KONSEP KETUHANAN DALAM BHAGAWADGITA
I Wayan Sukarma
Abstrak
Tuhan
merupakan aspek esensial dalam setiap agama. Oleh karena itu, ilmu tentang
Tuhan menjadi tema menarik dalam studi agama-agama, baik klasik maupun
kontemporer. Apalagi studi agama menempatkan agama menjadi inti dari kebudayaan
yang dipraktikkan dalam dunia sosial. Dengan begitu, agama merupakan fenomena
sosial kultural sebagai ekspresi religiusitas masyarakat beragama. Malahan
agama dalam konteks sosial telah mengambil bagian dalam menentukan batas-batas
identitas individu dan masyarakat. Agama telah mengambil bagian pada saat yang
paling penting pada pengalaman kehidupan manusia. Artinya, agama bukan hanya
mengikat individu dengan Yang Ilahi, tetapi juga manusia yang satu dengan yang
lainnya sehingga agama memang berimpit dengan kehidupan sosial. Dalam konteks
inilah pengetahuan tentang ketuhanan semakin diperlukan oleh umat Hindu.
Walaupun ajaran ketuhanan begitu banyak tersebar dalam kitab -kitab Hindu,
tetapi Bhagawadgita merupakan kitab
yang mengajarkan ketuhanan yang berperikemanusiaan. Ajaran ketuhanan ini
semakin dirasakan perlu ketika umat Hindu hendak membangun dan menata
dunia-kehidupan yang lebih produktif.
Kata Kunci: Ketuhanan dan Bhagawadgita.
1.
Pendahuluan
Hinduisme mewadahi beragam subagama sehingga di dalamnya
terdapat beragam keyakinan dan kepercayaan. Keberagaman ini justru menantang,
seperti dikatakan Stevenson & Haberman (2001:11) bahwa perkenalan dengan
Hinduisme merupakan sesuatu yang menantang karena Hindu memiliki ciri-ciri yang
berbeda dengan tradisi agama besar lainnya di dunia terutama berkaitan dengan
otoritas pendiri ajaran, titik awal sejarah, dan teks utama. Senada dengan hal
ini, Takwin (2001:3) mengatakan bahwa sulit membedakan antara Hindu sebagai
agama, filsafat, dan kebudayaan karena Hindu adalah filsafat yang disempurnakan
dengan ketuhanan. Dari kedua pernyataan tersebut kiranya dapat diketahui bahwa
Hindu memiliki kompleksitas ajaran yang luas dan mendalam sehingga para ahli
mengalami kesulitan menentukan posisi Hindu, baik sebagai ilmu, filsafat, agama
maupun kebudayaan. Kompleksitas ini ditegaskan oleh Stevenson & Haberman
(2001:12) bahwa Hinduisme merupakan suatu tradisi yang sangat beragam, terdiri
atas bermacam-macam kebiasaan dan keyakinan sehingga menjadikan upaya
generalisasi nyaris tidak mungkin.
Ini sebabnya upaya mengklaim dan menghadirkan satu teks
Hindu yang bersifat tunggal adalah kesia-siaan. Hal ini ditegaskan oleh
Stevenson & Haberman (2001:15) bahwa merupakan hal absurd untuk mencoba
menghadirkan kembali Hinduisme dalam suatu teks tunggal karena tidak ada satu
teks khusus yang dapat diterima sebagai otoritas oleh seluruh masyarakat yang
mengidentifikasikan diri mereka sebagai pemeluk Hindu. Akan tetapi, secara
tradisi pemeluk Hindu mengakui Weda sebagai otoritas tertinggi kitab sucinya.
Pengakuan terhadap otoritas Weda ini menjadi penting dalam sejarah perkembangan
filsafat Hindu di India. Mengingat aliran-aliran filsafat yang tidak mengakui
otoritas Weda, seperti Buddha, Jaina, Carvaka, dan Ajavika dianggap bukan bagian dari filsafat Hindu sehingga disebut Nastika
(Luniya, 2002:91). Sebaliknya, filsafat Hindu (Astika) dibangun dan
dikembangkan berdasarkan atas pengakuan terhadap otoritas Weda sebagai bentuk
penafsiran yang mendalam dan radikal terhadap kitab suci Catur Weda
(Phalgunadi, 2010:30).
Pada prinsipnya filsafat Hindu adalah pemikiran spekulatif
metafisis tentang hakikat brahman, atman,
maya, widya, moksa, dan kesalinghubungan antara yang satu dengan yang
lainnya (Phalgunadi, 2010:30). Mengingat filsafat Hindu memusatkan pembahasan
tentang brahman sebagai hakikat
tertinggi beserta seluruh emanasinya sehingga pengetahuan ini disebut brahmawidya (Phalgunadi, 2010:32). Dengan demikian, brahmawidya dapat disamasejarkan dengan teologi dalam konteks
agama-agama. Menurut Pedikso (Supryogo dan Tobroni, 2001:58) bahwa teologi
merupakan upaya seluruh orang beriman dalam menangkap, memahami, dan
memberlakukan kehendak Tuhan melalui konteksnya. Dengan kata lain bahwa teologi
adalah refleksi orang beriman tentang bagaimana bentuk dan/atau nilai-nilai
kualitas iman yang dimilikinya. Apabila disepakati bahwa iman adalah inti dari
keyakinan orang beragama, maka teologi adalah rumusan-rumusan iman yang wajib
dipahami oleh umat beragama sebagai landasan religiusitasnya.
Untuk memahami ide-ide tentang ketuhanan Hindu bahwa
kumpulan teks Upanisad dapat dijadikan sumber inspirasi dan rujukan utama. Akan
tetapi, juga Sangkaracharya menyatakan pentingnya dua teks lainnya, yaitu Brahmasutra dan Bhagawadgita sebagai rujukan otentik untuk memahami landasan
filosofis Weda. Dengan demikian, Upanisad (Wedanta), Brahmasutra, dan
Bhagawadgita adalah tiga teks yang
wajib dikaji untuk memahami konsep
ketuhanan agama Hindu. Ketiga teks ini disebut prasthanatraya (Klostermaier, 1988:107).
Artinya, konsep
ketuhanan adalah pengetahuan ketuhanan Hindu yang dirujuk dari prasthanatraya (Pudja, 1999:3). Dalam hal ini, Bhagawadgita merupakan salah satu rujukan yang perlu dikaji karena
kitab ini begitu banyak dirujuk dalam upaya pengembangan sistem keyakinan
Hindu. Walaupun demikian, sampai saat ini di Indonesia jarang ditemui referensi
yang secara khusus mengkaji konsep
ketuhanan dalam Bhagawadgita. Padahal
kitab ini cukup familiar bagi umat Hindu di Indonesia dan telah diapresiasi
oleh tokoh-tokoh Hindu dengan menerjemahkan Bhagawadgita
ke dalam bahasa Indonesia, seperti Mantra (t.t), Pudja (1981), Pendit
(1982), Tim Penerjemah Bhagawadgita
Menurut Aslinya karya Swami
Prabhupada A.C. Bhaktivedanta (1986), dan Agus S. Mantik (2009). Sementara
itu, kajian terhadap Bhagawadgita yang
dapat ditemui, antara lain Geguritan
Bhagawad Gita (Djelantik, 1971), Ajaran
Moral dalam Bhagawadgita (Sudharta, 1990), dan Intisari Bhagawad Gita dalam dua jilid oleh Bhakta Sri Satya Sai Baba (Drucker, 1988). Hal ini menegaskan bahwa Konsep ketuhanan dalam Bhagawadgita
merupakan salah satu aspek penting untuk dikaji lebih jauh guna memperkaya
pemahaman umat Hindu di Indonesia terhadap Bhagawadgita.
Walaupun demikian, penting dipahami bahwa konsep ketuhanan atau teologi tidak
hanya membahas rumusan-rumusan manusia tentang Tuhan. Akan tetapi, juga teologi
merupakan upaya untuk mempertemukan secara dialektis, kreatif, serta
eksistensial antara teks dan konteks, antara kerygma yang universal dan kenyataan hidup yang kontekstual
(Dharmaputra dalam Suprayogo dan Tobroni, 2001:58). Artinya, teologi merupakan
pengkajian, penghayatan (internalisasi), dan perwujudan (aktualisasi)
nilai-nilai iman (ketuhanan) dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan.
Jalinan keterhubungan antara teologi dan kemanusiaan merupakan masalah
kontemporer dalam kajian sosiologi agama. Mengingat tidak jarang bahwa kultur
kekerasan (culture violence) dalam
suatu agama bersumber dari teologi yang dianut (Azra, 2011). Apabila pendapat
ini dijadikan pijakan dalam mencermati gejala sosial kontemporer terkait dengan
munculnya kekerasan atas nama agama yang marak belakangan ini, maka setiap
agama mempunyai tanggung jawab untuk merekonstruksi teologinya dengan
mengedepankan nilai-nilai humanitas. Di sinilah teologi humanitas mendapatkan
arti penting untuk mengejawantahkan ajaran tentang ketuhanan yang abstrak dalam
praksis kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dengan demikian, pemahaman mengenai ketuhanan dipandang
penting untuk membangun religiusitas umat Hindu secara holistik dan integral
dalam kerangka tattwa, susila, dan acara. Dalam hal ini, Bhagawadgita dapat dijadikan salah satu
rujukan yang layak dikaji, seperti dijelaskan Sudharta (1990:2) bahwa selain
konsep yoga dan teologi, juga moralitas merupakan aspek penting
dari ajaran Bhagawadgita. Hal ini
menegaskan bahwa Bhagawadgita sebagai
teks Hindu memiliki keunggulan tersendiri karena sifat ajarannya yang
komprehensif tentang teologi humanitas. Pernyataan ini tentu tidak dimaksudkan
untuk mengabaikan teks-teks Hindu lainya. Artinya, melalui pengkajian yang
mendalam terhadap aspek-aspek teologi atau konsep ketuhanan dalam Bhagawadgita diharapkan dapat memperkaya
referensi tentang agama Hindu. Inilah aspek penting dan relevansinya mengkaji Bhagawadgita sebagai upaya pengayaan
ilmu agama khususnya konsep ketuhanan.
2.
Ringkasan Bhagawadgita
Bhagawadgita terdiri atas 18 bab dan 700 seloka. Tiap-tiap bab membahas topik
perkara secara khusus. Menurut Pudja (1999) Bhagawadgita
adalah Itihasa, yaitu bagian dari Bhisma Parva dalam kitab Mahabharata
sebagai puncak dialog antara Krishna dan Arjuna. Bhagawadgita penting dibahas karena secara umum menjadi satu
suplemen dalam mempelajari Catur Weda. Hal ini diungkapkan oleh Gunawan (Pudja,
1999) bahwa Bhagawadgita adalah kitab
suci yang memuat tentang sari pati ajaran Weda atau sari pati ajaran agama
Hindu.
Bhagawadgita (selanjutnya demi efisiensi penulisan disebut dengan Gita saja)
terjemahan Pudja (1999) dapat diuraikan secara ringkas sebagai berikut. Bab I
berjudul Arjuna Visada Yoga terdiri
atas 47 seloka. Bab ini dimulai dengan keraguan yang timbul pada diri Arjuna
setelah menyadari akibat peperangan yang dapat terjadi dan dinilai bertentangan
dengan ajaran agama. Dalam bab ini diuraikan pula gambaran situasi di padang
Kuru tempat terjadinya perang saudara. Masalah yang dihadapi oleh Arjuna adalah
pertentangan ‘nilai religi’ yang pada dasarnya agama mengajarkan ajaran ahimsa. Sehubungan dengan itu membunuh
guru merupakan dosa besar (maha pataka). Ajaran Vairagya sebagai sistem pencapaian tujuan moksa. Timbulnya kemerosotan moral dan musnahnya tradisi leluhur
sebagai ekses terjadinya peperangan dan timbulnya kekacauan dalam sistem varnasrama dharma termasuk persepsi timbulnya kekacauan dalam jatidharma dan dharma. Arjuna juga melihat
secara empiris pada hakikatnya banyak terjadi pertentangan di dalam penerapan
ajaran moral agama. Dengan demikian bila tujuan hidup agama itu harus
direalisasikan apa pun dalihnya peperangan itu bertentangan dengan agama. Akan
tetapi Arjuna menyadari pula bahwa ia tidak mengingkari kemungkinan berbagai
alternatif lain, tetapi untuk memantapkannya Arjuna mengharapkan bimbingan dari
Krsna untuk keluar dari kebingungan itu.
Bab II berjudul Sāmkhya
Yoga terdiri atas 72 seloka. Krsna yang menanggapi pandangan dan perasaan
yang dialami oleh Arjuna menjelaskan dasar pemikiran sebagai berikut. (1) Sifat
lemah yang ada pada setiap diri manusia menyebabkan mudah menyerah pada
keadaan. Sifat lemah ini disebut anarya.
Sifat putus asa seperti ini pada hakikatnya bertentangan dengan ajaran agama
Hindu yang mewajibkan agar tidak berputus asa dalam segala hal. (2) Kebodohan
atau avidya pada hakikatnya
menimbulkan kesalahan dalam memahami terutama masalah kirti dan yasa. Pada hakikatnya
Krsna melihat bahwa masalah Arjuna bersumber pada masalah ini sehingga dicoba
menjelaskan hakikat hidup dan tujuan hidup sebagaimana diajarkan oleh ajaran Sāmkhya -Yoga. Pada dasarnya Sāmkhya
-Yoga adalah ajaran kefilsafatan (tattva
darsana), yaitu Sāmkhya merupakan ajaran rasionalisme atau Jñāna-yoga. Yoga
merupakan ajaran disiplin moral sebagai upaya untuk mencapai tujuan hidup
beragama (moksa). Kedua dasar ajaran
ini didasarkan pada konsep Upanisad
yang menguraikan bahwa tujuan hidup manusia pada hakikatnya dapat dicapai
melalui dua jalan, yaitu Pravrtti Marga dan Nivrtti Marga. Kedua
dasar ajaran itu hendaknya dipahami dengan tepat agar tujuan hidup beragama
dapat dicapai dengan baik, yaitu dharma, artha, kama, dan moksa.
Bab III berjudul Karma
Yoga terdiri atas 43 seloka. Bab ini membahas dasar-dasar pengertian Karma
Yoga yang dibedakan dari ajaran Sāmkhya
Yoga. Kedua ajaran ini dibahas dari aspek ajaran Sāmkhya dan Yoga. Dengan memahami kesalahan pengertian Karma Yoga sebagai satu sistem yang
dianggap bertentangan dengan sistem samnyasa
Krsna mencoba menegaskan makna ajaran karma
yoga secara lebih mendetail. Jñāna
dengan ajaran Jñāna Yoga merupakan
inti ajaran Sāmkhya sebaliknya karma atau tindakan tidak harus berarti
sama dengan Jñāna. Dalam Gita karma ini dibedakan dalam dua bentuk
yaitu, Subba Karma ‘perbuatan yang
baik’ dan Asubha Karma ‘perbuatan
yang tidak baik’. Adapun perbuatan yang tidak baik dibedakan pula menjadi dua
macam yaitu, Akarma dan Vikarma. Dengan demikian terdapat tiga
macam bentuk sikap tindak kegiatan, yaitu Karma
‘perbuatan baik’, Akarma ‘perbutan
tidak berbuat’, dan Vikarma
‘perbuatan yang keliru’. Apa yang diharapkan dari ajaran Karma Yoga ini adalah tercapainya tujuan kebebasan, yaitu moksa atau sidhi (kesempurnaan).
Ada dua hakikat pengertian kata karma yang berkembang di dalam Gita yaitu Karma dalam arti ritual atau yadnya
dan karma dalam arti tingkah laku
perbuatan. Hal ini tampak jelas dari uraian bab III seloka 10 yang
menghubungkan arti karma dengan
penciptaan alam semesta yang dilakukan pada permulaan penciptaan oleh Tuhan
Yang Maha Esa. Tuhan dalam permulaan penciptaan itu menciptakannya bukan untuk
kepentingan diri-Nya. Demikian pula dalam hukum kerja itu agar didasarkan pada
asas ketidak- terikatan untuk kepentingan pribadi, tetapi didasarkan atas dharma yang menjelma dari bentuk hukum,
hak, dan kewajiban. Dengan demikian maka asas vairagya sebagai satu
ajaran mendorong pelakunya berbuat karena kewajiban untuk mencapai prestasi
yang lebih baik. Hal ini dilakukan agar kekaryaannya itu mempunyai nilai guna.
Soal pahala atau akibat yang timbul
adalah hak yang pasti dan tak perlu dicari-cari yang tentunya akan diperoleh.
Bab IV berjudul Jñāna
Yoga terdiri atas 42 seloka. Bab ini menguraikan Jñāna Yoga yang telah berkali-kali disampaikan Sri Krsna kepada
umat manusia agar menjadi manusia-manusia bijak. Dikatakan pula manakala dharma terancam dan adharma merajalela beliau sendiri turun ke dunia dengan mengenakan
badan jasmani untuk melindungi ajaran dharma
dari kehancuran dan melindungi orang-orang bijak. Di samping itu ajaran tentang
varnasrama dharma dan berbagai jalan yang ditempuh manusia dalam rangka
pencariannya yang tertinggi juga diuraikan dalam bab ini. Jnana Yoga sebagai cara mencapai kelepasan (moksa) juga
kembali ditekankan di sini. Di samping kegiatan kerja tanpa pamrih yang tidak
membelenggu diuraikan pula tentang kurban kebijaksanaan sebagai kurban
tertinggi. Dikatakan demikian karena kebijaksanaan itu sendiri akan membakar
habis segala dosa dan akibat dari perbuatan. Selanjutnya secara panjang lebar
Krsna juga menjelaskan kepada Arjuna kaitan Jnana
Yoga dengan Yoga lain yang
memberikan kemantapan kepada Arjuna dalam mengemban tugas sebagai seorang ksatria dalam menghadapi pertempuran
ini.
Bab V berjudul Karma
Samnyasa Yoga terdiri atas 29 seloka. Bab ini intinya membandingkan antara
dua sistem jalan menuju kesempurnaan, yaitu karma
samnyasa di satu pihak dan yoga
di bagian lain. Penjelasan bab V merupakan pengembangan pengertian dari ajaran
yang telah dijelaskan dalam bab IV tentang arti Jnana Yoga. Arjuna ingin penjelasan yang tegas mengenai jawaban
atas pertanyaan, yaitu mana yang lebih baik membebaskan diri dari kerja (karma samnyasa) atau kerja tanpa
kepentingan pribadi atau tanpa motif untuk mencari keuntungan pribadi. Sistem
kerja yang kedua adalah lebih baik. Penampilan kedua macam pertanyaan ini
tentunya dilakukan pada satu pengerttian dengan mengingat sistem catur asrama, yaitu Brahmacari-Grahasta-Vanaprasta-Samnyasa). Di dalam Yoga karma
itu tetap ada, tetapi tidak dimotivasikan untuk kepentingan pribadi. Karma dimaksudkan untuk pelepasan
keakuan terhadap benda-benda duniawi dengan memusatkan perhatian pada kebaktian
kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan ber-samadhi.
Yoga berarti menghubungkan (Yuj) pikiran kepada Tuhan sehingga
segala sifat hakiki Tuhan dapat direfleksikan ke dalam jiwa. Dengan demikian
berbuat itu tidak terikat oleh diri pribadi,
tetapi didorong oleh kehendak Ilahi.
Bab VI berjudul Dhyāna
Yoga terdiri atas 47 seloka. Bab ini menguraikan makna Dhyāna Yoga sebagai suatu sistem dalam Yoga. Ini merupakan dialog lanjutan dari Bab V tentang Yoga. Yoga mengajarkan delapan macam disiplin untuk memungkinkan
seseorang mencapai tingkat kesucian batin dan kesempurnaan citta. Kedelapan disiplin itu adalah (1) Yama, (2) Niyama, (3) Asana, (4) Pranayama, (5) Pratyahara,
(6) Darana, (7) Dhyāna, dan (8) Samadhi.
Ajaran Dhyāna Yoga atau Dhyāna dalam sistem Yoga inilah yang dijelaskan oleh Krsna kepada Arjuna. Untuk
melakukan yoga dan bermeditasi yang
baik, semua syarat harus dipenuhi, yaitu dimulai dari sikap asana yang baik menyebabkan orang mudah
melakukan konsentrasi pikiran atau Dhyāna.
Walaupun demikian, Arjuna yakin bahwa pikiran itu bersifat seperti binatang
liar yang sukar dijinakkan sehingga sangat sulit untuk dapat meninggalkan
pikiran dalam mencapai tujuan. Semua ini dijelaskan secara singkat yang pada
intinya bagaimana membiasakan putusan yang baik melalui yama dan niyama brata. Krsna juga mengakui kesulitannya
dan karena itu alternatifnya adalah mengarah kepada perbuatan kebajikan.
Diuraikan pula bahwa manusia akan lahir kembali kedunia sesudah sampai di surga bila sudah selesai masanya
penikmatan hasil kebajikan itu. Hal ini akan berulang sampai berhasil
melepaskan diri dari sarang laba-laba karma,
yaitu kelak kalau telah mencapai nirvana
atau moksa atau brahma nirvana. Menurut
Krsna, seorang yogi lebih besar, baik
daripada pertapa maupun sarjana dan
lebih besar pula artinya daripada pendeta yang melakukan upacara yadnya.
Bab VII berjudul Jñāna
Vijñana Yoga terdiri atas 30 seloka. Intinya
adalah membahas Jñāna dan Vijñana. Jnana artinya pengetahuan dan Vijnana adalah serba tahu dalam
pengetahuan. Oleh karena itu bab ini merupakan lanjutan dari bab VI tentang Dhyāna untuk mencapai tingkat samadhi. Dengan demikian, perhatian
pembahasannya terletak pada tujuan atau objek Dhyāna, yaitu Tuhan Yang Maha Esa yang dalam agama disebut Para Brahman, Para Atman, Parama Isvara.
Oleh karena itu, Krsna mulai menjelaskan pengertian Atman dan hubungannya dengan Parama-atman atau Brahman yang absolut.
Alam semesta dengan segala bentuk ciptaan itu disebut bhuta, yang mempunyai lima komponen dasar disebut Panca Maha Bhuta yang terdiri atas prthivi (tanah), apah (air), teja atau agni (api, panas), vayu (angin), dan akasa (ether). Kelima unsur dasar itu timbul
dari prakrti dan sebagai akibat dari
evolusi dari prakrti. Di samping
unsur materi terdapat unsur rohani yang disebut Atman atau Jiva yang menyebabkan
timbulnya ciptaan (srsti). Jiva atau Atman adalah bagian dari Brahman.
Oleh karena itu, perlu disadari hubungan pengertian antara Atman dan Brahman. Di
dalam melakukan samadhi hakikat
inilah yang harus dicapai dalam pengertian dan makna aksara mantra AUM atau Om Kara sebagai manifestasi wujud abadi. Di samping itu, Krsna juga
menjelaskan pengertian triguna
sebagai hakikat sifat dasar dari prakrti
sehingga timbulnya proses evolusi sebagai akibat ketidakseimbangan triguna. Ketidaksadaran dan kekeliruan
pandangan manusia adalah pada kekuatan maya
sehingga salah mengidentifikasi dan menyamakan Atman dengan prakrti.
Pemahaman keliru ini ibarat melihat cermin, melihat dirinya pada cermin
seakan-akan manusia dalam cermin itu berbeda. Inilah yang disebut dengan
kekuatan maya. Dengan manyadari hal
ini, orang akan mulai dapat mengarahkan pikirannya secara benar dan dari sini
akan terlihat mengapa aham (Aku) itu
adalah Brahman (yang absolut
transedental) dan ada pula pada setiap makhluk.
Bab VIII berjudul Aksara
Brahma Yoga terdiri atas 28 seloka. Aksara Brahma Yoga
berbicara tentang hakikat sifat kekekalan Tuhan Yang Maha Esa. Aksara berarti kekal. Inti bab ini
bertujuan untuk menjawab pertanyaan Arjuna tentang Brahman-Adhyatman dan Karma. Demikian pula tentang Adhibhuta, Adhidaiva, Adhiyadnya,
dan hakikat kematian. Dijelaskan pula cara pendekatan pengertian yang dapat
memberi uraian yang jelas tentang Brahman
dengan Adhyatman yang pada hakikatnya
sama dengan Parama Atman. Dikatakan bahwa
Atman mempunyai basis Adhyatman
(Brahman) demikian pula hakikat bhuta, yaitu panca mahabhuta
dengan adhibhuta. Di samping itu, dijelaskan pula pengertian tentang adhiyadnya
dan adhidaivata (adhidaibata).
Bab IX berjudul Rāja
Vidyāra Yoga terdiri atas 34 seloka. Bab ini membahas hakikat dasar-dasar
ajaran Raja Yoga dengan judul Rāja
Vidyā Rājaguhya Yoga.
Dijelaskan hakikat raja hanya sebagai istilah untuk menunjukkan raja
dari semua ilmu (Vidyā), yaitu ajaran
ketuhanan. Dikatakan demikian karena segala hal yang ada berasal dari Tuhan.
Oleh karena itu, mempelajari Ketuhanan Yang Maha Esa dianggap sangat mulia dan
ilmunya merupakan ilmu tertinggi dari semua ilmu. Dalam hubungan ini Krsna tidak saja menjelaskan arti dan
kedudukan Tuhan sebagai Brahman, sebagai
Bapak atau sebagai Pelindung dan Pencipta, tetapi dijelaskan juga bagaimana
alam semesta ini diciptakan. Bila hendak melakukan bhakti atau sembahyang,
maka tujuan sembahyang adalah kepada Tuhan Yang Maha Esa itu apa pun gelar yang
diberikan kepada Nya. Semua harus mencari perlindungan kepada Nya, karena itu, Krsna mengajarkan bahwa Tuhan sebagai pusat
dari semua ciptaan dan kebaktian.
Bab X berjudul Vibhuti
Yoga terdiri atas 41 seloka. Bab ini menjelaskan
sifat hakikat Tuhan yang absolut secara empiris. Dikatakan bahwa hakikat
absolut transendental sebagai akibat hakikat tanpa permulaan, pertengahan,
akhir. Demikian pula manifestasi Brahman
dalam alam semesta, sebagai kitab suci, Devata,
manusia, dan huruf yang semuanya memerlukan pengertian dan dasar-dasar keimanan
yang kuat. Kemudian, bab XI berjudul Visva
Rupa Darsana Yoga terdiri atas 55 seloka. Visvarupa Darsana Yoga sebagai penjelasan lebih lanjut dari ajaran Vibhuti Yoga yang mencoba menjelaskan
bentuk manifestasinya secara nyata. Dengan menyadari persamaan itu, maka
terjawablah misteri yang ada pada Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai hakikat yang
Mahaada.
Bab XII berjudul Bhakti
Yoga terdiri atas 20 seloka. Di dalam bhakti
yoga manusia bersembah sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ada dua hal yang
ingin dipertanyakan oleh Arjuna, yaitu (1) menyembah Tuhan dalam wujudnya yang
abstrak, dan (2) menyembah Tuhan dalam wujud nyata, misalnya menggunakan nyasa atau pratima berupa arca atau mantra. Sehubungan dengan kedua
pertanyaan ini, Krsna menegaskan bahwa kedua-duanya baik. Penyembahan Tuhan
dalam wujud abstrak, yaitu dengan menanggalkan pikiran kepada yang disembah
merupakan amat baik. Akan tetapi, hambatan dan kesulitan itu tetap banyak
karena Tuhan yang tanpa wujud, kekal abadi, tak berubah sangat sulit untuk
dicapai oleh akal pikiran. Sebaliknya, dengan Yoga biasa diperlukan sarana pratima
atau arca sehingga lebih mudah untuk
mewujudkan rasa bhakti, tetapi itu
belum nyata.
Bab XIII berjudul Ksetra
Ksetrajna Vibhaga Yoga terdiri atas 34 seloka. Bab ini membahas hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa yang
dihubungkan dengan hakikat purusa dan prakrti (pradana)
sebagai nama rupa. Kebutuhan nama rupa yang digelari dengan purusa
dan prakrti adalah untuk memberi
landasan dalam penjelasan bagaimana mengenal Tuhan Yang Maha Esa sebagai
hakikat yang maha mengetahui. Demikian pula, bagaimana proses kejadian ini dari
purusa dan prakrti sampai pada segala bentuk ciptaan alam semesta. melalui
proses kejadian dari 24 macam elemen. Di samping itu, dijelaskan pula tentang sifat-sifat yang dimiliki oleh orang yang
dapat dikategorikan sebagai arif bijaksana. Oleh karena itu, Krsna
menguraikan kebaikan dan sifat rendah hati, tidak cepat marah, sabar, tawakal,
adil, jujur, beriman, suci lahir batin dengan selalu mengendalikan pikiran,
tutur kata dan tingkah laku sehingga terkendalinya ego dan makin bertambah
baiknya budi manusia.
Bab XIV berjudul Gunatraya
Vibhaga Yoga terdiri atas 27 seloka. Bab ini membahas triguna atau guna traya,
yaitu tiga macam guna yang terdiri atas sattvam, rajas, tamas. Manifestasi guna
pada diri manusia dapat dilihat dari bentuk tingkah laku mereka sebagai
refleksi dari triguna. Sebaliknya,
yang menjadi tujuan pembahasan guna traya
ini adalah bagaimana seseorang dapat mengatasi ketiga guna itu sehingga dapat mengatasi segala-galanya. Khusus untuk
sifat-sifat manusia yang telah dapat mengatasi pengaruh triguna digambarkan sebagai seseorang yang memiliki watak tidak
membenci, selalu hidup dalam keadaan tenang, tidak memiliki pertentangan batin
sebagai akibat pengaruh sifat-sifat yang bertentangan dalam diri pribadinya,
tidak mudah goyah atau berubah-ubah pendirian, tetapi selalu mengabdi dan
berbakti tanpa pamrih.
Bab XV berjudul Purusottama
Yoga terdiri atas 20 seloka. Bab ini membahas pengertian purusa sebagai asal dari semua ciptaan. Purusattama atau purusa utama adalah purusa
yang Maha Tinggi, yaitu hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa dan hakikat Aku yang
transendental. Ia adalah Brahman.
Bahasan ini menggambarkan hakikat hubungan antar Sang Pencipta dengan segala
ciptaannya. Krsna mengibaratkannya sebagai pohon asvattha atau ficus religiose
(semacam pohon beringin). Kalau pohon itu berakar, berbatang, berdaun, dan
lain-lainnya, maka akarnya (asalnya) adalah purusa
itu sebagai kejadian lainnya adalah batang, dahan, dan daun-daunnya. Akan
tetapi, diajarkan pula bahwa Tuhan ada di atas dan karena itu pohon asvattha dikatakan akarnya ada di atas
yang kemudian batangnya yang berjuruai ke bawah dengan sifat-sifatnya adalah
semua ciptaannya. Purusottama adalah adhyatman, yaitu atman yang menghidupi makhluk ciptaan bertebaran ke bawah.
Bab XVI berjudul Daivasura
Sampad Vibhaga Yoga terdiri atas 24 seloka. Bab ini intinya membahas
hakikat tingkah laku manusia yang dikenal sebagai perbuatan baik dan buruk.
Kedua hal ini merupakan inti pertanyaan Arjuna. Dalam menjawab pertanyaan itu,
Krsna menggambarkan sifat-sifat baik yang disebut sifat Devata dan sifat-sifat jahat sebagai sifat-sifat raksasa atau asura. Mulai dari seloka 1 sampai dengan 3 adalah gambaran tentang sifat-sifat mulia,
sedangkan sifat-sifat asura adalah
yang berlawanan dan diperinci dalam seloka
4. Dikemukakan pula bahwa secara empiris tidak ada manusia yang hidupnya
sempurna. Oleh karena itu, Krsna mendesak agar Arjuna atau siapa saja agar
tidak berputus asa dan tidak pula merasa takut. Seloka 24 yang terakhir pada bab XVI, Krsna menegaskan agar kitab
sastra dan Veda digunakan sebagai
pedoman hidup. Berikutnya, bab XVII berjudul Sraddhatraya Vibhaga Yoga teridiri dari 28 seloka. Sraddha Traya Vibhaga Yoga bertujuan
untuk meyakinkan agar manusia berkeyakinan akan tiga hal, yaitu triguna. Penekanan ini dimaksudkan
sebagai penanggulangan terhadap pengaruh yang timbul karena triguna dengan tujuan akhir adalah untuk
mencapai kesempurnaan hidup. Bagian ini merupakan landasan etika atau dharma. Keyakinan yang kedua adalah
hakikat ucapan AUM (OM) Tat
Sat sebagai pengakuan adanya Tuhan
Yang Mahaada, tiada lain, kecuali Yang Mahaabadi yang disebut pula Aksara Brahman. Ketiga adalah keyakinan
akan tercapainya moksa yang juga
disebut brahma nirvana.
Bab XVIII berjudul Samnyasa
Yoga terdiri atas 78 seloka. Bab ini merupakan bab terakhir dan simpulan
dari semua ajaran yang menjadi inti tujuan pelaksanaan agama yang tertinggi,
yaitu brahma nirvana. Dengan simpulan ini maka menjadi jelas bahwa Gita mencoba
mendorong Arjuna untuk bertindak tanpa ragu-ragu dan tidak mengikatkan diri
pada kewajiban dan akibat-akibatnya. Sebaliknya, bertindak dan pasrah kepada
Tuhan sebagai Yang Maha Mengatur sehingga rasa berdosa dapat diatasi.
3.
Tattwa Jnana: Konsep Ketuhanan
Konsep ketuhanan dalam agama Hindu disebut brahmawidya
dari bahasa Sanskerta yang artinya sama dengan teologi, yaitu ilmu yang
mempelajari Tuhan (Pudja (1999:3). Teologi menurut Bagus (2002:1090)
dalam bahasa Yunani theologia
dibentuk dari kata theos berarti
Tuhan dan logos berarti wacana atau
ilmu. Secara keseluruhan teologi berarti wacana atau ilmu tentang Tuhan
memiliki pengertian seperti berikut.
(1) Ilmu tentang hubungan dunia Ilahi (atau ideal, atau kekal tak berubah)
dengan dunia fisik.
(2) Ilmu tentang hakikat Sang Ada dan kehendak Allah (atau para dewa).
(3) Doktrin-doktrin atau keyakinan-keyakinan tentang Allah (atau para dewa)
dari kelompok-kelompok keagamaan tertentu atau dari para pemikir perorangan.
(4) Kumpulan ajaran mana saja yang disusun secara koheren menyangkut
hakikat Allah dan hubungan-Nya dengan umat manusia dan alam semesta.
(5) Usaha sistematis untuk menyajikan, menafsirkan, dan membenarkan secara
konsisten dan berarti keyakinan akan para dewa dan atau Allah.
Dengan demikian, teologi adalah ilmu tentang Tuhan yang
ssungguhnya merupakan bagian dari metafisika yang menyelidiki hal eksisten
menurut aspek dari prinsipnya yang terakhir – suatu prinsip yang luput dari
indreawi tunggal. Objeknya adalah Tuhan,
yaitu eksistensiNya, esensiNya, dan aktivitasNya. Dengan begitu, ilmu tentang
Tuhan tidak memberikan pengetahuan tentang Tuhan yang dalam setiap hal sama
dengan pengetahuan yang diperoleh dari ilmu tentang objek-objek pengalaman
indrawi. Pernyataan-pernyataan tentang Tuhan tidak memberikan suatu pengetahuan
yang memadai tentang Dia, tetapi semata-mata hanya pengetahuan yang bersifat
analogis (Bagus, 2002:1090).
Pengetahuan yang bersifat analogis ini menurut Pudja
(1999:3) dalam kitab suci Hindu disebut brahmawidya atau Brahmatattva
Jnana. Brahma berarti Tuhan, gelar yang diberikan kepada Tuhan
sebagai yang memberikan kehidupan pada semua ciptaanNya, Yang Mahakuasa. Widya
atau Jnana kedua-duanya berarti ilmu. Tattva berarti hakikat
tentang Tat (Itu, yaitu Tuhan dalam bentuk Nirguna Brahman). Tattva
Jnana artinya sama dengan ilmu tentang hakikat, yaitu ilmu tentang Tuhan.
Inti dari Tattva adalah Panca Srada, yaitu kepercayaan atau
keimanan dalam agama Hindu. Hal ini juga ditegaskan Sudharta dan Punia Atmaja
(2001:6) bahwa berdasarkan tattwanya,
keimanan agama Hindu adalah Panca
Sraddha, yaitu percaya kepada Sang Hyang Widhi Wasa, Atman,
Karma Phala, Punarbhawa, dan Moksa. Menurut Panitya Tujuh Belas
(1986:15) kelima aspek Panca Srada ini
adalah Tattwa, karena itu disebut Panca
Sradha Tattwa. Kelima aspek Panca Sradha Tattwa ini menjadi landasan
berdirinya Susila Hindu, yaitu
lima keimanan pokok agama Hindu
yang harus diyakini oleh umat Hindu.
Kelima aspek Panca Sradha Tattwa tersebut menurut
Punyatmadja (1987:9) terdapat dalam Weda, yaitu Rg. Weda, Yajur Weda, Sama Weda, dan Atharwa Weda.
Tiap-tiap bagian dari Weda terdiri atas Samhita (syair-syair pujaan), Brahmana
(aturan hidup keagamaan dan upacara), Aranyaka dan Upanisad
(filsafat pengetahuan tentang hubungan antara roh dan Tuhan, penjelasan, dan
kelepasan). Ajaran Weda ini juga disebut Agama Sruti yang artinya wahyu suci
yang diucapkan, diceritakan, dan ditulis oleh orang-orang yang suci pribadinya,
serta wajar dipercaya. Ajaran yang tercantum di dalamnya menyebutkan bahwa alam
akhirat dan wujud rohaniah sebagai Brahman,
yaitu Tuhan sumber semesta alam atau Parameswara.
Tuhan Raja Alam, Pelindung Agama, Yang Maha Pengasih dan Penyayang, serta
Pelindung Kebenaran yang mengadili semua makhluk berdasarkan amal dan dosanya.
Adanya Atman,
yaitu roh yang menjadi sumber hidup setiap makhluk dan tunggal wujudnya dengan Bhrahman sebagai sumber alam semesta.
Adanya hukum Karma yang menimbulkan Karmaphala,
yaitu phala atau hasil subha asubha karma atau subha
asubha prawerti. Inilah
amal-dosa perbuatan yang berupa surga-neraka, kebahagiaan-penderitaan akhirat
yang mempengaruhi penjelmaan berikutnya yang akan datang. Adanya punaryanma
(samsara), yaitu menjelmanya Atman
atau roh ke dunia lagi. Adanya moksa, yaitu kebahagiaan yang langgeng berupa ketenteraman rohani,
bebas dari penjelmaan, serta menunggalnya Atman atau roh dengan Brahman (Punyatmadja, 1987:9).
Artinya, konsep ketuhanan dalam Bhagawadgita adalah ilmu tentang Tuhan yang umumnya dimengerti dan dipahami
sebagai teologi. Inti dari konsep ketuhanan adalah tattwa yang dalam
agama Hindu dipahami sebagai ilmu tentang hakikat – Tuhan. Inti dari tattwa adalah Panca Sraddha merupakan lima kepercayaan pokok dalam agama
Hindu. Dengan demikian, konsep ketuhanan dalam Bhagawadgita adalah teologi Hindu, yaitu ilmu tentang Hyang Widhi
Wasa. Konsep ketuhanan sebagai ilmu tentang Hyang Widhi Wasa adalah ilmu yang
bersifat subjektif yang lahir dari dalam diri dan dari dalam jiwa yang beriman
dan bertaqwa. Artinya, sradha menjadi
hal prinsip yang mutlak diperlukan bagi penjelasan tentang suatu kepercayaan
yang hanya hadir bagi subjektivitas. Sradha sebagai keimanan yang tulus
menegaskan kebenaran dan hukum untuk mengikat nilai-nilai spiritual pada diri
manusia.
Sradha atau kepercayaan sebagai keimanan merupakan sifat dasar manusia. Dalam
Gita XVII. 3 ditegaskan,
“kepercayaan tiap-tiap individu, tergantung kepada sifat wataknya; manusia
terbentuk oleh kepercayaannya, apa pun kepercayaannya demikian pulalah dia
adanya”. Sradha seseorang terbentuk
berdasarkan sifat dan wataknya, juga begitu seseorang dibentuk oleh sradhanya. Begitu sradhanya, begitu pula orangnya. Artinya, sradha adalah esensi dari setiap sifat sejati individu yang sudah
diatur oleh karmanya. Dengan demikian,
sikap dan perbuatan seseorang sesuai dengan sifatnya. Vivekananda (1991)
menegaskan bahwa berbagai pengalaman, baik suka maupun duka akan meninggalkan
berbagai kesan (baik atau buruk) pada manusia dan akhirnya, itu yang membentuk
watak orang. Jadi, watak seseorang dibentuk dan ditentukan oleh karmanya.
Watak manusia berdasarkan sradhanya menurut Gita ada tiga macam, yaitu satva, rajah, dan tamah. Seperti dijelaskan Gita. XVII. 2,
“ada tiga macam keyakinan dan kepercayaan, yang tergantung kepada watak
perwujudan badan, yaitu bersifat satva,
rajah, dan tamah”. Ini berarti bahwa antara kepercayaan dan watak memiliki
hubungan yang erat sesuai dengan perwujudan badan. Berikutnya, sifat
kepercayaan dan perilaku pemujaan ini dijelaskan dalam Gita. XVII. 4, “orang
yang bersifat satva memuja pada devata, yang bersifat rajah memuja yaksa dan raksasa, sedangkan lainnya yang bersifat tamah memuja roh orang mati dan para bhuta”. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa sifat kepercayaan manusia sesuai dengan sifat prakerti, yaitu triguna.
Sifat kepercayaan yang dibentuk oleh sradha inilah yang dijadikan landasan untuk mengungkap esensi,
eksistensi, dan aktivitas Tuhan dalam Bhagawadgita.
Ini menegaskan bahwa pengungkapan konsep ketuhanan dalam Bhagawadgita dilakukan dengan bertumpu pada konsep panca sradha. Walaupun demikian,
penelusuran konsep ketuhanan dalam Bhagawagdgita
dalam tulisan ini lebih ditekankan pada Widhi Sradha.
4.
Ketuhanan dalam Bhagawadgita
Tuhan dalam agama Hindu disebut Hyang Widhi Wasa. Hal ini seperti
ditegaskan Yasa (Sukarma & Budi Utama, 2010) bahwa Ida Sang Hyang Widhi
Wasa adalah nama Tuhan menurut umat Hindu di Bali (Indonesia). Kata “widhi” berasal dari bahasa Sanskerta,
yakni dari urat kata “wi“ sempurna,
tuntas; dhà “meletakkan, menaruh. Widhi artinya takdir, hukum, aturan,
penguasa tertinggi, pencipta, Tuhan Yang Maha Kuasa. Kata “wasa” berasal dari bahasa Sanskerta berati kuasa. Dengan demikian, Widhiwasa berarti Tuhan Yang Mahakuasa
(Sura, 2000:133). Sementara itu, kata “ida
sang hyang” adalah kata hormat. Ida “beliau”, sang “ia yang dihormati”, dan hyang
“dewa’ Tuhan” (Warna, 1990:259; Zoetmulder, 1995: 273,1018). Jadi, Ida Sang
Hyang Widhi Wasa adalah nama untuk menujuk Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan mengacu Zoetmulder (1990:4), Yasa (Sukarma &
Budi Utama, 2010) menyebutkan bahwa ada tiga paham besar yang membentuk sistem
pemikiran Hinduisme sebagai berikut.
(1) Paham dwaita “dualis”, yakni
paham pemikiran yang memahami bahwa azas segala sesuatu ini ada dua: Puruûa “azas roh” dan Prakåti “azas materi”. Paham ini
terdapat dalam ajaran samkya yang pada mula diajarkan oleh Maharsi Kapila.
(2) Paham wasisthadwaita “monisme
terbatas”, yakni paham pemikiran yang memandang bahwa azas segala sesuatu ini
matunggal namun dalam Tuhan. Dengan kata lain, sistem pemikiran ini memandang bahwa dunia manunggal dengan
Tuhan.unggalannya seperti hubungan antara jiwa dengan badan. Paham ini dianut
oleh Ramanuja.
(3) Paham adwaita “monisme,
non-dualis”, yakni paham pemikiran yang memandang bahwa azas segala ini adalah
tunggal. Tidak ada sesuatu apapun selain Dia. Segala sesuatu yang berada di
luar hakikat yang mutlak hanya merupakan
maya “semu dan dan impian” yang
dihasilkan oleh awidya “pengetahuan yang tidak lengkap”. Paham ini dianut oleh
Sangkara.
Dari pembicaraan tentang teologi di atas bahwa Tattwa Jnana
membicarakan bahwa Yang Mahakuasa yang tidak terjangkau dengan pikiran. Dia
yang gaib ini dipanggil dengan berbagai nama sesuai dengan batasan pemikiran,
walaupun Ia hanya satu dan Tunggal adanya.
“Ekam eva adwityam Brahma”
Tuhan hanya
satu tidak ada yang kedua.
“Eko Narayanad na dityo ‘sti kascit”
Hanya satu Tuhan sama sekali tidak ada duanya.
“Bhineka Tunggal
Ika, tan hana Dharma mangrwa”
Berbeda-beda tetapi satu tidak ada Dharma yang
dua.
Selain itu, juga Bhagawadgita
merupakan satu kitab di antara banyak kitab agama Hindu yang mengajarkan
tentang Tuhan dan cara mengenalNya. Hal ini sebagaimana ditegaskan pada kata
penutup setiap babnya, yaitu “iti srimad Bhagavadgītāsupanisatsu
brahmavidyā yam yogasastre sri
Krishnarjunasamvade... nama...’dhyayah”, (‘disinilah berakhir bab ke...
dari Upanisad Bhagawadgita ajaran tentang Brahmavidyā
dan Yogasastra, berupa percakapan
antara Sri Krsna dan Arjuna yang berjudul,...’). Artinya, Bhagawadgita adalah kitab Brahmavidya
dan Yogasastra yang berisi ajaran
tentang Tuhan, yaitu esensiNya, eksistensiNya, dan aktivitasNya.
Tuhan dalam agama Hindu bersifat monoteistis, Tuhan Yang
Maha Esa. Dalam kitab-kitab suci, seperti dalam Chandogya-Upanisad IV.2.1 dijelaskan, “Ekam Eva Advityam Brahman”
(‘hanya ada satu Tuhan atau Brahman
tak ada yang kedua’). Dalam Mantram Trisandhya
disebutkan “Eko Narayanaa na dwityo’sti kaccit” (‘Tuhan hanya satu, sama
sekali tidak ada duanya (yang kedua)’. Dalam Rg. Weda I.164.46
ditegaskan, “Ekam Sat Viprah bahudha vadanti” (‘hanya terdapat satu
Kebenaran Yang Mutlak, orang bijaksana (resi) menyebut dengan banyak
nama’). Dalam Kakawin Arjuna Wiwaha
disebutkan, “Wahyadhyatmika sembahing
hulun i jong ta tan hana waneh” (‘lahir batin sembah hamba ke hadapan Tuhan
tak ada yang lainnya’). Akhirnya, dalam mantra-mantra,
Tuhan Yang Maha Esa diwujudkan menjadi Pranawa
dengan suku kata suci Om (Panitiya
Tujuh Belas,1986).
Tuhan Yang Maha Esa dalam
Weda dipadankan dengan Brahman. Dalam
kitab Weda dijelaskan bahwa Brahman yang pertama ada, satu adanya,
bersifat kekal, pencipta, pemelihara, pelebur, raja alam semesta, cahaya
tertinggi, pelindung, dan inti alam semesta. Kitab-kitab Upanisad menyatakan realitas dari Brahman Tertinggi sebagai
satu tanpa yang kedua, tanpa atribut, tanpa penetapan-penetapan yang identik
dengan Sang Diri terdalam manusia. Brahman merupakan subjek murni yang
eksistensinya tidak dapat ditolak menjadi dunia eksternal yang objektif. Dalam
hal ini Brahman memiliki dua aspek,
yaitu Nirguna Brahman dan Saguna Brahman (Panitiya Tujuh Belas,
1986:45; Punyatmadja, 1987:23).
Kedua aspek Brahman
diperjelas lewat pertanyaan Arjuna dalam Gita XII.1, “bhakta yang mantap senantiasa menyembahMu demikian dan yang lain
lagi menyembah yang Yang Abstrak, Yang Kekal Abadi; yang manakah dari keduanya
ini yang lebih mahir dalam yoga”. Seloka ini menyatakan bahwa terdapat
dua macam pemusatan pikiran dalam bhakti,
yaitu kepada Tuhan yang berwujud dalam aspek Saguna Brahman dan kepada
Tuhan yang abstrak dalam aspek Nirguna
Brahaman. Demikian juga dengan
jawaban Yang Kuasa dalam Gita XII. 2, “mereka yang memusatkan pikirannya
padaKu, dengan senantiasa mengendalikannya dan dengan penuh kepercayaan,
merekalah yang Aku anggap terbaik dalam pelaksanaan yoga”. Ini berarti memuja Tuhan yang berkepribadian, yaitu Saguna Brahman merupakan cara terbaik
dalam pelaksanaan bhakti. Sebaliknya,
Tuhan dalam aspek Nirguna Brahman
dijelaskan dalam Gita XII.3, “mereka yang memuja Yang Kekal Abadi, Yang Tak
Terumuskan Yang Tak Nyata, Yang melingkupi segalanya, dan Yang Tak terpikirkan,
Yang Tak Berubah, Yang Tak Bergerak, Yang Abadi”.
Tuhan dalam aspek Saguna
Brahman, juga dijelaskan dalam Gita XII.4, “dengan mengendalikan seluruh indera, berpikiran tetap dan tenang,
berusaha guna kesejahteraan semua insani, sebenarnya mereka juga sampai
kepadaKu”. Memuja Tuhan dengan cara ini lebih mudah dibandingkan dengan memuja
Tuhan dalam aspek Nirguna Brahman.
Sebaliknya, menyembah Tuhan dalam aspek Nirguna
Brahman merupakan jalan bhakti
yang lebih sulit dibandingkan dengan memuja Tuhan dalam aspek Saguna Brahman. Seperti dijelaskan dalam
GitaXII.5, “bagi mereka yang pikirannya dipusatkan kepada Yang Tak Berwujud,
kesulitannya lebih besar, karena sesungguhnya jalan dari Yang Tak
Termanifestasikan sukar dicapai oleh orang yang mempunyai badan jasmani”.
Artinya, kepada bhakta sangat
dianjurkan memuja Tuhan yang berwujud dan berkepribadian dalam aspek Saguna Brahman karena lebih mudah
dibandingkan dengan memuja Tuhan yang tak berwujud dan tak berkepribadian dalam
aspek Nirguna Brahman.
Artinya, Arjuna mengakui aspek Nirguna Brahman sebagai
esensi Tuhan. Begitu juga sekaligus menyatakan bahwa mereka yang menyembah
aspek Saguna, yaitu eksistensi Tuhan
yang berwujud dan berkepribadian lebih baik dalam yoganya. Bhakti kepada
Tuhan dalam aspek Saguna Brahman akan
lebih mudah, karena itu paling cocok untuk Arjuna dan umat manusia. Hal ini
seperti Dia katakan dalam Gita (V:6), “untuk alasan yang sama karma yoga lebih baik dari jñāna yoga. Akan tetapi, “samyasa
tanpa yoga sungguh sukar dicapai,
seorang muni yang dilengkapi dengan karma yoga mencapai Brahman dengan segera”. Seloka ini hendak menjelaskan bahwa
penyerahan diri secara total tidak begitu saja dapat dicapai. Akan tetapi,
harus ditempuh dengan kerja keras dalam proses yang berlangsung secara
progresif terutama bagi orang-orang yang telah melepaskan egonya dan mengabdi
kepada Yang Maha Esa. Jadi, ego
pribadi merupakan elemen yang paling tidak mudah dikendalikan dan selalu hadir
pada setiap orang dalam berbagai bentuk seakan-akan tidak ada habis-habisnya.
Sementara itu, Nirguna
Brahman atau Para Brahman, yaitu Brahman Tertinggi adalah Brahman
yang bebas dari guna, yang tidak
terbatas, tidak terkondisikan, dan tanpa sifat. Hal ini ditegaskan dalam Gita
(X:12), “Engkau adalah Para Brahman,
tempat kediaman tertinggi, pensuci tertinggi, Purusa Ilahi, kekal, Devata
pertama, tak terlahirkan, mahakuasa, meliputi segalanya”. Dalam seloka ini
Arjuna secara tegas menyatakan bahwa “Engkau adalah Para Brahman”. Pernyataan ini merupakan pengakuan yang hendak
menunjukkan kedudukan Brahman dalam
aspeknya sebagai Nirguna Brahman –
seperti banyak diuraikan oleh Shankara dalam filsafat Vedanta.
Nirguna Brahman juga dijelaskan dalam Gita (XIII:12), “Brahman tertinggi yang tanpa awal, yang dikatakan bukan ‘Sat’ atapun ‘Asat’. Dalam Gita (XIII:15) ditegaskan, “Dia disebut sebagai keberadaan atau bukan keberadaan, ada di luar
dan di dalam semua insani, tak bergerak, tetapi bergerak, terlalu halus
diketahui, jauh nian, namun juga dekat sekali”. Dalam Gita (XIII:16)
dinyatakan, “Dia tak terbagi, tetapi seperti terbagi-bagi, tak dapat
dibagi-bagi namun ada dalam setiap insani, seakan-akan terbagi-bagi dan
diketahui sebagai pemelihara semua makhluk memusnahkan dan menciptakan mereka”. Selanjutnya, dalam Gita (VIII:3)
ditegaskan lagi, “Dia adalah aksaram
brahma paranam svabhāvo” (‘Yang Kekal Abadi maha Agung adalah Brahman’).
Seloka ini sesungguhnya hendak menjelaskan bahwa Brahman tanpa atribut, Yang Tunggal Kekal, tampak seakan-akan
terbagi-bagi menjadi banyak, tetapi dalam kenyataannya tidak. Oleh karena itu,
Gita (XIII:16) kembali menegaskan, “Dia sendiri pemelihara, pemusnah, dan
pencipta semua makhluk”. Di sini Brahman
dalam aspekNya sebagai Saguna Brahman.
Saguna Brahman juga disebut Apara Brahman sebagai Yang Mahatahu, Yang Mahakuasa,
Yang Mahakarya, dan Yang Mahasempurna yang tersangkut dalam dunia pengalaman
dan jiwa perorangan. Ia adalah isvara.
Ia yang menggunakan kekuatan Maya.
Hal ini ditegaskan dalam Gita IV.6, “Walaupun Aku tak terlahirkan, kekal, Aku adalah Isvara dari semua makhluk, Aku
menjadikan diriKu sendiri dan menjadi ada dengan kekuatan Maya-Ku”. Jadi, Tuhan tidak lahir dan tidak binasa. Ia pencipta
semua makhluk dan alam semesta, mengendalikan Sang Maya, bereinkarnasi sesuai dengan kehendakNya yang bebas
dengan MayaNya. Yang Maha Pencipta
ini Mahasempurna dalam segala hal, tetapi dalam reinkarnasi dibatasi oleh
kaidah-kaidah duniawi yang sifatnya tidak sempurna. Walaupun untukNya tidak
pantas ditinjau dari segi duniawi, tetapi juga dilakukan olehNya demi
menyelamatkan makhluk dan alam semesta. Inilah kebesaranNya, kasihNya yang
mahasempurna. Dengan kasihNya, Tuhan hadir untuk menyempurnakan keberadaan yang
tidak sempurna. Kasih inilah tuntunan menuju kepada kesempurnaan. Walaupun
kasih sejati tidak pernah lahir dan diadakan dengan disengaja.
Keberadaan Iswara
dapat diidentifikasi melalui Gita (VII:4), “Tanah, air, api, udara, ether, pikiran, bhudi, dan ego merupakan delapan unsur alam-Ku yang terpisah”.
Tuhan menjelaskan tentang DiriNya sendiri, seperti apa adanya. Sifat prakertiNya dijelaskan ada dua bagian,
yaitu sifat luar dan sifat dalam sebagai sifat yang lebih rendah dan sifat yang
lebih tinggi. Sifat yang rendah terdiri atas benda (apara-prakrti) yang terbagi menjadi delapan unsur, yaitu tanah,
air, api, ether, dan udara; dan tiga lagi, yaitu pikiran (manas), pengertian (budhi),
dan ego (ahankara). Kedelapan unsur
ini dapat binasa dan juga semuanya sebagai unsur inti terdapat dalam manusia
yang dapat binasa. Segala kebinasaan atau apapun yang dapat binasa dalam
kemusnahan, bukanlah hakikat dari keberadaan. Hakikat keberadaan adalah sesuatu
yang selalu ada, tak pernah berhenti ada, dan tidak mengalami perubahan.
Keberadaan yang kekal seperti itu dijelaskan dalam Gita
(VII:5), “apareyam itas tv anyām prakrtim
viddhi me parām, jīva-bhūtām mahā-bāho yeyedam dhāryate jagat”. (‘Inilah prakrtiKu yang lebih rendah, tetapi
berbeda dengannya ketahuilah prakrtiKu
yang lebih tinggi. Unsur hidup, yaitu jiwa yang mendukung alam semesta ini’).
SifatNya yang lebih tinggi disebut para-prakrti,
yaitu Jiwa sebagai inti kekuatan dari penunjang hidup yang terdapat dalam diri
setiap makhluk yang menyatu dengan dunia. Tanpa Sang Jiwa, dunia benda dan
makhluk hidup tidak akan ada. Sang Jiwa inilah sebenarnya napas dari kehidupan,
yaitu inti asal-mula dari semua makhluk di alam semesta. Jadi, esensi
keberadaan bukanlah pada bentuk fisiknya, tetapi pada hidup yang mendukung
keberadaan itu.
Esensi keberadaan ini dalam Gita (VII:6) dijelaskan, “Ketahuilah bahwa keduanya ini
merupakan kandungan dari semua makhluk; dan Aku adalah asal-mula dan leburnya
alam semesta ini”. Jadi, semua benda dan makhluk hidup dalam alam semesta
berasal dari Yang Maha Esa. Ibarat sinar surya tetap merupakan bagian dari Sang
Surya, juga begitu semua makhluk dan benda-benda berasal dari Yang Maha Esa.
Setiap jiwa adalah sinar surya, bagian dari Yang Maha Esa, karena itu Yang Maha
Esa adalah sumber atau inti dari setiap jiwa. Alam semesta bergerak
terus-menerus dalam gerakan melingkar dan memutar, yaitu lingkaran manifestasi
dan kemusnahan kehidupan. Semua itu terserah kepadaNya untuk mengatur sesuai
dengan kehendakNya sehingga makhluk dan benda-benda di alam semesta ini datang,
tinggal, dan kembali kepadaNya. Yang Maha Esa itu Satu untuk semuanya dan hadir
untuk semuanya.
Artinya, sesuatu manifestasi bermula dari ketika Yang Satu
menjadi dua, yaitu benda dan kehidupan, kesatuan raga-jiwa. Raga adalah bentuk
fisik dan jiwa adalah hidup. Semua mahkluk yang eksis dalam manifestasi akan
hidup dan bergerak karena ada Sang Jiwa. Pada setiap permulaan kehidupan akan
diikuti dan diakhiri oleh kemusnahan. Ini sudah menjadi hukumnya. Kehidupan
berlangsung secara evolusi dari tahapan-tahapan kehidupan dalam masa tertentu.
Seperti masa kanak-kanak sampai dengan lanjut usia hingga mati yang harus
dilalui dalam musim kemarau, musim dingin, dan musim semi. Hal ini dijelaskan
dalam Gita (II:13), “sebagaimana halnya sang roh itu ada pada masa kecil, masa
muda, dan masa tua demikian juga dengan diperolehnya badan baru, orang
bijaksana tidak akan tergoyahkan”. Masa-masa ini merupakan saat penyempurnaan
nilai-nilai yang sudah gugur. Proses penyempurnaan ini berlangsung sedemikian
rupa secara susul-menyusul dan silih-berganti. Proses susul-menyusul dan silih-berganti
ini menyebabkan alam semesta memiliki pagi dan malam. Pada pagi kehidupan
bangkit dengan segala aspeknya, seperti peradaban, kebudayaan, seni, dan ilmu
pengetahuan. Setelah pagi berlalu muncullah malam yang berarti kehancuran dan
kemusnahan segala sesuatu. Semua benda dan makhluk menjadi musnah, kecuali yang
telah mengabdi tanpa pamrih kepadaNya. Mereka ini telah terbebaskan dari lahir
dan mati menyatu denganNya, yang Mahaabadi. Begitulah lila Tuhan atau permainanNya, kemahakuasaanNya.
Kemahakuasaan ini juga dijelaskan dalam Gita (VII:7), “tak
ada yang lebih tinggi daripadaKu, yang ada disini semua terikat padaKu bagaikan
rangkaian mutiara pada seutas tali”. Jadi, segala realitas sebagai keberadaan,
baik alam maupun makhluk bergantung pada keterikatan, yakni pada seutas tali
yang tiada lain adalah Tuhan. Artinya, kewajiban manusia adalah melepaskan diri
dari ikatan itu sehingga menjadi mutiara-mutiara mandiri yang lepas dan bebas
dari rangkaiannya. Kebebasan ini menjadi mungkin karena usaha manusia
tergantung pada kesadarannya untuk mewujudkan keilahian dalam dirinya. Wujud
keilahian sebagai kemanusiaan di dalam diri manusia ditegaskan dalam Gita
(VII:8), “Aku adalah rasa dalam air, Aku adalah cahaya pada bulan dan matahari,
Aku adalah pranava dalam semua Weda,
Aku adalah suara di ether dan kemanusiaan pada manusia”. Dalam hal ini, Yang
Mahakuasa adalah pengawas dan pengendali sifat-sifat alam (triguna) yang membangun manusia. Akan tetapi, Yang Mahakuasa berada
di atas sifat-sifat ini dan tidak terpengaruh oleh triguna, walaupun Yang Mahakuasa secara imanen dan trasendental
menguasai alam dan manusia. Yang Mahakuasa menguasai alam dan manusia melalui
kekuatan ilusiNya, Maya.
Ajaran Maya yang
dalam Maya Tattwa disebut sebagai Acetana,
yaitu azas ketidaknyataan atau khayal. Maya menurut Zoetmulder
1995:1115) berarti khayal, ketidaknyataan; penipuan, kecurangan; ilmu sihir,
magi, bayang-bayang yang tidak nyata. Ajaran maya dijelaskan dalam Gita (V:15) sebagai pengetahuan yang
tertutupi kebodohan sehingga manusia terbingungkan dan tersesat, “ajñānenāvrtam jñānam tena muhyanti jantavah” (‘budi pakerti yang diselubungi
ketidaktahuanlah yang menyebabkan makhluk tersesat di jalan’). Artinya,
ketersesatan makhluk hidup terutama manusia disebabkan oleh kebodohan, yaitu
salah satu dari sifat prakterti.
Manusia yang belum sadar akan Sang Diri
Sejati senantiasa akan berputar-putar
dan tersesatkan dalam lingkaran kebodohan. Jadi, kebodohan sebagai salah satu
dari sifat prakerti menyebabkan
manusia bingung dan tersesat. Ketersesatan tidak akan pernah mengantarkan
manusia mencapai tujuannya sehingga manusia tetap dan selalu berada dalam
lingkaran kelahiran.
Lingkaran kelahiran ini disebabkan oleh kekuatan triguna, seperti dijelaskan dalam Gita
(VII:13), “dikelabui oleh ketiga guna
dari prakrti ini, kiranya seluruh
dunia tidak mengetahui, sesungguhnya Aku ini lebih tinggi daripada mereka, dan
kekal abadi”. Artinya, membatasi diri dengan pengetahuan dari pemahaman
konvensional yang sebenarnya diciptakan oleh Maya, yaitu melalui identifikasi bentuk-bentuk dan kepemilikan
telah menyebabkan manusia tidak dapat mengetahui Sang Jiwa yang kekal sebagai
esensi dari pengada. Kekuatan Maya
tersebut sesungguhnya disebabkan oleh kekuatan triguna yang terdapat dalam setiap materi termasuk di dalam
manusia. Hampir seluruh indera manusia dibatasi oleh selubung Maya, karena itu manusia berputar-putar
dalam dunia bentuk yang begitu terukur dengan pembatasan normatif. Ini sebabnya manusia mengalami kesulitan
mengatasi kekuatan triguna.
Kecerdasan dan kesadaran manusia yang masih dihalangi oleh Maya, seperti dijelaskan dalam Gita
(VII:25), “terselubungi oleh kekuatan yogamaya-Ku,
Aku tak kelihatan oleh semuanya; dunia yang terkecoh ini tak mengetahui Aku
yang tak terlahirkan dan kekal abadi”. Seloka ini hendak mendorong kesadaran
manusia bahwa kewajibannya adalah membuka tabir misteri Yang Maha Esa yang
sesungguhnya berdiam di dalam diri setiap insan. Akan tetapi, ilusi sebagai
bagian dari realitas pikiran yang menyebabkan manusia tidak dapat melihat
realitas hidup yang sesungguhnya. Dunia bentuk dan kepemilikan begitu indah dan
menawan secara indrawi. Jadi, kewajiban utama manusia adalah melepaskan diri
dari Maya yang disebabkan oleh
kekuatan Triguna untuk mencapai
realisasi diri yang paling dalam, yaitu Atman.
Untuk itu diperlukan “kesadaran lain” bahwa sebenarnya
semua perbuatan manusia adalah kehendak Yang Mahakuasa yang berdiam di dalam
diri pada setiap makhluk. Manusia dibuat sama sekali tidak berdaya untuk
menentang kehendakNya karena manusia begitu menyatu dalam pikirannya sehingga
takluk di bawah sihir Maya. Dalam hal
ini, Yang Maha Esa ibarat dalang atau sutradara dalam pertunjukkan yang
mengatur segala-galanya, baik pemeran, lakon yang dimainkan, tata ruang atau
panggung, aturan, gerak-gerik, dialog, dan jangka waktu permainan. Akan tetapi,
sesungguhnya Yang Maha Esa bermain dengan diriNya sendiri dalam waktuNya
sendiri. Pemain, Jenis Permainan, Tempat Bermain, Waktu Bermain adalah diriNya
sendiri. Yang Maha Esa mewujud ke dalam Yang Banyak dan Yang Banyak mewujud ke
Yang Satu. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara konsep Yang Satu dan
Yang Banyak, walaupun dalam faktanya begitu sulit menyatakan bahwa Yang Satu
adalah Yang Banyak.
Penutup
Pada akhirnya dapat dipahami bahwa ajaran ketuhanan dalam Bhagawadgita terindentifikasi melalui nirgnuna brahman dan saguna brahman. Kedua konsep ini memang tidak
mudah dipahami karena maya meliputi
kemurnian manusia. Dalam Gita (XV:19) dinyatakan bahwa “dia yang tidak
tersesatkan oleh ilusi mengetahui Aku sebagai sang Diri tertinggi”. Artinya,
mereka yang bertekuk-lutut di hadapan ilusi Maya
akan semakin jauh diseret dari Yang Mahakuasa, sedangkan mereka yang ingin ke
jalanNya hendaknya secara total dan tulus menyerahkan diri kepadaNya. Manusia
harus dapat melepaskan diri dari pemahaman bahwa realitas yang tampak merupakan
bentuk-bentuk yang begitu terukur dan teridentifikasi melalui indra-indra.
Realitas bukan kejadian-kejadian, pengalaman-pengalaman, perasaan-perasaan,
tetapi “bukan ini”, yaitu realitas penyerta yang ada di balik realitas yang
hadir secara konvensional.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Gita mengajarkan
dunia adalah satu ilusi, tidak masuk akal, yaitu persepsi yang salah mengenai
realitas. Akan tetapi, ilusi hampir lebih banyak disamakan dengan kata
halusinasi atau delusi sehingga mengaburkan pemahaman seolah-olah Gita
menyatakan bahwa dunia ini palsu. Kebingungannya adalah dalam pendapat bahwa
kata “ilusi” berarti sama dengan “halusinasi” atau “delusi”, yaitu satu isapan
jempol imajinasi yang tidak punya dasar apa pun dalam realitas. Contoh klasik untuk
menggambarkan hal ini adalah tentang seutas tali yang terbentang di rumput.
Seorang mungkin secara mudah mengira seutas tali itu adalah seekor ular. Itulah
ilusi. Akan tetapi, itulah tali. Ilusi bukan apakah tali ada atau tidak.
Ilusinya adalah bahwa orang secara salah menganggap tali itu sebagai seekor
ular. Dengan demikian, ketika Gita berbicara tentang dunia material sebagai
sebuah ilusi, Gita tidak mengatakan bahwa dunia material tidak ada. Akan
tetapi, Gita berbicara persepsi yang salah tentang dunia, yaitu pemikiran bahwa
dunia material terpisah dari Tuhan. Sebaliknya, realitas merupakan realisasi
dari Yang Maha Esa.
Daftar Kepustakaan
Bagus, Lorenz. 2002. Kamus
Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Drucker, A. 1988. Intisari Bhagavad Gita. Jakarta: Yayasan Sri Satya Sai Indonesia.
Gadamer, Hans-George. 2006. Hermeneutika. Yogyakarta: LKiS
Pelangi Aksara.
Djelantik, Ida Ketoet. 1971. Geguritan Bhagawad Gita. Stensilan: Singaraja.
Kasturi, N. 1981. Pancaran
Kasih (Prasthana Vahini) Bhagavan Shri Sathya Sai Baba. Jakarta:
Yayasan Sai Centre Indonesia.
Klostermaier, 1988. A
Short Introduction to Hinduism. London: Oxford University Press.
Mantik, Agus S. 2009. Bhagawadgita
Terjemahan dan Komentar. Jakarta: Hanuman Sakti.
Mantra, Ida Bagus. 2009. Bhagawadgita Alih Bahasa & Terjemahan. Denpasar: Pemerintah
Provinsi Bali Percetakan Buku-buku Penutun Agama Hindu Pasraman Remaja
Pendit, Nyoman S. 2002. Bhagavadgita. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Phalgunadhi, I Gusti Putu. 2010. Sekilas Sejarah Evolusi Agama Hindu Edisi Revisi. Denpasar: Widya
Dharma.
Poespoprodjo, L. 1987. Interpretasi: Beberapa Catatan Pendekatan
Filsafatinya. Bandung : Remaja Karya
Pudja, Gde. 1981. Bhagawad
Gita. Jakarta: Hanuman Sakti.
Raganathananda, Swami. 1996. “Pelayanan sebagai
Pemujaan”. Artikel dalam Yajna Basis Kehidupan (Sebuah Canag Sari). Suamba, Ida Bagus
Putu. (ed), 1996. Denpasar: Warta Hindu Dharma.
Stevenson & Haberman. 2001. Manusia dan Kemanusiaan. Yogyakarta: Kanisius.
Sudharta, Tjokorda Rai. 1990. Ajaran Moral dalam Bhagawadgita. Jakarta: Hanuman Sakti.
Sudharta, Tjok. Rai dan Ida Bagus Oka Punyatmaja. 2001. Upadesa:
tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Sukarma, I
Wayan & I Wayan Budi Utama. 2010. Canang
Sari Dharmasmrti: Mengenang Bhakti Prof. Nala. Denpasar: Widya Dharma.
Suprayogo, Imam, dan Tobroni. 2001. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sura, I Gde, dkk. 2002. Kamus Istilah Agama Hindu. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali.
Takwin, Bagus. 2001. Filsafat Timur Sebuah Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur. Depok:
Jalasutra.
Tim Penerjemah. 1986. Bhagavadgita
Menurut Aslinya karya Swami
Prabhupada A.C. Bhaktivedanta. P.O. Box 2694 Jakarta Pusat 10001.