DINAMIKA SOSIAL KEAGAMAAN HINDU DI KOTA DENPASAR
Oleh
Dr. Drs. I Wayan Sukarma, M.Si
Pendahuluan
Upaya manusia
memahami esensi dan eksistensinya
dalam semesta simbol dapat dilihat dari perkembangan sejarah filsafat Barat
sejak abad ke-6 Sebelum Masehi (zaman Yunani Kuno) sampai dengan zaman modern.
Paradigma pemikiran filosofis Barat secara garis besarnya dapat dipahami
bergerak dari kosmosentris menuju ke
teoposentris hingga antroposentris. Pada tahapan kosmosentris manusia menemukan dirinya terpisah dari alam, karena itu
muncul upaya untuk mengerti dan memahami alam lebih komprehensif. Pada tahapan teoposentris manusia bersama
dengan alam merupakan makluk ciptaan Tuhan sehingga manusia mengabdikan diri
sepenuhnya untuk Tuhan. Kemudian,
pada tahapan
antroposentris manusia menyadari
keberadaan dirinya di tengah-tengah alam dan Tuhan, bahkan pada tahapan ini
manusia mampu merangkum pengalamannya sehingga manusia menjadi
sentral dari segalanya. Dalam hal ini,
manusialah
yang menentukan hubungan-hubungan
antara dirinya dan
alam termasuk dengan Tuhan. Malahan Abad Pencerahan telah menyebabkan manusia mampu memahami kehendak
bebasnya sehingga dapat mengolah alam berdasarkan intelektualitasnya. Demikian juga
dalam memaknai keberadaan Tuhan dalam kehidupannya, manusia tidak
semata-mata mendasarkan diri pada ajaran agama, tanpa rasionalitas yang
memadai. Oleh karena itu, metafisika
dan teologi semakin terpinggirkan dalam
dunia-kehidupan.
Dalam
perkembangan awal sainstifik
Barat, positivisme menjadi panglima sebagai satu-satunya paradigma untuk
mendapatkan pengetahuan benar. Hal ini sejalan dengan pandangan Auguste Comte
bahwa pemikiran manusia akan mencapai puncaknya pada tahapan positif setelah
melampaui tahapan
teologi dan metafisis. Positivisme dengan klaim pengetahuannya semakin
mengukuhkan keunggulan akal-budi
yang
justru meminggirkan manusia sebagai subjek.
Meluasnya pengaruh virus akal-budi ke seluruh pelosok dunia-kehidupan telah menghimpun sebagian besar manusia dalam
komunitas manusia rasional, yakni manusia yang mendewakan rasionalitas sebagai
satu-satunya sumber kebenaran.
Upaya manusia
menemukan pengetahuan benar dengan
pikirannya,
ternyata tidak selamanya berbuah manis. Pengakuan bahwa eksistensi manusia ada
pada pikirannya telah membawa manusia modern semakin menjauh dari
spiritualitas. Malahan
Sarvepalli Radhakrisnan menyatakan bahwa kemanusiaan
sekarang ini mengalami krisis terbesar sepanjang sejarah umat manusia.
Perkembangan sains dan teknologi tidak disertai dengan kemajuan yang sama di
bidang spiritualitas, bahkan spiritualitas makin rapuh dibawa arus
materialisme, hedonisme, pragmatisme peradaban modern.
Walaupun
demikian, modernisasi telah menjadi wacana hegemonik yang mendunia, bahkan
hampir tidak ada masyarakat dan kebudayaan yang berhasil melawan kekuatannya.
Modernisasi tidak hanya melibatkan revisi kronis pengetahuan, tetapi juga
struktur perasaan sehingga kehadirannya merupakan pesona, bahkan menggantikan
pesona religius yang senyatanya sakral. Dalam hal ini, modernitas sebagai fakta
sosial hegemonik dalam religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar merupakan
organisasi konsensus yang dibangun melalui kepemimpinan moral dan intelektual.
Oleh karena itu, refleksivitas atas hegemoni modernitas dalam religiusitas umat
Hindu di Kota Denpasar dipahami melalui munculnya, bentuknya, dan respons
terhadapnya.
2. Pembahasan
Munculnya
hegemoni modernitas dalam religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar dapat dipahami melalui
penjelasan historis, fungsional, rasionalitas, disposisional, dan
intensionalitas. Secara historis
munculnya hegemoni modernitas dalam religiusitas
umat Hindu di Denpasar melalui rangkaian peristiwa sejarah agama Hindu di Bali.
Masuknya lembaga agama ke dalam struktur
pemerintah menjadi kekuatan dominan yang memunculkan hegemoni modernitas. Dalam
hal ini, perjuangan kelompok intelektual tradisional yang membidani lahirnya
Parisada telah menempatkan umat Hindu pada sistem negara. Melalui wacana pembinaan
dharma agama dan dharma negara ideologi-ideologi hegemonik diproduksi, dipertahankan, dan disebarluaskan
kepada umat Hindu sehingga ternaturalisasi dalam akal sehatnya. Dalam proses ini,
kelompok intelektual tradisional menjadi aktor yang secara aktif memainkan
peran religius, sebagaimana modernitas mengarahkannya. Sementara itu, kelas
bawah dengan aktif mendukung dan menerima nilai-nilai, ide, tujuan, dan makna
budaya yang mengikat dan menyatukan mereka pada struktur kekuasaan.
Secara
fungsional hegemoni modernitas dalam religiusitas
umat Hindu di Kota Denpasar muncul
karena proses sosial-budaya berupa diferensiasi struktural, rasionalisasi,
komodifikasi, urbanisasi, dan birokratisasi dipandang fungsional. Hal ini
ditandai dengan dominannya materialisme dan individualisme sehingga proses
modernisasi diterima untuk menjaga keseimbangan struktur sosial dalam perubahan
yang sedang berlangsung. Desa pakraman yang
menjadi ruang berlangsungnya modernisasi religiusitas telah melaksanakan mekanisme
adaptasi budaya dalam merespons perubahan pola pikir dan tindak keagamaan. Dalam hal ini,
wacana pang pada payu muncul sebagai
respons positif terhadap pemodernan religiusitas sehingga umat Hindu mampu
bersaing secara ekonomi, tanpa harus meninggalkan tradisi religiusnya.
Secara
rasional hegemoni modernitas inheren dalam perkembangan rasionalitas.
Oleh
karena itu, rasionalisasi agama telah menjadi kebutuhan umat Hindu di
Kota Denpasar sebagai mekanisme untuk menyikapi perubahan yang terjadi seiring
proses modernisasi yang sedang berlangsung. Dalam masyarakat desa pakraman rasionalisasi dilakukan
terhadap tradisi religius yang dipandang tidak mampu lagi mengadopsi
kepentingan masyarakat modern. Proses rasionalisasi ini semakin diperkuat
dengan masuknya berbagai model pemikiran Hinduisme yang pada segmentasi
masyarakat tertentu dipandang lebih relevan dengan konteks kekinian. Pada
akhirnya perubahan ini berhasil didialogkan oleh intelektual trasional, baik
elite adat maupun agama sehingga keseimbangan sistem sosial desa pakraman tetap terjaga. Pada
akhirnya munculnya model keagamaan baru yang dipandang lebih rasional sekaligus
fungsional untuk mengatasi kehausan spiritual yang tidak dirasakan dalam
tradisi desa pakraman.
Secara
disposisional hegemoni modernitas terjadi karena modernisasi
telah memasuki ruang kesadaran individu-individu dan mendisposisi perilaku religiusnya. Ritual modern
sebagai perayaan hasrat mendapatkan makna praktisnya dalam aktivitas religius
yang senyatanya sakral. Schizofrenia menjadi
gejala kejiwaan yang menyebabkan munculnya ritual teatrikal bagi pemenuhan
libido dan hasrat individu yang dipertontonkan dalam ruang sosial. Mekanisme
sosial dalam mengapresiasi tindakan individu menyebabkan gejala ini menyebar secara luas
dalam masyarakat dan dipandang sebagai kewajaran. Kuatnya pengaruh libido
dan hasrat religius tertanam
melalui hegemoni modernitas sehingga
mendisposisi subjek-subjek yang mampu berbahasa dan
bertindak. Kemudian, secara intensional
hegemoni modernitas membentuk kesadaran religius umat Hindu di Kota
Denpasar. Modernitas dengan segala pesonanya telah memberikan pengalaman yang
berbeda sehingga muncul
pemaknaan yang juga berbeda
dalam religiusitas. Pada
akhirnya pemodernan religiusitas menjadi kesadaran baru dalam religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar.
Bentuk
hegemoni modernitas dalam religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar, antara lain hegemoni
modernitas dalam dogma agama, hegemoni modernitas dalam ritual agama, hegemoni modernitas
dalam moral agama, dan hegemoni
modernitas dalam lembaga keagamaan. Bentuk
hegemoni modernitas dalam dogma agama terutama ditandai dengan diterimanya
konsep agama negara.
Dalam hal ini, iman monoteis sebagaimana dianut agama semitis menjadi rujukan
untuk memenuhi tuntutan formalisasi agama. Iman
monoteis berupa kepercayaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Tuhan Yang
Maha Esa diwujudkan dalam bentuk padmasana.
Akan tetapi, juga padmasana menjadi palinggih utama yang dijadikan pusat
orientasi pemujaan kepada seluruh istadewata.
Hegemoni
modernitas dalam ritual ditandai dengan masuknya kesadaran modern ke dalam
struktur pengetahuan dan perasaan umat Hindu di Kota Denpasar. Dalam hal ini, lingkungan eksternal yang membawa
kesan modernitas, seperti produksi teknologi, mekanisme pasar, ritual massal, dan konstruksi agama negara, serta kinerja birokrasi
telah membangun kesadaran umat Hindu untuk
melakukan
objektivikasi ritual yang disemangati oleh rasionalitas-instrumental. Hegemoni modernitas
dalam ritual tampak
dalam segala bentuk rasionalisasi ritual, baik tata cara (upacara) maupun sarana (upakara).
Hegemoni
modernitas dalam moral agama ditandai dengan perluasan budaya dan ekonomi,
antara lain penerimaan barang-barang hasil industri, baik dalam lingkungan parhayangan,
pawongan, dan palemahan. Dalam lingkungan palemahan,
tanah telah kehilangan pesona sakralnya karena lebih dimaknai sebagai barang
komoditas. Dalam lingkungan pawongan, kode moral telah kehilangan
landasan tradisi karena perilaku religius lebih dimaknai dalam konteks
kekinian. Dalam
lingkungan parhyangan terjadi
perubahan pengetahuan moral agama sesuai dengan masalah-masalah yang ditimbulkan
oleh modernitas.
Hegemoni
modernitas dalam lembaga keagamaan umat Hindu di Kota Denpasar ditandai dengan
semakin banyaknya lembaga keagamaan yang mengambil peran dan fungsi yang saling
berkaitan satu dengan lainnya. Sebaliknya, semakin melemahnya peran dan fungsi
Parisada sebagai lembaga agama yang
secara khusus membangun dan menata religiusitas umat Hindu. Hal ini sejalan
dengan ciri modernitas ditandai
dengan melemahnya lembaga-lembaga primer dan sebaliknya, menunjukkan dominannya
peran lembaga-lembaga sekunder.
Hal ini ditunjukkan dengan
munculnya lembaga-lembaga sosial yang sesungguhnya tidak berhubungan langsung
dengan persoalan keagamaan, justru
secara parsial berhasil memainkan peran dominan dalam religiusitas umat Hindu
di Kota Denpasar.
Respons terhadap
hegemoni
modernitas dalam religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar, berupa redefinisi agama,
konversi internal, dan deprivatisasi agama.
Redefinisi agama terjadi dalam dogma, ritual, moral, dan lembaga keagamaan. Redefinisi dogma
berlangsung secara dialektis antara dogma monoteis dan dogma tradisional
sehingga melahirkan respons yang ambigu, berupa afirmasi, falsifikasi, dan akulturasi.
Redefinisi ritual berlangsung melalui proses produksi teknologi,
mekanisme pasar, ritual massal, dan birokratisasi. Redefinisi
moral
berlangsung dalam kerangka etika diskursus, yaitu moralitas yang
dianut
sebagai univerasilitas mendapatkan pengujian terus-menerus dalam diskursus
praksis. Redefinisi lembaga keagamaan ditandai dengan
redefinisi perannya melalui penyesuaian habitus dengan lingkungan sosial dan
budaya modern.
Konversi
internal berlangsung dalam tiga kecenderungan, yaitu mistikal, ideologi
keagamaan, dan ekletik. Konversi mistikal lebih menekankan pada aspek spirit sehingga tidak bersinggungan
langsung dengan formalitas agama
dan jarang melahirkan kontroversi dalam masyarakat. Konversi ideologi lebih menekankan pada penerimaan ideologi agama baru karena
agama formal dipandang tidak mampu memenuhi kepuasan spiritual. Konversi ekletis lebih menekankan aspek humanitas dari
agama Hindu sehingga penghayatan dan praktiknya menjadi pilihan.
Deprivatisasi
agama terjadi dalam dua kecenderungan, yaitu ideologisasi agama dan
revitalisasi nilai agama. Ideologisasi agama untuk melanggengkan kekuatan
hegemonik negara dan pasar. Agama memainkan peran ideologis untuk melegitimasi
kekuasaan dan ekonomi melalui kepemimpinan moral dan intelektual. Revitalisasi
nilai agama merupakan bentuk adaptasi budaya tradisional dengan lingkungan
sosial dan budaya modern. Adaptasi ini berlangsung dalam bentuk peningkatan
adaptasi (adaptive upgrading) dan adaptasi dengan modifikasi (adaptive comodification). Dalam proses
adaptasi ini tampaknya kesadaran agama dijadikan kekuatan untuk merespons
hegemoni modernitas sehingga nilai-nilai agama tetap aktual dalam kondisi
kekinian. Nilai-nilai kebajikan budaya modernitas diterima tanpa meninggalkan
keyakinan agama tradisional.
3.
Refleksi
Munculnya
hegemoni modernitas dalam religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar menjadi
bukti bahwa pesona modernitas begitu kuat mempengaruhi sistem pengetahuan,
sistem tindakan, dan sistem nilai umat Hindu dalam membangun dan menata
religiusitasnya. Penjelasan historis, fungsional, rasional, disposisi, dan
intensionalitas yang digunakan untuk mencermati kemunculan hegemoni modernitas
tersebut tampak berkorespondensi dengan pengalaman subjektif dan refleksivitas.
Sejarah
merupakan pengalaman individu atas masa lalu yang direfleksikan dalam kehidupan
masa kini. Perubahan sistem keagamaan Hindu di Kota Denpasar memberikan
pengalaman sejarah yang dicerap, dikenangkan, dan direfleksikan umat Hindu
dalam kesadaran subjektifnya sehingga menerima modernitas sebagai keniscayaan
historis. Refleksivitas historis menunjukkan bahwa perubahan sistem keagamaan
Hindu dilakukan oleh kalangan intelektual, baik tradisional maupun organis
dalam relasi agama dan kekuasaan.
Dalam
hal ini, peran hegemonik elit agama dalam perubahan sistem keagamaan Hindu
menjadi fakta sejarah ditandai munculnya puri
dan griya sebagai pusat orientasi
keagamaan umat Hindu. Malahan ketika elit-elit puri dan griya terlibat
dalam lembaga Parisada yang membawa agama Hindu pada gerbong kekuasaan agama
negara pascakemerdekaan Republik Indonesia, juga gagasan ini diterima umat
Hindu sebagai kebutuhan yang layak diperjuangkan. Walaupun kemudian, proses ini
menempatkan agama Hindu sebagai salah satu bidang pembangunan, seperti
bidang-bidang sekuler lainnya. Dengan
demikian, munculnya hegemoni modernitas dalam religiusitas umat Hindu di Kota
Denpasar tidak dapat dilepaskan dari peran elit-elit agama Hindu dan kalangan
birokrat karena agama Hindu sendiri pada tataran normatif lebih cenderung
berkarakter agama elit, dibandingkan agama publik.
Modernitas
sebagai fenomena budaya juga diterima karena proses sosial hegemonik
berlangsung secara fungsional. Analisis fungsionalisme budaya dalam tradisi
positivistik umumnya menyatakan bahwa suatu fenomena budaya eksis dalam
masyarakat karena ia fungsional. Dalam hal ini, modernitas dengan berbagai
proses sosial budaya yang selibat dengannya berhasil merebut konsensus umat
Hindu di Kota Denpasar karena fungsional dalam religiusitasnya. Konsensus ini
terbentuk menurut kemampuan umat Hindu dalam merefleksikan kebutuhan
religiusnya dengan fungsi budaya modern yang dicerap dalam ruang kesadarannya.
Ini sebabnya hegemoni modernitas hadir dalam ruang, waktu, dan aktivitas yang
parsial karena tidak seluruh budaya modern dapat memenuhi kebutuhan umat Hindu
di Kota Denpasar dalam religiusitasnya. Konsekuensi logisnya bahwa sesungguhnya
budaya modern tidak sepenuhnya diterima umat Hindu, kecuali pada aspek-aspek
tertentu yang dipandang mampu merebut konsensus.
Pada
sisi lain, modernisasi adalah proyek intelektual yang menempatkan rasionalitas
sebagai puncak kebenaran. Artinya, seluruh kepercayaan dan praktik kehidupan
memerlukan landasan rasionalitas yang memadai tidak terkecuali dalam bidang
agama. Dalam ranah praksis rasionalitas mengafirmasi seluruh tindakan yang
efektif dan efisien sebagai tindakan yang paling rasional. Mengingat budaya
modern ditandai dengan semakin berharganya waktu dan uang sehingga tindakan
yang efektif dan efisen menjadi pilihan rasional. Pada kutub yang berbeda, juga
moralitas menjadi sistem nilai yang menjadi penyeimbang rasionalitas dalam
transisi budaya tradisional ke modern. Hal ini menempatkan umat Hindu di Kota
Denpasar pada dua kutub berlawanan antara moralitas budaya tradisional dengan
rasionalitas budaya modern sehingga rasionalitas komunikatif menjadi model
rasionalitas yang niscaya dalam modernitas.
Modernitas bukan
hanya sekadar instrumen yang bersifat teknis, tetapi juga nilai-nilai yang
bersifat subjektif. Pada tataran subjek
modernitas menawarkan otonomi personal, sedangkan pada tataran objek modernitas
berpusat pada potisivisme.
Implikasinya bahwa modernitas merupakan arena perayaan hasrat dan libido
berkuasa individu karena diferensiasi struktural yang berlangsung secara
sistematis telah melemahkan tata nilai dominan dan sistem referensi
tradisional. Otonomi individu yang diafirmasi dari modernitas ini telah
mendorong munculnya disposisi penghayatan dan praktik religiusitas secara
individual dalam kehidupan religius umat Hindu di Kota Denpasar. Hal ini
menunjukkan gejala terjadinya disorientasi religiusitas umat Hindu yang
bergerak dari pusat menjadi menyebar karena pusat orientasi religius bukan lagi
pada kekuasaan tradisional, seperti puri dan
griya, melainkan pasar. Pergeseran
pusat orientasi ini dapat dijadikan titik tolak untuk memprediksi kemungkinan
munculnya perubahan karakter agama Hindu di Kota Denpasar dari agama elit ke
agama publik, kecuali bila pusat-pusat kekuasaan agama tradisional melakukan
gerakan hegemoni melalui saluran-saluran modernitas yang sejalan dengan
rasionalitas masyarakat.
Berikutnya,
modernitas adalah bentuk kesadaran yang dalam dan melalui kesadaran itu subjek
memaknai kehidupannya dan melakukan tindakan berdasarkan motif dan tujuan
tertentu. Tindakan religius sebagai refleksi
kesadaran keagamaan umat Hindu di Kota Denpasar dalam memaknai modernitas tentu
bukanlah sesuatu yang bersifat ahistoris. Pemaknaan ditentukan oleh pengetahuan
dan kecerdasan, bahkan juga intuisi yang intensitasnya berbeda pada setiap
orang, baik karena faktor genetik, pembelajaran, maupun pengalaman. Implikasinya bahwa cara umat Hindu memaknai
pengetahuan dan pengalaman religiusnya menentukan tindakan religius yang
dilakukan. Mengingat tingkat intensitas pemaknaan umat Hindu berbeda sehingga
tindakan yang muncul juga beragam. Dari sinilah kemudian, hegemoni modernitas
menampakkan diri dalam penghayatan dan praktik religius yang beragam sehingga
pluralitas agama menjadi sesuatu yang niscaya dalam religiusitas umat Hindu di
Kota Denpasar.
Munculnya
hegemoni modernitas dalam religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar tersebut
merefleksikan terjadinya diferensiasi struktural sebagai ciri penting
modernitas. Diferensiasi ini melahirkan penghayatan dan praktik religius yang
beragam dan berlangsung dalam seluruh bentuk religiusitas, seperti dogma,
ritual, moral, dan lembaga keagamaan. Dogma yang menjadi inti kepercayaan agama
mengalami restrukturisasi untuk memenuhi persyaratan formal agama sekaligus
agar sejalan dengan rasionalitas monoteistik. Mengingat agama negara telah
menempatkan dogma monoteis menjadi teologi hegemoni agama-agama formal di
Indonesia sehingga menerima dogma ini berarti menerima kekuasaan negara dalam
religiusitas umat Hindu. Apabila tidak, maka umat Hindu akan menerima
konsekuensi terpinggirkan dari kekuasaan negara, dan dengan demikian kehilangan
legitimasi.
Ranah
ibadat agama yang muncul dalam bentuk-bentuk ritual juga ditandai dengan
semakin kuatnya pengaruh modernitas terutama materialisasi dan komodifikasi
budaya. Dalam konteks ini, rasionalitas instrumental menjadi bentuk
rasionalitas yang dominan muncul sehingga hasil akhir lebih penting daripada
proses. Apalagi penetrasi pasar telah berhasil merebut konsensus dalam
menyediakan tata cara dan peralatan ritual secara efektif dan efisien bagi umat
Hindu. Berdasarkan fakta ini dapat direfleksikan bahwa hegemoni modernitas
dalam religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar akan melahirkan bentuk agama
pasar (market religion), yaitu cara
beragama yang sesuai dengan kehendak pasar.
Kuatnya
pengaruh rasionalitas dan materialisme kehidupan yang menjadi ciri budaya
modern, juga tampaknya telah berhasil merebut konsensus moral umat Hindu, baik
dalam ranah palemahan, pawongan, maupun
parhyangan. Dalam hal ini, moralitas
tidak lagi menjadi pedoman perilaku, tetapi perilaku itu sendiri telah
dipertukarkan dalam arena sosial budaya modern yang semakin mengaburkan batasan
baik-buruk, boleh-tidak boleh karena efektivitas perilaku dan
keuntungan-keuntungan material yang akan diperoleh lebih diutamakan. Apabila
moralitas telah kehilangan pesona menjadi acuan perilaku bajik dan sebaliknya,
gaya hidup dan citra modern mengatasi nilai moral, maka agama akan kehilangan
pesonanya. Hal ini dapat direfleksikan dengan kondisi kekinian bahwa ketika
ritual semakin marak, juga ceramah agama semakin intensif dalam masyarakat,
ternyata berbagai bentuk pelanggaran norma dan hukum semakin marak dalam
masyarakat. Dengan kata lain, kepanikan moral (moral panic) menjadi sisi paradoks yang tidak terhindarkan dalam
modernitas karena moralitas sebagai kerangka acuan nilai kebajikan mulai
terpinggirkan oleh rasionalitas.
Berikutnya,
juga krisis wibawa melanda lembaga keagamaan Hindu karena kegagalannya
mengatasi konflik internal sehingga peran dan fungsinya dalam pembinaan umat
Hindu diambil alih oleh lembaga-lembaga sekunder. Munculnya lembaga-lembaga
berbasis soroh atau wangsa menjadi bukti bahwa modernitas
membuka ruang representasi diri bagi individu dan kelompok, sedangkan agama
hanya mendapatkan pesonanya sebagai legitimasi objektif. Fakta ini dapat
ditelusuri lebih jauh bahwa konflik internal Parisada merupakan perluasan konflik antarorganisasi soroh di Bali dan khususnya di Kota Denpasar. Oleh karena itu,
fakta ini sesungguhnya tidak hanya menunjukkan terjadinya diferensiasi lembaga
keagamaan, tetapi juga penajaman perbedaan organisasi berbasis soroh yang berebut legitimasi umat
Hindu. Artinya, alih-alih memediasi konflik internal dalam kelembagaan umat
Hindu, justru representasi diri dengan menjadikan agama sebagai alat legitimasi
ini dapat semakin menajamkan persoalan soroh
di Kota Denpasar. Apalagi bila Parisada sebagai majelis tertinggi umat
Hindu berafiliasi pada kelompok-kelompok sampradaya
ini, maka konsolidasi internal semakin sulit diwujudkan.
Mencermati
kemunculan dan bentuk-bentuk hegemoni modernitas dalam religiusitas umat Hindu
di Kota Denpasar dapat dipahami bahwa diferensiasi struktural dan terdesaknya
agama ke wilayah privat menjadi ciri dominan yang tampak di permukaan. Ini
menjadi kesan eksternal yang mendorong umat Hindu melakukan respons atas
hegemoni modernitas tersebut. Secara
umum respons umat Hindu di Kota Denpasar menunjukkan terjadinya gejala
sekularisasi agama yang juga menjadi tesis penting para teoretisi sosiologi
agama, seperti Peter L. Berger, Max Weber, dan Jose Cassanova. Dalam hal ini
respons umat Hindu di Kota Denpasar ditunjukkan dengan terjadinya redefinisi
agama, konversi internal, dan deprivatisasi agama.
Redefinisi
agama merupakan respons atas momen diferensiasi struktural dalam religiusitas
umat Hindu di Kota Denpasar. Redefinisi ini berlangsung dalam semua ranah
religiusitas, seperti dogma, ritual, moral, dan lembaga keagamaan. Dalam dogma
agama, respons ini ditandai dengan dominannya rasionalitas instrumental dan
komunikatif dalam menerima dogma monoteis sehingga muncul dalam bentuk
akulturasi budaya dan afirmasi secara total
dalam struktur tempat suci. Respons
dalam ritual ditandai dengan proses adopsi dan adaptasi budaya sehingga
melahirkan perilaku ritual yang beragam dan ambigu. Respons dalam moral agama
ditandai dengan munculnya diskursus etis dalam konteks demokrasi deliberatif.
Sementara itu, redefinisi lembaga keagamaan ditandai dengan semakin luasnya
arena kultural baru sehingga memunculkan penghayatan dan praktik religiusitas
yang beragam. Respons ini terutama muncul karena tersebarnya sistem pengetahuan
keagamaan yang dicerap dalam kesadaran subjek sehingga melahirkan penghayatan
dan praktik religius yang beragam. Dengan kata lain, modernitas menyebabkan
perubahan sistem pengetahuan umat Hindu sehingga caranya bertindak juga
berubah. Dari sini, refleksivitas budaya modern dalam religiusitas melahirkan
bentuk-bentuk adosi dan adaptasi budaya yang disesuaikan dengan perkembangan
rasionalitas umat Hindu, baik instrumental maupun komunikatif.
Konversi
internal merupakan respons atas terjadinya privatisasi agama, yaitu ketika
agama terdesak ke wilayah privat sehingga individu-individu meracik penghayatan
dan praktik beragama yang pas dengan dirinya sendiri. Konversi ini muncul dalam
kecenderungan mistikal, ideologi agama, dan humanis fungsional. Kecenderungan
konversi internal muncul karena umat Hindu mengalami ketakbermaknaan dalam
agama mapan yang dianut sehingga memerlukan rumah tradisi baru yang lebih cocok
dengan selera individu. Berbeda halnya dengan redefinisi agama yang berlangsung
dalam ranah agama formal-tradisional, justru konversi internal menunjukkan
pergeseran dan perubahan cara beragama ke dalam bentuk-bentuk kebaruan. Malahan
konversi ke kelompok-kelompok sampradaya yang
tampak dominan menjadi fakta religius baru di Kota Denpasar bahwa umat Hindu
tidak hanya melakukan peralihan batiniah, melainkan peralihan ideologi
keagamaan yang sama sekali berbeda dengan agama mapan. Pada sisi yang berbeda,
respons ini dapat dipandang sebagai melemahnya kebijaksanaan lokal (local wisdom) umat Hindu dalam memaknai
modernitas sehingga afirmasi dan afilisasi ke dalam bentuk-bentuk keagamaan
kultus menjadi pilihan religius, meskipun konsekuensinya adalah meninggalkan
kemapanan agama tradisional.
Kemudian,
deprivatisasi agama adalah upaya mengembalikan agama ke ruang publik. Respons
ini mendorong terjadinya ideologisasi agama dan revitalisasi agama.
Ideologisasi agama bermakna bahwa agama dihadirkan ke ruang publik menjadi alat
legitimasi ideologi yang berlangsung dalam wilayah utama modernitas, yaitu
politik dan ekonomi kapitalis. Dalam konteks ini, agama diperlakukan
sebagaimana ideologi-ideologi sekuler yang hanya bermakna dalam fungsi
legitimasi. Artinya, agama sesungguhnya masih menyisakan pesona yang dapat
dibawa ke ruang publik untuk memberikan legitimasi kekuasaan, baik politik
maupun ekonomi. Sementara itu, juga agama diupayakan hadir ke ruang publik
melalui revitalisasi nilai agama untuk kepentingan bidang-bidang kehidupan
sekuler lainnya. Dalam hal ini, birokrasi dan kelompok kapitalis menjadi
kekuatan penting yang memainkan peran revitalisasi tersebut. Dengan demikian,
agama tidak saja kembali kesakralannya dalam ruang publik karena nilai-nilai
agama menjadi motivasi tindakan individu, tetapi juga karena agama menjadi
penyeimbang dan penggerak modernisasi dalam kerangka pembangunan.
Berdasarkan
uraian tersebut dapat dipahami bahwa modernisasi yang dalam negara-negara
berkembang lebih tepat disebut pembangunan telah membawa agama menjadi bagian
dari struktur kekuasaan dan objek pembangunan. Oleh karena itu, negara dan
pasar menjadi kekuatan hegemonik yang membawa perubahan religiusitas umat Hindu
di Kota Denpasar. Perubahan ini terutama ditandai dengan munculnya penghayatan
dan praktik religius yang beragam sehingga pluralitas agama menjadi realitas
sosio-religius modern yang tidak terbantahkan. Menyikapi hal tersebut, penting
bagi umat Hindu untuk melakukan mekanisme adaptasi, baik peningkatan adaptasi
maupun adaptasi dengan modifikasi sehingga pluralitas agama yang muncul tidak
menjadi ancaman bagi ketertiban, keteraturan, dan keseimbangan sosial. Dalam
hal ini, ditawarkan sebuah nilai acuan universal yang dapat mengayomi seluruh
penghayatan dan praktik keagamaan umat Hindu, yaitu panca sradha sebagai landasan ontologis, catur marga sebagai landasan epistemologis, dan catur purusa artha sebagai landasan
aksiologisnya. Akan tetapi, acuan ini harus dipahami dalam sistem makna yang
terbuka dan konstruktif sejalan dengan prinsip-prinsip multikulturalisme.
Bacaan
Berger, Peter L. 2003. Kebangkitan Agama Menentang Politik Dunia. Jogjakarta : Khasanah
Pustaka Indonesia.
Budiman,Hikmat. 2005. Hak Minoritas Dilema Multikulturalisme di Indonesia. Jakarta: The
Interseksi Foundation.
Carrithers, David Wallace. 1977. The Spirit of Laws by Montesquieu. Berkeley – Los Angeles- London:
University of California Press.
Hartono,Sunaryati.2006. Reformasi Picu Pluralisme
Hukum dalam Kompas, 30 Mei 2006.
Kimball, Charles.2003. Kala Agama Jadi Bencana. Bandung: PT.Mizan
Pustaka.
Nottingham,Elizabeth K. 1985. Agama dan Masyarakat. Jakarta: CV.Rajawali.
O’Dea, Thomas F. 1985. Sosiologi Agama. Jakarta : CV.Rajawali.
Radhakrishnan,
S. (Yudha Triguna, penyunting). 2003. Agama-Agama
Timur dan Pemikiran Barat. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan
kebudayaan, Unhi.
Rousseau, Jean Jacques. The Social Contract Discourses.
Translated with Introduction by G.D.H.Cole,MA. London : J.M.Dent &
Sons Ltd.
Scharf,Betty R.1995. Kajian Sosiologi Agama.
Yogyakarta: CV.Tiara Wacana
Triguna, Ida Bagus Gde Yudha. 2004. Ketahanan Sosial
Budaya Indonesia Terhadap Ancaman Dunia Barat. Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional Ancaman Neo Kolonialisme
terhadap Negara Kesatuan Indonesia. Jakarta, 5 Januari 2004.