Jasmerah
Margarana
Napak Tilas
Rananggana Ksinatria
I W a y a n S
u k a r m a
Perjuangan kehidupan berlangsung dalam suasana peperangan
dan damai untuk menjaga kesepasangan dan kesetimbangan sistem kehidupan. Cerita
tentang percakapan seekor Kodok dengan Kaki Seribu barangkali menarik dijadikan
ilustrasi. Kodok penasaran dan bertanya kepada Kaki Seribu, “di antara seribu
kakimu itu, kaki yang manakah lebih dulu melangkah, apakah kakimu yang ke-25
atau yang ke-47?”. Ketika Kaki Seribu pun mencoba mengingat dan menghitung
kakinya yang mana lebih dahulu melangkah, seketika badannya tergulung dan terguling
menggelinding menuruni jalanan terjal. Rupanya, menentukan langkah kaki kiri
atau kanan, ibarat sebuah peperangan. Mengambil dengan tangan kanan atau kiri, bila
ditilik lebih seksama sesungguhnya adalah peperangan kecil dalam diri manusia.
Kalau begitu, apakah kehidupan adalah peperangan?
Peperangan
berlangsung antara dua kutub yang berbeda, berlawanan, dan bermusuhan. Dualitas
kutub semacam ini dengan mudah ditelusuri dalam diri sendiri, seperti kebutuhan
jasmani dan rohani, bahkan dialektika kegiatan akal dan budi. Di luar diri (sendiri)
tiba-tiba saja aku atau kami (setiap orang atau kelompok) mesti bertemu
dan harus berhadapan dengan liyanan,
seperti kamu dan mereka. Edmun Freud, seorang tokoh psikoanalisis beranggapan, “liyanan adalah penjajah yang memaksa
setiap kehadiran menegosiasikan eksistensinya dalam dunia sosial”. Anggapan ini
menggambarkan bahwa keseimbangan sosial dalam masyarakat tidak hanya bertumpu
pada keteraturan struktur dan ketertiban fungsi, tetapi juga pada konflik berkepanjangan.
Konflik ini berkaitan dengan kehadiran individu dan cara beradanya dalam dunia
sosial didorong beragam kebutuhan serta ditarik berbagai kepentingan dan keperluan.
Daya dorong dan daya tarik ini memberikan hak dan kewajiban sosial yang tidak
jarang tampil dengan wajah berbeda, berlawanan, dan bermusuhan. Peperangan tidak
bisa dihindari, karena itu dunia sosial pun menjadi arena pertempuran,
pertarungam, dan perebutan eksistensi yang tidak berkesudahan.
Sesungguhnya
tidak ada peperangan yang tidak pernah selesai. Apalagi peperangan untuk bertahan hidup itu berlangsung dalam medan pertempuran yang bernama dunia
sosial. Dunia sosial adalah realitas relatif, kenyataan yang berkembang seiring
dengan perubahan ruang, waktu, dan aturan kehidupan. Pada akhir peperangan muncul
harapan terwujudnya kedamaian, karena itu peperangan hanya dimungkinkan sejauh
tujuannya untuk mewujudkan kedamaian. Seperti kebiasaan orang Bali mengakhiri dan
menutup suatu pertemuan dengan ucapan, “Om
Santih Santih Santih Om”. Boleh jadi, ucapan ini merupakan gambaran tentang
kesadaran orang Bali bahwa kehidupan bukan arena-damai
yang hanya menyediakan jalan-damai. Orang
Bali menyadari bahwa di seberang jalan kebaikan terbentang jalan keburukan. Mereka
yang menempuh jalan kebaikan, suka ataupun tidak, akan bermusuhan dengan mereka
yang menempuh jalan keburukan. Dengan demikian, kedamaian memang mesti diperjuangkan
dan harus diupayakan dengan segala cara, bahkan melalui peperangan.
Selain
terwujudnya kedamaian, juga pada akhir peperangan muncul harapan mekarnya kesadaran
terhadap etika sosial. Betapa pentingnya menghargai sejarah dan jasa pahlawan,
seperti memuliakan nilai-nilai dan semangat perjuangan. Teladan kepahlawanan
dan semangat perjuangan memang dibutuhkan dalam masyarakat sedang berkembang,
yaitu dari masyarakat tradisonal menuju masyarakat modern, masyarakat industri.
Tentu saja berkembang menjadi masyarakat industri tanpa kehilangan identitas
dan jati diri sebagai masyarakat Indonesia. Seperti pesan Sukarno, Presiden
Pertama Republik Indonesia, “Jasmerah, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”. Pesan sekaligus peringatan ini
disampaikan dalam pidatonya yang terakhir pada perayaan Hari Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966. Ditegaskan, “bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai sejarah
dan jasa pahlawannya, karena itu sejarah sebagai hal terpenting yang harus
dipelajari segenap anak bangsa”. Kenyatannya setiap bangsa memang dibentuk oleh
dan dalam sejarahnya sendiri sehingga mempelajari sejarah merupakan cara tepat menghargai bangsa sendiri.
Mempelajari
sejarah bangsa memang menjadi hal terpenting karena berisi pengalaman dan
perjuangan setiap generasi. “Experience
is the best teacher”, pengalaman adalah guru utama. Guru yang menyediakan
informasi tentang masa lalu, mengajarkan cara menentukan tindakan pada masa
kini, dan cita-cita yang paling mungkin dapat dicapai pada masa depan. Perjuangan
adalah upaya serius dan sungguh-sungguh berksesinambungan sepanjang sejarah. Upaya
adalah proses, bukan hasil akhir. Pemikiran pun mengalir sepanjang sejarahnya
karena tidak ada suatu pemikiran yang stagnan dan berhenti pada suatu terminal
kebenaran. Dengan cara yang sama dapat dikatakan bahwa setiap generasi mewarisi
semangat perjuangan, berupa nilai-nilai yang terekam dan tersimpan dalam
sejarah bangsanya. Upaya pewarisan nilai biasanya ditempuh melalui proses pembelajaran,
sebagaimana tanggung jawab setiap generasi terhadap kebudayaan bangsanya. Barangkali
menerima tanggung jawab inilah dapat menjadi letak penting dan relevansi memahami
Sejarah Puputan Margarana, “Jasmerah
Margarana”. Upaya ini setidaknya dapat dimulai dari mengenal Monumen
Nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana, candi peringatan peperangan masa revolusi
fisik di Bali, “napak tilas rananggana ksinatria”.
Monumen
Nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana berdiri kokoh di Desa Marga, Kecamatan
Marga, Kabupaten Tabanan, Bali. Mendirikan monumen, berupa candi adalah ide dari I Nengah
Wirtha Tamu atau lebih akrab disapa Pak Tjilik, Ketua YKP Provinsi Bali
1951-1968 – seperti diceritakan dalam Puputan
Margarana: Pertempuran Terdasyat pada Masa Revolusi Fisik di Bali (2014). Gagasannya
bahwa candi adalah budaya nenek moyang Indonesia melambangkan kebesaran dan
keluhuran jiwa bangsa Indonesia, karena itu relevan untuk mengagungkan jiwa
pahlawan. Gagasan itu diterjemahkan menjadi gambaran Candi Pahlawan Margarana oleh
Ida Bagus Kalem, seorang pelukis sekaligus Veteran Pejuang Kemerdekaan. Setelah
gambaran candi itu ditetapkan sebagai pemenang sayembara, peletakan batu pertama
pembangunan Candi Pahlawan Margarana pun dilakukan pada 15 Mei 1954 dan
diresmikan pada tanggal 20 Nopember 1954 bertepatan dengan Hari Puputan
Margarana yang kedelapan.
Candi Pahlawan Margarana
itu merupakan bangunan inti dalam kawasan Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa
Margarana yang luasnya sekitar 25 hektar. Monumen, sebagaimana maksudnya adalah
bangunan atau tempat bersejarah yang umumnya dipahami sebagai candi atau tugu peringatan.
Tugu peringatan adalah tanda pengingat yang dibaca berulang-ulang oleh setiap
generasi sepanjang masa, agar tidak lupa pada sejarah bangsanya. Setiap generasi
mungkin menerima makna berbeda sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan
kebutuhan setiap masa. Masa penjajahan, masa kemerdekaan, masa pembangunan,
masa reformasi, dan masa kerja keras misalnya, akan menafsirkannya secara tidak
sama sehingga memperoleh makna berbeda. Artinya, Monumen Nasional Taman Pujaan
Bangsa Margarana bukanlah saksi bisu. Melainkan bukti sejarah yang berisi rekaman
semangat perjuangan dan menyimpan jasa pahlawan nasional masa revolusi fisik di
Bali. Begitulah candi-semangat yang merefleksikan
hutang-sejarah, berupa tanggung jawab
setiap generasi terhadap masa depan bangsanya.
Monumen
Nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana dibagi menjadi tiga kawasan, yaitu Taman
Karya Alam, Taman Seni
Budaya, dan Taman Pujaan Bangsa. Monumen ini terletak di sebelah
Utara jalan raya – dari Desa Marga menuju Desa Tunjuk – memiliki jalan ganda
semacam Bolevard. Ketika memasuki kawasan monumen, pengunjung melewati jalur
sebelah Barat sepanjang Taman Karya Alam hingga lapangan parkir yang dibatasi
oleh pohon Beringin. Pada bagian Barat Taman Karya Alam adalah Bumi Perkemahan
Pramuka dan pada bagian Timur berjejer Kantin, Toilet, Kantor Koperasi Taman
Pujaan Bangsa Margarana, dan rumah penduduk. Antara Taman Karya Alam dan Taman
Seni Budaya tidak dibatasi tembok, seperti dengan Taman Pujaan Bangsa dibatasi panyengker. Di tengah-tengah panyengker terdapat Pintu Gerbang untuk
jalan keluar-masuk dari Taman Seni Budaya ke Taman Pujaan Bangsa. Di depan
sebelah Barat Pintu Gerbang terdapat Papan Nama Monumen Nasional dan di sebelah
Timur terdapat Loket, tempat membeli karcis masuk. Di sebelah Timur Loket
terpampang Papan Daftar Para Pahlawan Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia
yang Gugur di Bali Tahun 1945-1950 disertai dengan Petunjuk Denah Nomor Para
Pahlawan.
Begitu
memasuki Pintu Gerbang di areal Taman Pujaan Bangsa, pengunjung disambut dengan
Patung Panca Bhakti, berupa patung petani, pejuang, pemuda, ulama, dan wanita
yang melambangkan persatuan dan kesatuan seluruh rakyat dalam perjuangan
kemerdekaan. Posisi areal Taman Pujaan Bangsa bagian Barat lebih tinggi
daripada bagian Timur. Pada areal yang lebih tinggi terbentang Lapangan Upacara
yang pada kedua sisinya di bagian Barat dan Timur terdapat dua unit bagunan
terbuka untuk berteduh. Di tengah-tengah sebelah Utara lapangan berdiri megah Candi
Pahlawan Margarana dikelilingi panyengker. Di sebelah Utara candi di luar panyengker
adalah Taman Bahagia, berupa hamparan 1.372 Nisan Pahlawan meliputi 11 orang tentara Jepang, 64
orang Alari, 644 remaja, 652 orang sudah berkeluarga, dan sebuah nisan pahlawan
tidak dikenal. Dari Taman Bahagia ke sebelah Selatan terdapat
Kolam, Meseum Sejarah Perjuangan, Padmasana Palinggih Ida Bhatara Dukuh Sakti,
Tamann Suci, Gudang, dan Bale Bengong.
Candi
Pahlawan Margarana sebagai bangunan
inti dalam areal Taman Pujaan Bangsa ukuran tingginya tujuh belas meter melambangkan Tanggal. Atapnya
bertingkat delapan melambangkan Bulan. Anak Tangganya
berjumlah empat dan Pondasi persegi lima melambangkan Tahun. Keseluruhan
Candi Pahlawan Margarana melambangkan 17 Agustus 1945, Hari Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia. Mempertahankan NKRI yang berdasarkan Pancasila inilah
tekad utama para pahlawan sehingga sudut setiap tumpang dibentuk segi lima melambangkan kebesaran
jiwa Pancasila. Stupa-stupa di puncak candi membentuk bulatan melambangkan
kebulatan tekad mempertahankan NKRI berdasarkan Pancasila. Tekad ini lagi ditegaskan
kembali dengan dasar pilar candi yang dipahat dengan kelima lambang Pancasila, berupa
Bintang, Kepala Banteng, Pohon Beringin, Rantai, serta Padi dan Kapas. Pada
bagian bawah badan candi berukiran Karang Asti melambangkan Dewa Kebudayaan. Pada
bagian atas badan candi berukiran Karang Manuk melambangkan Burung Garuda, Kendaraan
Dewa Wisnu. Di atas lubang pintu candi berukiran Karang Boma melambangkan Dewa
Kala Rudra, penjaga keselamatan. Di puncak candi dipasang bulatan berpahat Kepulauan
Indonesia di atas ukiran Bunga Teratai melambangkan kesucian.
Begitu
seringkasnya gambaran Candi Pahlawan Margarana melambangkan semangat dan tekad mempertahankan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Tekad
dan semangat ini ditulis dalam surat balasan I Gusti Ngurah Rai kepada Overste
Termeulen yang dipahatkan pada kelima sisi badan candi. Begitulah candi ini untuk
mengenang sejarah dan menghargai jasa pahlawan Puputan Margarana, peperangan Indonesia
melawan Belanda. Perang Kemerdekaan Indonesia ini terjadi pada 20 Nopember 1946
di Desa Adeng, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Peperangan
ini terjadi karena ketidakpuasan Indonesia dan kekecewaan rakyat Bali terhadap keputusan
dari perundingan Linggarjati 10 Nopember 1946 yang mengakui Negara Kesatuan Republik
Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Kekecewaan rakyat Bali, selain
karena Bali tidak termasuk ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, juga
karena Belanda membujuk Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai, Pemimpin Markas
Besar Oemoem Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia (MBO DPRI) Suda Kecil, diajak membentuk
Negara Indonesia Timur. Namun I Gusti Ngurah Rai menolak bujukan Belanda dan
melakukan perlawanan.
Perlawanan
I Gusti Ngurah Rai bersama Pasukan Ciung Wanara terjadi sekitar Banjar Kelaci
dan Subak Uma Kaang, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan. Pasukan Ciung Wanara
terdiri atas 96 orang dibagi menjadi empat pasukan lebih kecil. Pertama, Pasukan Ciung Wanara yang menghadapi
serangan Pasukan Belanda dari arah Timur dipimpin oleh I Gusti Ngurah Bagus
Sugianyar dan I Gusti Wayan Debes. Kedua,
Pasukan Ciung Wanara yang menghadapi serangan Pasukan Belanda dari arah Utara
dan Barat Laut dipimpin oleh I Made Sueta dan I Dewa Nyoman Kaler. Ketiga, Pasukan Ciung Wanara yang
menghadapi serangan Pasukan Belanda dari arah Selatan dan Barat Daya dipimpin
oleh Bung Made (mantan tentara Jepang) dan dibandu oleh I Ketut Sanur. Keempat, Pasukan Ciung Wanara yang
dipimpin I Gusti Ngurah Rai sebagai Pempinan MBO DPRI Sunda Kecil didampingi I
Gusti Bagus Putu Wisnu mengambil posisi di tengah-tengah, yaitu di Pura Ulun
Suwi Subak Uma Kaang.
Perang
puputan yang heorik itu berlangsung
selama sembilan jam dan pada akhirnya, seperti semangatnya semua anggota Pasukan
Ciung Wanara gugur sebagai pahlawan bangsa. Mula-mula diberitakan pasukan
Belanda tidak ada yang gugur, kecuali hanya seorang polisi milter luka ringan. Akan
tetapi, kemudian hari diketahui sekitar 350 orang anggota pasukan Belanda gugur
dalam Puputan Margarana. Kini persoalannya, bukan berapa banyak Pasukan Ciung
Wanara yang gugur sebagai pahlawan bangsa dalam Puputan Margarana, melainkan nilai-nilai
apa sajakah yang dapat dipetik dalam Puputan Margarana? Apakah generasi masa
kini dapat menfaatkan Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana menjadi
tempat belajar sejarah Puputan Margarana? Sejarah Puputan Margarana telah membuktikan
termasuk Puputan Klungkung, Puputan Jagaraga, dan Puputan Badung bahwa para
pahlawan gugur dalam peperangan karena kurangnya persenjataan, peralatan, dan perbekalan
serta lemahnya strategi perang. Keberhasilan suatu perjuangan, selain keberanian,
semangat, tekad, ketulusan, dan kegigihan, juga dibutuhkan peralatan dan
perlengkapan termasuk strategi yang memadai, seperti dianjurkan Catur Purusa
Artha.
Catur
Purusa Artha sebagai tujuan kehidupan sesungguhnya sekaligus dasar komitmen
moralitas yang menjadi landasan tingkah laku sang ksinatria. Sederhananya,
kalau kehidupan adalah peperangan, maka tujuan kehidupan adalah mencapai kemenangan.
Kemenangan yang paling mudah dicapai adalah bertahan dalam kehidupan. Untuk bertahan
dalam kehidupan dibutuhkan perjuangan, upaya serius dan sungguh-sungguh
berkesinambungan. Upaya inilah dilandasi hasrat yang kuat dan tujuan yang bulat
(kama), dibantu peralatan dan
perlengkapan yang cukup (artha),
didukung aturan yang jelas (dharma), dan
dilakukan secara bebas dan bertanggung jawab (moksa). Begitulah kama
menjadi semangat dan tekad perjuangan yang tidak pernah surut, artha menjadi persenjataan dan
perbekalan yang lengkap, dharma
menjadi kebenaran dan keberanian, serta moksa
menjadi kebebasan dan tanggung jawab terhadap kehidupan. Dengan begitu, musuh kehidupan,
baik yang datang dari kebutuhan, kepentingan, maupun keperluan dapat diselesaikan
secara aman dan nyaman. Pada akhirnya setiap orang adalah pahlawan kehidupan.
Menjadi
pahlawan kehidupan adalah tujuan kelahiran sebagai manusia, sebagaimana
disarankan dalam kitab Sarasmuccaya
bahwa manusia jahat adalah pecundang dan
pecundang adalah sampah sekaligus penyakit dunia. Sesungguhnya tidak ada
kesenangan apapun dalam kejahatan itu. Malahan karena melangar catur purusa artha, yaitu tujuan
kelahiran ke dunia, seorang pecundang selalu akan merasa kosong dalam setiap
perbuatannya. Kebahagiaan yang diperoleh pecundang pun bersifat semu. Artinya,
kehidupan pecundang adalah peperangan semu, karena itu dasar pecundang akan tetap
pengecut menjadi sampah dan penyakit dunia. Barangkali gambaran tentang
kehidupan pecundang menyebabkan Bung Karno merasa cemas
terhadap masa depan bangsa Indonesia seperti diungkapkannya berikut, “Perjuanganku
lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena
melawan bangsamu sendiri”. Kemerdekaan memang kebebasan membangun bangsa, tetapi
tidak mudah menata bangsa tanpa semangat membela dan keberanian menegakkan kebenaran,
seperti yang telah diwujudkan para pahlawan. Kesulitan ini barangkali yang
hendak ditunjukkan Bung Karno melalui ungkapan kecemasan itu bahwa bangsa yang
besar adalah bangsa yang mempunyai semangat dan keberanian menegakkkan kebenaran.
Semangat
dan keberanian menegakkan kebenaran itulah yang perlu ditanamkan dalam diri
sendiri, sebagaimana makna peringatan yang dapat diterima dari Monumen Nasional
Taman Pujaan Bangsa Margarana. Kenyataannya mengenal, memahami, dan mengendalikan
diri sendiri bukanlah upaya mudah. Untuk perjuangan itu, bahkan orang belajar
begitu banyak pengetahuan kebenaran dan meniru perbuatan baik sesuai dengan tradisi.
Apalagi kuda-kuda nafsu bergerak
semakin liar karena perkembangan dan kemajuan zaman menawarkan begitu banyak
kenikmatan. Kendali pikiran semakin
rapuh karena realitas kehidupan dalam waktu singkat mengalami perubahan yang
begitu banyak. Kereta badan pun
semakin sulit memilih dan menentukan jalannya karena jalan kebaikan dan
keburukan nyaris tidak mudah dibedakan. Akibatnya, atman, pemilik mutlak kereta badan
mengikuti frustrasi tubuh berkepanjangan
pada pengulangan kelahiran dan peperangan baru pun datang lagi dan terus berlanjut.
Padahal harapan terkahir setiap peperangan, sang
ksinatria amor ring acintya, hidup dalam kuburan-kekal. Rupanya, kehidupan bukan hanya yudha, tetapi juga rananggana,
peperangan sekaligus kuburan-abadi
sang ksinatria.
(Majalah Wartam Edisi Nopember 2015)