup yang mewajibkan manusia mengatur dan mengontrol tingkah lakunya sejalan dengan sifat
yang diwarisinya dari sifat Tuhan. Pada akhirnya upaya ini dapat membangun
kesadarannya terhadap keberadaan keluarga dalam masyarakat manusia. Keluarga
tidak mungkin berdiri kokoh, kalau manusia menganiaya kehidupan dengan berbuat
liar dan sewenang-wenang. Malahan ajaran kama
muncul untuk mengoreksi dan mencegah frustasi dalam kehidupan suami-istri yang
terjadi dalam wadah perkawinan dan percintaan menjadi tidak terkecualikan. Ajaran
kama memberikan konsep tentang psikologi
cinta Hindu, analisis perasaan, ungkapan emosional, dan pandangan tentang tugas
manusia dalam wilayah cinta. Kamasutra
sesungguhnya tidak begitu jauh dari ajaran Tantra,
penguasaan rasa dalam berbagai wujudnya dan puncaknya mengarah pada hakikat
sifatnya yang spiritual dan religius, teologis.
Ketiga, Wanaprasta merupakan
masa “pensiun” dan menarik diri dari belantara aktivitas kehidupan sosial dan kemasyarakatan.
Pada masa ini manusia dihimbau untuk melakukan permenungan, mengenangkan
kembali seluruh pengalaman mengenai hiruk-pikuk kehidupan. Seperti dijelaskan
dalam Rg. Weda, manusia itu seorang
musafir, seorang pengelana, margayayin.
Manusia selama hidupnya berkelana dalam belantara kehidupan dari satu ruang ke
ruang lainnya dalam jeratan berbagai struktur dan kultur. Pada masa ini manusia
diminta melepaskan dan melupakan semua status dan peran yang pernah dimainkannya.
Sudah tiba saatnya, menjadi dirinya sendiri, tidak lagi terikat pada masa lalu
dan tergantung pada masa depan. Manusia dipacu mengikuti gerak kehidupan masuk
ke dalam dirinya untuk mengenal tubuh-jiwa. Dengan begitu, manusia berangsur-angsur
didesak melupakan raganya yang sudah renta karena beban penderitaan dan
kesengsaraan. Proses pendidikan merupakan proporsional mengikuti gerakan masuk
ke dalam diri yang diupayakan, baik melalui pengetahuan, penyembahan, tindakan,
maupun pengasingan diri. Proses pendidikan ini merupakan landasan untuk
melanjutkan perjalanan ke tahapan masa kehidupan berikutnya, bhiksuka.
Keempat, Bhiksuka merupakan
masa menikmati Hidup. Hidup itu Satu dan Mutlak, namun pikiran, perasaan, dan
kehendak membaginya menjadi kehidupan. Hidup yang Satu didekati dengan beraneka
ruang, waktu, dan tindakan, bahkan bahasa. Hidup adalah Sang Kuasamutlak, segalanya
datang darinya, bertahan karenanya, dan pada akhir masa kembali kepadanya. Penggambaran
Hidup semacam ini banyak dibahas, baik Mahaguru Upanisad dalam sastra klasik
India maupun Sang Kawi dalam lontar-lontar
tattwa Jawa Kuna. Dalam kitab-kitab itu tersebar tema-tema kerohanian Hindu
yang membahas Hidup, baik dari segi ajaran, ilmu, maupun filsafat. Hidup
sebagai Realitas Tertinggi disebut dengan banyak nama, seperti Prajapati dalam
Weda, Brahman dalam Upanisad, Bhatara Siwa dalam Siwasidhanta, dan Iswara dalam
Yoga. Semua itu adalah nama Tuhan, Sang Hyang Widhi dalam agama Hindu. Untuk
menyadari Hidup ini, manusia dihimbau memiliki kesanggupan untuk merangkum
seluruh pengalaman kehidupannya ke dalam rumusan aham Brahman asmi. Kalau sudah memiliki kesanggupan ini berarti manusia
sudah sampai pada tujuan akhir sekolah kehidupan, memperoleh kesadaran bahwa lahir
sebagai manusia, hidup menjadi manusia, dan mati sebagai manusia.
Manusia seperti itulah guru sejati kehidupan.
Memiliki kesanggupan menjalankan sistem pendidikan yang berlangsung dalam asrama, sekolah kehidupan. Sistem
pendidikan yang berlandaskan panca
sraddha, bertujuan catur purusa artha,
dan berjenjang catur asrama. Pendekatan sekaligus
metode yang relevan menjalankan sistem pendidikan ini adalah catur marga. Keempat jalan kehidupan ini
merupakan satu kesatuan utuh, seperti tersebar dalam 700 seloka Bhagawadgita, namun praktiknya dapat disesuaikan
dengan jenjang kehidupan. Pendekatan jnana
marga relevan dengan masa brahmacari
hingga usia 25 tahun dengan kurikulum yang mengembangkan pengetahuan, pembangunan
sikap, dan pembentukan keterampilan hidup. Pendekatan karma marga relevan dengan masa grehasta
hingga usia 50 tahun dengan kurikulum yang mengembangkan moral berkenaan dengan
tanggung jawab keluarga dalam masyarakat. Pendekatan bhakti marga relevan dengan masa wanaprasta hingga usia 75 tahun dengan kurikulum yang mengutamakan brata dan yoga berkenaan dengan upaya penarikan dan pengendalian diri. Pendekatan
raja marga relevan dengan masa bhiksuka hingga usia 100 tahun atau
lebih dengan kurikulum yang menekankan pada upaya pengasingan diri secara
esketis dan kontemplasi eksklusif, hidup bersama Tuhan.
(Majalah Wartam Edisi Mei 2015)