SPIRIT HUMANISME HINDU
DALAM MEMBANGUN
PERDAMAIAN DUNIA
Oleh
Prof. Dr. Ida Bagus Gunadha, M.Si*
Perbedaan ras, bahasa, agama, dan tradisi sosial
memberi tugas kepada manusia untuk menciptakan tatanan dunia kehidupan dan
menemukan jalan hidup. Dengan jalan hidup ini kelompok-kelompok yang berbeda
dan berlawanan dapat hidup berdampingan, damai, dan mengambil langkah-langkah
konstruktif untuk mencapai martabat dan kehidupan mulia bagi semua. Akan
tetapi, pada kenyataan empiris sehari-hari tidak jarang ditemukan penyakit
sosial yang bersumber dari kesenjangan antara lembaga-lembaga sosial dan
tujuan-dunia. Kesenjangan yang melahirkan krisis dalam kehidupan manusia, baik
pada aspek sosial, budaya maupun agama (Radhakrishnan, 2003).
Pentingnya rekonstruksi sosial berdasarkan idola-idola
agama menurut Jacob (2006) karena pada masa kini telah terjadi proses
dehumanisasi dan degradasi moral, bahkan telah mencapai stadium akut karena
perkembangan antara moral dan material tidak lagi
seimbang.
Manusia mengalami perkembangan material menakjubkan bersamaan dengan penurunan
kesadaran sosial, yakni perkembangan yang terbatas dalam pengertian etika dan
estetika. Berkaitan dengan kondisi ini, Mulkhan (2007) menegaskan bahwa dalam
dunia global, manusia mengalami
kemungkaran lingkungan dan dehumanisasi sebagai akibat dari kapitalisme yang
hedonis dan materialistik. Seturut dengan hal ini, Radhakrishnan
(2003) mengingatkan bahwa manusia harus belajar mematuhi kemanusiaan termasuk kepada mereka yang tidak berperikemanusiaan. Manusia
harus rela membiarkan perkembangan pikiran dan moralnya menjangkau jauh ke masa
depan, dan manusia tidak membiarkan kebencian menutupinya. Di sinilah, pemaknaan berbagai kesalehan sosial yang disumbangkan
kitab suci agama-agama semakin menemukan panggilannya.
Mematuhi kemanusiaan, membiarkan pikiran dan moral
berkembang, serta membuka kesadaran diri merupakan upaya pembangkitan cita-cita
luhur agama. Pembangunan agama dan keagamaan memang merupakan proyek
kemanusiaan yang menyatukan seluruh lapisan sosial untuk bersama-sama menang
dalam pergulatan hidup (Mulkhan, 2007). Apalagi dalam epistemologi sosial tidak
ditemukan kebenaran mutlak sehingga ilmu pengetahuan senantiasa mengandung arti
nilai. Artinya, kebaikan yang diajarkan agama haruslah menjadi dasar
kebenaran karena agama merupakan sumber moral, selain hukum, kebudayaan, dan
interaksi sosial (Bertens, 2002; Abdullah, 2005). Pengembangan
ilmu pengetahuan yang menekankan pada pentingnya peran ilmu pengetahuan dan
teknologi menjadi instrumen dalam proses humanisasi sehingga ilmu pengetahuan
dan teknologi dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia pada hakikatnya
merupakan cita-cita luhur agama (Radhakrishnan, 2003; Lubis, 2006). Seturut
dengan itu, Maman, dkk. (2006) menghimbau agar
pembangunan agama, pembinaan, pengembangan, dan pelestariannya menjadi agenda
penting dan niscaya karena agama memiliki peran transformatif dan motivator
bagi proses sosial, kultural, ekonomi, dan politik pada masa depan.
Walaupun demikian, upaya revitalisasi peran agama
sebagai sumber nilai moral dan kemanusiaan harus berhadapan dengan cacat
internal agama itu sendiri. Magnis-Suseno (Yusuf, 2006) menunjukkan dua cacat agama tradisional, yaitu pertama, agama-agama tidak perduli
kemiskinan, ketertindasan, ketidakadilan, dan penderitaan di sekelilingnya.
Agama-agama berfokus pada ritus-ritus dan ibadah, tetapi banyak orang yang terbelenggu
rasa lapar dan putus asa sama sekali luput dari
perhatian agama. Kedua, agama-agama
sudah menjadi satu sumber dan penyebab tindak kekerasan dan kekejaman
dalam masyarakat. Seturut dengan itu, juga Kahmad (2002) menyatakan
bahwa agama seringkali bersifat paradoks, di satu sisi agama
dijalani sebagai jalan penjamin menuju keselamatan, cinta, dan perdamaian;
sementara itu, di pihak lainnya agama justru menjadi sumber penyebab dan alasan
bagi kehancuran dan kemalangan umat manusia. Seturut dengan itu, juga Kimball (Kimball,
2003) tentang lima tanda yang dapat membuat agama menjadi busuk dan korup. Pertama, bila suatu agama mengklaim
kebenaran agamanya sebagai kebenaran mutlak dan satu-satunya. Kedua, bila timbul ketaatan buta kepada
pemimpin keagamaan mereka. Ketiga,
bila agama mulai ganderung merindukan zaman ideal, lalu bertekad
merealisasikannya zaman sekarang. Keempat,
bila agama tersebut membenarkan dan membiarkan terjadinya tujuan yang
membenarkan cara. Kelima, bila agama
tidak segan-segan memekikkan perang suci. Sampai di sini, agama merupakan realitas sosial yang
berwajah ganda.
Cacat inilah yang mendorong pentingnya umat beragama merumuskan
kembali cara memaknai dan melaksanakan ajaran agamanya dengan pendekatan yang
lebih humanis dan fungsional. Menurut Hidayat (200) bahwa pendekatan humanis-fungsional menekankan pada penghayatan nilai-nilai
kemanusiaan yang dianjurkan oleh agama. Pada tipe ini, apa yang disebut
kebajikan hidup adalah bila seseorang telah beriman kepada Tuhan, lalu berbuat
baik kepada sesamanya. Sikap toleran dan eklektisisme pemikiran beragama
merupakan salah satu ciri tipe ini. Kecenderungan
ini pada dasarnya hendak menegaskan bahwa agama tetap
menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat pada setiap bangsa dan pada
setiap zaman karena agama tetap berfungsi dalam
pemeliharaan dunia (Berger, 1994). Kecenderungan ini,
juga menunjukkan salah satu gejala intelektual dalam studi-studi agama
belakangan ini, yaitu dominannya model pendekatan sosio-historis yang lebih kontekstual dibandingkan dengan
pendekatan theoposentris yang
bersifat tekstual pada masa-masa sebelumnya (Robertson, 1988). Dalam pendekatan ini
ajaran-ajaran agama yang termuat dalam kitab suci ditransformasikan menjadi
agama sosial, yaitu internalisasi ajaran agama yang selanjutnya dipraktikkan
dalam kehidupan nyata sebagai pedoman perilaku (Scharf, 2005). Pendekatan ini pada dasarnya menegaskan bahwa agama
sebagai realitas sosial sesungguhnya tidak pernah mencapai perkembangannya yang
final. Radakrishnan (2003) menjelaskan bahwa hakikat agama
merupakan suatu panggilan menuju suatu petualangan spiritual. Ia bukan hanya
teologi, melainkan praktik dan disiplin. Hakikat agama tidak terletak pada
dogma-dogma dan kredo-kredo, ritus-ritus, dan upacara-upacara yang menjemukan,
tetapi kebijaksanaan-kebijaksanaan paling mendalam dari segala zaman.
Pendekatan kontekstual sekaligus menandai terjadinya
pegeseran epistemologi agama dari religionisme atau agamaisme ke spiritualisme.
Menurut Roberts (2002) bahwa spiritualisme mengatasi otoritas dan konformitas
institusi agama, ia berdiri di luar semua agama. Sejalan dengan itu, juga
Radakrishnan (2003) menjelaskan bahwa perbedaan antar agama-agama bukan
menyangkut kebenaran, melainkan pandangan-pandangan atau pemahaman terhadap
kebenaran yang diyakini. Agama-agama pada dasarnya merupakan wujud-wujud
historis yang berbeda-beda dari satu kebenaran yang validitasnya bersifat
universal dan tidak berkesudahan. Dalam spiritualitas, perbedaan agama tidak
akan menghalangi visi suci manusia untuk menemukan kediriannya di tengah-tengah
alam semesta. Di sinilah, ekletisisme agama-agama menjadi keniscayaan untuk
mencapai tujuan-tujuan kemanusiaan melalui transfigurasi. Transfigurasi atau
spiritualisasi dalam pandangan eksistensialis Nietszchean (Roberts, 2002)
merupakan cara untuk mewujudkan eksistensi manusia, yakni kebebasan spirit.
Dalam upaya mewujudkan perdamaian dunia, tampaknya
agama humanitas menjadi model beragama yang paling tepat diterapkan dalam
kehidupan multikultural. Agama humatinas menjunjung tinggi
keutamaan-keutamaan manusiawi yang luhur, seperti kebaikan hati, kebesaran
hati, keterbukaan terhadap seni, wawasan yang luas, universalisme, nilai-nilai
budaya Timur, religiusitas yang merasa dekat dengan alam, penolakan fanatisme,
dan toleransi positif. Prinsip-prinsip humanisme secara intrinsik telah
terdapat dalam setiap agama. Humanisme, bahkan telah menjadi nilai universal
yang mengatasi perbedaan setiap ras, suku, budaya, dan agama. Agama
Hindu yang bersumber dari kitab suci Veda
dan mengalir ke dalam seluruh kesusastraan Hindu
dengan jelas mengajarkan nilai-nilai universal tersebut.
Sebutan “Sanatana Dharma” untuk agama Hindu mewakili nilai-nilai universal ini.
Agama Hindu relevan dengan segala tingkatan intelektual, emosional manusia,
latar belakang sosial-budaya, geografis, dan sebagainya. Nilai-nilai universal
ini masuk melalui berbagai media dan diungkapkan dalam berbagai cara sesuai
dengan kemampuan, keadaan, dan waktu. Konsep ini melahirkan konsep kebudayaan
Hindu yang beraneka rupa dalam perwujudan, tetapi
satu dalam esensi (bhinneka
tunggal ika).
Dalam konteks kehidupan masyarakat yang multidimensional dan
multikultural, nilai-nilai universal agama-agama perlu dikedepankan. Agama
diharapkan mampu sebagai perekat persaudaraan, persahabatan, dan persatuan
secara mikro maupun makro. Adanya kecendrungan agama dijadikan sebagai alat
kekuasaan, politik, ekonomi dapat menyeret agama-agama ke dalam ruang sempit
dan parsial. Hal ini dikhawatirkan dapat menyebabkan
orang-orang tidak lagi mempercayai keberadaan agama-agama. Gerakan-gerakan
fundamentalis pasti meniscayakan keberadaan agama-agama lain. Gerakan semacam
ini mengingkari kebhinekaan umat manusia sebagai ciptaan Tuhan. Konflik
berbasis agama nampak meningkat di
berbagai belahan dunia.
Dalam konteks
universalisme dan relativisme itu, Radhakrishnan dalam bukunya Indian Philosophy (1928; 2003) menyebutkan
bahwa terdapat keselarasan yang seimbang antara Tuhan dan manusia dalam
pemikiran Hindu. Dalam Hindu manusia adalah ciptaan Tuhan. Dunia seluruhnya
tercipta karena pegorbanan Tuhan. Purusa Sukta berbicara tentang
pengorbanan kekal yang melahirkan manusia dan dunia itu. Dalam uraian itu
seluruh dunia digambarkan sebagai ada yang tunggal dengan keleluasaan dan
keagungan yang tak terbandingkan, dihidupkan oleh satu roh, dan segala bentuk
kehidupan terangkul dalam substansinya. Dengan demikian, kitab-kitab suci Hindu
lebih menekankan pada aspek spiritual dan kontemplatif, berbeda dengan kebudayaan Barat lebih bersifat ekslusif dan etis-rasional.
Dalam konteks ini,
tampaknya mantra dalam Athavaveda
(7.54.1) dapat direfleksikan menjadi acuan
universalisme dan humanisme Hindu. “Samjňănam nah svebhih
samjňănamaranebhih samjňănamasvină yuvamihăsmăsu ni yacchatam”, (‘Kami
menyatukan semua sahabat akrab kami (svebhih) dan menyatukannya (samjňănam)
dengan orang lain (aranebhih). Wahai, para orang tua ajarkanlah
tentang kesatuan (samjnanam)’). Selain itu, juga
kitab Nitisatakam memberi
gambaran mengenai keanekaragaman sebagai berikut: “ ‘Busana’
kekayaan adalah keramahan, ‘busana’ orang kuat adalah ucapan halus,
‘busana’ pengetahuan adalah kedamaian, ‘busana’ orang yang belajar buku-buku
suci adalah kerendahan hati, ‘busana’ orang yang
mengendalikan diri adalah tidak lekas marah, ‘busana’ orang besar
adalah bersifat pemaaf, dan keindahan dharma adalah tidak mencela
agama orang lain”. Universalisme
terletak pada sifat tidak mencela terhadap relativisme dan atau keanekaragaman
agama yang ada. ‘Perintah’ itu terwakili dalam sloka Yayurveda (40:6) berikut.
Yastu sarvàni bhùtàn yàtmannevànu
pasyati
sarva bhùtesu càmànamtato na
vicikitsati.
Artinya:
Manusia
yang bisa memelihat semua mahluk dalam dirinya dan melihat rohnya pada mahluk
lain. Maka ia tidak akan merasa sedih dan ragu-ragu. Ketahuilah itu.
Dalam praktik sosial yang lebih luas, universalisme
dan humanisme Hindu dapat dirumuskan dalam lima pilar, yaitu sathya (kebenaran dan kejujuran), dharma
(kebaikan dan kebijaksanaan), prema (kasih sayang),
ahimsa (tanpa kekerasan), dan santih (kedamaian). Dunia akan damai bila seluruh umat manusia dapat
berpikir benar dan dengan jujur mengatakan kebenaran itu (satya). Pikiran benar dan perkataan jujur ini selanjutnya, menjadi
pijakan untuk berbuat baik dan bijaksana (dharma).
Dengannya manusia akan merangkul seluruh makhluk dalam kasih sayang universal (prema). Dalam kasih sayang tidak ada
kekerasan, dendam, dan kebencian (ahimsa).
Dengan demikian, kedamaian (santih)
pasti akan diraih dalam kehidupan ini. Demikianlah agama-agama seharusnya mampu
merevitalisasi kembali nilai-nilai universal yang terkandung dalam kitab
sucinya. Denga demikian, agama benar-benar mendapatkan maknanya sebagai sumber
kebahagiaan dunia dan seluruh makhluk (sarvaprani
hitangkarah) atau rahmat bagi semesta (rahmatan
lil alamin).
DAFTAR BACAAN
Abdullah, Amien.
2005. Kitab Suci Agama-Agama. Jakarta: Teraju.
Ali, Muhammad.
2003. Teologi Pluralis-Multikultural:
Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Azra, Azyumardi.
2011. “Culture of Violence and Violence in the Name of Religion“. Artikel. Disampaikan dalam Seminar
dengan tema “Agama dan Kekerasan” pada Program Pascasarjana Universitas Hindu
Indonesia (UNHI) Denpasar.
Bakri, Syamsul dan Mudhofir. 2004. Jombang-Kairo, Jombang-Chicago, Sintesis Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur Dalam Pembaruan Islam di Indonesia. Solo: Tiga Serangkai.
Bertens K.
2009. Perspektif Etika Baru: 55 Esai
Tentang Masalah Aktual. Yogyakarta: Kanisius.
Capra, Fritjop. 2001. The Tao Of Phisycs: Menyingkap Paralelisme
Fisika Modern dan Mistisisme Timur. Yogyakarta: Jalasutra.
Casanova, Jose. 2003. Agama Publik Di Dunia Modern: Public
Religion in the Modern World. Surabaya: Pustaka Eureka; Malang: ReSIST, dan
Yogyakarta: LPIP.
Drucker, A. 1988. Intisari Bhagavad Gita. Jakarta: Yayasan
Sri Satya Sai Indonesia.
Hardjana. 2005. Agama, Religiusitas, dan Spiritualitas. Bandung:
Tarsito.
Harrison,
Lawrence P. dan Samuel P. Hutington (editor). 2006. Kebangkitan Peran Budaya. Jakarta: LP3ES.
Hidayat, Kommarudin. 2009. Wisdom of Life. Jakarta: Kompas.
Inglehart, Ronald. 1997. Modernization and Posmodernization:
Cultural, Economic, and Political Change in Forty-Three Societies.
Priceton: Princeton University Press.
Ishomuddin. 2002. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Kasturi, N. 1981. Pancaran Kasih (Prasthana Vahini) Bhagavan Shri Sathya Sai Baba. Jakarta: Yayasan Sai Centre
Indonesia.
Kimball,
Charles.2003. Kala Agama Jadi Bencana.
Bandung: PT. Mizan.
Lavine, T.Z. 2002. Sartre : Filsafat Eksistensialisme Humanis. Yogyakarta: Jendela.
Lubis, Debbie A.
(penerjemah). 2006. Agama dan Politik
Amerika. Jakarta: Yayasan Obor.
Mulkhan, Abdul Munir.
2007. Revolusi Kesadaran dalam
Serat-Serat Sufi. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Noorsalim, Mashudi;
M. Nurkhoiron; Ridwan Al-Makasarry (ed). 2007. Hak Minoritas: Multikuturalisme dan Dilema Negara Bangsa. Jakarta:
The Interaksi Foundation.
Radhakrishnan, S.
2003. Agama-Agama Timur dan Pemikiran
Barat. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas
Hindu Indonesia.
Robert, Tyler T. 2002. Spiritualitas Posreligius Eksplorasi
Hermeneutis Tranfigurasi Agama dalam Praksis Filsafat Nietzsche.
Yogyakarta: Qalam.
Robertson, Roland (ed.).
1998. Agama: Dalam Analisas dan
Interpretasi Sosiologi. Jakarta: Rajawali.
Schrarf, Betty
R. 2004. Sosiologi Agama. Jakarta:
Prenada Media.
Sutrisno, Mudji. 2001. Humanisme, Krisis, Humanisasi. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Yusuf, Moh. Asror (ed).
2006. Agama
sebagai Kritik Sosial di Tengah Arus Kapitalisme Global. Yogyakarta: IRCiSoD.
Zaechner, Robert C. 2006. Kebijaksanaan
Dari Timur.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
* Makalah dikontribusikan dalam The 6th Regional Interfaith
Dialogue, Semarang 11-15 Maret 2012. Diselenggarakan oleh Kementerian Luar
Negeri RI bekerjasama dengan Kementerian Agama RI.