MULTIKULTURALISME DAN
KESATUAN INDONESIA
I Wayan Sukarma
Abstrak
Perbedaan merupakan keniscayaan yang mesti dan harus diterima oleh semua
orang dalam kehidupannya. Fakta menunjukkan bahwa manusia memang makhluk unik
dan khas. Keunikan dan kekhasan ini
dalam konteks bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat akan menimbulkan
keragaman tatanan sosial dan kebudayaan. Keragaman ini seperti ditunjukkan oleh Indonesia yang merupakan negara-bangsa
terdiri atas beragam etnis, agama, dan bahasa. Keragaman ini perlu dikelola secara serius dan sungguh-sungguh dalam suatu bentuk tatanan nilai
yang dapat dibagi bersama. Oleh karena itu, kepluralistikan
masyarakat Indonesia sungguh merupakan tantangan yang menuntut upaya sungguh-sungguh dalam bentuk transformasi kesadaran
multikultural. Suatu kesadaran yang diarahkan kepada identitas nasional, integrasi nasional, dan kesadaran menempatkan
agama untuk kesatuan bangsa. Dengan demikian, kesatuan Indonesia dapat ditegakan sejalan
dengan teks ideal Bhinneka Tunggal Ika.
Kata Kunci: Multikulturalisme dan Kesatuan Indonesia.
1.
Pendahuluan
Keberagaman masyarakat Indonesia memang dapat menjadi berkah karena
menghadirkan mozaik kebudayaan yang indah dalam rangkaian Bhineka Tunggal Ika. Akan tetapi, ternyata berkah itu bersanding
dengan musibah sehingga kepluralistikan masyarakat Indonesia lebih banyak
menjadi pekerjaan rumah daripada berkah. Fenomena ini terlihat dari
perkembangan sejarah Indonesia, seperti semakin kuatnya etnosenterisme. Hal ini
dapat dilihat dari munculnya konflik antaretnik di berbagai daerah di
Indonesia, antara lain disebabkan oleh perkembangan etnosentrisme ke arah
etnonasiolisme yang mendorong lahirnya gerakan sparatisme. Otonomi daerah yang diharapkan dapat
memecahkan masalah tersebut, ternyata dominan berubah
menjadi hiperotomoni sehingga memunculkan proses politik
kedaerahan (Piliang, 2003). Ini merupakan fenomena yang menandakan adanya
masalah serius dalam mengelola kepluralistikan di Indonesia sehingga semboyan Bhineka Tunggal Ika semakin jauh dari
cita-cita kesatuan Indonesia.
Begitu juga krisis yang melanda bangsa Indonesia dalam berbagai dimensi
dan skala merupakan cobaan moralitas dan kemanusiaan
yang tidak ringan. Krisis ini menurut Kusumohamidjojo (2000:50) merupakan
permasalahan serius bangsa, tetapi secara moralitas memperoleh tanggapan yang
kurang sungguh-sungguh dari elite masyarakat. Fakta ini tampak dari berbagai
kasus moral terutama kasus korupsi yang menimpa para pemimpin dalam berbagai
tingkatan, baik pusat maupun daerah, baik eksekutif maupun legestatif, bahkan lembaga yudikatif yang fungsi formalnya sebagai pengendali moral. Ini
berarti bahwa Pancasila sebagai landasan moral masyarakat Indonesia benar-benar
dalam kondisi sakit sehingga penyakit moral yang melanda sebagian masyarakat
Indonesia semakin kronis. Misalnya, dalam peristiwa politik pemilihan kepala daerah, baik gubernur maupun
bupati/walikota begitu banyak muncul perilaku yang antiproduktif terhadap
perkembangan moral dan kemanusiaan.
Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa desentralisasi dapat saja membuka
peluang dan memunculkan karakteristik kekuasaan yang menyebar kurang terkendali
sehingga semakin suburnya pertumbuhan feodalisme. Kusumohamidjojo (2000:50)
menegaskan bahwa segera menjadi jelas bahwa desentralisasi tidaklah menjamin
akan diatasinya paradoks Indonesia. Begitu
banyak kekawatiran bahwa feodalisme dan korupsi akan mengalami proliferasi yang
justru akan lebih mendekatkan kaum feodal dan koruptor kepada korbannya, rakyat
di daerah-daerah. Krisis ini muncul karena kesusilaan tampaknya diabaikan
selama sejarah Indonesia merdeka dan memuncak dalam babak-babak terakhir dari
Orde Baru, bahkan semakin semarak pada masa-masa berikutnya. Hal ini
ditunjukkan oleh anomali sosial yang bersumber pada kalangan atas masyarakat,
bahkan budaya kemunafikan melanda sebagian masyarakat Indonesia. Sikap pemuka
Indonesia dari generasi yang berbeda-beda merefleksikan keprihatinan mengenai
rasa hormat kepada etika sosial pada kalangan atas masyarakat. Pada gilirannya
keprihatinan ini akan menghalangi penegakan serta pelaksanaan hukum secara luas
dan merata.
Apalagi arogansi mayoritas terhadap minoritas, perilaku menyimpang dalam
kehidupan keagamaan, monopoli dalam bidang ekonomi, dan eksploitasi alam tanpa
kendali secara sosio-budaya merupakan ancaman serius bagi keutuhan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, kepluralistikan
masyarakat dan kebudayaan Indonesia, di samping sebagai kekayaan bangsa, juga
bisa menjadi ancaman bagi negara dan bangsa ini, bila unsur bangsa
masing-masing tidak memberikan ruang bagi perbedaan. Pluralitas dan
heterogenitas masyarakat itu dapat dipahami sebagai suatu kekayaan dalam
konteks keanekaragaman budaya untuk membandingkannya dengan keanekaragaman
hayati. Akan tetapi, dalam banyak urusan selebihnya keanekaragaman itu lebih
potensial menjadi batu sandungan, apalagi bila kenyataan itu juga
dieksploitasikan secara struktural. Kemudian, yang akan didapat pastilah bukan
“nation building”, melainkan
kemungkinan lebih besar, malahan “nation
bleeding” (Kusumohamidjojo, 2000:49).
Fenomena itu menunjukkan betapa perlunya dibangun kesadaran moral
Pancasila dan kebudayaan nasional dalam format saling menghormati dan saling
menghargai eksistensi kebudayaan daerah dan kelompok-kelompok minoritas dalam kerangka multikulturalisme. Walaupun membangun kesadaran identitas nasional itu bukan
upaya mudah, tetapi bukan berarti sama sekali tidak mungkin. Untuk itu patut disadari bahwa akan dijumpai kesulitan mengkristalisasikan
kompleksitas kebudayaan Indonesia menjadi suatu kebudayaan Indonesia yang
definitif. Kesulitan ini, seperti diungkapkan Kusumohamidjojo (2000:44) berikut.
“Kita masih jauh dari posisi untuk dapat
mengidentifikasikan suatu perdaban Indonesia. Kita malahan masih dalam proses
mengkristalisasikan kompleksitas kebudayaan Indonesia menjadi suatu kebudayaan
Indonesia yang lebih definitif. Untuk itu diperlukan suatu pemahaman dan
kemauan mengapresiasi keberagaman masyarakat dan kebudayaan Indonesia dalam
kesadaran bahwa pihak mayoritas dalam mempertahankan eksistensinya, baik
langsung maupun tidak memerlukan sumbangan pihak minoritas”.
Artinya, selain
kesulitan mengidentifikasikan peradaban Indonesia, juga di Indonesia dikotomi mayoritas-minoritas siso-kultural tidak
bisa dibaikan begitu saja. Malahan orang tidak hanya sadar bahwa pemeluk agama
Islam merupakan mayoritas absolut di Indonesia, tetapi juga bahwa Indonesia
adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Akan tetapi, pertanyaan
bagaimanakah dikotomi mayoritas-minoritas antara masyarakat pemeluk agama Islam
pada satu pihak dan masyarakat pemeluk berbagai agama bukan Islam pada pihak
lain akan mengalami pergeseran masih harus dipandang sebagai suatu persoalan
yang terbuka. Dikotomi mayoritas-minoritas pada bidang agama bisa menjadi
tragedi besar, bila ditumpangi dengan muatan politik-ideologis ataupun
ketimpangan dalam kesempatan kinerja ekonomi (Kusumohamidjojo (2000:86-89).
Dengan demikian, pembangunan masyarakat Indonesia yang bhinneka memerlukan kesadaran penuh tentang ketunggalan
dalam keberagaman. Ini merupakan ide tentang penegakan kesatuan Indonesia
berdasarkan upaya
mengapresiasikan keanekaragaman
masyarakat dan kebudayaan Indonesia.
Keaneragamanan masyarakat dan kebudayaan Indonesia sesungguhnya bukan
masalah baru. Menurut Kusumohamidjojo (2000:59--60) bahwa sejak sebelum
berdirinya sebagai negara merdeka, Indonesia sudah menghadapi persoalan besar
yang berkaitan dengan keanekaragaman kebudayaan. Persoalan ini menjadi semakin
besar seiring dengan perkembangan zaman dan dinamika sejarah yang menyertainya.
Masalah kebhinnekaan itu perlu dibedah secara tuntas, agar masyarakat Indonesia
tidak terbuai dan hanyut dalam slogan, seolah-olah
keanekaragaman itu lebih merupakan berkah dan bukan pekerjaan rumah. Hal ini
dipahami oleh banyak orang Indonesia yang berpikir jernih dan menyadari
beratnya tantangan masa depan negara-bangsa ini. Dalam kerangka inilah letak
relevansi multikulturalisme
untuk membahas masalah kebhinnekaan masyarakat
Indonesia.
Tegasnya, bangsa Indonesia yang multikultur mutlak harus dipandang dari
kacamata multikulturalisme, sebagaimana dikemukakan Magnis-Suseno (2005:216)
bahwa Indonesia hanya dapat bersatu, bila pluralitas yang menjadi kenyataan
sosial dihormati. Artinya, penegakan kesatuan Indonesia
bukan hendak menghilangkan identitas setiap komponen bangsa, tetapi harapannya agar semuanya menjadi warga negara Indonesia tanpa merasa
terasing. Sikap saling menghormati identitas masing-masing dan kesediaan untuk
tidak memaksakan pandangan sendiri tentang “yang baik” kepada siapapun
merupakan syarat keberhasilan masa depan Indonesia. Untuk itu, diperlukan transformasi kesadaran multikulturalisme menjadi
identitas nasional, integrasi nasional, dan menempatkan agama menjadi fondasi kesatuan bangsa.
2.
Transformasi Multikulturalisme Menuju Identitas Nasional
Seseorang baru menyadari keberadaan dirinya sendiri yang paling otentik,
ketika berada bersama sesuatu yang lain, barang yang lain, dan orang yang lain.
Itulah the others (liyan) dalam
konsep multikulutralisme (Mulkhan, 2007:1). Menurut Hefner (2007) bahwa
pandangan ini mengacu pada pengalaman Amerika dalam merumuskan kebijakan
politik saat negeri itu diserbu para migran dari berbagai bangsa, seperti
Eropa, Afrika, dan Amerika Latin. Dengan kebijakan multikultural keragaman dan
kebhinekaan kultur, justru menjadi penguat keberadaan Amerika.
Walaupun berbeda latar historisnya, kebhinekaan etnis, dan keagamaan di
Indonesia bisa menggunakan kerangka pikir multikulturalisme sebagai paradigma
kerja. Akan tetapi, perlu disadari bahwa sejarah sosial, budaya, dan keagamaan
yang berbeda dengan akar genealogi yang begitu kuat memerlukan strategi
berbeda. Fakta sosio-budaya bhineka dalam keberagamaan bersilangan dengan
etnisitas seringkali membuat setiap komunitas budaya dan keagamaan merasa
berhak menjadi raja dalam kelompoknya sendiri. Kesadaran primordial ini
bukanlah sikap yang salah, bila hal itu disadari menjadi lebih bermakna ketika
diletakkan bersama dan dalam keber-liyan-an.
Reposisi sekelompok etnis dan keagamaan dalam ruang publik yang terbuka bernama
Indonesia akan sulit, bila tidak dimiliki kesadaran akan kebermaknaan liyan tersebut. Formula ini oleh founding fathers dirumuskan dalam
Pancasila, walaupun tafsirnya mudah dibelokkan sesuai kepentingan kelompok
berbasis primordial tersebut yang sejak lama menjadi akar separatisme yang
selalu berulang (Mulkhan, 2007:1).
Artinya, membangun kesadaran multikulturalisme dalam sebuah negara-bangsa,
seperti Indonesia bukanlah upaya yang mudah. Bhinneka Tunggal Ika sebagai teks ideal yang diharapkan dapat
menyelesaikan persoalan multikultural di Indonesia, ternyata mengalami
penafsiran yang berbeda-beda dalam setiap orde pemerintahan pascakemerdekaan.
Pada masa Orde Lama misalnya, Soekarno semboyan Bhinneka Tunggal Ika dijadikan wacana populis untuk menggairahkan
semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Semangat ini digunakan untuk melawan
konstelasi kapitalisme melalui ide nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom).
Alih-alih memediasi perbedaan, justru ide ini telah mensegmentasi masyarakat
Indonesia ke dalam pilihan politik yang berbasis ideologi, seperti PNI
(nasionalis), Masyumi dan PSI (agamais atau Islam), dan PKI (komunis).
Keberhasilan membangun semangat kebangsaan melalui wacana perlawanan terhadap
kolonial, ternyata tidak dibarengi dengan keberhasilan yang sama dalam
konsolidasi politik nasional. Sistem politik multipartai yang diterapkan
pemerintah Orde Lama telah membawa masyarakat Indonesia pada gejolak politik
yang melelahkan dan mencapai puncak ketegangan pada lahirnya tragedi berdarah
30 September 1965 (Nurkhoiron, 2007:3).
Berbeda dengan Orde Lama, pemerintahan Orde Baru lebih meningkatkan penguasaan dan dominasi massa melalui demobilisasi
dan deideologisasi. Praktik pembangunan melahirkan apa yang kemudian dikenal
dengan massa mengambang (floating mass).
Kebijakan kebudayaan Orde Baru diarahkan untuk memantapkan stabilitas nasional
dengan menggiring kebudayaan-kebudayaan daerah menjadi
tonggak-tonggak kebudayaan nasional. Hasilnya berupa proses pembakuan sehingga melahirkan efek pada tumbangnya
perbedaan budaya dan hancurnya kebudayaan-kebudayaan lokal. Agama dan etnisitas
tidak dikelola berdasarkan skema multikultur sehingga
sering menjadi sumber perpecahan dan konflik. Pada masa ini pemerintah telah
mengambil peran dominan dalam kebijakan multikulturalisme melalui penafsiran
tunggal terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Situasi keamanan negara dan
masyarakat memang cenderung stabil di permukaan karena pemerintah mengambil
sikap represif terhadap munculnya berbagai isu, ideologi, dan ekspresi budaya liyan (the others) yang dianggap menjadi
ancaman dan gangguan terhadap stabilitas nasional. Kebijakan ini didukung oleh
kerja militeristik yang kuat melalui Dwifungsi ABRI sehingga militer bukan saja
hanya mengambil peran sebagai alat keamanan, tetapi juga alat politik
pemerintah (Nurkhoiron, 2007:3).
Tumbangnya Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Soeharto telah
membawa babak baru dalam multikulturalisme Indonesia. Kebebasan berekspresi dan
berpendapat diapresiasi seluas-luasnya oleh kelompok-kelompok yang selama masa
pemerintahan Orde Baru tidak memiliki kesempatan untuk berkembang. Dengan
memainkan isu identitas, kelompok-kelompok ini mulai membangun eksistensinya. Di
beberapa tempat sejumlah kelompok Islam membangun laskar-laskar paramiliter
untuk ”membela Tuhannya”. Demikian juga dengan dipaksakannya penegakkan syariat Islam sebagai bagian dari
kebijakan publik di daerah. Hal serupa juga terjadi di Propinsi Papua yang
memaksakan diberlakukakannya Perda berbasis Injil (Nurkhoiron, 2007:4).
Wacana kedaerahan seperti itu juga muncul di Bali lewat gema wacana Ajeg Bali yang
dikumandangkan oleh berbagai lapisan sosial masyarakat Bali. Walaupun wacana
ini menunjukkan gejala serupa, tetapi tidak sepenuhnya demikian, seperti
ditegaskan oleh Atmadja (2005:3) bahwa wacana Ajeg Bali merupakan gerakan mempertahankan identitas kultural
sebagai respons orang Bali terhadap modernisasi dan globalisasi.
Boleh jadi, juga prasangka etnis memicu lahirnya wacana Ajeg Bali tersebut sebagai akibat terdesaknya penduduk asli dari
dominasi pendatang. Maraknya artikulasi politik identitas yang membangkitkan
berbagai aspirasi etnis, agama, dan isu lokalitas memang menjadi sinyal baru
bagi dinamika politik mutakhir pascaotoritarianisme Orde Baru (Nurkhoiron,
2007:4). Kebijakan otonomi daerah yang diharapkan dapat mengatasi
masalah-masalah multikulturalisme di Indonesia, ternyata berubah menjadi
hiperotonomi sehingga memunculkan politik kedaerahan yang semakin menajamkan
prasangka-prasangka etnis, agama, dan lokalitas.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan mencolok antara
multikulturalisme sebagai gejala epistemologis dan multikulturalisme sebagai
gejala politik. Perbedaan ini menjadi medan perdebatan menarik oleh para teoretisi multikulturalisme. Parekh (2008:3) salah seorang proponen teori multikulturalisme merekomendasikan bahwa
multikulturalisme bukanlah sebuah doktrin politik dengan muatan programatik,
tidak pula sebagai sebuah aliran filsafat dengan teori yang khas tentang tempat
manusia di dunia, melainkan lebih sebagai sebuah perspektif atau cara melihat
kehidupan manusia. Sebaliknya, Liliweri (2005:6) begitu yakin bahwa
multikulturalisme merupakan seperangkat kebijakan pemerintah pusat yang
dirancang sedemikian rupa agar seluruh masyarakat dapat memberikan perhatian
kepada kebudayaan dari semua kelompok etnik atau suku bangsa.
Artinya, sebagai sebuah terminologi
multikulturalisme kadang-kadan agak membingungkan karena ia merujuk secara sekaligus pada
dua hal yang berbeda, yaitu realitas dan etika atau praktik dan ajaran. Sebagai
realitas atau praktik, multikulturalisme dipahami sebagai representasi yang
produktif atas interaksi di antara elemen-elemen sosial yang beragam dalam
sebuah tataran kehidupan kolektif. Sebagai sebuah etika atau ajaran,
multikulturalisme merujuk pada spirit, etos, dan kepercayaan tentang bagaimana
keragaman atas unit-unit sosial yang berciri privat dan relatif otonom itu,
seperti etnisitas dan budaya yang semestinya dikelola dalam ruang-ruang publik.
Terhadap perbedaan ini Budiman (2005:5) berusaha menengahinya
dengan mengatakan bahwa Parekh memang tidak merekomendasikan multikulturalisme
sebagai doktrin politik, tetapi praktik multikulturalisme memang lebih mudah
dilihat dan dipahami dalam konteks kebijakan politik suatu negara. Dengan
kalimat lain bahwa kebijakan multikultural dikembangkan menjadi sebuah model
pengelolaan perbedaan kultural. Ini menunjukkan bahwa multikulturalisme dalam
teori dan praktik memang merupakan gejala yang rumit.
Pada satu sisi multikulturalisme mensyaratkan adanya kesadaran dari setiap
individu ataupun kelompok, baik yang didasari atas kesamaan agama, etnis, dan
budaya untuk menghargai keberadaan individu ataupun kelompok yang lain. Ini
merupakan kondisi ideal suatu masyarakat plural sebagaimana dinyatakan oleh
para pemikir multikulturalisme gelombang pertama, yaitu (1) kebutuhan terhadap
pengakuan (the need of recognition)
dan (2) legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya (Tilaar, 2004:83).
Artinya, multikulturalisme menjadi kondisi ideal suatu masyarakat, bila
keanekaragaman agama, etnis, dan budaya tidak saja diakui, tetapi juga diberikan ruang untuk mengembangkan
diri dan mengartikulasikan identitasnya dalam kerangka kesetaraan dan keadilan.
Persoalan kesetaraan dan keadilan inilah yang kemudian menjadi perhatian
penting para kritikus multikulturalisme gelombang kedua. Pada masa ini paham multikultural telah menampung berbagai jenis
pemikiran baru, seperti culture studies, postkolonialisme,
globalisasi, feminisme dan postfeminisme, neo-Marxis, serta poststrukturalisme.
Para teoretisi ini memandang bahwa keanekaragaman budaya di masyarakat bukanlah
kenyataan yang terberi (given) begitu
saja, tetapi sebuah konstruksi sosial yang dipengaruhi sejumlah other. Oleh karena itu,
multikulturalisme haruslah diuraikan dengan mendekonstruksi persoalan-persoalan
ideologi, kekuasaan, marjinalisasi budaya, keadilan, politik, ekonomi, gender,
permainan wacana, dan emansipasi budaya yang mengitarinya (Tilaar, 2004:83–84).
Artinya, multikulturalisme akan mendapatkan makna yang sesungguhnya hanya
dengan memproklamasikan emansipasi budaya-budaya kecil yang masing-masing
memiliki “hak hidup” yang wajib dihormati.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Indonesia sebagai sebuah
negara-bangsa yang multietnis dan multikultural sudah sejak awal mengandung
masalah legitimasi kultural karena negara Indonesia lahir secara tiba-tiba
melalui revolusi politik nasional. Akibatnya, kehadiran negara di Indonesia
merupakan hasil kolektif hampir seluruh daerah dan kelompok etnis yang
mengitarinya. Keadaan ini secara keseluruhan telah menciptakan status yang sama
di semua daerah sehingga hubungan antardaerah lebih bersifat kolegial daripada superior-subordinat. Apalagi akar nasionalisme Indonesia sejak awal justru didasarkan pada
tekad yang menekankan pada pentingnya cita-cita bersama, di samping pengakuan
sekaligus penghargaan pada perbedaan sebagai pengikat kebangsaan. Kesadadaran
semacam itu jelas terlihat pada semboyan Bhinneka
Tunggal Ika yang menekankan pada pentingnya cita-cita
yang sama dan sekaligus kemajemukan sebagai perekat kebangsaan. Pada prinsipnya
etika ini meneguhkan pada pentingnya komitmen negara untuk memberi ruang bagi
kemajemukan pada satu pihak dan pada pihak lain tercapainya cita-cita
kemakmuran dan keadilan sebagai wujud dari tujuan nasionalisme Indonesia
(Sparringa, 2006). Dalam konteks
inilah diperlukan upaya serius dan sungguh-sungguh untuk segera mentransformasikan kesadaran multikulturalisme menjadi
identitas nasional menuju terwujudnya kesatuan Indoensia. Kesadaran baru ini berlaku untuk seluruh komponen bangsa
sehingga memiliki peran yang sama dalam pembentukan negara-bangsa Indonesia.
Denghan demikian, semuanya memiliki hak yang sama untuk hidup dan menikmati
hasil-hasil pembangunan secara adil dan merata.
Sekali lagi, kesadaran
inilah yang harus ditransformasikan menjadi identitas nasional bangsa
Indonesia, baik sebagai komunitas politik maupun budaya. Persoalan ini menjadi
semakin rumit ketika sejarah bangsa telah menorehkan luka sosial-kultural,
berupa ketimpangan sosial, ketidakadilan, ketidakmerataan pembangunan, dan tirani
minoritas di berbagai daerah di Indonesia. Gerakan-gerakan artikulasi identitas
yang mengedepankan sentimen agama, etnis, dan lokalitas dapat dipandang menjadi
kesadaran baru di antara komponen bangsa. Ini merupakan kebanggaan dalam
kehidupan berbangsa, ternyata hanyalah banyang-bayang semu. Boleh jadi, hal ini
membenarkan pandangan Anderson (1999:21) yang memaknai bangsa hanyalah sebagai
komunitas imajiner (imagined communities). Komunitas politik
ini mencakup jutaan orang yang belum pernah terlihat dan mungkin saja tidak
akan pernah melihat. Akan tetapi, mereka diharapkan tetap membayar pajak,
memberikan pengorbanan, bahkan memberikan nyawanya untuk bangsa (Parekh,
2007:306).
Ini sebabnya identitas nasional (national
identity) memang diperlukan oleh sebuah komunitas politik, seperti
negara-bangsa Indonesia. Identitas ini tidak saja untuk membedakannya dengan
komunitas yang lain (liyanan), tetapi
lebih penting untuk membangun rasa kasih sayang, tanggung jawab, dan
kepentingan nasional. Pemahaman tentang identitas nasional menyatukan para
anggotanya pada sekitar pemahaman diri, memberi fokus serta energi pada rasa
memiliki bersama, membentuk citra diri kolektif, mengolah kebaikan yang
relevan, memfasilitasi reproduksi diri komunitas dan kesinambungan antargenerasi,
mempertahankan kesetiaan umum, serta menata kehidupan moral dan politik.
Singkatnya, identitas nasional memiliki peran penting dalam masyarakat
multikultur untuk menumbuhkan perasaan saling memiliki antara
komunitas-komunitas yang beranekaragam (Parekh, 2008:306). Akan tetapi,
identitas nasional memang memiliki sisi dasar
yang gelap dan dengan mudah menjadi sumber konflik dan perpecahan. Mengingat
kesalahan dalam mendefinisikan identitas nasional dapat berakibat pada
pendelegitimasian “yang satu” sekaligus peminggiran “yang lain”. Bahaya serius dalam sebuah masyarakat multikultur terjadi
dengan keanekaragaman nilai, visi terhadap kehidupan yang baik, dan
interpretasi sejarah yang tidak dapat dihindarkan. Dengan demikian, identitas
nasional adalah paradoks dalam dirinya sendiri karena terkandung potensi
perpecahan dan sekaligus kesatuan (Parekh, 2007:307).
Menyikapi pandangan tersebut logosentrisme
menjadi sesuatu yang berbahaya dalam upaya transformasi kesadaran
kebangsaan yang
multikultur menjadi identitas nasional
yang menempatkan persatuan di atas pluralitas. Logosentrisme bertolak dari pandangan Aristoteles yang disebutnya logos apophanticos, yaitu
proposisi-proposisi logis. Dijelaskan bahwa proposisi logis
haruslah berasal dari identitas asli, jika sesuatu itu “A”, maka tidak mungkin
ia sekaligus “bukan A” (Sugiharto, 1996:122). Kemudian, logosentrisme dengan kekuatan logika deduktifnya ini mendapatkan perhatian serius dalam pemikiran Kritis misalnya, Derrida menolak upaya logos
dalam merengkuh kebenaran totalitas dengan menepikan perbedaan-perbedaan
(Al-Fayyadl, 2005:76). Mengingat pada hakikatnya Logosentrisme itu merupakan penotalan dan pemutlakan satu kebenaran dengan
menidakkan yang lain (the others).
Derrida dengan tegas menolak pandangan ini dengan mengajukan model analisis
dekonstruksi yang lebih menekankan pada kebenaran yang tidak tunggal,
melainkan tersebar (difference).
Pemikiran dekonstruksi Derrida pada mulanya bergerak dalam ranah
linguistik, tetapi bersamaan dengan trend postmodernisme yang ditandai dengan
munculnya gejala dominan pembalikan ke arah bahasa (linguistic turn), pemikiran dekonstruksi Derrida juga banyak
digunakan untuk membaca teks sosial dan budaya. Penolakan Derrida terhadap logosentrisme mulanya diarahkan pada kerja
positivistik yang berupaya mendapatkan kebenaran tunggal dari sebuah teks
sosial. Menurut Derrida, kebenaran tidak selalu mensyaratkan
suatu hierarkis (yang satu lebih unggul daripada yang lain) dan beroposisi (ada
yang satu, menidakkan yang lain). Derrida memberikan contoh sederhana tentang
perbedaan hitam dan putih. Kategori hitam tidak hanya dipakai untuk membedakan dengan yang putih atau menidakkan yang putih karena dapat dibuat kategori yang
lain misalnya, abu-abu. Dengan adanya
kategori abu-abu sebagai yang lai, (the others), kedua kategori sebelumnya (hitam dan putih) tetap seperti
sediakala (Al-Fayyadl, 2005:76).
Dengan cara kerja ini, juga identitas nasional hendaknya dipandang sebagai
teks sosial yang tidak hanya muncul sebagai bentuk penilaian (jugdement), pernyataan (proposition),
dan representasi (representation)
(Al-Fayyadl, 2005:30). Dalam hal ini identitas nasional bukanlah penilaian,
pernyataan, dan representasi kebijakan politik multikulturalisme dengan makna
yang univokal dan tidak menyertakan sedikit pun ambiguitas di dalamnya.
Dekonstruksi menggugat modus pemaknaan yang terpusat dan cenderung bulat seperti
yang mungkin diinginkan oleh teks. Dalam dekonstruksi makna lebih dialami
sebagai proses dari penafsiran, bukan hasil yang sudah jadi dan dapat dinikmati
begitu saja. Makna teks ada di balik layar,
tetapi wujudnya bukan kehadiran, melainkan
proses menjadi yang terus-menerus
menunda pengertian yang dirasakan memadai dan menggantikannya dengan
penanda-penanda baru yang lebih terbuka dan ambigu (Al-Fayyadl, 2005:82).
Dengan kata lain bahwa identitas nasional tidaklah sesuatu yang final, tetapi
senantiasa menjadi.
Pandangan ini tampaknya sejalan dengan pemikiran Anthony D. Smith (Tilaar,
2004:109) bahwa identitas nasional merupakan kesinambungan reproduksi dan
interpretasi atas pola nilai, simbol, mitos, dan tradisi yang membentuk warisan
bangsa yang unik, serta identifikasi individu dengan pola dan warisan tersebut
beserta unsur-unsur budayanya. Ini berarti bahwa identitas nasional harus
terus-menerus diperbaharui dan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang dikenakan identitas itu. Identitas nasional dibangun atas dasar multikulturalisme
dengan menempatkan kebhinekaan
sebagai modal budayaan bangsa untuk maju,
mengatasi kesulitan-kesulitan, dan menggalang kekuatan nasional terutama pada era globalisasi. Untuk itu perlu dikenal dasar-dasar multikulturalisme,
antara lain menggali kekuatan-kekuatan suatu bangsa yang
tersembunyi dalam budaya yang berjenis-jenis (Tilaar, 2004:92). Modal budaya
inilah yang seharusnya digali dan digalang menjadi kekuatan nasional, bukan
saja untuk mengokohkan kebudayaan nasional, tetapi lebih penting adalah
memberikan tempat yang setara, sejajar, dan adil bagi setiap kebudayaan untuk berpartisipasi aktif dalam
pembangunan negara-bangsa.
Berkaitan dengan upaya membagun multikulturalisme di Indonesia Tilaar
(2004:85) setidak-tidaknya mengemukakan tiga tantangan multikulturalisme dewasa
ini. Pertama, hegemoni Barat pada
bidang politik, ekonomi, sosial, dan ilmu pengetahuan. Hegemoni Barat melalui
wacana modernisasi yang disebarluaskan pada negara-negara berkembang
bertendensi pada terbentuknya budaya modern yang dibedakan dengan budaya
primitif dan barbarian (Hutington, 2003:77). Kedua, esensialisasi budaya. Dalam hal ini multikulturalisme berupaya
mencari esensi budaya sendiri tanpa jatuh ke dalam pandangan yang xenopobhia
dan etnosentrisme. Ketiga, proses
globalisasi. Globalisasi dapat berupa monokulturalisme karena gelombang dahsyat
globalisasi yang menggelinding menghancurkan bentuk-bentuk kehidupan bersama
dan budaya tradisional. Hilangnya jati diri dan identitas budaya lokal memang menjadi ancaman besar globalisasi karena manusia hanya
menjadi aktor dan konsumen dari imperialisme baru yang dibawa globalisasi.
Tantangan-tantangan tersebut pada dasarnya memiliki tendensi logosentris yang
monokultural dan tentu berbahaya bagi pembangunan multikulturalisme di
Indonesia terutama bagi kesatuan Indonesia.
Artinya, dewasa ini Indonesia masih berhadapan dengan berbagai tantangan
dalam upaya membangun multikulturalisme. Untuk menghadapi tantangan tersebut Sparringa (2006:3) mengajukan upaya penafsiran terhadap nasionalisme Indonesia yang semestinya memperhatikan dua
elemen dasar secara sekaligus. Ikatan kebangsaan yang semata-mata didasarkan
pada nilai-nilai kemakmuran (yang bersifat material) dan keadilan (yang
bersifat spiritual) tidak akan sepenuhnya mampu menjawab persoalan tentang
bagaimana kemajemukan itu hendak dikelola dalam proses pencapaian tujuan
bersama. Pencapaian tujuan bersama jelas merupakan sebuah proses yang tidak
saja kompleks secara ekonomi dan politik, tetapi juga sebuah proses yang
panjang dan berkelanjutan secara sosial dan budaya. Dalam konteks inilah pemaknaan tunggal terhadap identitas
nasional telah menciptakan luka sejarah yang mendalam. Indonesia telah melewati
masa-masa sulit dengan model nasionalisme politik yang diterapkan beberapa orde
pemerintahan. Misalnya, phobia Orde
Baru telah mendorong pemerintahan masa pascareformasi membuat
kebijakan otonomi daerah sampai ke tingkat kabupaten/kota yang berakitnya pada munculnya
hiperotonomi. Kelemahan
otonomi daerah inilah yang direorientasi dan direvitalisi sejalan dengan spirit
multikulturalisme sehingga menjadi kekuatan yang fungsional untuk membangun
kesatuan Indonesia.
3.
Membangun Integrasi Nasional
Diferensiasi sosial dengan konsekuensi terjadinya heterogenitas dan
kesenjangan sosial (inequality)
memiliki pengaruh penting terhadap integrasi suatu masyarakat dan perkembangan
sistem demokrasi. Tesis yang sering mengemuka bahwa semakin tinggi tingkat
heterogenitas akan semakin besar peluang munculnya kesenjangan sosial, dan
semakin menghambat hubungan sosial termasuk proses integrasi sosial. Oleh
karena itu, heterogenitas dan kesenjangan sosial ini harus dikelola sedemikian
rupa demi terciptanya solidaritas dan integrasi sosial sebagai landasan
terwujudnya integrasi nasional. Ketika negara-bangsa tidak mampu memainkan
peran ini secara maksimal, masyarakat sipil (civil society) diharapkan dapat menggantikan peran tersebut. Dengan
asumsi bahwa masyarakat sipil lebih memahami kondisi sosialnya sendiri,
nilai-nilai yang diafirmasi secara kolektif oleh komunitasnya, dan
potensi-potensi yang dimiliki sehingga dapat merumuskan pola interaksi yang
paling tepat dan bermanfaat bagi solidaritas dan integrasi sosialnya.
Gagasan tentang civil society memang
baru berkembang di Indonesia sejak akhir dekade 1990-an dan diterjemahkan
secara beragam, antara lain “masyarakat sipil”, “masyarakat madani”,
“masyarakat warga” atau “masyarakat kewargaan” (Prasetyo, dkk., 2008:1). Secara
historis civil society berakar kuat
dalam perjalanan intelektual dan sosial di Eropa. Inti dari gerakan ini adalah
penolakan terhadap segala jenis otoritarianisme dan totalitarianisme (Prasetyo,
dkk., 2008:2). Civil society merupakan
bangunan pemikiran liberal – yang nantinya menjadi model – mengenai manusia dan
masyarakat. Apabila manusia (individu) merupakan ruang pribadi, maka civil society merupakan ruang publik
yang di dalamnya terdapat kebebasan, kesederajatan, dan nilai-nilai yang
terkait seperti otonomi, kesukarelaan, dan keseimbangan (Prasetyo, dkk.,
2008:5). Dalam konteks multikulturalisme keberadaan civil society penting diapresiasi tidak saja sebagai wadah
perlawanan terhadap hegemoni dan dominasi negara dalam kebijakan
multikulturalisme, tetapi juga untuk menumbuhkan kesadaran multikulturalisme
dalam masyarakat demokratis.
Menumbuhkan kesadaran multikultural dalam masyarakat demokratis pada
dasarnya merupakan gagasan menuju kebebasan. Gellner (1995) menempatkan civil society sebagai prasyarat menuju
kebebasan (condition of liberty).
Kebebasan ini dapat diartikan sebagai kebebasan dari (freedom from) segala dominasi dan hegemoni kekuasaan, dan kebebasan
untuk (freedom for) berpartisipasi
dalam berbagai proses kemasyarakatan secara sukarela dan rasional. Di sini
sistem demokrasi tidak semata-mata didasarkan pada niat baik (political will) pemegang kekuasaan
negara. Akan tetapi, upaya tersebut harus dilakukan oleh masyarakat khususnya
melalui penguatan potensi-potensi yang ada sehingga dapat menjembatani hubungan
antara individu dan masyarakat, dan negara, serta institusi pemegang kekuasaan
lainnya. Khusus dalam hubungannya dengan negara, paling tidak civil society dapat melakukan salah satu
dari tiga fungsi pokoknya. Pertama, berdiri
sebagai perisai masyarakat dari perilaku negara yang cenderung hegemonik,
otoritarian, dan represif. Kedua, jika
negara tidak hegemonik, maka civil
society muncul sebagai mitra negara dalam melaksanakan kepentingan publik. Ketiga, bila kehidupan publik telah
diakomodasi secara baik oleh negara, civil
society dapat memainkan peran dan fungsinya secara komplementer untuk
melengkapi kebutuhan masyarakat (Prasetyo, dkk., 2008:9).
Berpijak pada gagasan tersebut bahwa keberadaan civil society memiliki peran sosial dan politik yang signifikan,
antara lain diperankan oleh kelompok intelektual. Dalam tradisi Gramscian, civil society dapat mengambil peran
intelektual organik guna mempengaruhi dan memimpin masyarakat untuk mengubah
struktur dan kultur kekuasaan agar lebih memperhatikan golongan minoritas,
golongan lemah, golongan miskin, golongan tak berdaya, dan golongan lainnya
yang termarjinalisasi (Tilaar, 2004:93). Oleh karena itu, gerakan integrasi
nasional yang dilakukan oleh masyarakat sipil harus mendapatkan respons positif
dan didorong sedemikian rupa sehingga lebih fungsional dan berdaya guna. Tentu
saja upaya untuk mendorong gerakan ini harus bersesuaian dengan syarat
keberhasilan multikulturalisme itu sendiri.
Terkait dengan multikulturalisme, Parekh (2007:314) menyebutkan bahwa
suatu masyarakat multikultur cenderung berada dalam kondisi yang stabil,
kohesif, hidup, dan nyaman, bila dalam dirinya memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat itu meliputi, antara lain sistem kekuasaan yang didasarkan pada
kesepakatan, hak-hak konstitusional yang dapat diterima secara kolektif, negara
yang adil dan tidak memihak, sebuah kebudayaan umum yang terbentuk secara
multikultur, pendidikan multikultur, dan pandangan identitas nasional yang
plural dan inklusif. Bertalian dengan syarat-syarat tersebut gerakan integrasi
nasional yang dilaksanakan oleh masyarakat sipil perlu didukung untuk mengawal
terpenuhinya syarat tersebut.
Pertama, mendorong terciptanya intensitas hubungan yang komplementer
antara civil society dan tugas
negara. Mengingat civil society berhubungan
dengan kepentingan komunitas tertentu, sedangkan negara berkenaan dengan
kepentingan rakyat secara keseluruhan. Di sinilah letak peranan civil society sebagai komplemen dari
tugas negara. Civil society ditekankan
kepada nilai-nilai moral yang artinya mempertimbangkan implikasi normatif dari
gerakannya, sedangkan bagi lembaga negara yang dipentingkan adalah peran yang
benar (proper role) dari negara
sebagai organisasi politik. Dalam hal ini negara melaksanakan
kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat bersama oleh rakyat melalui
perwakilannya yang demokratis. Apabila dalam melaksanakan kesepakatan tersebut
cenderung ke arah konsentrasi kekuasaan yang merugikan kepentingan
komunitas-komunitas yang berjenis-jenis, maka civil society akan tampil sebagai pembela dari kelompok yang
termarginalisasi (Tilaar, 2004:49). Ini menegaskan bahwa suatu negara yang
demokratis harus memberikan tempat yang seluas-luasnya bagi hidup dan
berkembangnya civil society.
Kedua, civil society didorong untuk memperjuangkan hak-hak konstitusional seluruh
warga negara yang dapat diterima secara kolektif. Ini berhubungan erat dengan
keadilan dan kesetaraan masyarakat dalam hukum negara. Sebagai satu-satunya
sumber keadilan yang aman dan legal dalam masyarakat, negara perlu meyakinkan
warganya untuk memperoleh kesetaraan perlakuan dalam seluruh bidang kehidupan. Civil society perlu didorong peranannya
dalam mengontrol berbagai kebijakan pemerintah dan ekskusinya, serta memastikan
tidak adanya diskriminasi konstitusional terhadap warga, baik secara langsung
maupun tidak. Diskriminasi secara langsung terjadi manakala pengambilan
keputusan diarahkan pada prasangka-prasangka terhadap kelompok-kelompok
tertentu. Sebaliknya, diskriminasi tidak langsung terjadi manakala aturan dan
prosedur yang mereka jalani mengandung bias diskriminasi yang tidak tampak dan
mengakibatkan kerugian sistematis bagi komunitas atau kelompok masyarakat
tertentu (Parekh, 2007:281). Dalam konteks Indonesia misalnya, diskriminasi
ditandai dengan munculnya berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah, baik
pusat maupun daerah yang mengindikasikan terjadinya pengingkaran konstitusi
terhadap multikulturalisme bangsa. Ini hanya akan menanti peran lembaga-lembaga
swadaya masyarakat untuk menyikapinya secara kritis dan analitis.
Ketiga, terkait dengan peranan tersebut bahwa civil society perlu didorong agar menjadikan dirinya sebagai
persemaian dan pergerakan tradisi intelektual kritis. Pergerakan ini mengedepankan
peran intelektual sebagai bentuk “perlawanan” terhadap hegemoni dan dominasi
negara dan mengupayakan transformasi sosial yang terintegrasi satu sama lain
secara kreatif. Dengan kalimat lain bahwa civil
society harus mampu melakukan counter
hegemony dan counter discourse terhadap
monopoli negara (Prasetyo, dkk., 2008:197). Civil
society diharapkan perannya mencermati secara kritis kondisi masyarakat,
nilai-nilai, potensi-potensi yang dimiliki, dan memberdayakannya sehingga dapat
dirasakan manfaatnya secara langsung bagi kemandirian masyarakat. Dalam
hubungan yang harmonis, civil society dapat
memediasi kepentingan masyarakat dengan kekuasaan yang memegang kebijakan
publik.
Keempat, dalam konteks pembangunan kebudayaan umum yang berbasis
multikulturalisme harus secara sadar diupayakan agar masyarakat secara swadaya
mampu menggali dan mengembangkan modal budaya yang dimiliki. Berkenaan dengan
hal tersebut minoritisasi kultural merupakan ancaman yang cukup serius bagi
perkembangan budaya masyarakat multikultur (Budiman, ed.,2007:7). Di Bali
misalnya, model ini dapat dikembangkan dengan membangkitkan kembali gairah sekaa-sekaa lokal yang hidup di banjar dan desa pakraman dalam aktivitas berkesenian. Dengan demikian, keunikan dan kekhasan budaya yang dimiliki oleh
daerah masing-masing dapat dimunculkan menjadi kekayaan khasanah budaya Bali.
Revitalisasi spirit taksu dan jengah seperti disampaikan Mantra (1996)
diperlukan dalam hal ini. Sementara itu, keberadaan lembaga swadaya masyarakat
(LSM) yang bergerak pada bidang seni dan budaya diperlukan untuk memperjuangkan
eksistensi kebudayaan lokal di ruang publik. Hegemoni pemerintah dalam
penentuan standar “baik” dan “indah” melalui pembakuan pakem berkesenian
tampaknya tidak lagi relevan dalam konteks ini karena dapat membunuh
diferensiasi kultural.
Kelima, mendorong civil society
untuk terus-menerus menggelorakan kesadaran akan pentingnya pendidikan
multikultural di masyarakat. Hal ini sesungguhnya inheren dengan alasan paling
elementer dari lahirnya civil society itu
sendiri, yaitu pandangan mendasar bahwa negara tidak dapat melakukan segala
sesuatu bagi rakyatnya (Tilaar, 2004:47). Artinya, keterbatasan negara dalam
mengakomodasi seluruh kebutuhan dan kepentingan rakyat menjadi alasan penting
terjadinya peminggiran, ketakadilan, dan kesenjangan sosial, baik secara
langsung maupun tidak. Civil society umumnya
lahir untuk menyuarakan masalah-masalah ini guna menggugah kesadaran masyarakat
tentang kondisi kehidupan yang dialaminya. Paradigma lahirnya pendidikan
multikultural di berbagai negara telah menunjukkan peran penting partai-partai
politik dan NGO (Non Government
Organization), baik yang muncul sebagai perjuangan ras, etnis, kelas-kelas
sosial, maupun kepentingan- kepentingan politik (Tilaar, 2004:146–147).
Membangun kesadaran masyarakat tentang makna keadilan, kesetaraan, dan
penghargaan atas liyan, sesungguhnya
menjadi misi penting pendidikan multikultural (Tilaar, 2004; Parekh, 2007).
Menjadi tuntutan bagi sebuah negara-bangsa yang demokratis untuk melaksanakan
pendidikan multikultural dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat atas
hak, kedudukan, dan kewajibannya sebagai warga negara. Dalam praktiknya,
pendidikan multikultural di berbagai negara menggunakan pendekatan yang berbeda
antara yang satu dengan yang lain. Hal ini tidak saja karena karakter dasar
pluralitas masyarakatnya, tetapi juga tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan
multikultural itu berbeda. Meskipun demikian pendidikan multikultural memiliki
beberapa dimensi yang bersinggungan dalam beberapa negara dan sebagian juga
diadopsi dalam pendidikan multikultur di Indonesia, antara lain (1) hak akan
budaya (right to culture); (2)
identitas budaya lokal; (3) identitas nasional berbasis multikulturalisme; (4)
multikulturalisme normatif; (5) pemahaman lintas budaya dan komunikasi
antarbudaya; dan (6) kesadaran tentang kebebasan, demokrasi, dan kesetaraan
(Tilaar, 2004:159–190).
Keenam, civil society dapat didorong untuk memperkuat identitas nasional yang plural dan inklusif. Penting bagi civil society yang memiliki satu basis
komunitas untuk berdialog dan bekerjasama secara terbuka dengan
komunitas-komunitas lain, bahkan dengan negara guna memperluas jejaring dalam
pencapaian misi pemberdayaan masyarakat plural (Prasetyo, dkk, 2008:5). Dalam
penguatan identitas nasional yang plural dan inklusif niscaya akan berhadapan
dengan munculnya civil society yang
mengusung gerakan monokultur dan ekslusif, seperti “laskar-laskar” paramiliter
yang mengusung bendera Islam di Indonesia. Pada satu sisi, multikulturalisme
menghendaki agar setiap individu dan kelompok mendapatkan hak yang sama untuk
hidup dan berkembang, tetapi juga pada sisi lain keberadaan kelompok-kelompok
eksklusif ini dapat menghalangi terwujudnya cita-cita kebangsaan dalam bingkai
multikulturalisme. Untuk mengatasi kontradiksi ini negara harus didorong agar
bersikap lebih tegas secara konstitusional untuk membatasi ruang gerak
kelompok-kelompok eksklusif tersebut. Hal ini tidak dimaksudkan untuk mengebiri
hak konstitusional warga dalam berserikat dan berpendapat, tetapi guna
mengantisipasi berkembangnya budaya kekerasan (culture of violence) yang dapat mengancam nilai-nilai dasar
kemanusiaan (Azra, 2011).
Uraian di atas menegaskan bahwa masyarakat sipil (civil society) memiliki peranan yang signifikan dalam gerakan
integrasi nasional yang berbasis multikulturalisme. Ada beberapa upaya yang
dapat dilakukan untuk mendukung gerakan ini, antara lain (1) menghilangkan
prasangka buruk masyarakat terhadap keberadaan LSM-LSM dan
organisasi-organisasi sosial lainnya yang kadangkala hanya dianggap sebagai
“tukang kritik” kebijakan pemerintah, bahkan sumber kekacauan; (2) mendorong
kesadaran masyarakat untuk menggunakan hak konstitusinya dalam berkumpul,
berserikat, dan mengeluarkan pendapat guna memperjuangkan hak-hak keadilan,
kebebasan, kesetaraan, serta berpartisipasi aktif dalam pembangunan; (3)
mendorong pemerintah untuk menjadikan civil
society sebagai mitra kerja, baik dalam pengambilan kebijakan dan
ekskusinya terutama pada bidang-bidang yang menyangkut hajat hidup masyarakat
dengan tetap memperhatikan entitas-entitas budaya lokal; (4) mendorong
pemerintah agar mengalokasikan anggaran yang lebih besar bagi perkembangan civil society. Dengan demikian, civil society dapat memainkan peranannya
secara fungsional dan komplementer dengan peran negara dalam mewujudkan tujuan
nasional.
4.
Agama untuk Kesatuan Bangsa
Fenomena munculnya identitas politik yang bertumpu pada primordialisme
agama, etnis, dan kebangsaan menjadi wacana yang menggelitik minat akademis
untuk mempertanyakan kembali tentang apa yang tengah terjadi pada agama. Agama
dan etnis memunculkan geliat di berbagai belahan dunia sebagai sentimen baru
ikatan masyarakat. Tumbuh suburnya religious
nationalism dan etno nationalism sebagai
identitas-identitas politik baru mengkonstruksi imaji tentang sebuah komunitas
agama dan etnis yang seolah-olah seragam (Suaedy, dkk. 2007:345). Identitas
baru ini memberikan harapan kepada masyarakat akan munculnya kekuatan lain di
luar kapitalisme dan modernisme, yaitu agama. Akan tetapi, poros eksklusif yang
terbentuk tidak jarang malahan menjadi sumber kekerasan dan konflik sosial
sehingga identitas baru ini sekaligus mengerikan (Suaedy, dkk. 2007:346).
Agama seringkali bersifat paradoks, pada satu sisi agama dijalani sebagai
jalan penjamin menuju keselamatan, cinta, dan perdamaian. Sementara itu, pada
pihak lainnya agama justru menjadi sumber penyebab dan alasan bagi kehancuran
dan kemalangan umat manusia (Kahmad, 2002:147). Mungkin ungkapan yang
menyatakan bahwa manusia akan hidup lebih baik dan tertib serta bahagia,
jikalau hidupnya tanpa agama, seolah-olah benar adanya. Oleh karena agama orang
bisa saling mencinta, tetapi juga atas nama agama orang bisa saling membunuh
dan menghancurkan (Kimball, 2003:13). Sampai di sini agama tampaknya plin-plan
terhadap eksistensi manusia, agama menyebabkan kebahagiaan dan juga agama
menyebabkan kesengsaraan; atau agama yang menyebabkan dan menciptakan kedamaian
dan kelestarian, tetapi juga agama yang menyebabkan peperangan dan kehancuran.
Sampai di sini, agama merupakan realitas sosial yang berwajah ganda.
Menempatkan agama sebagai satu-satunya penyebab terjadinya konflik sosial
memang tidak seluruhnya benar karena penyebab konflik sangatlah kompleks. Akan
tetapi, ketika agama dilibatkan dalam suatu konflik hal ini sangat beralasan
mengingat peran agama berikut.
”Agama memang merupakan wahana yang sangat efektif untuk
memobilisasi massa. Namun keefektifan agama sebagai penyebab suatu konflik
tergantung pada kondisi yang dialami sebuah masyarakat. Agama akan mudah
menjadi wahana mobilisasi guna mencapai tujuan negatif, seperti penyebab
konflik, apabila masyarakat mengalami ketidakberdayaan ekonomi dan politik yang
tinggi. Sebaliknya, agama akan sulit dijadikan penyebab konflik apabila
keberdayaan ekonomi dan politik masyarakat tinggi” (Soetrisno, 2003:39).
Artinya, ada hubungan yang erat antara agama, ekonomi, dan politik sebagai
sumber konflik sosial. Dalam kaitan ini agama setidak-tidaknya efektif untuk
menumbuhkan sentimen keagamaan dalam diri penganutnya sehingga dapat dengan
mudah ditunggangi oleh kepentingan lainnya, baik politik maupun ekonomi. Pada
satu sisi agama merupakan sesuatu yang pribadi berkelindan dengan keyakinan
manusia dalam hubungannya dengan Yang Sakral. Akan tetapi, pada sisi yang lain,
juga agama melibatkan diri dalam berbagai konteks kehidupan sosial praktis
individu dan masyarakat. Gejala intelektual belakangan ini menunjukkan bahwa
studi-studi agama dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan theoposentris yang lebih tekstual dan
pendekatan sosio-historis yang lebih
kontekstual (Robertson, 1988:xvii).
Pada dasarnya kedua pendekatan ini menegaskan bahwa agama sebagai realitas
sosial sesungguhnya tidak pernah mencapai perkembangannya yang final. Malahan
gejala keagamaan menunjukkan terjadinya pembusukan-pembusukan dan
pertukaran-pertukaran peran antara agama dan masyarakat. Kimball (2003:24–25)
menyebutkan ada lima hal yang menyebabkan agama menjadi busuk dan korup –
berubah fungsi. Pertama, apabila
suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran yang mutlak dan
satu-satunya. Kedua, adalah ketaatan
buta kepada pemimpin keagamaan mereka. Ketiga,
apabila agama mulai ganderung merindukan zaman ideal, lalu bertekad
merealisasikannya pada zaman sekarang. Keempat,
apabila agama tersebut membenarkan dan membiarkan terjadinya “tujuan yang
membenarkan cara”. Kelima, bila agama
tidak segan-segan memekikkan perang suci. Bila indikasi-indikasi tersebut
semakin menonjol dalam kalangan umat beragama dapat diasumsikan bahwa institusi
keagamaan telah gagal dalam perannya sebagai mediator dalam menyampaikan ajaran-ajaran
kesucian agama kepada para pemeluknya.
Pandangan serupa juga dapat dirujuk dalam tesis yang dikemukakan J. M.
Hull tentang religionisme dan/atau agamaisme. Religionisme dan/atau
agamaisme dimaksudkan adalah isme atau
ideologi – serupa seperti rasisme – yang meyakini bahwa agama milik sendirilah
yang satu-satunya benar dan valid, sedangkan agama yang lain salah
(Maulanusantara, 2008; Rato, 2010). Paham ini cenderung mendorong para
penganutnya pada solidaritas tribalistik. Identitas yang digunakan oleh
agamaisme bersandar pada sikap penolakan atau eksklusivisme atau ketertutupan.
Hubungan antara “kami” dan “mereka” dibangun dalam kerangka dikotomis yang
beroposisi biner, seperti “baik-buruk”, “selamat-laknat”, “beriman-kafir”, dan
seterusnya. Keberadaan “mereka” senantiasa dipandang mengancam eksistensi
“kami” (Maulanusantara, 2008). Eksklusivisma agama tidak jarang diikuti dengan
tindakan kekerasan terhadap penganut agama lain, baik kekerasan fisik maupun
kekerasan simbolik.
Menurut Hull (Maulanusantara, 2008) bahwa pandangan agamaisme bukan
semata-mata karena tipe kepribadian atau corak beragama individu. Agamaisme
memiliki akar sosio-historis dalam ideologi yang dianut masyarakat dan
dilanggengkan oleh lembaga-lembaga agen sosialisasi. Secara spesifik, Hull
mengarahkan kritiknya pada pendidikan agama di sekolah yang hanya mengajarkan
tentang agama yang dipeluk murid, bukan tentang agama yang berkembang di
lingkungan sekitar murid atau lebih luas lagi di dunia. Di sini Hull menekankan
pentingnya pendidikan agama sebagai fondasi yang menentukan sikap dan pandangan
seseorang terhadap ajaran agamanya dalam konteks multikulturalisme.
Dalam konteks pendidikan agama di Indonesia hal ini dapat dicermati dengan
masih adanya peminggiran ilmu-ilmu humaniora di mana pendidikan agama merupakan
salah satu bagian pentingnya. Kenyataan ini terlihat pada penghargaan yang
berlebihan kepada ilmu-ilmu murni yang bersifat positivis daripada ilmu-ilmu
humaniora. Ilmu-ilmu humaniora hanya dipandang sebagai pelengkap karena dipandang
kurang menjamin masa depan anak didik (Noer, 2005). Pendidikan agama selama ini
hanya sebatas mengajarkan ajaran agama secara skriptural (sesuai
doktrin-doktrin dalam kitab suci) dan kurang kontekstual sehingga kurang
teraplikasikan dalam kehidupan nyata. Ajaran-ajaran agama yang termuat dalam
kitab suci semestinya dapat ditransformasikan menjadi agama sosial, yaitu
internalisasi ajaran agama yang selanjutnya dipraktikkan dalam kehidupan nyata
sebagai pedoman perilaku (O’Dea, 1985; Nottingham, 1985; Scharf, 1995). Malahan
Ilmu Perbandingan Agama yang diajarkan di perguruan tinggi seringkali hanya
dijadikan untuk menunjukkan unit-unit kelemahan dalam ajaran agama lain dan
menunjukkan keunggulan agama sendiri. Untuk mengatasi hal tersebut Hull (Maulanusantara,
2008) merekomendasikan tiga strategi berikut.
Pertama, mengganti agamaisme
dengan tradisi spiritual yang asli (genuine)
dan otentik sambil mengupas bias sejarah dan politik yang divisif sejalan
dengan model pendekatan konteksual dalam pendidikan agama. Radakrishnan
(2003:55) menjelaskan bahwa hakikat agama merupakan suatu panggilan menuju
suatu petualangan spiritual. Ia bukan hanya teologi, melainkan praktik dan
disiplin. Hakikat agama tidak terletak pada dogma-dogma dan kredo-kredo,
ritus-ritus, dan upacara-upacara yang menjemukan, tetapi
kebijaksanaan-kebijaksanaan paling mendalam dari segala zaman. Spiritualisme
mengatasi otoritas dan konformitas institusi agama, ia berdiri di luar semua
agama (Roberts, 2002:113). Oleh karena itu, Radakrishnan (2003:55) menjelaskan
bahwa perbedaan antaragama bukan menyangkut kebenaran, melainkan
pandangan-pandangan atau pemahaman terhadap kebenaran yang diyakini.
Agama-agama pada dasarnya merupakan wujud-wujud historis yang berbeda-beda dari
satu kebenaran yang validitasnya bersifat universal dan tidak berkesudahan.
Dalam spiritualitas perbedaan agama tidak akan menghalangi visi suci manusia
untuk menemukan kediriannya di tengah-tengah alam semesta.
Kedua, menekankan bahwa tujuan universal agama-agama adalah sama,
yaitu menghadirkan spirit Tuhan di bumi dan menciptakan surga di muka bumi.
Transfigurasi atau spiritualisasi dalam pandangan eksistensialis Nietszchean
(Roberts, 2002:112) merupakan cara untuk mewujudkan eksistensi manusia, yakni
kebebasan spirit. Nietzsche membangun gagasan spiritualitas postreligiusnya
secara ekstrim bahwa kebebasan spirit diperoleh melalui “perahmatan” yang bukan
hanya milik Tuhan dan wakil-wakilNya di dunia, melainkan transfigurasi. Manusia
bisa menjadikan dirinya “tuhan”, bila berhasil melakukan transfigurasi praktik
hidup ketuhanan. Boleh jadi, Nietzsche ingin menyampaikan pentingnya
transformasi kesadaran ketuhanan (divine
consciousness) menjadi kesadaran
kemanusiaan (human consciousness),
dalam kalimat yang lebih lunak. Dengan demikian, setiap manusia, apapun
agamanya, memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pencerahan dan rahmat
di dunia ini.
Ketiga, mengganti dakwah agamaisme yang cenderung menghujat agama
lain dan mengkonversi pemeluk agama lain dengan dakwah agama otentik yang
bertujuan menegakkan keadilan dan perdamaian, serta menghadirkan Tuhan dalam
kehidupan fana manusia. Rekomendasi ini bertali-kelindan dengan rekomendasi
sebelumnya bahwa agama hanyalah sarana untuk menuju Tuhan, bukan Tuhan itu
sendiri. Tujuan hidup manusia adalah Tuhan yang bersama-sama dicari dalam
agama-agama (Supono, 2002:73). Melalui kesadaran ini antarumat beragama tidak
akan saling hujat-menghujat, mati-matian membela agamanya yang seolah-olah
membela Tuhannya, dan menawarkan satu-satunya keselamatan kepada orang lain
dengan tujuan konversi agama. Dengan demikian,
agama dapat dijadikan instrumen untuk mewujudkan persatuan,
bukan sebaliknya menjadi alat pemecah belah persatuan.
5. Simpulan
Pada akhirnya dapat dipahami bahwa untuk mewujudkan kesatuan Indonesia dapat ditempuh setidak-tidak tiga upaya berikut. Pertama,
mentransformasikan kesadaran multikulturalisme menjadi identitas nasional
dengan bertumpu pada penghargaan terhadap kepluralistikan masyarakat Indonesia.
Untuk itu Bhinneka Tunggal Ika sebagai
teks ideal senantiasa perlu dibaca ulang pada setiap zaman karena pada
prinsipnya identitas tidak pernah final.
Kedua, membangun integrasi nasional yang berbasis multikulturalisme
dengan mendorong kesadaran masyarakat menggunakan hak konstitusinya dalam
berkumpul, berserikat, dan berpendapat guna memperjuangkan hak-hak keadilan,
kebebasan, kesetaraan, serta berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Kemudian,
mendorong pemerintah menjadikan civil
society sebagai mitra kerja, baik dalam pengambilan kebijakan dan
ekskusinya pada bidang-bidang yang menyangkut hajat hidup masyarakat dengan
tetap memperhatikan entitas-entitas budaya lokal.
Ketiga, mendorong peran agama dalam kehidupan sosial dan kebudayaan
misalnya, dengan menegaskan bahwa tujuan hidup manusia adalah Tuhan, bukan
agama. Melalui kesadaran ini, antarumat beragama tidak saling menghujat,
mati-matian membela agamanya yang seolah-olah membela Tuhannya, dan menawarkan
keselamatan kepada orang lain dengan tujuan konversi agama. Dengan demikian,
agama menjadi pemersatu bagi seluruh masyarakat dan tidak sebaliknya menjadi
alat pemecah belah persatuan Indonesia.
Daftar Kepustakaan
Al-Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.
Azra, Azyumardi. 2011. “Culture of Violence in the Name of
Religion“. Makalah. Disampaikan dalam
Seminar dengan tema “Agama dan Kekerasan” pada Program Pascasarjana Universitas
Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar.
Anderson, Benedict, 1999. Komunitas-Komunitas
Terbayang Renungan Tentang Asal Usul dan Penyebaran Nasionalisme. Alih
Bahasa Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Atmadja, Nengah Bawa, 2005, “Bali Pada Era Globalisasi: Pulau
Seribu Pura Tidak Seindah Penampilannya” (hasil penelitian – studi kasus pada
berbagai desa), Singaraja:-
Budiman, Hikmat (ed). 2005. Hak Minoritas Dilema Multikulturisme di Indonesia. Jakarta: Yayasan
Interseksi/The Interseksi Foundation.
Hefner, Robert W. 2007. Politik
Multukulturalisme: Menggugat Realitas Kebangsaan. Yogyakarta: Kanisius.
Hutington, Samuel P. 2003. Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta:
Qalam.
Kahmad, Dadang. 2002. Sosiologi
Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya
Kimball, Charles.2003. Kala
Agama Jadi Bencana. Bandung: PT.Mizan.
Kusumohamidjojo, Budiono, 2000, Kebhinnekaan Masyarakat Indonesia: Suatu Problematik Filsafat
Kebudayaan, Jakarta: PT. Grasindo.
Liliweri, Alo.2005. Prasangka
dan Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta:
LkiS.
Maulanusantara. 2008. “Menepis Prasangka, Memupuk Toleransi
Untuk Multikulturalisme”. Artikel
dalam maulanusantara.wordpress.com,
posting 30 April 2008.
Mulkhan, Abdul Munir. 2007. “The Others dalam Bhineka Berbangsa dan
Beragama” (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Multikulturalisme, Agama
dan Etnisitas” diselenggarakan oleh Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan
Universitas Hindu Indonesia di Denpasar tanggal 10 Agustus 2007).
Noer, Kautsar Azhari. 2005. Pluralisme dan Pendidikan di
Indonesia, Menggugat Ketidakberdayaan Sistem Pendidikan Agama dalam Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di
Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Nottingham, Elizabeth K. 1985. Agama dan Masyarakat. Jakarta: CV.Rajawali.
Nurkhoiron, M. 2007. “Minoritisasi dan Agenda
Multikulturalisme di Indonesia: Sebuah Catatan Awal”, dalam Hak Minoritas Multikulturalisme dan Dilema
Negara Bangsa. Editor: Marsudi Noorsalim, dkk. Jakarta: Yayasan
Interseksi/The Interseksi Foundation.
O’Dea, Thomas F. 1985. Sosiologi
Agama. Jakarta: CV. Rajawali.
Parekh, Bhiku. 2007. Rethinking
Multikulturalism Keberagaman Budaya dan Teori Politik. Yogyakarta:
Kanisius.
Piliang, Y. A. 2003. Hipersemiotika
Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Prasetyo, Hendro, dkk. 2008. Islam & Civil Society Pandangan Muslim Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan PPIM-IAIN Jakarta.
Radhakrishnan, S. 2003. Religion
and Society. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan,
Universitas Hindu Indonesia Denpasar bekerjasama dengan penerbit Widya Dharma.
Rano, Rato. 2010. “Religionisme” dan Urgensi Perubahan
Paradigma Pendidikan Agama”. Artikel dalam
m.kompasiana.com, posting 28 April 2010.
Robert, Tyler T. 2002. Spiritualitas
Postreligius Eksplorasi Hermeneutis Transfigurasi Agama dalam Praksis Filsafat
Nietzsche. Yogyakarta: Qalam.
Robertson, Roland. 1988. Agama:
Dalam Analisas dan Interpretasi Sosiologi, Jakarta: Rajawali.
Scharf, Betty R.1995. Kajian
Sosiologi Agama. Yogyakarta: CV.Tiara Wacana
Sparringa, Daniel. 2006. “Multikulturalisme Indonesia: Nilai-nilai
Baru untuk Indonesia Baru (sebuah Jawaban terhadap Kemajemukan)”. Makalah
disampaikan dalam seminar tentang “Pendidikan Nilai-nilai Kehidupan Ditinjau
dari Berbagai Perspektif Ilmu” yang diselenggarakan oleh Universitas Atmajaya,
Jakarta, 18 November 2006.
Suaedy, Ahmad, dkk. 2007. Politisasi
Agama dan Konflik Komunal Beberapa Isu Penting di Indonesia. Jakarta: The
Wahid Institute.
Sugiharto, I. Bambang. 1996. Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Supono, Eusta. 2002. Agama
Solusi atau Ilusi? Kritik atas Kritik Agama Karl Marx. Yogyakarta:
Komunitas Studi Didaktika.
Suseno, Franz Magnis. 2005. Berebut Jiwa Bangsa. Jakarta: Kompas.
Tilaar, H.A.R.2004. Multikulturalisme
Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta:
Grasindo.
Soetrisno, L. 2003. Konflik
Sosial Studi Kasus Indonesia. Yogyakarta: Tajidu Press.