Tri Hita Karana



Tri Hita Karana Dalam Diri

I  W a y a n  S u k a r m a

Tri hita karana adalah kesatuan harmonis palemahan, pawongan, dan parhyangan semesta alam, yakni penyebab, proses, dan tujuan kehidupan. Dalam kehidupan dimengerti menjadi kesatuan harmonis lingkungan alam, sosial, dan budaya. Dalam diri manusia dipahami menjadi kesatuan harmonis badan-ragawi, tubuh-mental, dan jiwa-rohani. Dalam pengalaman dinikmati sebagai kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan. Dalam keseharian orang Bali menjadi aturan kehidupan, pararem dan awig-awig. Semua itu pancaran ucapan, Om Bhur Bhwah Swah.     




   
Kemakmuran, Kesejahteraan, dan Kebahagiaan adalah bentuk sempurna kehidupan yang dicita-citakan manusia sepanjang zaman. Cita-cita itu lokus menggantungkan tujuan-tujuan dan harapan sehingga berada pada masa depan kehidupan. Manusia mencurahkan segenap pemikiran dan mengarahkan seluruh tindakan menuju ke masa depan dengan segala upaya. Proses kehidupan semacam ini senantiasa memaksa dan mengimbau manusia agar mengembangkan segenap potensi dirinya. Untuk itu manusia melibatkan diri dalam pendidikan dan kebudayaan agar semakin kuat, sehat, cerdas, bermoral, dan beriman, yakni menjadi manusia mandiri dan masyarakat madani. Upaya ini menunjukkan bahwa manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan dalam beragam pergaulan dan lingkungan. Pengalaman pendidikan yang memberikannya tanggung jawab menjaga, memelihara, dan mempertahankan tempatnya melangsungkan kehidupan. Tanggung jawab moral terhadap lingkungan ini sesungguhnya sudah melekat pada cita-citanya. Dalam tradisi Bali tanggung jawab semacam ini dirangkum menjadi Tri Hita Karana. Dalam praksis kehidupan menjadi aturan kehidupan, berupa pararem dan awig-awig.                    
Tri hita karana berarti tiga penyebab kesejahteraan, kesatuan harmonis palemahan, pawongan, dan parhyangan. Palemahan memaksa manusia menumbuhkan hubungan karib dan harmonis dalam lingkungan alam. Pawongan mengimbau manusia mengembangkan interaksi akrab dan harmonis dalam lingkungan sosial. Parhyangan mengingatkan manusia kembali membangun ikatan kekal dan harmonis dengan Tuhan dalam lingkungan budaya. Ketiga lingkungan ini menggambarkan lokus manusia melangsungkan kehidupan bersama dengan sesama makhluk dan benda-benda. Kehidupan bersama yang senantiasa merujuk pada kehadiran Sang Pencipta. Tanggung jawab dalam ketiga lingkungan ini menempatkan manusia menjadi pusat kehidupan, tetapi tidak mengatasi dan menguasai kehidupan untuk dirinya sendiri. Perhatikanlah skema berikut, tri hita karana sebagai penyebab berakhir pada akibat, maka tri hita karana adalah penyebab sekaligus tujuan. Antara titik sebab dan titik akibat terbentang garis harmonis, maka tri hita karana adalah penyebab sekaligus upaya. Harmonis mengandaikan kehidupan merupakan suatu orkestra semua makhluk dan benda-benda. Orkestra tri hita karana adalah penyebab, proses, dan tujuan kehidupan semua makhluk.          
Palemahan memaksa manusia bersikap arif dan bijaksana kepada makhluk hidup lainnya serta bersikap adil dan berimbang kepada benda-benda. Menumbuhkan sikap ini penting untuk menyadari kebenaran bahwa mustahil manusia dapat hidup sendiri tanpa hewan dan tumbuhan, apalagi tanpa tanah, air, dan udara. Membayangkan manusia tanpa tumbuhan saja terasa begitu mengerikan, apalagi tanpa tanah dan air. Bersyukur tanah dan air menjadi rebutan menandai kedua benda alamiah itu masih ada di tempatnya. Hewan dan tumbuhan masih berada di habitatnya ditandai dengan semakin ramainya perebutan hutan dan semakin eksotisnya kehidupan petani dan nelayan. Perebutan ini merupakan upaya mewujudkan kemakmuran, seperti disimbolkan Pura Swagina – Pura Subak, Pura Segara, dan Pura Melanting. Kemakmuran yang ditandai dengan kepemilikan benda-benda dan barang-barang hasil produksi, bahkan telah ambil bagian dalam menentukan status sosial dalam masyarakat. Hanya saja kehormatan status sosial yang ditentukan berdasarkan atas kemakmuran, bukanlah alasan bertindak semena-mena kepada makhluk hidup lainnya dan benda-benda.      
Kalau manusia tidak memenuhi tanggung jawabnya dalam lingkungan palemahan, maka yang akan terjadi bukan hanya kejahatan alam, bahkan kejatahan moral pun tidak dapat dihindari. Kerusakan alam dan kemerosotan moral akan menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan sehingga manusia semakin jauh dari cita-citanya. Sebelum mengalami penderitaan dan kesengsaraan, pawongan mengimbau agar manusia menjalin persahabatan. Manusia harus akrab dengan sesama dan mesti karib dengan makhluk hidup beserta benda-benda alamiah lainnya. Persahabatan adalah kehormatan, sedangkan permusuhan adalah kehinaan. Sesungguhnya kehormatan dalam persahabatan itulah kesejahteraan, yaitu wujud harmonis manusia dalam lingkungan pawongan. Harmonis inilah asal mula, keberadaan, dan tujuan susila agama Hindu. Kata “persahabatan” dan “kehormatan” memperoleh arti dan makna seluas-luasnya dalam pergaulan pendidikan dan kebudayaan. Pergaulan model ini dilandasi komitmen dan tujuan membangun manusia yang berakal-nalar, berakhlak-mulia, berbudi-luhur, dan bertindak spirit-religius. Apalagi di atas segala persahabatan dan kehormatan, bersahabat dengan Sang Pencipta dan terhormat atas kehendakNya adalah kebahagiaan, seperti diingatkan dalam lingkungan parhyangan.        
Tuhan menciptakan manusia menurut Thomas Aquinas karena Tuhan menghendaki agar manusia ada. Karena itu kodrat manusia justru karena diciptakan oleh Tuhan adalah sesuai dengan kehendak Tuhan. Peringatannya, “bertindaklah sesuai dengan kodratmu sebagai manusia, yaitu sempurnakanlah kemampuan-kemampuanmu, dan dengan ini engkau sekaligus akan mencapai kebahagiaan yang sebenarnya, serta memenuhi kehendak Tuhan”. Sederhananya, lingkungan parhyangan memberikan kewajiban religius sekaligus spiritual. Manusia harus mengerjakan perintah Tuhan dan mesti mewujudkan kehendak Tuhan, sebagaimana ajaran agama. Misalnya, acara agama Hindu mengajarkan tentang tata krama menjalin hubungan dengan Tuhan, seperti saat dan tempat yang tepat termasuk tata cara, tahapan, dan sarana perlengkapannya. Begitulah dalam lingkungan parhyangan, manusia diingatkan agar melaksanakan perintah dan kehendak Tuhan untuk merealisasikan kodratnya. Upaya memahami kehendak Tuhan dalam Taittiriya Upanisad (3:1) misalnya, dirumuskan dalam seloka berikut. “Dari mana semua yang ada ini lahir, dengan apa yang ada ini hidup, kemana mereka masuk ketika kembali, ketahuilah bahwa itulah Tuhan”.    
Rumusan, “dari mana semua yang ada ini lahir”, pada hakikatnya mengingatkan tentang hadirnya Jiwa yang bersifat kekal dalam diri manusia. Jiwa yang kekal itu tetap, tidak berubah. Kesempurnaan Jiwa berlimpah dan meluapkan hal yang bermacam-macam inilah yang disebut penciptaan. Rumusan, “dengan apa yang ada ini hidup”, seungguhnya hendak mengingatkan bahwa Jiwa tidak hadir hanya dalam diri manusia sendiri saja, tetapi bersemayam secara sama pada setiap makhluk. Jiwa hadir di mana-mana dan kapan saja. JIwa tidak dibatasi oleh ruang, waktu, dan tindakan. Rumusan, “kemana mereka masuk ketika kembali”, pada prinsipnya hendak mengingatkan bahwa Jiwa berada pada semua makhluk dan semua makhluk berada pada Jiwa. Tegasnya, “ketahuilah bahwa itulah Tuhan”. Menyadari bahwa semua Jiwa dan benda adalah Tuhan, maka manusia melihat yang-sama di mana-mana dan kapan saja serta menyadari bahwa Tuhan adalah inti dari setiap makhluk dan benda. Tuhan hadir dalam setiap Jiwa dan benda. Begitu sebaliknya, semua Jiwa dan benda itu hadir dan ada dalam Tuhan. Ikatan inilah kodrat manusia yang senantiasa diingatkan dalam lingkungan parhyangan.   
 Kalau Tunan hadir dalam Jiwa dan benda, juga Jiwa dan benda hadir dalam Tuhan, maka tri hita karana adalah Tuhan itu sendiri yang hadir dalam diri manusia. Gagasan emanasi semacam ini menjadi perdebatan panjang dalam Wedanta dengan bertumpu pada argumentasi Upanisad, Brahmasutra, dan Bhagawadgita. Dalam Bhagawadgita misalnya, gagasan emanasi diringkas menjadi filsafat pengetahuan dan filsafat tindakan. Filsafat ini mengandaikan manusia adalah peluapan Iswara sehingga Bhagawadgita menyimpulkan bahwa manusia adalah iswara-iswara kecil yang takluk. Manusia takluk kepada Iswara yang meluapkan segalanya termasuk manusia. Iswara menyadari segala badan, sedangkan kesadaran manusia dibatasi badannya sendiri, prakerti. Prakerti sebagai azas bendani juga membangun palemahan semesta, maka badan ragawi manusia adalah palemahan semesta. Palemahan badan ragawi manusia adalah realitas kebendaan yang penuh dengan batasan-batasan untuk menetapkan peristiwa, pengalaman, dan benda-benda. Batasan-batasan inilah prinsip yang menetapkan hukum alam bagi palemahan-badan-ragawi, sebagaimana hukum alam menertibkan peristiwa alam. Inilah yang menyebabkan prinsip palemahan-badan-ragawi manusia seirama dengan hukum alam.     
Prinsip dasar hukum alam adalah aktivisme. Prinsip ini banyak diperbincangkan dalam Mimamsa yang mengandaikan segalanya ditentukan berdasarkan gerakan, tindakan, perbuatan, dan kerja. Prinsip ini menyebabkan manusia tidak mampu menghindarkan diri untuk tidak berbuat, bekerja. Manusia dibuat tak berdaya oleh hukum alam. Pemaksaan ini terjadi sebab perbuatan sebagai energi dinamis kosmis menarik segala realitas ke dalam gerakan dan berputar dalam lingkaran hidup. Tidak ada apapun dapat melepaskan diri dari gerakan energi kosmis ini sebab di dalamnya semua realitas mendapatkan eksistensinya. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari hukum kerja sebab kerja bermakna perbuatan dan hasilnya, karmaphala. Inilah prinsip kemestian, seperti keniscayaan kewajiban tangan kepada badan. Prinsip keniscayaan kewajiban ini tidak memungkinkan manusia memiliki orientasi kepentingan, apalagi pamrih pribadi terhadap pekerjaannya. Mengingat seluruh hasil sudah melekat dalam kerja, seperti tangan menyuapi mulut tidak menikmati enaknya makanan, tetapi mendapatkan seluruh manfaatnya. Artinya, bekerja bukanlah hanya untuk kemakmuran palemahan badan, tetapi demi kesejahteraan yang bukan palemahan badan dan yang bukan palemahan badan adalah tubuh mental manusia. Inilah pawongan-tubuh-mental, lokus bersemayamnya Jiwa.    
Pawongan tubuh mental menggariskan bahwa tanpa kerja manusia tidak mungkin mencapai kebebasan. Hanya saja yang terjadi adalah manusia memang terkungkung dalam pekerjaan dan menjadi budak pekerjaan karena mengharapkan imbalan. Untuk melepaskan diri dari kungkungan kerja, pawongan tubuh mental mengimbau, “bekerjalah demi Yang Esa”. Kerja adalah persembahan, yadnya. Bekerja dalam semangat yadnya, maka kerja tidak memiliki daya belenggu. Inilah kerja atas dasar dharma. Kerja berdasarkan dharma dalam Bhagawadgita (XIII:29–34) dirumuskan melalui pemahaman berikut, “karma hanya dilakukan oleh prakerti dan jiwa tidak melaksanakannya, berbagai insan berdiam diri pada Yang Esa, Sang Diri Utama yang kekal bersemayam di tubuh ini, tidak berbuat dan tidak ternodakan, sang diri ada di mana-mana di sekujur tubuh, tak terlumuri noda, menerangi seluruh tubuh”. Jiwa yang bersemayam dalam pawongan-tubuh-mental adalah sinar suci menerangi ide-ide dan gagasan. Ide itu tetap, tidak berubah. Jiwa itu tetap, tidak berubah. Jiwa itu tidak pernah lahir dan tidak pernah mati, bahkan saat badan mati. Jiwa senantiasa ada tidak akan berhenti ada. Keberadaan inilah bentuk hamonis pawongan-tubuh-mental, yakni kekariban Jiwa dengan palemahan badan dan keakraban Jiwa dengan Yang Esa.
Keakraban ikatan Jiwa dengan Yang Esa senantiasa diingatkan dalam lingkungan parhyangan jiwa-rohani. Upanisad misalnya, menggambarkan ikatan ini dengan rumusan, “Brahman Atman Aikyam”, ‘Brahman Atman satu adanya’. Brahman adalah azas alam semesta dan Atman adalah azas pribadi. Atman berasal dari Brahman yang kekal, maka Atman juga kekal. Yang kekal hanya dapat dialami lewat yang kekal, maka Brahman hanya dapat dialami melalui Atman. Pengalaman ini menumbuhkan kesadaran bahwa semua kerja adalah kehendak Yang Esa dan manusia tidak melakukan apapun. Kesadaran ini tidak mudah, bahkan tidak mungkin diraih karena manusia melupakan ikatan dirinya dengan Yang Esa. Manusia melupakan ikatan dengan Yang Esa karena keterbatasannya. Keterbatasan ini disebabkan oleh banyaknya pengulangan kelahiran dan masa kehidupan sehingga manusia melupakan waktu. Oleh karena itu, manusia perlu diingatkan kembali tentang ikatannya dengan Yang Esa, agar kembali menyadari keilahiannya. Yang Esa tidak terjangkau oleh pikiran, perasaan, dan kehendak. Yang Esa gaib dipanggil dengan banyak nama, tetapi Ia hanya Satu, dan Tunggal adanya. Seperti dinyatakan dalam Chandogya Upanisad (IV.2.1), “Ekam eva adwityam Brahman”, ‘Tuhan hanya satu tidak ada yang kedua’.
Dalam mantra Trisandhya, keindahan Yang Esa dikumandangkan dengan ucapan, “Eko Narayanad na dwityo‘sti kascit”, ‘hanya satu Tuhan sama sekali tidak ada duanya’. Dalam Rg. Weda (I.164.46), Yang Esa dinyatakan sebagai Kebenaran Mutlak, seperti rumusan berikut, “Ekam sat viprah bahudha vadanti”, ‘hanya terdapat satu Kebenaran Mutlak, orang bijaksana menyebutnya dengan banyak nama’. Dalam Kakawin Arjuna Wiwaha dilantunkan menjadi sebaris persembahan, “Wahyadhyatmika sembahing hulun i jong ta tan hana waneh”, ‘lahir batin sembah hamba ke hadapan Tuhan tidak ada yang lainnya’. Upaya lahir dan batin ini sejalan dengan prinsip emanasi bahwa wujud lahir adalah badan material yang berubah, sedangkan bentuk batin adalah tubuh spirit yang tetap. Memahami wujud yang berubah mengantarkan pencarian kepada bentuk yang tetap karena wujud yang berubah mengalir dari dari bentuk yang tetap. Bentuk yang tetap itulah Kebenaran Mutlak. Kebenaran Mutlak inilah Yang Esa. KepadaNya seluruh pengetahuan, perbuatan, pengabdian, dan pengasingan diri patut dipersembahkan. Dalam mantra-mantra persembahan, Yang Esa diwujudkan menjadi pranawa suku kata suci Om.
Pranawa kata suci Om misalnya, diucapkan sebanyak tiga kali untuk membuka dan mengawali pemujaan dengan menggunakan mantra Trisandhya. Tiga suara Om ini untuk memantapkan hati dan menguatkan keyakinan pada pemujaan kepada Sang Hyang Widhi sebagai awal, tengah, dan akhir. Sang Hyang Widhi sebagai awal adalah pengada, pencipta dalam manifestasiNya sebagai Dewa Brahma. Sang Hyang Widhi sebagai tengah adalah penjaga, pemelihara dalam manifestasiNya sebagai Dewa Wisnu. Sang Hyang Widhi sebagai akhir adalah pamralina, penyempurna dalam manifestasiNya sebagai Dewa Siwa. Orang Bali dalam kesehariannya memahami ketiga manifestasi Sang Hyang Widhi itu sebagai Tri Murti, teologi sekaligus kosmologi desa pakraman. Setelah hati dan keyakinan semakin mantap kemudian, pemujaan dilanjutkan dengan mengucapkan puja Trisandhya dengan tenang, “Om Bhur Bhwah Swah”. Om itu Bhur adalah Sang Hyang Widhi sebagai palemahan-badan-ragawi. Om itu Bhwah adalah Sang Hyang Widhi sebagai pawongan-tubuh-mental. Om itu Swah adalah Sang Hyang Widhi sebagai parhyangan-jiwa-rohani. Inilah Tri Hita Karana dalam diri manusia.
Bergembiralah mereka yang mengetahui keberadaan Sang Hyang Widhi sebagai tri hita karana dalam dirinya. Pengetahuan sejati ini sanggup menerangi kehendak untuk merealisasikan kodrat sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Hanya saja pengetahuan ketuhanan itu tanpa batas selalu melampui kemampuan dan kesanggupan manusia. Dalam Siwatattwa misalnya, Sang Hyang Widhi sebagai Bhatara Siwa dijelaskan memiliki Kesadaran Agung, Paramasiwa berkembang menjadi Sadasiwa dan Siwatma. Kesadaran halus ini dirumuskan melalui beberapa kategori sebagai kriteria pengetahuan, tetapi kategori ini tidak merujuk langsung pada pemahaman tentang Bhatara Siwa. Keberadaan Bhatara Siwa dikatakan Eka sekaligus Aneka. Keberadaan ini tentu saja tidak terpikirkan karena pada kenyataan tidak ditemukan keberadaan seperti itu, tetapi pernyataan ini bukanlah pernyataan tanpa makna. Bhatara Siwa dikatakan sebagai penyebab pertama tanpa sebab memiliki kategori sthula, nyata; suksma, halus; para, agung; dan sunya, kosong. Barangkali dapat diandaikan sthula sebagai palemahan semesta, suksma sebagai pawongan semesta, para sebagai parhyangan semesta, dan sunya sebagai penyempurna kategori lainnya. Kemudian, manusia memahami sebagai kodrat dirinya sendiri.   
Begitulah tri hita karana yang sesungguhnya diri manusia itu sendiri menjadi dunia pengamatan karena kekuatan ilusi, Maya. Kekuatan sifat bendani menyelubungi kesadaran sehingga manusia beranggapan bahwa Jiwa yang diam sebagai yang berbuat selayaknya badan. Mengembalikan kesadaran inilah setelah menemukan tri hita karana dalam diri, manusia kembali lagi melanjutkan petualangan intelektualnya keluar diri. Petualangan keluar diri untuk mengamati gerakan realitas dunia keluar diri, seperti menentukan nilai setiap benda dan peristiwa. Nilai yang telah ditentukan menjadi upaya memahami gerakan realitas dunia masuk ke dalam diri untuk menyelami pengalaman Sang Diri. Pengalaman inilah pengetahuan langsung, pengetahuan sejati. Menurut Swami Rama pengetahuan langsung merupakan tangga pertama untuk menaiki tangga-tangga kerohanian berikutnya. Untuk itu, manusia membutuhkan keindahan parhyangan-jiwa; mementingkan kebajikan pawongan-tubuh; dan memerlukan kebenaran palemahan-badan. Kerjasama erat harmonis antara kebutuhan, kepentingan, dan keperluan tersebut memberikan semangat mengalami kehidupan bersama Tuhan. Kehidupan dalam kepenuhan kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan. Inilah hidup dalam kehormatan dan kemuliaan Tuhan. 

(Majalah Wartam Edisi Juni 2015)

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...