CATUR MUKHA:
Empat Wajah Pendidikan Hindu
I Wayan Sukarma
Dewa Brahma digambarkan memiliki empat muka (catur mukha) yang menghadap ke empat
penjuru mata angin. Dalam Matsya Purana diceritakan
bahwa Dewa Brahma mencipta seorang wanita cantik jelita dari dirinya sendiri
yang diberi nama Satarupa, Sawitri, Gayatri, Saraswati, atau Brahmani. Dewa
Brahma begitu terpesona dengan kecantikan wanita ciptaannya ini, sehingga
kemana pun bergerak wanita itu selalu diperhatikan. Demi menghindari rasa malu
atas tindakannya tersebut, terciptalah empat muka Brahma agar dapat melihat ke
segala arah tanpa perlu menoleh lagi. Menurut Padma Purana, sesungguhnya Dewa Brahma juga memiliki muka kelima
yang menghadap ke atas. Akan tetapi, muka yang kelima ini telah dipotong oleh Dewa
Shiwa karena saking gembiranya dengan ciptaannya itu, Dewa Brahma lupa
menghormat kepada Dewa Shiwa. “Kepala ini terlalu terang dan akan memberikan
kesulitan bagi dunia karena sinarnya melebihi cahaya seribu matahari”, begitu
kata Dewa Shiwa.
Dalam ranah pemikiran kontemporer, mitologi ini merefleksikan
keterjajahan manusia oleh pengetahuan yang diciptakannya sendiri. Kemuliaan
ilmu pengetahuan memang tidak perlu diragukan lagi, bahkan dilambangkan
melebihi terangnya cahaya seribu matahari. Ia menjadi pencerah, penuntun, dan
pembimbing kehidupan manusia, juga termasuk memberikan jalan bagi segala upaya
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi, mengagungkan
pengetahuan tanpa spirit rohani akan menyebabkan manusia terjerumus dalam kesombongan
dan keangkuhan, bahkan lupa pada hakikat tertinggi kehidupan. Secara simbolis,
hal ini tergambar dalam cerita bahwa keasyikan Dewa Brahma menikmati kecantikan
Saraswati telah membuatnya lupa untuk menghormat kepada Dewa Shiwa.
Kesombongan, keangkuhan, dan kealpaan inilah yang harus dihilangkan dari benak setiap
orang yang berpengetahuan, supaya pengetahuan tidak menjadi bumerang bagi
kehidupan.
Pencapaian manusia modern dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi, terbukti telah memberikan manfaat yang begitu besar bagi kehidupan.
Walaupun akibat negatif yang ditimbulkan, juga tidak kalah besarnya. Pendidikan
sebagai proses sosialisasi dan internalisasi ilmu pengetahuan tentu menjadi
institusi yang paling bertanggung jawab atas manfaat dan akibat pengetahuan. Oleh
karena itu, seluruh dasar, proses, dan tujuan pendidikan harus dikembalikan
pada hakikat manusia sebagai sentral dalam penataan hubungan dengan alam dan
Tuhan. Harmonisasi hubungan manusia, alam, dan Tuhan niscaya tercipta apabila dalam
diri manusia tertanam pengetahuan yang melibatkan kecerdasan intelektual,
emosional, spiritual, dan sosial. Keempat kecerdasan inilah yang kiranya dapat
dieksplorasi dalam catur mukha sebagai
empat wajah pendidikan Hindu.
Pertama, kecerdasan intelektual bahwa pendidikan Hindu harus mampu
membentuk manusia yang memiliki kemampuan nalar, cakap, terampil, kreatif, inovatif,
dan bertanggung jawab. Kedua, kecerdasan
emosional bahwa pendidikan Hindu harus mampu membentuk manusia yang mampu
mengendalikan diri, berperilaku baik dan bijak, berbudi pekerti luhur, serta
berwawasan budaya Indonesia. Ketiga, kecerdasan
spiritual bahwa pendidikan Hindu harus mampu membentuk manusia yang memiliki sraddha dan bhakti kepada Hyang Widhi, serta mencintai alam lingkungannya. Keempat, kecerdasan sosial bahwa
pendidikan agama Hindu harus mampu membentuk manusia yang mampu berkomunikasi
sosial, tertib, sadar hukum, kooperatif, dan demokratis.
Terbitnya Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 56 Tahun 2014,
sesungguhnya memberikan angin segar bagi dunia pendidikan Hindu.
Setidak-tidaknya, PMA ini dapat dijadikan payung hukum berdirinya
sekolah-sekolah umum bercirikan Hindu dari tingkat PAUD hingga SMA. Impian
sebagian besar umat Hindu niscaya terwujud dengan adanya payung hukum ini.
Tugas menanti sekarang adalah merancang model pendidikan Hindu yang akan
diterapkan untuk mewujudkan impian tersebut. Rancangan tersebut harus mampu
menampilkan empat wajah pendidikan Hindu sebagai pemandu umat Hindu dalam
mencapai tujuan hidupnya. Laksana patung Catur
Mukha yang berdiri tegak di tengah-tengah Kota Denpasar, ia menegaskan arah
kangin-kauh (timur-barat),
menunjukkan arah dan jalan yang harus dilalui, dan mengurai kesimpang-siuran lalu
lintas. Kiranya, wajah pendidikan Hindu dapat dibangun dalam spirit Catur Mukha.
(Majalah Wartam Edisi Mei 2015)