KETUHANAN WEDA
I Wayan Sukarma
Abstrak
Kitab suci dan sistem
ketuhanan merupakan aspek esensial dalam setiap agama. Malahan kedua aspek ini
seringkali digunakan untuk menentukan klasifikasi suatu agama, apakah termasuk
agama bumi atau agama langit. Agama bumi itu dimengerti sebagai agama yang lahir
dan tumbuh subur dalam kebudayaan suatu masyarakat. Sebaliknya, agama langit
adalah agama yang lahir dan tumbuh subur berdasarkan wahyu Tuhan. Artinya,
kitab suci kelompok agama bumi bukan wahyu Tuhan, sedangkan kitab suci kelompok
agama langit adalah wahyu Tuhan. Dikotomi agama semacam ini merupakan kelaziman dalam studi agama-agama, baik dalam tradisi
sosiologi maupun tradisi antropologi. Dalam studi agama-agama semacam ini
rupanya, agama Hindu diklasifikasikan menjadi agama bumi, bukan agama langit.
Weda, kitab suci agama Hindu bukan wahyu Tuhan. Alih-alih wahyu Tuhan, bahkan
agama Hindu diduga tidak memiliki sistem ketuhanan
yang jelas, sebagaimana monoteistik, yaitu paham ketuhanan agama langit dan
agama semitis lainnya. Pengklasifikasian agama semacam ini mendorong minat hendak menelusuri ketuhanan dalam Weda. Dengannya, dapat diketahui bahwa Weda itu wahyu Tuhan yang dipraktikkan sesuai dengan tradisi suatu masyarat. Weda mengajarkan bahwa Tuhan itu Prajapati, penguasa Rta dan Dharma.
Kata Kunci: Weda dan Sitem Ketuhanan Weda.
1. Pendahuluan
Zaman
kemajuan telah mendemontrasikan semakin
tingginya intensitas upaya saling mendominasi dan saling menundukkan antara
bidang kehidupan, bahkan antara mereka cenderung saling memperalat. Ini akibat
dari semakin intensifnya komunikasi dan interaksi yang membuat batas ruang dan
waktu menjadi tidak terlalu relevan. Sekat-sekat yang secara spasial dan
temporal memisahkan manusia semakin melentur, bahkan kabur sehingga identitas
begitu cair, bahkan seolah-olah semua telah lebur tanpa tanda pengenal.
Batas-batas wilayah, kebangsaan, kesukuan, ekonomi, politik, sosial, budaya,
dan agama semakin samar. Dalam semesta yang tanpa kejelasan identitas membuat
klaim-klaim kebenaran, kebijaksanaan, bahkan permainan moralitas menjadi tidak
begitu jelas sumber dan cara-cara mengurainya. Kondisi inilah yang memanggil
dan menghendaki agama agar kembali menjalankan perannya, yaitu mencerahi
bidang-bidang kehidupan. Agama secara sosiologi dan antropolgi memang memiliki
peran yang signifikan dalam pembangunan kesadaran tentang dunia-kehidupan
(Sukarma, 2009:27).
Agama mungkin
setua usia manusia, tetapi perkembangan kesadaran keagamaan tidak selalu
seiring dengan bertambahnya usia manusia. Mereka yang berpengetahuan harus
berkesadaran, karena itu mereka yang berpengetahuan agama harus berkesadaran
agama. Fakta bahwa banyak ketakutan dan kengerian disebabkan oleh mereka yang
berpengetahuan, tetapi tidak berkesadaran. Begitu juga tidak sedikit
kehancuran, bahkan kemusnahan ras manusia disebabkan oleh mereka yang
berpengetahuan agama, tanpa berkesadaran agama. Agama memang memiliki peran
yang signifikan membangun kesadaran tentang keseharian. Agama memang sudah menjadi tema menarik dalam diskusi antropologi dan
sosiologi sejak 1870, yaitu ketika Max Muller memperkenalkan ilmu agama (science of religion) – bahwa agama dapat diselidiki secara ilmiah. Malahan
kuliah umum perdananya di Universitas Oxford pada 1873 diterbitkan dengan judul
Introduction to the Science of Religion.
Muller yang juga dikenal sebagai ahli Hinduisme kuno dan menguasai bahasa serta
mitologi percaya bahwa studi agama memiliki banyak hal yang dapat disumbangkan
kepada sains dan agama. Melalui ilmu agama, Muller hendak menawarkan bahwa
sudah saatnya melihat agama secara baru dan objektif. Barangkali ilmu agama
dapat menggantikan pandangan para teolog (yang hanya ingin membuktikan
kebenaran agama mereka sendiri), yaitu dengan mencari pola, elemen, dan prinsip
yang seragam dalam agama-agama (Pals, 2001:5—6).
Upaya
menemukan pola dan prinsip-prinsip yang seragam
dalam agama-agama dilakukan Leonard Swidler dan Paul Mojzes (2000:8) dengan
merumuskan lima ciri utama agama, yaitu (1) creed
(iman), (2) code (aturan moralitas),
(3) community structure (struktur komunitas), (4) cult (peribadatan), dan (5) trancendence
(hubungan dengan yang transenden). Artinya,
suatu agama memiliki lima unsur pokok yang fungsional di dalam dirinya sendiri
dan terhadap unsur lain serta secara bersama-sama membangun struktur agama itu.
Iman bukanlah unsur berdiri sendiri tidak memiliki keterkaiatan dengan unsur
lainnya, namun justru arti dan makna iman begitu terikat dan tergantung pada
aturan moral dan unsur lainnya. Begitu juga dengan unsur moral dan peribadatan
begitu terikat dan tergantung pada struktur komunitas yang mendukung
keseluruhan gagasan agama dan hubungan dengan yang transenden.
Kemudian,
Glock dan Stark (Robertson (ed), 1988:295-297) menemukan bahwa agama terdiri atas lima dimensi yang saling kait-mengait, yaitu (1)
keyakinan, (2) praktik, (3) pengalaman, (4) pengetahuan, dan (5) konsekuensi.
Dimensi keyakinan berisikan pengharapan manusia religius yang berpegang teguh
pada pandangan teologi dan mengakui kebenaran doktrinnya. Dimensi praktik agama
mencakup tingkah laku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang
untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianut. Dimensi pengalaman
berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi,
dan sensasi-sensasi yang dialami seorang pelaku atau didefinisikan oleh suatu
komunikasi dengan suatu esensi ketuhanan, yakni dengan Tuhan, dengan kenyataan
terakhir, dan dengan otoritas transendental. Dimensi pengetahuan agama mengacu
pada harapan orang-orang beragama yang sekurang-kurangnya memiliki sejumlah
minimal pengetahuan tentang dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci, dan
tradisi-tradisi. Dimensi konsekuensi mengacu pada identifikasi akibat-akibat
keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari
ke hari.
Selain itu,
Hardjana (2005:51—52) menjelaskan bahwa dari penghayatan kesadaran mengenai
hubungan dan ikatan kembali dengan Tuhan munculah agama dengan empat unsur
utamanya, yaitu (1) dogma, doktrin atau ajaran; (2) ibadat atau kultus; (3)
moral atau etika; dan (4) lembaga atau organisasi. Dogma agama merumuskan
hakikat Tuhan yang dikenal, dialami, dan dipercaya kehendakNya untuk manusia
dan dunia. Ritual agama menetapkan cara yang seharusnya bagi penataan hubungan
manusia dengan Tuhan, antara lain di mana dan kapan hubungan itu diadakan,
serta cara dan bentuk hubungan manusia dengan Tuhan itu diselenggarakan. Moral
agama menggariskan pedoman perilaku, yakni pedoman yang menetapkan perilaku
yang sesuai atau tidak sesuai dengan pengalaman dan kepercayaan terhadap Tuhan
dalam hidup pribadi, masyarakat, dan dunia. Kemudian, lembaga agama mengatur
hubungan antara penganut agama dan hubungan mereka dengan pemimpin agamanya
dalam rangka penghayatan religiusitas secara bersama-sama.
Apabila
mengikuti rumusan agama yang dikemukakan Leonard Swidler dan Paul Mojzes
(2000), maka dapat diketahui bahwa iman agama Hindu adalah panca sradha, aturan
moralitas agama Hindu adalah susila,
struktur komunitas agama Hindu adalah parisada,
bentuk peribadatan agama Hindu adalah acara,
dan hubungan dengan sesuatu yang bersifat transenden agama Hindu adalah brahmawidya. Begitu juga jikalau
mengikuti rumusan agama yang dikemukakan Hardjana (2005), maka dapat dipahami
bahwa dogma atau doktrin agama Hindu adalah tattwa,
ibadat atau kultus agama Hindu adalah acara,
moral atau etika agama Hindu adalah susila,
dan lembaga atau organisasi agama Hindu adalah parisada.
Akan tetapi,
Hinduisme mewadahi beragam subagama sehingga di dalamnya berkembang beragam sistem pemikiran, keyakinan, dan
kepercayaan. Malahan Stevenson & Haberman
(2001:11) mengatakan bahwa perkenalan dengan
Hinduisme merupakan sesuatu yang menantang karena Hindu memiliki ciri-ciri yang
berbeda dengan tradisi agama besar lainnya terutama berkaitan dengan otoritas
pendiri ajaran, titik awal sejarah, dan teks utama. Senada dengan hal ini, juga
Takwin (2001:3) mengatakan bahwa sulit membedakan Hindu sebagai agama,
filsafat, dan kebudayaan karena Hindu adalah filsafat yang disempurnakan dengan
ketuhanan. Artinya, Hinduisme merupakan suatu tradisi yang beragam yang terdiri
atas bermacam-macam sistem pemikiran,
keyakinan, kepercayaan, dan kebiasaan sehingga upaya melakukan generalisasi
Hinduisme nyaris tidak mungkin.
Implikasinya
bahwa upaya mengklaim satu teks Hindu yang bersifat tunggal adalah kesia-siaan.
Begitu juga Stevenson & Haberman
(2001:15) mengatakan bahwa absurd untuk
mencoba menghadirkan kembali Hinduisme dalam suatu teks tunggal karena tidak
ada satu teks khusus yang dapat diterima sebagai otoritas oleh seluruh
masyarakat yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai pemeluk Hindu. Akan
tetapi, secara tradisi pemeluk agama Hindu mengakui Weda sebagai otoritas
tertinggi kitab sucinya. Pengakuan terhadap otoritas Weda ini menjadi penting
dalam sejarah perkembangan agama dan filsafat Hindu di India. Mengingat aliran
filsafat yang tidak mengakui otoritas Weda, seperti Buddha, Jaina, Carvaka, dan
Ajavika dianggap bukan bagian dari filsafat Hindu sehingga disebut Nastika
(Luniya, 2002:91). Sebaliknya, sistem pemikiran Hindu yang tergolong Astika dibangun
dan dikembangkan berdasarkan atas pengakuan terhadap otoritas Weda. Pengakuan
ini berupa diterimanya otensitas Weda sebagai bentuk penafsiran yang mendalam
dan radikal terhadap kitab suci Catur
Weda (Phalgunadi, 2010:30). Artinya, pengakuan terhadap otoritas Weda
menjadi syarat mutlak bagi segala macam perkembangan pemikiran dalam Hinduisme.
Hal ini
menegaskan bahwa agama Hindu secara internal memang memiliki masalah pluralitas
ajaran dan sumber-sumber ajaran. Masalah internal ini sekaligus mendorong munculnya masalah
eksternal, seperti tuduhan bahwa agama Hindu tidak memiliki kejelasan
tentang iman dan dogma, bahkan dituduh menjadi agama yang supersibuk dengan
ritual belaka. Tuduhan lain yang dapat kurang hebohnya, seperti tuduhan bahwa Hindu
adalah agama bumi, Hindu adalah agama penyembah berhala, Hindu adalah agama
yang mengajarkan pembunuhan, Hindu adalah agama perusak lingkungan, dan Hindu
adalah agama boros. Masalah yang lebih serius dapat muncul ketika
tuduhan ini dimaksudkan hendak melemahkan status agama Hindu dalam pluralitas
agama di Indonesia. Dalam konteks ini kiranya menjadi penting dan relevan
mengungkap Weda dan sistem ketuhanannya.
2. Sekilas Tentang Weda
Weda itu Sanatana
Dharma – kebenaran yang kekal dan abadi. Kata “Veda” dalam Sanskerta berasal dari urat kata ‘vid’ berarti ‘pengetahuan’ atau ‘mengetahui’. Weda bukan buatan
manusia (apauruseya). Isi kitab Weda
diwahyukan oleh Tuhan melalui para resi, para brahmana, dan para guru. Weda adalah wahyu Tuhan. Wahyu yang
didengar langsung Maharsi sehingga disebut Sruti.
Semula wahyu itu diteruskan oleh penerimanya kepada generasi berikutnya secara
lisan melalui garis perguruan (parampara).
Kemudian, Maharsi Wyasa dan murid-muridnya mengkodifikasikan ajaran Weda dalam
bentuk kumpulan mantra-mantra (samhita) atau juga disebut Catur Weda Samhita. Begitulah Weda disampaikan secara lisan, diucapkan,
dinyanyikan, dan kemudian ditulis secara sistematis. Jarak waktu antara
pewahyuan yang pertama dan pembukuan yang terakhir berlangsung selama
berabad-abad, kira-kira selama 1500 tahun (2000 SM hingga 500 SM). Pembukuan itu terjadi secara bertahap, yakni
pertama-tama yang terkumpul adalah bagian Weda yang disebut Samhita kemudian,
bagian Weda yang disebut Brahmana, dan akhirnya, bagian Weda yang disebut Upanisad.
Weda itu kekal karena kata-kata yang menyusunnya bersifat kekal. Garis
besarnya, Weda terdiri atas empat kelompok kitab (samhita), yaitu Rig Weda,
Sama Weda, Yajur Weda, dan Atharva
Weda. Dari Weda mengalir Upaweda
dan Wedangga. Weda Samhita disebut Sruti,
sedangkan Upaweda dan Wedangga disebut Smrti (Majumdar, 1998:33; Macmillan (ed), 2002:47; Gunadha,
2012:12).
Kitab Weda Samhita merupakan kumpulan mantera yang berbentuk syair yang digunakan untuk melakukan
pemujaan dan persembahan. Di dalamnya, juga berisi tenung,
sihir, dan segala yang berhubungan dengan magi khususnya Atharwa Weda. Kitab Brahmana berbentuk prosa berisi
peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban keagamaan terutama keterangan
tentang kurban, yadnya. Kitab
Upanisad berbentuk prosa berisi keterangan mendalam tentang asal mula alam
semesta dan isinya terutama tentang manusia dan keselamatannya. Inilah
garis-garis besar kitab-kitab sumber utama dalam agama Hindu, lebih luas lagi
Hinduisme (Zaehner, 1992).
Hinduisme
menaungi berbagai agama dan sub-agama yang berbeda-beda. Di India ada beragam
agama dan sub-agama yang berkembang yang memiliki akar tradisi dan dasar
religiusitas yang sama. Kebanyakan agama dan sub-agama itu memiliki kepercayaan
pada dewa-dewa yang jumlahnya sangat banyak, tetapi Zaehner (1992) melihat
bahwa panteon para dewa di dalam Weda secara kasar dapat dibagi dalam tiga
kelas, yaitu kelompok dewa dari surga, dari angkasa, dan dari bumi. Hal ini
sejalan dan disejajarkan dengan tiga kelas besar pembagian masyarakat India,
yaitu brahmana (pepimpin upacara agama), ksatriya (tentara dan raja), dan
waisya (petani dan pekerja). Ketiga kelompok kelas ini identik dengan dewa Agni
(api), dewa Indra (dewa perang), dan Visva Deva (dewa semesta). Walaupun
demikian, kesemua dewa itu hanya merupakan manifestasi dari satu dewa
Tertinggi, Brahman. Ini membuktikan
bahwa pada dasarnya Hinduisme merupakan suatu kepercayaan monoteistik, percaya
hanya pada satu Tuhan. Hinduisme, juga dikenal sebagai Sanatana Dharma,
“kebajikan abadi”.
Weda menjadi
landasan untuk mengerti Rta dan
memahami Dharma, yaitu dua hukum
kehidupan tertinggi. Rta mengajarkan
prinsip-prinsip hukum alam (logika) dan dharma
menganjurkan prinsip-prinsip hukum moral (etika). Menurut Gunadha (2012:18)
bahwa kedua hukum ini dijelaskan secara luas dan mendalam dalam Sruti. Tuhan dalam Weda disebut
Prajapati, yaitu penguasa dan pengendali Rta (Rtawan). Selanjutnya, Tuhan imanen dalam Rta dan Dharma yang diciptakannya sendiri.
Jadi, ketundukan pada Rta dan ketaatan pada Dharma menjadi kewajiban umat Hindu dalam dunia-kehidupan. Kitab Sruti menjadi sumber hukum kehidupan
tertinggi kemudian, dijabarkan dalam kitab-kitab Smrti, Sila, Acara, dan Atmanastuti. Hirarki hukum kehidupan ini dijelaskan dalam Manawa Dharmasastra, II. 6 berikut.
Idanim dharma pramanamyaha,
wedo khilo dharma mulam,
smrti sile ca tadvidam,
Acara’s ca iwa sadhunam,
atmanastutirewa.
Artinya:
Seluruh pustaka suci Weda
(Sruti dan Smrti) merupakan
sumber pertama dari
dharma. Kemudian adat istiadat, setelah
itu tingkah laku yang
terpuji dari orang-orang bijak yang
mendalami ajaran suci
Weda (sila), juga tata cara kehidupan
orang suci (acara), dan
akhirnya kepuasan pribadi
(atmanastuti).
Seloka
tersebut menegaskan bahwa Sruti
adalah Catur Weda yang menjadi sumber
pertama dari dharma, sedangkan Smrti adalah penjelasan atas tafsir
Weda. Weda Sruti terdiri atas Rig Weda, Yayur Weda, Sama Weda, dan Atharwa Weda. Rg Weda terdiri atas 1.028 sukta
(himne) dan 10.552 mantra terbagi
dari sepuluh mandala dan mandala masing-masing terdiri atas sukta atau varga (himne) dan sukta
masing-masing terdiri atas mantra. Yajur Weda terdiri atas 1.975 mantra yang tersebar kedalam 40 adhyaya. Adhyaya yang terbesar adalah adhyaya
12 yang terdiri atas 117 mantra dan adhyaya yang paling sedikit adalah adhyaya 39 terdiri atas 13 mantra. Yajur Weda terdiri atas dua bagian, yaitu Sukla Yajur Weda dan Krsna Yajur Weda. Sama Weda terdiri atas 1.875 mantra
yang sebagian besar diambil dari mantra-mantra Rg. Weda. Kemudian, Atharva
Weda terdiri atas 5.987 mantra,
20 kanda.
Secara garis
besarnya, Smrti dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Wedangga dan Upaweda. Wedangga terdiri atas Siksa (ilmu fonetik), Vyakarana (ilmu tata bahasa), Candha (lagu atau hymne), Nirukta (ilmu tafsir otentik), Jyotisa (ilmu perbintangan atau
astronomi), dan Kalpa (ilmu tentang
persembahan). Sementara itu, Upaweda
terdiri atas Itihasa (Mahabharata dan
Ramayana), Purana (cerita-cerita
kuno), Arthasastra (ilmu politik dan
kepemimpinan), Ayur Weda (ilmu
pengobatan), Gandharva Weda (ilmu
kesenian), Kamasastra (ilmu tentang kama dan seksualitas), dan Agama (kitab-kitab tantra) (Putra, dkk., 1985:9–19). Meskipun tampaknya teks Hindu
berbeda-beda, tetapi kebenaran kitab-kitab
Sruti dan Smrti
mutlak adanya. Hal ini seperti dijelaskan dalam Manawadharmasastra, II.10 berikut.
Srutistu vedo vijneyo,
dharmasastram tu vai Smrtih,
te sarvarthāwam imamsye,
tathyam dharmahi nirbabhau.
Artinya:
Sesungguhnya Sruti
(wahyu) adalah Weda, demikian pula Smrti adalah Dharmasastra.
Keduanya tidak boleh
diragukan dalam hal apapun juga, karena keduanya adalah kitab
suci yang menjadi sumber
dari hukum suci itu (dharma).
Kebenaran
absolut yang disampaikan Sruti, agar
dapat dijadikan landasan sistem nilai dalam
suatu masyarakat kemudian, diterjemahkan kembali dalam dunia-kehidupan yang memang
bersifat relatif. Sruti inilah yang
selanjutnya direfleksikan menjadi ajaran-ajaran Smrti, yakni tuntunan kehidupan dalam dunia relatif. Oleh karena
itu, refleksi Smrti dapat dikatakan
menjadi metode untuk memahami keseluruhan struktur dan isi Sruti. Hal ini seperti ditegaskan dalam Sarasamuscaya, 39 berikut.
Ndan Sang Hyang Weda, paripurnakena makasadana Sang Hyang
Itihasa mwah Sang Hyang Purana, apan Sang Hyang Weda ajerih ring wong akedik
ajinia.
Artinya :
Untuk mencapai
kesempurnaan dalam memahami Weda, maka pelajarilah Itihasa dan Purana terlebih
dahulu, karena Weda takut kepada orang yang sedikit ilmunya.
Sarasamuccaya tersebut menegaskan bahwa untuk mencapai kesempurnaan
pemahaman atas Weda dapat dilakukan dengan pembacaan mendalam terhadap Smrti, seperti Itihasa dan Purana.
Pentingnya mempelajari Smrti menurut
Gunadha (2012:20) untuk memahami Sruti
karena mempelajari Weda secara langsung akan menemukan banyak kesukaran. Dalam
kitab Nirukta dijelaskan bahwa
berdasarkan tingkat kesukarannya, mantra-mantra
Weda dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama,
Paroksa merupakan tingkat yang paling
sukar karena arti dan makna mantra Weda hanya dapat dijangkau melalui proses
pewahyuan. Hanya Maharsi yang memperoleh wahyu saja yang dapat memahami mantra
ini, karena itu tidak dapat dipelajari oleh masyarakat kebanyakan. Kedua, Adyatmika merupakan tingkat kesukaran menengah karena arti dan
makna mantra Weda hanya dapat dijangkau melalui proses penyucian diri. Hanya
orang yang suci jiwanya yang mampu menjangkau pengertian mantra Weda kelompok
ini. Untuk itu diperlukan kegiatan pemurnian diri melalui diksa, tapa, brata,
dana, punya, dan yoga, semadi. Ketiga,
Pratyaksa merupakan mantra Weda yang
arti dan maknanya dapat dijangkau melalui ketajaman pikiran dan indera. Jenis
mantra Weda ini yang paling mungkin dimengerti dan dipahami oleh orang
kebanyakan. Dalam hal ini, diperlukan wawasan yang luas berupa kemampuan berikir
kritis dan sistematis hingga dapat melihat kedalaman makna mantra-mantra Weda.
Inilah yang mendasari pentingnya mempelajari Smrti sebagai metode untuk
memahami struktur dan isi Sruti Weda. Dalam Smrti dapat dijumpai penjelasan
yang lebih rinci dan gamblang tentang Weda, bahkan berisi aplikasinya dalam
dunia-kehidupan.
Begitulah
Weda menjadi pedoman keberagamaan umat Hindu termasuk dalam kehidupan sosial untuk mencapai kemuliaan bagi semua.
Dengannya, Weda bersifat sanatana dharma,
yaitu kebenaran yang kekal sekaligus abadi dalam kebudayaan sehingga bersifat nutana, selalu muda dan segar. Mengingat
kebenaran yang kekal dan abadi itu diterapkan dalam kebudayaan sehingga
senantiasa diapresiasi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan zaman. Artinya,
Weda mengajarkan hakikat hidup, tujuan hidup, dan cara-cara menjalankan
kehidupan mulai dari pengertian mendalam tentang Tuhan dalam manifestasiNya
sebagai dewa-dewa, alam semesta dan hukum-hukumnya, serta pemahaman yang luas
mengenai moralitas. Selanjutnya, Weda diterapkan berdasarkan empat pertimbangan
utama, yaitu iksha (wawasan), shakti (kemampuan), dan desa (norma positif), kala (waktu).
Model
penerapan Weda seperti ini yang menjadikan Weda bersifat nutana dalam arti bahwa Hindu selalu tampil muda dan segar sesuai
dengan kebudayaan suatu masyarakat. Malahan ajaran Weda dapat dilaksanakan
secara fleksibel sesuai dengan kondisi masyarakat pada tempat (desa), waktu (kala, dan berdasarkan sastra agama (patra). Hal inilah yang menyebabkan agama Hindu mampu beradaptasi
secara dinamis dan dialektis dengan budaya-budaya lokal di tempatnya
berkembang. Ibarat Sapta Sindhu
(tujuh sungai suci) yang memberikan kesuburan bagi seluruh daerah yang
dialirinya. Fleksibilitas penerapan Weda seperti inilah menyebabkan agama Hindu
tampil dalam bentuk budaya dan/atau adat-istiadat di tempat agama Hindu
dipraktikkan. Model penerapan Weda seperti inilah yang melahirkan anggapan
bahwa Hindu adalah agama bumi, bukan agama langit. Padahal Weda itu kitab itu
wahyu Tuhan.
3. Sistem Ketuhanan Weda
“Hindu adalah filsafat yang disempurnakan dengan ketuhanan” (Takwin, 2001:3). Filsafat Hindu adalah pemikiran spekulatif
metafisis tentang hakikat brahman, atman,
maya, widya, kala, karma, dan moksa. Perbincanga pada Brahman berkembang pada Brahman
sebagai
Hakikat Tertinggi beserta seluruh emanasinya. Pengetahuan tentang Brahman dalam Brahmasutra, Upanisad,
dan Bhagavadgita disebut Brahmawidya (Phalgunadi, 2010:30--32). Brahmawidya adalah kata dalam bahasa Sanskerta yang artinya sama
dengan teologi, yaitu ilmu yang mempelajari Tuhan (Pudja (1999:3). Dengan demikian, brahmawidya dapat disamajajarkan dengan teologi
dalam konteks agama-agama. Teologi dalam bahasa Yunani theologia dibentuk dari
kata theos berarti Tuhan dan logos berarti wacana atau ilmu. Secara keseluruhan
teologi berarti wacana atau ilmu tentang Tuhan, antara lain memiliki pengertian
seperti berikut.
(1)
Ilmu tentang hubungan dunia Ilahi (atau ideal, atau kekal tak
berubah) dengan dunia fisik
(2)
Ilmu tentang hakikat Sang Ada dan kehendak Allah (atau para
dewa)
(3)
Doktrin-doktrin atau keyakinan-keyakinan tentang Allah (atau
para dewa) dari kelompok-kelompok keagamaan tertentu atau dari para pemikir
perorangan.
(4)
Kumpulan ajaran mana saja yang disusun secara koheren
menyangkut hakikat Allah dan hubungan-Nya dengan umat manusia dan alam semesta.
(5)
Usaha sistematis untuk menyajikan, menafsirkan, dan
membenarkan secara konsisten dan berarti, keyakinan akan para dewa dan atau
Allah (Bagus, 2002:1090).
Artinya,
teologi merupakan bagian dari metafisika yang menyelidiki hal eksisten menurut
aspek dari prinsipnya yang terakhir – suatu prinsip yang luput dari inderawi
tunggal. Objeknya adalah Tuhan, yaitu esensiNya, eksistensiNya, dan
aktivitasNya. Dengan begitu, ilmu tentang Tuhan tidak memberikan pengetahuan tentang
Tuhan yang dalam setiap hal sama dengan pengetahuan yang diperoleh dari ilmu
tentang objek-objek pengalaman inderawi. Pernyataan-pernyataan tentang Tuhan
tidak memberikan suatu pengetahuan yang memadai tentang Dia, tetapi semata-mata
hanya pengetahuan yang bersifat analogis (Bagus, 2002:1090). Menurut Pedikso
(Supryogo dan Tobroni, 2001:58) bahwa teologi merupakan upaya seluruh orang
beriman dalam menangkap, memahami, dan memberlakukan kehendak Tuhan melalui
konteksnya. Dengan kata lain, teologi adalah refleksi orang beriman tentang
bagaimana bentuk dan/atau nilai-nilai kualitas iman yang dimilikinya.
Apabila dapat disepakati bahwa iman adalah inti dari kepercayaan orang
beragama, maka teologi adalah rumusan iman yang wajib dipahami oleh umat
beragama sebagai landasan religiusitasnya. Oleh karena itu, untuk memahami
ide-ide tentang ketuhanan Hindu dapat ditelusuri dalam kumpulan teks Upanisad,
bahkan kitab ini dapat dijadikan sumber inspirasi dan rujukan utama. Akan
tetapi, juga Sangkaracharya menyatakan pentingnya dua teks lainnya, yaitu Brahmasutra dan Bhagawadgita sebagai rujukan otentik untuk memahami landasan
filosofis Weda. Dengan demikian, Upanisad,
Brahmasutra, dan Bhagawadgita merupakan tiga teks utama yang wajib dikaji untuk
memahami konsep ketuhanan Hindu. Ketiga teks ini disebut prasthanatraya (Klostermaier, 1988:107).
Weda itu itu kebenaran yang kekal dan
abadi – kekal berarti Weda itu entitis,
tetap, dan tidak berubah; sedangkan abadi berarti Weda itu berkembang sesuai
dengan kebutuhan zaman. Umat Hindu percaya bahwa Weda memiliki otoritas tertinggi
di antara kitab-kitab suci Hindu untuk menjelaskan konsep ketuhanan. Hakikat
Tuhan dalam Weda adalah Rtawan, yaitu
penguasa dan pengendali Rta. Ini sebabnya, tidak ada satupun fungsi kerja alam yang tidak
dikendalikan oleh Tuhan. Malahan Weda menyebutkan nama dewa-dewa yang menguasai
dan mengendalikan kekuatan-kekuatan alam, seperti
Surya (Dewa Matahari), Varuna (Dewa Laut), Indra (Dewa Hujan), Agni (Dewa Api),
Vayu (Dewa Angin), dan Aswin (Dewa Kembar). Dewa-dewa yang disebutkan dalam
Weda berjumlah 33 (tribhir ekadasi, tiga puluh tiga) (Phalgunadi, 2011:23). Dewa itu kekuatan mahaagung yang
menguasai dan mengendalikan semesta sehingga bergerak sesuai dengan garis
edarnya.
Dalam
perkembangan selanjutnya, konsep ketuhanan Hindu yang termuat dalam ajaran Weda
ini mendapatkan penjelasan secara lebih
luas dalam
kitab-kitab Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad. Kitab-kitab Brahmana
memahami Tuhan (para Dewa) sebagai penerima segala pemujaan dan persembahan (yadnya) sekaligus pemberi anugerah
kepada seluruh umat manusia. Penjelasan ini menjadi basis ajaran karma-kanda, yaitu ajaran tentang
pemujaan, persembahan, dan kurban secara tulus ikhlas. Kitab-kitab Aranyaka memusatkan perhatian pada
aturan-aturan moral yang diajarkan dalam kitab suci Weda. Hal ini melahirkan
ajaran upasana-kanda, yaitu prinsip-prinsip moral untuk mengarungi kehidupan
berdasarkan warna-ashrama- dharma. Sementara itu,
pembahasan konsep ketuhanan dalam Weda dijelaskan secara sistematis dan
filosofis dalam kitab-kitab Upanisad.
Penjelasan ini menjadi basis ajaran jnana-kanda, yakni upaya untuk mewujudkan realisasi diri (moksa) melalui pemahaman dan pengalaman
ketuhanan (brahmawidya). Pada
prinsipnya, ketiga kitab ini memberikan pandangan yang berbeda tentang Tuhan
Yang Satu.
Pada zaman
Weda (2000 SM – 500 SM) belum dikenal pemujaan
kepada Tuhan melalui perwujudan atau ikonisme. Pemujaan hanya dilakukan dengan
membaca, mengucapkan, dan menyanyikan mantra-mantra suci Weda. Persembahan dan
upacara kurban, juga dilakukan di tempat-tempat terbuka (Phalgunadi, 2011:25).
Ini menunjukkan bahwa untuk melakukan pemujaan yang benar sesuai dengan Weda
diperlukan tiga metode, yaitu membaca, mengucapkan, dan menyanyikan. Ketiga
metode ini mencerminkan bahwa kebenaran Weda harus diperoleh melalui pengalaman
langsung. Pemujaan dan persembahan kepada Tuhan yang dilakukan tanpa
menggunakan simbol ketuhanan tampaknya juga bersesuaian dengan ajaran Upanisad. Di dalamnya dijelaskan bahwa
Tuhan tidak mungkin dijangkau secara sempurna dengan segenap kemampuan manusia.
Mengingat setiap penjelasan tentang Tuhan selalu dibatasi oleh kemampuan
menggunakan bahasa dan simbol-simbol lainnya. Dalam hal ini, definisi tentang
aspek-aspek Tuhan yang dirumuskan senantiasa mengalami kebuntuan karena
eksistensi Tuhan berada di luar realitas yang dikenal manusia. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam Upanisad
bahwa Tuhan adalah neti-neti, bukan ini-bukan ini
(Zimmer, 2006).
Walaupun
demikian, upaya manusia memahami hakikat Tuhan tidak pernah berhenti karena
Tuhan yang misteri senantiasa menarik untuk diungkap. Ketertarikan para Maharsi
untuk memahami hakikat Tuhan melalui pengkajian mendalam terhadap ajaran suci
Weda telah melahirkan Sad Darsana
(enam sistem filsafat Hindu). Dalam sistem filsafat ini, Tuhan tidak hanya dipahami sebagai hakikat yang
transenden, tetapi juga imanen dalam ciptaanNya. Perdebatan tentang
transendensi dan imanensi Tuhan ini berlangsung secara intensif dalam pemikiran
Wedanta yang hampir seluruh perbincangannya disusun berdasarkan pada kitab-kitab Upanisad, Brahmasutra, dan Bhagavadgita
(Prasthanatraya). Adwaita-Wedanta yang dibangun oleh
Sangkara-carya menekankan pada keabsolutan Tuhan sebagai
satu-satunya Realitas – selain Tuhan adalah maya
(kepalsuan). Pandangan ini ditentang oleh Ramanuja dengan filsafat Dwaita-Wedanta yang menyatakan bahwa
terdapat dua realitas yang berbeda, yaitu Tuhan dan ciptaanNya. Kemudian,
Madhwa membangun filsafat Wisistadwaita-Wedanta dengan menyatakan bahwa Tuhan bersifat transenden, tetapi
imanen dalam ciptaanNya. Ketiga sistem pemikiran Wedanta ini memberikan pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan
sistem keyakinan dan konsep pemujaan Hindu di India. Apalagi pada saat
bersamaan, juga terjadi perubahan secara
radikal dalam sistem keagamaan Hindu di India.
Perubahan
yang dimaksud adalah munculnya sampradaya
(berbagai aliran atau mazhab keagamaan Hindu) terutama Shaiwa, Waishawa,
Ganapatya, Sora, dan Sakta. Pada saat bersamaan, juga perkembangan agama Hindu
di India ditandai dengan bangkitnya Tantrayana yang diyakini para ilmuwan
sebagai warisan agama Lembah Sungai Sindhu (Phalgunadi, 2011:27). Selain
pemujaan shakti – aspek feminin dari
para dewa – juga Tantrayana mengajarkan pemujaan dengan menggunakan yantra (simbol-simbol imaji), mantra (nyanyian suci), dan tantra (kekuatan magis) (Avalon,
1997:75). Ajaran Tantrayana ini berhasil memengaruhi seluruh mazhab yang
berkembang pada masa itu. Salah satunya penggunaan simbol-simbol imaji dewa (yantra) sebagai pusat orientasi pemujaan
dan persembahan. Dalam aspek yang lebih luas, juga nama dan jumlah dewa yang
dipuja mengalami penambahan secara signifikan seiring dengan semakin
kompleksnya kehidupan dan kebutuhan masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari
fleksibilitas ajaran agama Hindu yang terbuka pada berbagai penafsiran.
Begitu juga perkembangan agama Hindu di
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konstruksi keagamaan Hindu di India pada masa lalu. Hindu yang masuk ke Indonesia
sekitar abad pertama Masehi – bukti tertulis pada abad ke 4 Masehi, berupa
tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur bahwa raja
Mulawarman melakukan upacara yadnya
pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa – telah mewarisi sistem keagamaan
Hindu yang telah bersifat sektarian. Berbagai mazhab yang berkembang di India,
juga turut masuk ke Indonesia. Menurut Phalgunadi (2011:67) bahwa Shaiwa dan
Waishnawa merupakan dua mazhab besar yang masuk ke Indonesia, tetapi kedua-duanya
telah mendapatkan pengaruh Tantrayana sehingga disebut juga Shaiwagama dan
Waishnawagama. Oleh karena itu, sistem pemujaan dan ritual yang dilaksanakan
umat Hindu di Indonesia mengikuti pola-pola yang dibawa oleh mazhab
masing-masing. Dalam hal ini, juga termasuk konsep pemujaan dan persembahan
dengan menggunakan sarana, seperti berupa arca, pratima, pralingga, dan banten.
Sistem
keagamaan Hindu seperti itu didasari pada ajaran Brahmana, Shaiwa Siddhanta,
Vedanta, Mimamsa, Yoga, dan Tantrayana. Berkaitan dengan itu, juga ditegaskan
bahwa prinsip-prinsip ikonisme Hindu memang lebih cenderung bersifat
antropomorfis. Dalam hal ini, Tuhan diwujudkan (dinyasakan) sebagaimana manusia memahaminya, baik yang bersifat fascinosum (menarik) maupun tremendum (dahsyat). Para dewa umumnya
digambarkan sebagai yang fascinosum
misalnya, memiliki wajah rupawan dan kelebihan dibandingkan manusia biasa
seperti bertangan empat dan memegang berbagai senjata yang sesuai dengan fungsi
yang diharapkan oleh manusia. Sebaliknya, sifat tremendum umumnya digunakan untuk menggambarkan Tuhan dalam wujud
kekuatan yang mahadahsyat dan menakutkan (shakti)
misalnya, berwujud raksasa seperti barong
dan rangda. Dengan cara ini, umat Hindu akan mengalami pengalaman religius
ketika berhadapan dengan wujud-wujud tersebut karena Tuhan yang transenden
tidak mungkin terjangkau dengan pikiran manusia (neti, neti).
Penghayatan
umat Hindu terhadap Tuhannya, ternyata tidak hanya diwujudkan dalam pengarcaan
saja, bahkan sebuah batu dan pohon besar terkadang juga diberikan persembahan.
Hal ini dapat menimbulkan kekaburan tentang ikonisme Hindu, juga memantik
prasangka bahwa agama Hindu adalah animis sebagaimana kepercayaan masyarakat
primitif. Kepercayaan semacam ini, menurut Tylor (Pals, 2003:29) merupakan
kepercayaan yang paling purba dalam kehidupan religi di seluruh dunia.
Mengingat agama adalah belief in
spiritual beings, yaitu kesadaran manusia akan adanya jiwa (soul) yang berbeda dengan roh (spirit). Atas dasar pemikiran ini
kemudian, Tylor merumuskan teori religi, antara lain animisme, dinamisme,
politeisme, dan monoteisme. Animisme, yaitu mulai saat manusia percaya kepada
mahkluk halus yang menempati alam semesta. Dinamisme, yaitu keyakinan akan
adanya jiwa di belakang peristiwa-peristiwa alam. Politeisme, yaitu adanya
personifikasi terhadap jiwa alam ke dalam dewa-dewa alam. Kemudian, monoteisme,
yaitu penerimaan pada satu Tuhan.
Sejalan
dengan itu, Comte (Wibisono, 1983:12-13; Soeprapto, 2002:67-68) menyatakan
bahwa animisme dan dinamisme sejalan dengan perkembangan intelektual masyarakat
pada tahapan fetisisme dan politeisme. Fetisisme merupakan kehidupan masyarakat
yang didasari oleh pemikiran bahwa manusia harus menyesuaikan diri dengan
benda-benda alam yang dipandang mempunyai suasana kehidupan yang sama seperti
dirinya. Politeisme merupakan kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran
bahwa manusia harus menyesuaikan dan mengabdikan diri kepada keinginan
makhluk-makhluk yang tidak kelihatan di sekelilingnya. Keyakinan religi ini menurut
Koentjaraningrat, (1980:80--82) berhubungan dengan konsepsi manusia tentang
sifat-sifat Tuhan, wujud dari alam gaib (kosmologi), terjadinya alam dan dunia (kosmogoni), wujud dan ciri-ciri
kekuatan sakti, ajaran kesusilaan, dan
doktrin religi yang mengatur tingkah laku manusia. Sementara itu,
upacara religi yang dilaksanakan setiap saat dinyatakan sebagai bentuk
aktivitas dan tindakan manusia melaksanakan kebaktian kepada Tuhan, dewa-dewa,
roh nenek moyang, dan roh yang menempati benda-benda alam.
Penerimaan
umat Hindu terhadap sistem kepercayaan animis dan dinamis tersebut menunjukkan
bahwa agama Hindu mewadahi seluruh konsepsi teologi sebagaimana para antropolog
merumuskannya. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman tentang konsepsi teologi
Hindu secara utuh dan menyeluruh. Secara konseptual dapat dipahami bahwa
ketuhanan Hindu mengacu pada keyakinan Tuhan yang satu dipuja dengan banyak
nama. Hal ini dapat ditelusuri dalam Rg. Weda I.164.46, “Ekam Sat
Viprah bahudha vadanti”
(‘hanya terdapat satu Kebenaran Yang Mutlak, orang bijaksana (resi) menyebut dengan banyak nama’).
Tuhan yang dipuja dengan berbagai nama sesuai dengan tujuan pemujaan inilah
yang disebut istadewata atau dewata
yang diingini (Tim, 2002:42).
Pernyataan Rig Weda tersebut, juga diafirmasi lebih
tegas lagi dalam Jnanasidhanta yang menyebutkan “ekatwanekatwa swalaksana bhattara” (‘Tuhan Yang Eka dalam Yang
Beraneka, itulah disebut Bhattara’) (Sura, dkk, 1999:47). Dengan demikian,
Tuhan dalam agama Hindu bersifat monoteistis – Tuhan Yang Maha Esa – seperti
dijelaskan dalam Chandogya-Upanisad
IV.2.1, “Ekam Eva Advityam Brahman” (‘hanya ada satu Tuhan atau Brahman tak ada yang kedua’). Dalam mantram Trisandhya disebutkan “Eko Narayanaa na dwityo’sti kaccit”
(‘Tuhan hanya satu, sama sekali tidak ada duanya (yang kedua)’. Dalam Kakawin Arjuna Wiwaha, “Wahyadhyatmika
sembahing hulun i jong ta tan hana waneh” (‘lahir batin sembah hamba ke
hadapan Tuhan tak ada yang lainnya’). Akhirnya, dalam mantera-mantera, Tuhan
Yang Maha Esa diwujudkan menjadi Pranawa, yaitu aksara suci Om.
Berdasarkan
penjelasan tersebut jelas bahwa umat Hindu mempercayai dan menyembah Tuhan Yang
Maha Esa sebagaimana kepercayaan agama-agama semitis lainnya. Akan tetapi,
agama Hindu memberikan keleluasaan kepada umatnya untuk menghayati Tuhannya sesuai dengan pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman
religiusnya. Arca dan bebatuan yang
dijadikan sarana pemujaan dan yang dituduhkan sebagai “berhala”, bagi umat Hindu memang
tidak memiliki nilai secara material, kecuali makna yang disimbolkan oleh arca
itu. Semua itu adalah yantra (simbol,
imaji) untuk memberikan fokus pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tidak
mungkin dijangkau oleh daya-upaya manusia. Melalui simbol tersebut umat Hindu
berusaha menyatakan rasa bhakti, sujud syukur, dan memohon anugerah Tuhan.
4. Penutup
Perenungan,
pemujaan, persembahan, dan pelayanan adalah yadnya
yang paling utama. Dalam yadnya
terkandung rasa tulus ikhlas dan kesucian, rasa bakti dan pemujaan,
pelaksanaannya disesuaikan dengan tempat (desa),
waktu (kala), dan keadaan (patra) mengacu pada Weda. Model
penerapan Weda ini menyebabkan Weda bersifat nutana dalam arti bahwa agama Hindu selalu tampil sesuai dengan kebudayaan suatu
masyarakat. Hal ini menyebabkan agama Hindu mampu beradaptasi secara dinamis
dan dialektis dengan budaya lokal di tempatnya berkembang. Fleksibilitas
penerapan Weda seperti ini menyebabkan agama Hindu tampil dalam bentuk budaya
dan/atau adat-istiadat di tempat agama Hindu dipraktikkan. Akibatnya, lahirlah
anggapan bahwa Hindu adalah agama bumi, bukan agama langit. Padahal Weda itu
kitab itu wahyu Tuhan.
Umat Hindu percaya dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi, Weda memberikan keleluasaan
untuk menghayati Tuhan sesuai dengan pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman
religius. Arca bagi umat Hindu tidak memiliki nilai material, kecuali makna
yang disimbolkan oleh arca itu. Itu adalah yantra (simbol) untuk memahami dan memberikan fokus pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi Tuhan sebagai Kebenaran
abolut tidak berada di antara nama-rupa
dan tidak
mungkin dijangkau dengan segala daya-upaya
manusia. Kecuali, melalui simbol umat Hindu
menyatakan rasa bhakti, sujud syukur, dan memohon anugerah Tuhan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Avalon,
Arthur. (Penerjemah: K.Nila). 1996. Mahanirvana
Tantra: Arthur Avalon’s Tantra of the Great Liberation. Denpasar: Upada
Sastra.
Bagus,
Lorenz. 2002. Kamus Filsafat.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Gunadha,
Ida Bagus. 2012. Aneka Politik Hindu. Denpasar:
Widya Dharma.
Hardjana.
A.M. 2005. Agama, Religiusitas, dan
Spiritualitas. Bandung: Tarsito.
Pals,
Daniel L. 2001. Seven Theories of
Religion. Yogyakarta: Qalam.
Phalgunadi,
I Gusti Putu. 2010. Sekilas Sejarah
Evolusi Agama Hindu. Denpasar: Program Pascasarjana (S2) Ilmu Agama dan
Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia.
Pudja,
Gde. 1981. Bhagawad Gita. Jakarta:
Hanuman Sakti.
__________.
1999. Filsafat Hindu. Surabaya: Paramita.
Klostermeier,
Klaus K. 1988. A Short Introduction to
Hinduism. Oxford University Press.
Koentjaraningrat.
1989. Sejarah Teori Antropolgi I.
Jakarta: Universitas Indonesia Pers.
Luniya,
B.N. 2002. Indian Culture. Agra.
Robertson,
Roland (Ed.). 1998. Agama: dalam Analisa
dan Interpretasi Sosiologi. Jakarta: Rajawali.
Stevenson
& Haberman. 2001. Manusia dan
Kemanusiaan. Yogyakarta: Kanisius.
Sukarma, I
Wayan. 2009. “Ketika Wajah Bali Sudah Keriput” dalam Sarad, Nomor 111, Juli 2009:hal.27.
Suprayogo,
Imam, dan Tobroni. 2001. Metodologi
Penelitian Sosial-Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sura, I
Gde dkk. 1999. Siwatattwa. Denpasar.
Proyek Peningkatan Sarana Prasarana Kehidupan Beragama, Pemerintah Propinsi
Bali.
Swidler,
Leonard dan Paul Mojzres. 2000. Religious
Faith. London: Oxford University.
Takwin,
Bagus. 2001. Filsafat Timur Sebuah
Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur. Depok: Jalasutra.
Tim
Penyusun. 2002. Panca Yadnya. Denpasar:
Proyek Peningkatan Sarana/ Prasarana Kehidupan Beragama. Pemerintah
Propinsi Bali.
Zaehner,
Robert C., 1992. Kebijaksanaan Dari
Timur: Beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme. Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka
Utama.
Zimmer,
Heindrich, 2003. Sejarah Filsafat India.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.