Keberagamaan
Masyarakat Modern
I Wayan Sukarma
Pendahuluan
Krisis moral dan tragedi kemanusiaan
bersifat universal yang ditandai oleh pengenduran tradisi, norma-norma, hukum,
dan tatanan yang telah mapan sudah terjadi pada taraf mencengangkan. Krisis global
yang serius ini melanda setiap aspek kehidupan merupakan suatu krisis yang kompleks
dan multidimensional, seperti intelektual, moralitas, dan spiritual (Capra,
2004:3). Tragedi kemanusiaan yang bersifat universal ini merupakan refleksi
kegelisahan intelektual dan moralitas karena manusia telah dihegemoni dan didominasi
oleh pengetahuannya sendiri. Manusia lebih banyak dibentuk dan ditentukan oleh
pengetahuannya sehingga pengetahuan mengatasi kesadarannya (Leahy, 2001:95). Menurut
Radhakrishnan (2003:5) krisis semacam ini merupakan era kegelapan intelektual
dan barbarisme etik sehingga persoalan rekonstruksi sosial dari sudut pandang
idola-idola agama menjadi begitu penting.
Pentingnya rekonstruksi sosial berdasarkan
cita-cita agama, juga karena pada masa kini telah terjadi proses dehumanisasi
dan degradasi moral (Jacob, 2006:420). Malahan menurut Radhakrishnan (2003:21)
telah mencapai stadium akut yang disebabkan oleh ketidakseimbangan perkembangan
antara moral dan material. Manusia mengalami perkembangan material menakjubkan
bersamaan dengan penurunan kesadaran sosial, yakni perkembangan yang terbatas
dalam pengertian etika dan estetika. Berkaitan dengan kondisi ini Mulkhan
(2007:65—69) menegaskan bahwa dalam dunia global yang mengalami kemungkaran lingkungan
dan dehumanisasi sebagai akibat dari kapitalisme yang hedonis dan materialistik
yang menyebabkan pemaknaan berbagai kesalehan sosial yang disumbangkan berbagai
kitab suci agama semakin menemukan panggilannya. Radhakrishnan (2003:32) mengingatkan
bahwa manusia harus belajar mematuhi kemanusiaan sekalipun terhadap mereka yang
tidak berperikemanusiaan; manusia harus rela membiarkan perkembangan pikiran
dan moralnya menjangkau jauh ke masa depan dan manusia tidak membiarkan
kebencian menutupinya. Dalam konteks ini agama memiliki fungsi penting bagi
penataan sistem sosial dan budaya.
Agama dalam kaitannya dengan kebudayaan
dan praktik-praktik sosial dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola tingkah
laku yang diusahakan oleh masyarakat. Agama digunakan untuk menangani
masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan dengan teknologi ataupun teknik
organisasi yang diketahuinya (Haviland dalam Kahmad, 2000:119). Kenyataan
tersebut ditunjukkan dengan masuknya agama ke dalam wilayah yang pada
prinsipnya di luar jangkauannya. Agama telah terlibat dalam pergumulan
kehidupan sosial dan kebudayaan termasuk menentukan sistem dunia. Hal ini
sebagaimana digambarkan Casanova (2003:xvii) bahwa agama-agama di seluruh dunia
memasuki wilayah publik dan kancah politik tidak hanya untuk mempertahankan
budaya tradisional mereka, sebagaimana yang telah dilakukan pada masa lalu.
Akan tetapi, juga agama-agama berpartisipasi dalam pergumulan itu sendiri,
antara lain mendefinisikan dan menentukan batas-batas modern; antara wilayah
privat dan publik; antara sistem kehidupan dan kosmos; antara legalitas dan
moralitas; antara individu dan masyarakat; antara keluarga, masyarakat sipil,
dan negara; dan antara bangsa-bangsa, negara-negara, peradaban, dan sistem
dunia.
Fenomena ini menunjukkan bahwa
agama dalam konteks sosial dan budaya telah mengambil bagian dalam menentukan
batas-batas identitas individu atau masyarakat. Agama juga telah mengambil
bagian pada saat yang paling penting pada pengalaman hidup manusia. Agama bukan
hanya mengikat individu dengan Yang Ilahi, melainkan juga manusia yang satu
dengan yang lainnya sehingga agama memang berimpit dengan kehidupan sosial
(Bleeker, 2004:98; Keene, 2006:6). Agama merupakan satu bentuk legitimasi yang
efektif dalam kehidupan sosial dan budaya (Wattimena, 2007:xi). Agama merupakan
sesuatu yang bersifat sosial karena representasi religius adalah representasi
kolektif yang mengungkapkan realitas kolektif. Keyakinan dan ritual-ritual
agama adalah ekspresi simbolis dari kenyataan sosial (Durkheim, 2003:10).
Agama sebagai sistem keyakinan
dapat menjadi inti dari sistem nilai dalam suatu kebudayaan sehingga agama
dapat menjadi pendorong dan pengontrol tindakan anggota masyarakat agar tetap
sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya. Ketika pengaruh agama
menjadi kuat terhadap sistem nilai kebudayaan suatu masyarakat, maka sistem
nilai kebudayaan itu terwujud sebagai simbol suci yang maknanya bersumber pada
ajaran agama yang menjadi kerangka acuannya (Kahmad, 2000:64). Apabila agama
menjadi inti dari kebudayaan suatu masyarakat, maka fungsi dasar agama adalah
memberikan orientasi, motivasi, dan membantu masyarakat untuk mengenal dan
menghayati sesuatu yang sakral. Melalui pengalaman beragama (religious experience), yaitu penghayatan
kepada Tuhan menyebabkan masyarakat memiliki kesanggupan, kemampuan, dan
kepekaan rasa untuk mengenal dan memahami eksistensi Sang Ilahi (Maman, dkk.,
2006:1).
Dengan demikian, agama
memiliki daya konstruktif, regulatif, dan formatif dalam membangun tatanan hidup
masyarakat terutama dalam masyarakat tempat
nilai dan norma agama itu diterima dan diakui keberadaannya (Kahmad,
2000:66). Boleh jadi, ini alasan bagi Maman, dkk. (2006:2) mengatakan bahwa
pembangunan agama, pembinaan, pengembangan, dan pelestariannya menjadi agenda
penting dan niscaya karena agama diakui memiliki peran transformatif dan
motivator bagi proses sosial, kultural, ekonomi, dan politik pada masa depan.
Apabila bisa disepakati bahwa penegasan Maman tersebut dapat dipahami sebagai
himbauan moral, maka untuk memenuhi himbauan moral itu dapat dimengerti sebagai
relevansi dan pentingnya diskusi tentang keberagamaan.
Ketika agama dipandang
memiliki peran penting dalam penataan sosial, malahan banyak pengamat menilai
akan munculnya penolakan terhadap agama dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa
depan akan tumbuh sebuah tatanan baru dalam keberagamaan. Kenyataannya modernitas telah mendorong
kebangkitan kembali agama, bukan pada agama yang bersifat konvensional atau
agama formal. Malahan muncul kecenderungan masyarakat untuk menghindari agama
utama yang dianggap mengalami kemapanan dan tidak mampu merespons pencarian
spiritual mereka. Kemudian, mereka masuk ke dalam aliran-aliran spiritual,
sekte-sekte keagamaan atau kultus-kultus yang menawarkan ritus kontemplatif
ekslusif yang memberikan nilai lebih bagi kehausan spiritual mereka. Ini merupakan suatu bentuk kerohanian tanpa agama formal,
yaitu keberagamaan yang hanya mengambil dimensi spiritualnya (Robertson,
1998:65; Kahmad, 2000:65).
Ini menunjukkan bahwa pada era modern
kehidupan agama tidak mati. Akan tetapi kehidupan agama, baik sebagai sistem
keyakinan maupun praktik mengalami reformulasi dengan berbagai cara yang
bervariasi. Tidak jauh berbeda dengan keberagamaan orang Bali, Jamil (2008:8)
dengan mengacu pada hasil penelitian Greely di Amerika Serikat menunjukkan
bahwa bentuk reformulasi kehidupan agama di Amerika Serikat cukup beragam,
antara lain juga ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan agama baru (gerakan New Age). Ini berarti keberagamaan
masyarakat modern lebih mengutamankan dimensi spiritualitas daripada
religiusitas. Padahal menurut Hardjana (2005:76) agama bersumber pada
religiusitas dan disemangati oleh spiritualitas.
Religiusitas, Agama, dan Spiritualitas
Manusia pada prinsipnya
religius sekaligus spiritual (homo
religious dan homo sprituality).
Ini ditandai oleh kemampuannya memahami dan menjangkau hal-hal yang bersifat transenden,
yaitu yang ada di luar dan mengatasi dirinya. Kemampuan ini menyebabkannya
mampu mengalami ekstase, (baik secara alamiah maupun supra-alamiah), ketika ia
menjumpai sesuatu yang sama sekali lain dan tidak berasal dari lingkup dunia
dan pengalaman yang biasa. Pengalaman atas sesuatu yang sama sekali lain dan
tidak berasal dari lingkup dunia dan pengalaman manusia yang biasa itu disebut
pengalaman religius (religious experience)
(Hardjana, 2005:28—29). Inilah isi dan inti pengalaman beragama, penghayatan
kepada Tuhan yang menyebabkan masyarakat memiliki kesanggupan, kemampuan, dan
kepekaan rasa untuk mengenal dan memahami eksistensi Sang Ilahi (Maman, dkk.,
2006:1).
Dengan demikian, pengalaman
religius adalah pengetahuan manusia tentang “Sesuatu” yang ada di luar dirinya,
yang melebihi dan mengatasi dirinya, Yang Transenden, Yang Ilahi, yang diperoleh secara langsung melalui
hubungan sadar antara dirinya dan “Sesuatu” yang melebihi dirinya itu.
“Sesuatu” yang lain, Yang Transenden, Yang Ilahi dalam bahasa agama disebut
Tuhan. Menurut Rudolf Otto (dalam Pals, 2001:32; Hardjana, 2005:30) ketika
mengalami Yang Transenden manusia mengalami dua perasaan yang saling
bertentangan. Pada satu sisi manusia merasa tertarik karena Yang Transenden itu
fascinosum, penuh daya pesona, tetapi
pada sisi lain manusia mengalami perasaan takut-gemetar karena Yang Transenden itu
tremendum, penuh daya memaksa.
Meskipun kemudian, agama cenderung dipahami lebih tremendum daripada fascinosum.
Kemudian, Hardjana (2005:45) menegaskan bahwa berkat pengetahuan dan pengalaman
mengenai yang ilahi ini terciptalah religiusitas, yaitu rasa dan kesadaran akan
hubungan dan ikatan manusia dengan Tuhan. Dikatakan ‘hubungan’ karena berkat
pengalaman religius manusia menjadi tahu mengenai hubungan antara dirinya
dengan Tuhan yang telah menciptakan dan memberikannya eksistensi; sedangkan
dikatakan ‘ikatan’ karena manusia bersedia mengikatkan dirinya pada Tuhan
sebagai asal, penyelenggara, dan tujuan hidupnya.
Religiusitas inilah inti dan
sumber dari agama, yaitu perasaan dan kesadaran mengenai hubungan dan ikatan
kembali manusia dengan Tuhan karena manusia telah mengenal dan mengalami
kembali mengenai Tuhan dan percaya kepadaNya (Hardjana, 2005:51). Ini menjadi
alasan bagi Kahmad (2000:63) menyatakan bahwa agama merupakan naungan sakral
yang melindungi manusia dari situasi kekacauan (chaos). Bagi penganutnya, agama berisi ajaran mengenai kebenaran
tertinggi (summum bonum) dan mutlak
tentang eksistensi manusia serta petunjuk-petunjuk hidup selamat di dunia dan
akhirat, yaitu sebagai manusia yang bertaqwa kepada Tuhannya, beradab, dan
manusiawi. Artinya, agama merupakan sesuatu yang bersifat budaya karena agama
merupakan semesta simbolik yang memberi makna pada kehidupan manusia dan
penjelasan yang paling holistik dan komprehensif tentang seluruh realitas.
Mengingat selain dogma atau doktrin, juga agama memberikan pedoman moral untuk
menjalankan kehidupan dalam dunia sosial untuk mewujudkan kebaikan,
keselamatan, dan kesejahteraan bagi semua.
Demikian juga Hardjana
(2005:51) menegaskan bahwa dari penghayatan kesadaran mengenai hubungan dan
ikatan kembali dengan Tuhan, munculah agama dengan empat unsur utamanya, yaitu
dogma, doktrin atau ajaran; ibadat atau kultus; moral atau etika; dan lembaga
atau organisasi. Dogma merumuskan hakikat Tuhan yang dikenal, dialami,
dipercaya, dan kehendakNya untuk manusia dan dunia. Ibadat menetapkan cara yang
seharusnya bagi penataan hubungan manusia dengan Tuhan, antara lain di mana dan
kapan hubungan itu diadakan, serta cara dan bentuk hubungan manusia dengan
Tuhan itu diselenggarakan. Moral agama menggariskan pedoman perilaku, yakni
pedoman yang menetapkan perilaku yang sesuai atau tidak sesuai dengan
pengalaman dan kepercayaan terhadap Tuhan dalam hidup pribadi, masyarakat, dan
dunia. Kemudian, lembaga agama mengatur hubungan antarpenganut agama dan
hubungan mereka dengan pemimpin agamanya dalam rangka penghayatan religiusitas
secara bersama-sama.
Ini berarti agama memiliki
empat unsur pokok, yaitu eksistensial, segi yang menyangkut keseluruhan hidup;
intelektual, segi yang menyangkut pemahaman; etikal, segi perwujudan dalam
perilaku; dan institusional, segi yang menyangkut kelembagaan. Segi
eksistensial terjelma dalam iman-kepercayaan; dan oleh iman Tuhan diterima dan
diakui sebagai satu-satunya Realitas yang patut disembah. Segi intelektual
menyentuh pengertian tentang Tuhan. Melalui pemahaman mengenai hakikat, dan
sifat-sifat, aktivitasNya, Tuhan dimengerti dan dirumuskan dalam bentuk
pernyataan-pernyataan, ungkapan-ungkapan, dan kata-kata yang dipahami. Segi
etikal mengungkapkan iman-kepercayaan kepada Tuhan dalam bentuk perbuatan,
perilaku, dan tindakan. Pengaturan perilaku berdasarkan iman-kepercayaan
terumuskan dalam kaidah-kaidah keagamaan dalam bentuk perintah-perintah moral.
Kemudian, segi institusional berurusan dengan kelembagaan dan pengorganisasian
agama. Melalui kelembagaan iman-kepercayaan dan pamahaman mengenai Tuhan
dijaga, dikembangkan, dan diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya
(Hardjana, 1993:13).
Dalam ungkapan yang lain,
Glock dan Stark (Dhavamony, 1995;
Robertson (ed), 1988:295--297) menjelaskan bahwa keberagamaan terdiri
atas lima dimensi yang saling kait-mengait secara terpadu, yaitu keyakinan,
praktik, pengalaman, pengetahuan, dan konsekuensi. Kelima dimensi keberagamaan
ini masing-masing dijelaskan sebagai berikut.
(1) Dimensi keyakinan. Dimensi ini berisikan
pengharapan-pengharapan di mana orang yang religius berpegang teguh pada
pandangan teologi tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin
tersebut.
(2) Dimensi praktik agama. Dimensi ini
mencakup tingkah laku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang
untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya.
(3) Dimensi pengalaman. Dimensi ini berkaitan
dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan
sensasi-sensasi yang dialami seorang pelaku atau didefinisikan oleh suatu
komunikasi dengan suatu esensi ketuhanan, yakni dengan Tuhan, dengan kenyataan
terakhir, dan dengan otoritas transendetal.
(4) Dimensi pengetahuan agama. Dimensi ini
mengacu pada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki
sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab
suci, dan tradisi-tradisi.
(5) Dimensi konsekuensi. Dimensi ini mengacu
kepada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan
pengetahuan seseorang dari hari ke hari.
Walaupun kedua
pandangan tersebut berbeda, tetapi dalam praktiknya, agama dan religiusitas
mesti dan harus digabungkan menjadi kesatuan yang utuh. Menurut Hardjana
(2005:63) melalui praktik yang demikian, dogma dikembalikan pada hakikat dan
kehendak Tuhan; ibadat mendapatkan maknanya sebagai sarana berhubungan dengan
Tuhan; moral agama dipertemukan dengan kehendak Tuhan; dan lembaga agama turun
kembali kepada hakikatnya yang sebenarnya sebagai sarana untuk memelihara dan
mengembangkan pemahaman, hubungan, dan pelaksanaan kehendak Tuhan. Malahan
ditegaskan untuk membuat penghayatan agama menjadi otentik, mendalam, dan
mendatangkan dampak positif dalam kehidupan, agama perlu dibawa ke
spiritualitas.
Spiritualitas
berarti hidup berdasarkan roh. Dalam hubungannya dengan Yang Transenden, roh
itu adalah Roh Tuhan. Spiritualitas adalah hidup yang didasarkan pada pengaruh
dan bimbingan Roh Tuhan. Dengan spiritualitas, manusia bermaksud membuat diri
dan hidupnya dibentuk sesuai dengan semangat dan cita-cita Tuhan. Semangat dan
cita-cita Tuhan inilah yang dijadikan pedoman dalam kehidupan, baik pada dimensi
individual maupun sosial. Mengingat spiritualitas terasa begitu abstrak, agar
penghayatannya lebih konkret sehingga dalam praktiknya diwujudkan dengan
mengikuti kehidupan tokoh-tokoh agama, baik pendiri maupun pengikutnya yang
dapat diteladani (Hardjana, 2005:64).
Orang spiritual
sadar bahwa dalam hidup ini ia mendapat dua tugas utama dari Tuhan, yaitu pertama, agar berkembang menjadi manusia
dengan kualitas seperti yang diharapkan Tuhan; dan kedua, melaksanakan misi hidup untuk mendatangkan kebaikan,
keselamatan, dan kesejahteraan bagi masyarakat. Bagi orang spiritual dogma
agama digunakannya sebagai titik tolak dan sarana untuk mendalami hakikat dan
kehendak Tuhan dan memahami misteriNya. Ibadat digunakan untuk menyampaikan
pertanggungjawaban kepada Tuhan mengenai segala perbuatan sesuai dengan dua
tugas utamanya. Moral agama merupakan kesibukan untuk mengambil bagian dalam
sifat-sifat Tuhan dan keberja bersama dengan Tuhan untuk mendatangkan kebaikan,
keselamatan, dan kesejahteraan di dunia. Kemudian, lembaga agama hanyalah
sarana untuk pemeliharaan dan pengembangan hidup keimanan umat. Terpenting
dalam lembaga agama adalah pemeliharaan dan pengembangan religiusitas dan
spiritualitas umat untuk mencapai kebaikan, keselamatan, dan kesejahteraan
(Hardjana, 2005:65--73).
Perbedaan antara
penghayatan agama dan penghayatan spiritualitas dapat digambarkan sebagai
berikut.
PENGAHAYATAN AGAMA
|
PENGHAYATAN SPIRITUALITAS
|
Dogma/doktrin/ajaran menjadi satu-satunya
pegangan pokok dalam menjalankan agama.
|
Dogma/doktrin/ajaran merupakan titik tolak
untuk mengenal Tuhan lebih jauh dan semakin dalam.
|
Ibadat/kultus merupakan kewajiban dengan sanksi
ganjaran atau hukuman.
|
Ibadat/kultus merupakan saat menghadap dan
hadir di hadapan Tuhan guna mempertanggungjawabkan hidup.
|
Moral/etika merupakan hukum dengan sanksi
ganjaran atau hukuman.
|
Moral/etika merupakan praktik untuk mengambil
bagian dan melaksanakan sifat-sifat Tuhan dalam hidup nyata.
|
Lembaga/organisasi mutlak untuk pelestarian
agama.
|
Lembaga/organisasi sebagai sarana untuk
mencapai tujuan hidup bersatu dengan Tuhan.
|
Sumber:
Hardjana (2005:74)
New Age: Model Keberagamaan Masyarakat Modern
Manusia membangun dan memelihara dunianya
melalui pengetahuan dan klasifikasi pengalamannya. Ini sebabnya dunia manusia
secara sosio-antropologis ditandai oleh keterbukaan perilaku karena manusia
hanya sedikit ditentukan oleh nalurinya. Dengan akal dan budinya, manusia membentuk
perilakunya melalui interpretasi dan pemahaman terhadap tindakan sosial yang
sedang berlangsung. Berdasarkan perilakunya, ia memaksakan suatu tertib pada
pengalamannya. Aktivitas pengaturan atau penertiban ini merupakan kegiatan yang
berlangsung terus-menerus. Oleh karena itu, Berger dalam Langit Suci: Agama Sebagai
Realitas Sosial (1994) secara
fenomenologis melihat bahwa kesadaran manusia sebagai kesadaran yang
intensional, yaitu kesadaran yang selalu terarah kepada objek. Sebaliknya, juga
kesadaran manusia dipengaruhi oleh objek di luarnya. Berdasarkan pandangan ini
Berger (1994:12) merumuskan relasi antara indivu dan masyarakat dengan segala
pranatanya secara dialektis sebagai berikut.
Masyarakat adalah suatu gejala dialektik, yaitu
suatu hasil manusia dan tidak lain daripada hasil manusia, tetapi terus-menerus
mempengaruhi kembali produsennya. Masyarakat adalah produk manusia. Ia tidak
memiliki adanya, selain yang diberikan oleh aktivitas dan kesadaran manusia.
Tidak ada kenyataan sosial yang lepas dari manusia. Akan tetapi, juga dapat
dikatakan bahwa manusia adalah hasil masyarakat. Biografi setiap individu
adalah suatu episode dalam sejarah masyarakat yang mendahului dan
melestarikannya. Masyarakat sudah ada sebelum individu dilahirkan dan tetap ada
sesudah individu mati. Di dalam masyarakatlah dan sebagai hasil proses sosial,
individu menjadi seorang pribadi, memiliki dan mempertahankan suatu identitas,
menjalankan berbagai perencanaan dalam hidupnya. Manusia tidak dapat hidup
tanpa masyarakat.
Menurut Satrapateja (Triguna, 2004) bahwa
hubungan antara manusia dan masyarakat pada dasarnya merupakan suatu proses
dialektis yang terdiri atas tiga momen, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan
internalisasi. Melalui eksternalisasi manusia mengekspresikan dirinya dengan
membangun dan memelihara dunianya. Melalui eksternalisasi ini masyarakat
menjadi kenyataan buatan manusia, kenyataan yang berada di luar manusia.
Kenyataan ini menjadi realitas objektif, yaitu suatu kenyataan yang terpisah
dari manusia dan berhadapan dengan manusia. Proses ini disebut objektivasi.
Masyarakat dengan pranata sosialnya mempengaruhi, bahkan membentuk perilaku
manusia. Dari sudut manusia dapat dikatakan bahwa masyarakat diserap kembali
oleh manusia melalui proses internalisasi. Artinya, melalui eksternalisasi
masyarakat menjadi kenyataan yang dibuat oleh manusia; melalui objektivasi
masyarakat menjadi kenyataan yang berhadapan dengan manusia; melalui
internalisasi manusia menjadi kenyataan yang dibentuk oleh masyarakat. Apabila manusia
melupakan bahwa masyarakat diciptakan oleh manusia, maka ia terasing atau
teralienasi.
Persoalan
yang dihadapi setiap masyarakat adalah proses sosialisasi, yaitu meneruskan
peranan sosial yang telah dibangun kepada generasi berikutnya. Dalam proses
sosialisasi itu makna dari pranata sosial harus dijelaskan sedemikian rupa
sehingga dapat diterima oleh individu. Fungsi legitimasi ini bersifat kognitif,
yaitu menjelaskan mengenai makna realitas sosial dan normatif yang memberi
pedoman berperilaku bagi setiap orang. Tujuan dari segala bentuk legitimasi
ialah mempertahankan realitas sosial. Beberapa bentuk tingkatan legitimasi,
antara lain dari kosa kata yang paling sederhana, meningkat pada kata-kata
mutiara, legenda, perumpamaan, perintah-perintah moral, sampai pada yang paling
canggih, seperti sistem simbol termasuk teori ilmiah (Triguna, 2004:30).
Menurut Berger (1994) secara historis,
agama merupakan satu bentuk legitimasi yang paling efektif. Agama merupakan
semesta simbolik yang memberi makna pada kehidupan manusia dan yang memberikan
penjelasan yang paling komprehensif dan holistik tentang realitas, seperti
kematian, penderitaan, tragedi, dan ketidakadilan. Agama merupakan suatu kanopi
sakral yang melindungi manusia dari khaos, situasi tanpa arti. Agama
melegitimasi institusi sosial dengan menempatkannya dalam suatu kerangka sakral
dan kosmis. Bentuk paling kuno dari legitimasi terdapat dalam konsep hubungan
antara masyarakat dan kosmos sebagai hubungan antara mikrokosmos dan
makrokosmos. Dalam kerangka kosmik itu peranan sosial, seksualitas, keluarga,
dan perkawinan merupakan mimesis, tiruan dari dunia sakral. Skema
mikrokosmos-makrokosmos sebagai pola legitimasi telah mengalami perkembangan
dari pola dunia mistis ke pola filsafat dan teologi.
Meskipun demikian, menurut Berger (1994:56)
bahwa corak hubungan itu masih tetap, seperti tercermin dalam konsep tao dalam
Taoisme dan dharma dalam Hinduisme. Akan tetapi menurutnya, pola ini mengalami
perubahan ketika kebudayaan mengkonsepsikan tentang hakikat manusia yang
rasional. Ini merupakan benih dari sekularisasi. Sekularisasi dimengerti
sebagai berubahnya pemahaman atau definisi tentang kenyataan dari kerangka
sakral kepada kerangka rasional. Ia merumuskan, sekuralisasi adalah
"proses di mana sektor-sektor masyarakat dan kebudayaan dipisahkan dari
dominasi institusi dan simbol-simbol religius”.
Perubahan kebudayaan yang dirangkum dalam
istilah ‘modernisasi’ telah lama menjadi pusat perhatian sosiologi klasik. Bagi
Weber modernisasi adalah meluasnya rasionalisasi melalui cara produksi
kapitalis, birokrasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Simmel melihat unsur
baru dalam modernisasi, yaitu nilai-nilai budaya, norma, dan makna dari pranata
sosial menjadi umum dan abstrak. Abstraksi budaya akan meningkat manakala
individu harus menerapkan peran yang berbeda-beda. Hal ini menumbuhkan
kesadaran ganda, "aku di sini" dan "masyarakat di sana". Selain
itu, Mannheim merumuskan modernisasi sebagai proses di mana rasionalitas
substansial diganti dengan rasionalitas fungsional. Lebih lanjut pemikiran ini
digarap oleh Mazhab Frankfurt. Dengan kata lain, modernisasi adalah suatu
proses diferensiasi sosial-struktural dan suatu generalisasi nilai, norma, dan
makna yang menyertainya. Oleh karena pengaruh industrialisasi, struktur
organisasi, dan institusional berlipat ganda, kanopi makna budaya tidak hanya
menjadi majemuk, tetapi juga menjadi umum dan abstrak mencakup ruang lingkup
realitas yang lebih luas. Akibatnya, munculnya gejala anomi dan pluralisasi
nilai. Marx melihat modernisasi sebagai munculnya kapitalisme dan berkembangnya
struktur yang eskploitatif yang pada gilirannya mengakibatkan alienasi (Andreski, 1989; Schoorl, 1991; Hardiman, 2003 dan 2009;
Lubis, 2004; Peacock, 2005; Jacob, 2006).
Bagi
Berger (1994) modernisasi atau modernitas adalah pluralisasi nilai, norma,
makna, dan simbol yang menjurus kepada segmentasi budaya dan kemajemukan
pandangan hidup. Akibatnya, setiap orang harus membuat pilihan, keputusan,
perencanaan sendiri. Ada peralihan dari nasib kepada pilihan bebas. Oleh karena
kanopi tradisional, yaitu sistem legitimasi, pada dasarnya bersifat religius
sehingga dampak modernitas sangat terasa dalam agama. Modernitas sebagai
pluralisasi pandangan hidup adalah transisi dari kanopi religius kepada kanopi
yang tidak religius lagi. Dengan kata lain, definisi religius tentang kenyataan
dalam berbagai sektor kehidupan bukan lagi merupakan satu-satunya definisi
tentang kenyataan. Di samping itu, definisi religius pada satu sisi menjadi
pribadi, sedangkan pada sisi lain menjadi sesuatu yang sangat umum. Dengan
sendirinya modernitas menimbulkan disorientasi dan rasa ketidakberartian hidup.
Manusia kehilangan kanopi atau tempat berlindung, yaitu situasi tanpa rumah (homeless).
Ini juga merupakan akibat dari perubahan
masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern yang menurut Abdullah
(2006:16) dapat dilihat pada tiga tahapan. Pertama, masuknya pasar ke dalam
masyarakat petani; kedua, terjadinya integrasi pasar; dan ketiga, ekspansi
pasar. Proses ini melahirkan privatisasi berbagai praktik sosial dengan
pemaknaan yang berbeda-beda dalam konteks general. Konstruksi nilai dilakukan
dengan sangat kompetitif antara agen-agen yang berbeda, baik oleh keluarga,
lembaga adat, lembaga agama, media massa, pemerintah, maupun pasar. Malahan
para penggagas teori modernisasi menegaskan bahwa dunia sedang berubah dalam
cara-cara yang mengkikis nilai-nilai tradisional. Pembangunan ekonomi hampir
tidak terhindarkan membawa kemunduran agama, kepicikan dan perbedaan agama
(Inglehart dalam Harrison dan Huntington (ed), 2006:132).
Dalam konteks ini Abdullah (2006:110--111)
menegaskan, modernisme dan globalisasi menyebabkan perubahan yang ditandai
dengan transformasi sistem pengetahuan, sistem nilai, dan sistem tindakan.
Pengaruh dari kecenderungan yang mengarah pada pembentukan status dengan
simbol-simbol modernitas yang menegaskan nilai-nilai otentik dapat dilihat pada
tiga dimensi yang berbeda. Pertama, transformasi sistem pengetahuan keagamaan
tampak dari perkembangan jenis pengetahuan yang beragam dan kualitas yang
bertingkat-tingkat. Kedua, perbedaan dalam sistem nilai keagamaan tampak
terjadi secara meluas ditandai oleh perbedaan alat ukur dan penilaian terhadap
dimensi keagamaan yang sama karena setiap kelompok memiliki relativitas
nilainya sendiri. Ketiga, berbagai praktik keagamaan yang tidak hanya berbeda,
tetapi juga bertentangan muncul dalam kehidupan secara bersamaan sehingga
totalitas menjadi tidak penting dalam kehidupan aktual.
Dalam hubungan ini, Alexander (1987:11) menggambarkan diferensiasi, antara lain dengan gejala
institusi secara gradual mengalami perubahan ke arah terspesialisasi;
pengendalian keluarga atas organisasi sosial semakin berkurang; pembagian kerja
diatur menurut kriteria ekonomi, tidak didasarkan pada usia dan jenis kelamin;
keanggotaan komunitas dapat lebih didasarkan pada politik dan teritorial, bukan
lagi didasarkan pada kelompok etnis; agama menjadi lebih tergeneralisasi dan
abstrak, serta secara institusional
lebih terfokus pada masalah keagamaan saja, kurang mencampuri aspek
kehidupan lain; dan generalisasi kultural mendobrak ikatan agama secara
keseluruhan sehingga agama mulai terdesak tidak hanya dalam fungsi kontrol
hirarkhisnya terhadap kehidupan kultural, tetapi juga wibawa institusinya.
Melemahnya tata nilai dominan menurut
Frieman (Abdullah, 2006:110) menyebabkan perbedaan-perbedaan praktik menjadi
kekuatan baru dalam proses pemaknaan kehidupan itu sendiri. Kekuatan
pusat-pusat kekuasaan berkurang sehingga tidak memiliki otoritas dalam penataan
sosial. Perbedaan-perbedaan yang tampak dalam dimensi ini merupakan dasar dari
perubahan reorganisasi kehidupan dalam berbagai aspek. Pengaruhnya dalam
keberagamaan dapat dilihat pada tiga proses yang menjadi tanda dari keberadaan
masyarakat modern dan sekaligus merupakan proses yang mendasari perubahan
pendefinisian agama. Selain perubahan pendefinisian agama, juga Abdullah
(2006:111) menjelaskan bahwa proses yang mendasari perubahan ini adalah proses
materialisasi, etos kerja kapitalistik, dan proses mobilisasi. Pertama, proses materialisasi kehidupan
yang menstransformasikan berbagai hal menjadi komoditi sehingga terjadi proses
komodifikasi secara meluas. Kedua,
tekanan sosial yang diakibatkan oleh etos kerja kapitalistik menyebabkan hidup
menjadi proses mencari nilai tambah secara material. Ketiga, proses mobilitas mempengaruhi berbagai bentuk reorganisasi
sosial, ekonomi, dan politik. Proses ini menurut Magnis-Suseno (1992:169)
melahirkan budaya modernitas yang ditandai oleh kuatnya pengaruh ideologi
pasar, budaya industri, dan budaya konsumen.
Dalam kerangka inilah komodifikasi agama dimaknai sebagai proses perubahan
dalam kehidupan keagamaan karena agama tidak lagi diposisikan sebagai sumber
nilai yang dibagi bersama, melainkan lebih merupakan rekognisi melalui proses
konstruksi, dekonstruksi, rekonstruksi yang bersifat individual dalam
penafsiran dan pemahaman secara terus-menerus. Ini menunjukkan bahwa dalam
masyarakat modern seorang individu atau kelompok dengan mudah dapat meracik
agamanya berdasarkan pengetahuan, selera, dan kepentingannya dengan mengikuti
logika pasar. Dengan demikian, fungsi dan makna esensial dari praktik
keagamaan, bukan lagi menjadi pertimbangan dominan untuk menentukan pilihan
religius, tetapi digantikan oleh pertimbangan nilai tukar yang akan diperoleh. Kalau
kan nilai tukar yang akan diperoleh semakin menguntung, maka semakin besar
kemungkinan pilihan itu dijatuhkan.
Konsumsi simbolis dan citra (image)
yang begitu dominan, sebagaimana tampak pada keberagamaan umat Hindu di Bali
misalnya, didemonstrasikan dalam kehidupan religius di desa pakraman. Pelaksanaan upacara-upacara keagamaan dalam skala
besar (uttama atau karya agung) di kahyangan tiga, seperti pamlaspasan, ngenteg linggih, mapadudusan
agung, dan mendem pedagingan.
Pelaksanaan upacara tersebut dipromosikan melalui spanduk-spanduk,
dipresentasikan dalam berita koran, menutup jalan berhari-hari, dan menjadi
kebanggaan bila dihadiri oleh pejabat-pejabat pemerintahan, baik kota/
kabupaten maupun provinsi. Model keagamaan seperti ini bukan saja mendulang
keuntungan secara ekonomis, berupa masuknya bantuan dari donatur dan
pemerintah, tetapi juga menjadi wahana unjuk kekuatan (show of power), pencitraan diri, kamuflase konflik internal, dan
tidak jarang mewakili bentuk dukungan pada seorang politikus menjelang
perhelatan politik. Ini menandakan bahwa konsumsi simbolik dan citra yang
menjadi bagian dari modernisasi dipandang fungsional oleh umat Hindu di Bali
untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Fenomena ini juga menunjukkan
telah terjadi disorientasi nilai religiusitas masyarakat modern sehingga agama
bukan lagi menjadi kanopi sakral.
Selain itu, juga respons agama terhadap
modernitas ditunjukkan dengan munculnya gerakan agama-agama baru dan
bentuk-bentuk quasi agama serta sinkretisme agama yang dalam perkembangan
gerakannya secara bersama-sama membawa berbagai elemen tradisi agama ke dalam
makna baru (Lester Kurt dalam Jamil, 2008:9). Malahan Featherstone (Abdullah
(2006:108) menegaskan bahwa telah terjadi pergeseran masyarakat masa kini dalam
tiga domain. Pertama, dominannya
nilai simbolis barang; kedua, proses
estetisasi kehidupan, dan ketiga,
melemahnya sistem referensi tradisional. Ketiga proses ini dalam kaitannya
dengan kecenderungan globalisasi dan mobilisasi merupakan konteks penting dalam
mempengaruhi redefinisi agama dan praktik kehidupan secara umum. Hal ini
sejalan dengan pemikiran Casanova (2003) yang memilah tiga unsur dalam teori
sekularisasi yang dipandang sebagai bagian esensial dari modernisasi. Ketiganya
adalah diferensiasi struktural yang terus berlangsung dalam ruang-ruang sosial
yang berakibat pada merosotnya peran agama dan partisipasi keagamaan;
privatisasi agama yang menjadikan agama tidak lagi memiliki signifikansi
publik; dan pemisahan agama dari wilayah kehidupan lain, seperti politik,
ekonomi, dan ilmu pengetahuan yang disebutnya “deprivatisasi agama”.
Fenomena munculnya gerakan-gerakan agama
baru di Bali misalnya, tampak dari kehadiran sampradaya dan kelompok-kelompok spiritual yang turut serta
memeriahkan dan mewarnai keberagamaan umat Hindu di Bali. Hal ini sebagaimana
ditunjukkan dalam Tabloid Suluh Bali
melalui tema utamanya, “Sampradaya Marakkan Bali” (Tabloid Suluh Bali Edisi
VI/Th.I/9 – 22 Nopember 2007). Selain itu, juga Pradnya dan Oka (dalam Majalah
Taksu 163:September-Desember/VII/2006; dan 165:Nopember-Desember/VII/2006)
menguraikan tentang Perseteruan Parisada Hindu Dharma Indonesia, Gerakan
Pengeja Agama Baru, bahkan pernyataan Anand Krisna bahwa “Bali perlu
kelompok-kelompok spiritual”.
Pada dasarnya New Age merupakan gerakan
spiritual baru yang muncul sebagai fenomena baru akibat dari adanya kehausan
spiritual dari kaum yang ingin menembus budi bersama. Pusat Studi Spiritual
Brahma Kumaris misalnya, menyatakan memiliki dedikasi untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat melalui pendidikan spiritual, moral, etika, dan
pengajaran meditasi untuk kemahiran dalam menjalankan kehidupan. Demikian juga
Ananda Marga mengusung tema spiritual Neo-Humanisme menyatakan bahwa semua
makhluk memiliki hak untuk hidup, hak untuk tumbuh dan berkembang di atas dunia
diklaim sebagai milik bersama. Sementara itu, Sai Studi Grup lebih menekankan
kegiatannya dalam bidang pendidikan, kebudayaan, dan agama berdasarkan Weda.
Oleh karena itu menurut Oka “tidak benar kalau Sai Studi Grup itu menentang
budaya Bali. Justru sebaliknya, dengan mengikuti kegiatan spiritual, diri kita
akan sadar di mana kita berada, dari mana kita, dan di mana kita tinggal”
(Taksu, 163:September-Desember/VII/2006; Taksu, 165,
Nopember-Desember/VII/2006; Raditya (edisi) 124:Nopember 2007).
Kegairahan keberagamaan umat Hindu di Bali,
juga menjadi perhatian Pradnya (Taksu:Nopember-Desember/VII/ 2006:hal 22-23).
Menurutnya manusia sering kali melakukan kesalahan atas nama agama. Fanatisme
sempit telah memabukkan dan menggelapkan mereka, sedangkan agama sendiri tidak
pernah mengajarkan demikian. Oleh karena itu, “jangan over acting!”, ungkap Ida
Pedanda Bang Buruan Manuaba (Taksu:Nopember-Desember/VII/ 2006:hal 20-21).
Kemudian, menjelaskan keberagamaan umat Hindu di Bali pada masa raja Udayana
hingga kehadiran Mpu Kuturan untuk menangani keresahan umat Hindu di Bali
berkaitan dengan banyaknya sekte yang saling mengunggulkan ajarannya
masing-masing. Berkaitan keresahan tersebut Ida Pedanda Bang Buruan Manuaba
(dalam Taksu: Nopember-Desember/VII/
2006:hal 20-21) menjelaskan sebagai berikut.
“Kalau kita tarik ke belakang, Bali pernah
mengalami seperti sekarang ini (berkembangnya kelompok-kelompok spiritual).
Munculnya berbagai kelompok spiritual, yakni pada zaman raja Udayana. Banyak
terdapat sekte-sekte dalam pemujaan Tuhan. Inilah yang menyebabkan
ketidakharmonisan masyarakat satu dengan yang lainnya. Dengan keadaan seperti
ini otomatis tidak efektif tatanan masyarakat karena pada saat itu semua sekte
mengagung-agungkan pujaannya, bahkan saling merendahkan satu sama lainnya.
Inilah yang menyebabkan pergolakan yang luar biasa di kalangan masyarakat
sehingga tidak efektinya pemerintahan pada saat itu. Akhirnya, raja meminta
bantuan kepada Mpu Kuturan untuk datang ke Bali menyelesaikan permasalahan yang
dialami masyarakat Bali”.
Pembusukan agama, sebagaimana diungkapkan
di atas pada prinsipnya sejalan dengan pandangan Kimball (Sindhunata, 2003:12)
tentang lima tanda yang dapat membuat agama busuk dan korup. Pertama, bila
suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran mutlak dan
satu-satunya. Kedua, bila timbul ketaatan buta kepada pemimpin keagamaan
mereka. Ketiga, bila agama mulai ganderung merindukan zaman ideal, lalu bertekad
merealisasikannya zaman sekarang. Keempat, bila agama tersebut membenarkan dan
membiarkan terjadinya “tujuan yang membenarkan cara”. Kelima, bila agama tidak
segan-segan memekikkan perang suci. Apabila sejarah telah membuktikan bahwa
dengan banyaknya kelompok spiritual (sekte) dalam keberagamaan telah
menyebabkan terjadinya pembusukan agama maka kehadiran sampradaya dan
kelompok-kelompok spiritualitas patut menjadi perhatian umat Hindu.
Dalam konteks ini Haryono (2005:20)
menegaskan, “sejarah tidak boleh berulang untuk kemanusiaan karena manusialah
subjeknya dan manusia bukan binatang buas ataupun sekrup pabrik yang kaku”.
Mengingat pada kenyataannya, modernisasi, selain membawa kemajuan bagi
kesejahteraan, tetapi pada umumnya juga membawa akibat-akibat negatif yang
tidak terelakkan. Salah satu akibat itu adalah marjinalisasi kebudayaan dan
sistem kepercayaan asli yang bersifat mistis. Implikasi sosialnya, ternyata
modernitas telah meminggirkan hal-hal yang dianggap tidak rasional.
Berdasarkan teori
dialektikanya, Berger menjelaskan bahwa proses sekularisasi agama dan efeknya
terhadap agama. Agama telah menolong membentuk realitas manusia sehari-hari,
dalam arti membentuk kemampuan manusia mengeksternalisasi dan mengubah realitas
yang ada. Sebaliknya, pada sisi lain kekuatan itu telah mendorong manusia
memodifikasi agama mereka (Triguna, 2004). Ini sejalan dengan pandangan Poloma
(1994:313) bahwa keseluruhan dunia objektif yang diterima manusia mencakup
aspek sakral yang diungkapkan oleh kepercayaan agama. Sejak dinternalisasi
manusia modern bentuk agama tidak lagi sesuai dengan ketika diinternalisasi
leluhur. Perubahan dalam realitas subjektif dengan cepat melahirkan perubahan
objektif terutama pada institusi keagamaan. Intinya, manusia rasional merupakan
benih dari sekularisasi, yaitu perubahan pemahaman atau definisi tentang
kenyataan dari kerangka sakral kepada kerangka rasional.
Berkaitan dengan itu Sukarma (Sarad, No. 110 Juni 2009) menyatakan
bahwa pengaruh modernisasi tampak melalui pergeseran epistemologi sosial dalam
masyarakat, yaitu dari ‘yang baik adalah yang benar’ ke ‘yang benar adalah yang
baik’. Masyarakat tradisional beranggapan, ‘apa yang baik menurut mereka,
itulah yang benar bagi mereka’ (kebenaran tidak dapat mendahului kebaikan). Sebaliknya,
masyarakat modern beranggapan, ’apa yang benar menurut mereka, itulah yang baik
bagi mereka’ (kebaikan tidak dapat mendahului kebenaran). Ukuran kebenaran
adalah akal dan rasio, ’yang benar’ adalah ’yang masuk akal’, ’yang
logis-rasional’ sebaliknya, yang tidak logis dan irasional adalah salah.
Artinya, masyarakat tradisional lebih mengedepankan moralitas daripada
rasionalitas, sedangkan masyarakat modern lebih mengedepankan rasionalitas
daripada moralitas. Walaupun ini bukan soal pilihan, tetapi dapat diduga di
antara moralitas dan rasionalitas ini umat mengalami anomali dalam kebingungan
berkepanjangan. Kebingungan rasionalitas menyebabkan ketersesatan moralitas,
karena itu umat mengalami kesulitan mewujudkan tujuan keberagamaan, yaitu kebaikan, keselamatan, dan kesejahteraan.
Penutup
Keberagamaan masyarakat modern ditandai dengan melemahnya pesona agama
formal dalam membangun religiusitas dan spiritualitas umat. Agama berdiri
sendiri tanpa hubungan dengan religiusitas. Ketika agama dilepaskan dari
religiusitas, maka dogma agama hanya menjadi rumusan-rumusan tentang ajaran
yang tidak berbeda dengan aliran pemikiran dalam filsafat; ibadat hanya menjadi
rangkaian tindakan dan ungkapan kosong sebagai perbuatan gaib, misterius, dan
aneh; moral agama hanya menjadi sekadar perintah dan larangan yang berkaitan
dengan ganjaran dan hukuman; dan lembaga agama menjadi tujuan tersendiri
sehingga orang beragama berebutan mencari pengikut. Akibatnya, agama semakin
jauh dari tujuannya untuk mewujudkan kebaikan, kedamian, dan kesejahteraan bagi
masyarakat dan dunia.
Nilai-nilai yang diwariskan oleh institusi agama formal tidak mampu lagi
mewadahi tuntutan masyarakat modern yang semakin rasional. Konsekuensinya,
praktik-praktik agama tradisional mulai dipertanyakan, direduksi, dan
disesuaikan dengan nalar rasional, bahkan tidak jarang mengalami disorientasi
nilai. Namun demikian, agama masih menyisakan harapan, sebagaimana dikatakan Auguste
Comte (Pals, 2003) bahwa pada masa depan akan berkembang agama humanitas ketika
masyarakat modern mampu mengemas dan menghadirkannya dalam bentuk lain, yakni
spiritualitas. Melalui agama humanitas
dimungkinkan penjelasan kemajuan pengetahuan mengenai hukum-hukum keteraturan
dan kemajuan sosial. Akhirnya, hal ini akan mendorong lahirnya ’penyembahan’
dan pengagungan terhadap humanitas sebagai bentuk kemajuan. Agama humanitas
melahirkan hari-hari ‘baik’ untuk menghormati orang tua, guru, seniman, ilmuan
besar, dan wanita yang telah mengabdi bagi kemanusiaan. Dalam banyak hal akan tercipta
berbagai ritus dan doa sebagai manifestasi hasrat individu yang paling dalam
dan memasukannya ke dalam the great being
of humanity (Johnson,1986:91-94).
Spiritualitas dalam bentuk New Age menjadi idola dalam keberagamaan
masyarakat modern yang menggejala pada satu dekade belakangan ini. Bagi
spiritualitas, dogma atau doktrin agama menjadi
titik tolak untuk mengenal Tuhan lebih jauh dan semakin dalam. Pada kedalaman spirit, Tuhan dikenali bukan hanya
sebagai yang fascinosum ataupun tremendum, tetapi dengan Tuhan manusia
menjalin hubungan mesra karena Tuhan dipandang menjadi sahabat, orang tua,
guru, dan kekasih – dalam konteks Hindu sebagaimana banyak diajarkan dalam Bhagavad Gita. Orang beragama bukan
sekadar mengikuti ajaran, melainkan mengikuti Tuhan yang memiliki ajaran.
Artinya, pemeluk agama tetap memegang ajaran agamanya, tetapi ajaran itu tidak
dilepaskan dari sumbernya, yaitu Tuhan.
Daftar Kepustakaan