PENGANTAR
EDITOR
Setiap Orang adalah Politikus
I
Wayan Sukarma
Om Swastyastu,
Om Awighnam Astu Namo Sidham.
Upaya mengatasi
paradoksal pengetahuan, kontradiksi tindakan, dan mendamaikan antara pengetahuan
dan tindakan, tanpa disadari telah mendorong orang menjadi politikus. Setiap
orang adalah politikus – karena dituntut lebih bijaksana menafsirkan dan
memahami nilai-nilai kehidupan. Apalagi nilai kehidupan mengalami perkembangan yang
semakin dinamis inheren dalam perubahan zaman sehingga arah perkembangannya sungguh
tidak mudah ditebak. Setiap orang mesti menguasai kehidupannya sebab Rta memaksanya. Setiap orang harus memimpin kehidupannya karena Dharma memerintahkannya. Kemudian, Sanatana
Dharma menganjurkan, penguasaan
atas kehidupan
dipimpin menuju ke
titik akhir-pengabdian,
realisasi diri, kebebasan. Artinya, pengetahuan mesti mencerahi perbuatan
dan harus memimpin tindakan, sebagaimana aktivisme menyarankannya. Aktivisme yang dalam Mimamsa
disebut karma-kanda, yaitu filsafat yang mengajarkan bahwa
aktivitas, proses, pergerakan, dan energi atau kekuatan adalah prinsip tertinggi. Segala sesuatu termasuk pengalaman
merupakan suatu bentuk
dari prinsip aktivitas.
Aktivisme memahami bahwa keberadaan dan perkembangan alam dimungkinkan karena aktivitas sehingga tak
seorang pun dapat
melepaskan diri dari aktivitas. Mengingat aktivitas
mencerminkan vitalitas kehidupan dan dinamika kosmis sehingga tidaklah mungkin orang menghindarinya. Perhatikanlah Bhagawadgita, III.5, “Walaupun untuk sesaat tak seorangpun
mampu untuk tidak berbuat, karena setiap manusia dibuat tidak berdaya oleh hukum alam, yang
memaksanya bertindak”. Aktivitas inilah yang menentukan eksistensi seseorang dalam dunia-kehidupan,
bahkan aktivitas
dapat menjadi sarana mencapai kebebasan. Renungkanlah Bhagawadgita, III.4, ”Tanpa kerja orang tidak akan mencapai kebebasan, demikian
juga ia tak akan mencapai kesempurnaan karena menghindari kegiatan kerja”.
Artinya, walaupun menghasratkan kebebasan (kama),
memiliki alat (artha), mengetahui
aturan (dharma), dan memiliki tujuan
kebebasan (moksa), tetapi tanpa tindakan kerja (karma), kebebasan tidak dapat dicapai.
Apalagi hukum alam selalu memaksa bertindak sehingga dunia-kehidupan tidak mungkin
statis, apalagi
stagnan pada satu terminal kehidupan. Fakta bahwa manusia hadir dalam dunia-kehidupan, bukan untuk
‘bermalas-malasan’, tetapi melakukan tindakan kerja di bawah kontrol alam dan pengawasan
moral. Pikiran bekerja berdasarkan kekuatan akal untuk
membedakan realitas kehidupan menjadi fakta-fakta kehidupan dan kemampuan nalar
membangun kesalinghubungan antarfakta kehidupan. Hubungan antarfakta kehidupan
ini menjadi pengetahuan kehidupan yang bernilai kebenaran, baik abstrak,
teoretis, maupun praktis. Begitulah prinsip-prisip hukum alam memaksa pikiran selalu
bergerak dari fakta satu ke fakta lainnya. Patut disadari bahwa gerakan pikiran belum tentu selalu ke
arah positif,
karena itu diperlukan semacam strategi moral untuk mengontrol, mengawasi,
mengendalikan, dan mengarahkan kegiatan pikiran ke arah positif menjadi tindakan produktif.
Tindakan
produktif dicapai setelah mencapai kedewasaan, bahkan manusia tetap
melibatkan diri dalam kegiatan politik dan kepemimpinan menuju kematangan
dirinya. Kematangan diri ini ditandai dengan semakin berkembangnya
potensi kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual.
Kecerdasan intelektual membimbing manusia pada kebenaran, kecerdasan emosional
melindungi manusia dalam kebajikan, dan kecerdasan spiritual menuntun manusia
menuju keselamatan. Ketiga potensi kecerdasan ini digunakan untuk mengidentifikasi
dan memecahkan masalah-masalah kehidupan.
Dengan semakin
berkembangnya potensi kecerdasan ini, manusia sanggup menolong dirinya sendiri
dan sesama, mampu menjaga kelestarian alam, dan setia sujud penuh iman kepada
Tuhan. Begitulah dunia-politik, di dalamnya manusia senantiasa berupaya
menjadikan dirinya semakin arif, bajik, dan adil terhadap lingkungan. Dalam
dunia-politik, manusia selalu berupaya berperilaku arif-berkeadilan terhadap
segala sesuatu yang menjadi bagian integral dari eksistensi kehidupannya. Upaya
manusia mendidik dirinya ini merupakan hakikat politik yang didialogkan melalui
berbagai model kepemimpinan. Melalui upaya ini manusia mendapatkan pengetahuan
yang bernilai kebenaran. Nilai kebenaran inilah yang menjadi landasan bagi
terbentuknya perilaku bajik-berkeadilan dan dengannya masyarakat manusia
membangun kebudayaan. Begitulah politik diperlukan untuk menghubungkan antara filsafat
pengetahuan dan filsafat tindakan.
Pentingnya politik dalam menata dunia-kehidupan, juga untuk mendamaikan pandangan yang berbeda dan berlawanan, sebagaimana perbedaan pandangan terhadap Weda antara Wedanta dan Mimamsa. Wedanta
menafsirkan Weda sebagai kontemplasi spekulatif-metafisik sehingga disebut jnana-kanda.
Sebaliknya, Mimamsa menafsirkan Weda sebagai tindakan sehingga disebut karma-kanda. Wedanta
melahirkan paham hidup-kontemplatif yang lebih mengedepankan pengetahuan sebagai
prinsip tertinggi. Sebaliknya, Mimamsa melahirkan paham aktivisme yang lebih
mengutamakan aktivitas
sebagai prinsip tertinggi. Dalam mencari kebenaran tertinggi, Wedanta menekankan pada
prinsip pengetahuan ‘jnana-marga’ dan sebaliknya, Mimamsa lebih
menekankan pada prinsip tindakan ‘karma-marga’. Mendamaikan perbedaan kedua pandangan ini kiranya, politik dapat menjadi
katalisator-metodologis untuk menemukan antara pengetahuan benar dan menentukan perbuatan baik, kesatuan
benar-baik.
Ini sebabnya politik-politikus dan
kepemimpinan-pemimpin selalu menjadi terma aktual dalam dunia-kehidupan. Kepopuleran kedua terma ini menunjukkan bahwa betapa tidak mudahnya mewujudkan
keteraturan, ketertiban, dan keseimbangan sosial (dalam dunia-kehidupan), apalagi kemandirian,
keadilan, dan kesejahteraan.
Kesulitan ini dapat diduga, bermula dari keterbatasan manusia memahami Hidup yang sederhana itu, tetapi menjadi rumit ketika memasuki
dunia-pengalaman. Berdasarkan relativitas dunia-pengalaman, Hidup Yang Satu dan mutlak itu (dalam dunia-kehidupan) diterjemahkan menjadi beranekaragam kebutuhan, keperluan, dan kepentingan.
Kebutuhan berkaitan dengan bidang ekonomi, yaitu upaya mempertahankan eksistensi fisikal. Keperluan berkaitan dengan bidang
sosial, yaitu upaya mempertahankan eksistensi
sosial dan
budaya. Kepentingan berkaitan dengan bidang politik, yaitu upaya memperoleh, menggunakan, dan mempertahankan kekuasaan.
Terjemahan
inilah yang sering menjadi sumber konflik sosial dalam dunia-kehidupan. Padahal dunia-kehidupan merupakan konstruksi
dari garis-kehidupan, yaitu garis eksistensi yang terletak pada sepanjang antara titik awal-kelahiran
dan titik akhir-kematian. Kedua titik ini niscaya adanya, tetapi manusia tidak dapat mengetahuinya. Barangkali karena kedua “titik- niscaya”
ini tidak
diketahuinya
sehingga manusia menyusun sendiri bagian pendahuluan dan bagian penutup buku kehidupannya. Keterbatasan ini menyebabkan manusia menulis tentang isi buku kehidupannya dengan mengubah
titik-titik sepanjang garis eksistensi kehidupan menjadi bidang-bidang kehidupan. Begitulah manusia
senantiasa membangun dan menata dunia-kehidupannya melalui bidang-bidang kehidupan beserta lingkungan yang menyertainya.
Fakta kehidupan
menunjukkan bahwa seseorang tidak mungkin tumbuh dan berkembang secara normal
tanpa lingkungan, baik alam, sosial maupun budaya. Untuk bertahan dalam
dunia-kehidupan, orang mesti membangun sikap adil dan berimbang kepada alam. Begitu
juga karena lahir dan berkembang dalam masyarakat sehingga orang harus
membangun masyarakat. Walaupun pada batas tertentu, juga orang dapat berhadapan
dengan masyarakat. Ini sebabnya patut disadari bahwa masyarakat tetap dan
selalu ‘hidup’ ketika orang sudah ‘mati’. Setiap orang adalah bagian tidak
terpisahkan dari masyarakat.
Begitulah
manusia membangun dan menata dunia-kehidupannya berdasarkan konsensus, yaitu nilai
yang dapat dibagi bersama. Di dalamnya setiap orang harus menyatu karena
keterpisahan dari konsensus berarti konflik sosial. Konflik sosial ini
menimbulkan resiko pembangunan integrasi baru berdasarkan tatanan nilai baru.
Begitulah setiap orang terikat pada tatanan nilai dan tergantung pada tujuan
masyarakat. Jadi, manusia adalah mahkluk determinan. Manusia determinan pada nilai
dan tujuan yang dibangunnya sendiri dalam lingkungan, baik alam, sosial, maupun
budaya. Ketiga lingkungan ini merupakan upaya manusia membangun pergaulan, yaitu
dunia-pendidikan yang sekiranya dapat membantu pertumbuhan dan perkembangannya
untuk mencapai kedewasaan dan kematangan.
Kedewasaan ditandai
dengan kemampuan mengidentifikasi masalah-masalah kehidupan. Kematangan
ditandai dengan kesanggupan memecahkan masalah-masalah kehidupan. Dengan
demikian, manusia dewasa memiliki kemampuan bertanggung jawab, sebagaimana
nilai-nilai dan norma-norma kehidupan memaksanya. Manusia matang memiliki
kesanggupan untuk mangapresiasi pertanggungjawabannya, sebagaimana
dunia-kehidupan memerintahkannya. Begitulah dunia-kehidupan menjadi universitas
terbuka sepanjang hayat. Di dalamnya sarat dengan proses politik, mulai dari
pengenalan dan pemahaman nilai-nilai dan norma-norma hingga pengapresiasiannya.
Pada bidang politik inilah seluruh bidang kehidupan dipertaruhkan, karena itu bidang
politik mesti dimengerti dan harus dipahami. Apalagi mereka yang berhasrat
hendak bertahan dan mempertahankan kehidupannya.
Dalam koteks
inilah letak penting dan relevansi bidang politik dan kepemimpinan yang diungkapkan oleh Gunadha dan Sutrisno dalam buku Aneka
Politik Hindu ini. Buku ini hendak mengungkapkan ilmu politik dan ilmu kepemimpinan secara holistik dan komprehensif dengan
meletakkan hubungan antara keduanya. Walaupun dari judulnya mudah diduga bahwa buku ini
merupakan hasil penelusuran terhadap teks-teks politik dan kepemimpinan Hindu. Apalagi ditegaskan pada bagian awal dengan
titel Politik: Antara Kebutuhan dan Kepentingan. Kitab yang dijadikan rujukan utama, antara lain Manawadharmasastra, Arthasastra, Nitisastra,
Rajadharma, dan Dhandaniti. Dari kitab-kitab ini ditemukan
nilai-kehidupan,
antara lain upaya pengembangan
moral, pendidikan budi pekerti dan akhlak mulia, tata krama pergaulan, kasih
sayang kepada sesama, ilmu politik, ilmu kepemimpinan, negara sejahtera, dan bhakti kepada Tuhan.
Dari sini dapat dipahami bahwa teks
susastra Hindu yang bersifat lokal dan regional, juga mengandung nilai-nilai universal, sebagaimana nilai-nilai
kealaman, kemanusiaan, dan ketuhanan yang diafirmasi pada setiap bangsa dan pada setiap zaman. Melalui konsep Rajarshi misalnya, Hindu hendak menganjurkan, seorang pemimpin mesti membangun pemerintahan dan harus menata kehidupan beragama. Begitu
juga Kautilya Arthasastra mengajarkan
bahwa
politik bukan semata-mata hanya cara merebut,
menggunakan, dan mempertahankan kekuasaan. Akan
tetapi, yang
jauh lebih penting adalah upaya mengendalikan dan mengarahkan kekuasaan
menuju catur purusa artha.
Upaya mencapai keempat tujuan kehidupan
tersebut mendorong munculnya pembahasan bagian kedua, yaitu Sastra Politik Hindu. Secara tidak
langsung buku ini hendak berpesan bahwa untuk mencapai tujuan kehidupan
tidaklah mungkin dengan hanya mengandalkan diri pada pengalaman belaka. Pengalaman
memang mengandung kebenaran, tetapi kehidupan tidak seluruhnya mengandalkan
pada kebenaran semacam ini. Oleh karena itu, juga kehidupan bersandar pada
kebenaran tekstual, yaitu umat Tuhan mesti menelusuri dan harus menyandarkan
diri pada kitab-kitab suci agama, “sastra
yoni wak” (Brahma Sutra, 1.1). Pada
bagian kedua ini ditegaskan bahwa “kesusasteraan Hindu mengalir dari
Weda”. Dari sinilah dimulai pembahasan ringkas tentang struktur dan isi Weda –
kitab suci Hindu yang dipercaya wahyu Tuhan.
Mula-mula Weda dibagi menjadi dua
bagian, yaitu Sruti dan Smrti. Sruti adalah Catur
Weda. Smrti adalah penjelasan atas tafsir Weda yang terdiri
atas Wedangga dan Upaweda. Wedangga berisi Siksa ‘ilmu fonetik’, Vyakarana ‘ilmu tata bahasa’,
Candha ‘lagu atau hymne’, Nirukta ‘ilmu
tafsir otentik’, Jyotisa ‘ilmu
perbintangan atau astronomi’, dan Kalpa ‘ilmu persembahan’. Upaweda berisi Itihasa ‘Mahabharata dan Ramayana’, Purana ‘cerita-cerita kuno’,
Arthasastra ‘ilmu politik dan kepemimpinan’, Ayur Weda ‘ilmu pengobatan’,
Gandharva Weda ‘ilmu kesenian’,
Kamasastra ‘ilmu tentang kama dan
seksualitas’, dan Agama ‘kitab-kitab tantra’. Ilmu-ilmu inilah yang memberikan pengetahuan valid pada setiap bidang kehidupan. Ini sekaligus menegaskan bahwa pengetahuan
memang mengalir dari Weda. Dengan demikian, menjadi jelas posisi Arthasastra
‘ilmu politik dan kepemimpinan’ di antara kitab-kitab Smrti.
Walaupun Kautilya Arthasastra tidak menyebutkan
pentingnya Mimamsa, tetapi perlu
dipertimbangkan karena filsafat
ini secara khusus menekankan pokok pembicaraan tentang peneguhan otoritas dan kewibawaan Weda. Mimamsa berarti berpikir, mengevaluasi,
dan menginvestigasi merupakan landasan dasar ilmu politik dan kepemimpinan.
Secara
etimologi Mimamsa berarti keinginan
berpikir dalam pengertian pertimbangan, evaluasi, dan investigasi terhadap teks-teks Weda. Dalam praksisnya, Mimamsa berarti menganalisis dan memahami secara keseluruhan. Weda diinterpretasi sebagai filsafat
kerja sehingga Weda dipahami menjadi azas tindakan. Akan tetapi, Mimamsa tidak menyamakan Aktivitas dengan Atman. Idenya adalah aktivitas
sebagai pengendali alam semesta, bukan pencipta.
Aktivitas hanya dapat memodifikasi segala sesuatu yang telah eksis (secara ontologi),
tidak menciptakannya. Dengan begitu, setiap eksistensi merujuk kepada gerak karena gerakan tampil
dalam bentuk tindakan-tindakan yang dapat dikategori. Dengannya dapat disusun sejumlah kriteria untuk
menentukan setiap eksistensi. Pengetahuan
tentang eksistensi ini menjadi instrumen penting dalam menelusuri Arthasastra, ilmu politik dan
kepemimpinan. Mengingat
tujuan utama Mimamsa adalah mempertahankan dan memberikan
landasan filosofis ritualisme Weda. Untuk membangun landasan ini, Mimamsa memberikan dukungan dengan dua
cara. Pertama, memberikan metode interpretasi dan dengan bantuan ini ajaran-ajaran Weda yang rumit tentang ritual bisa dipahami, diharmoniskan, dan diikuti. Kedua, menyediakan justifikasi filsafat tentang keyakinan yang di atasnya ritualisme bergantung. Dukungan ini dikembangkan berdasarkan
nalar (tarka) untuk
memperkuat posisi Weda sebagai
kitab wahyu Tuhan.
Kautilya Arthasastra juga menekankan pada pentingnya nalar dalam proses ilmu pengetahuan untuk
melanggengkan dunia-kehidupan. Malahan untuk memelihara dan menjaga
kelangsungan dunia-kehidupan melalui konsep negara sejahtera dikembangkan empat jenis pengetahuan ‘catur widya’, yaitu anvikshaki (filsafat), veda trayi (tiga
Veda), varta (ilmu ekonomi), dan dandaniti (ilmu hukum dan politik). Keempat jenis pengetahuan ini menjadi fondasi utama membangun negara untuk mewujudkan dharma siddhyartha,
yaitu kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan. Epistemologi Kautilya Arthasastra ini dibahas pada bagian ketiga dari
buku ini dalam perbandingan Filsafat Barat. Berbeda dengan hal itu, Mimamsa menunjuk
pada enam sumber pengetahuan, yaitu (1) persepsi (pratyaksa), (2) inferensi (anumana), (3)
komparasi (upamana), (4)
testimoni verbal (sabda),
(5) postulasi (arthapatti),
(6) nonkognisi (anupalabdhi).
Malahan Mimamsa mempertahankan tiga faktor pengetahuan,
yaitu objek yang diketahui, subjek yang mengetahui, dan pengetahuan. Subjek,
objek, dan pengetahuan secara langsung diketahui dalam tindakan mengetahui.
Dengan kata lain, tindakan mengetahui suatu objek sudah secara langsung
melibatkan subjek, objek, dan pengetahuan. Berdasarkan pandangan ini
pengetahuan valid dituntut harus memenuhi empat kondisi. Pertama, pengetahuan harus muncul dari penyebab yang tidak cacat (karanadisarahita). Kedua, pengetahuan harus bebas dari
kontradiksi karena pengetahuan harus swakonsisten (self-consistent) dan harus tidak jauh dari pengetahuan
ikutannya (badhakajnanarahita).
Ketiga, pengetahuan harus
mengaprehensi suatu objek yang belum diketahui, yaitu karakter esensial
pengetahuan (agrhitagrahi). Keempat, pengetahuan harus benar-benar
mencerminkan suatu objek (yathartha).
Pengetahuan harus selalu diperdalam dan diperluas untuk memperoleh
kebijaksanaan dan mencapai tujuan kehidupan.
Setelah
pembahasan tentang pengetahuan dalam hubungannya dengan tujuan kehidupan
kemudian, pada bagian keempat dalam tema Negara Arthasastra dibahas kemunculan sebuah negara dan pemimpin. Gagasan Aristoteles tentang hasrat untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum, membela diri, dan melanjutkan keturunan menjadi
pendorong utama manusia untuk hidup bermasyarakat digunakan membaca tentang
munculnya negara. Sementara itu, munculnya seorang pemimpin dimulai dari
pembacaan atas teks-teks India kuno, seperti Manusmerti yang
menjelaskan penurunan kualitas manusia dari zaman ke zaman hingga tugas Manu melalui negara menegakkan dharma. Dari sini dikenal konsep dewa-raja,
yaitu raja adalah
keturunan dewa, karena
itu raja adalah manusia mulia. Dalam dirinya sendiri sudah bersemayam Yama ‘keadilan’, Kuwera ’kesejahteraan’, Waruna ‘kecerdasan’, dan Indra ‘kemuliaan’. Dalam Santi Parwa ditegaskan bahwa seorang raja diciptakan sendiri oleh
para dewa sehingga ia memiliki kesaktian dan kemuliaan yang identik dengan
dewa. Berikutnya, negara yang diidealkan Kautilya adalah
negara dinamis yang dibangun dengan poros dharma
untuk mencapai cita-cita jagaddhita: artha dan kama.
Negara ideal
Kautilya terdiri atas tujuh unsur yang disebut saptangga, yaitu (1) raja (svamin), (2) pegawai tinggi (amatya), (3) wilayah dan penduduk (janapada), (4) kekayaan dan harta benda (kosa), (5) benteng (durga),
(6) angkatan bersenjata (bala), dan
(7) negara sahabat (mitra). Ketujuh
unsur negara ini dijelaskan pada bagian kelima dengan tema Saptangga Negara.
Unsur-unsur negara Arthasastra ditegaskan
seiring dan sejalan dengan konvensi politik modern termasuk hubungan
antarbangsa menjadi kajian penting dalam bidang politik luar negeri. Hubungan antarnegara merupakan perluasan hakikat manusia
sebagai mahluk
sosial. Kehidupan suatu negara tidak akan tumbuh dengan wajar tanpa
berhubungan
dengan negara lain, baik dalam konteks kerjasama maupun pengakuan.
Berdasarkan
hubungan tersebut kewajiban
kepala negara adalah menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan kedaulatan negara yang disebut mandala. Mandala merupakan pola hubungan
antara negara satu dan negara lainnya yang menurut Kautilya dibagi menjadi empat golongan
besar yang disebut Catur Sandi. Ari ‘negara musuh’, Mitra ‘negara
sahabat’, Madyama ‘negara netral’,
dan Udasin ‘negara kecil yang dapat
diabaikan’. Artinya, suatu negara tidak dapat tumbuh dan berkembang normal,
sebagaimana halnya individu begitu membutuhkan sahabat dan musuh. Sahabat
mengajarkan konsensus dan musuh mengajarkan konflik kemudian, di atas kedua
model inilah masyarakat dibangun dan dikembangkan. Untuk mewujudkan tujuan mulia negara diperlukan pemimpin yang memiliki idealisme dan
keteladanan.
Pemimpin yang memiliki idealisme dan
keteladanan dijelaskan pada bagian keenam dalam tema Rajarshi: Pemimpin Ideal. Karakter Rajarshi sebagai pemimpin ideal ditentukan memiliki sifat religius (sradha), tekun beribadah (bhakti), tidak pernah melupakan pemujaan dan jasa para leluhur,
serta cinta kasih kepada seluruh makhluk. Jadi, Rajarshi sebagai konsep pemimpin ideal merujuk
pada dua pengertian. Pertama, dalam
sistem politik berarti keberadaan raja (Svamin) dan pendeta (Purohita) dalam struktur pemerintahan
merupakan sebuah kemutlakan. Kedua,
Rajarshi merujuk pada karakter kepemimpinan yang hadir secara integral
dalam diri seorang pemimpin, yaitu perpaduan sempurna antara karakter raja dan rshi.
Dari konsep Rajarshi ini
sekurang-kurangnya ada empat
implikasi penting dari kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan selalu melibatkan orang
lain sebagai pengikutnya. Penerimaan pengikut untuk menuruti arahan dari
pimpinan menyebabkan
proses kepemimpinan tiada lain adalah keniscayaan. Kedua, kepemimpinan melibatkan sebuah
pembagian kekuatan yang tidak seimbang antara pemimpin dan anggota (kelompok). Seorang pemimpin harus mempunyai
kekuatan lebih dari kelompok yang dipimpin. Ketiga, kepemimpinan adalah kemampuan
menggunakan bentuk-bentuk kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku
pengikut dalam sejumlah cara. Keempat, aspek gabungan dari ketiganya yang
mengakui bahwa kepemimpinan adalah sebuah nilai (value).
Implikasi dari kepemimpinan
tersebut, juga tampak dalam konsep negara modern, yaitu pergeseran ide negara kepolisian (police state) menjadi negara
kesejahteraan (welfare state).
Konsepsi negara kesejahteraan menempatkan pemerintah tidak lagi hanya sebagai
pengatur negara, tetapi secara aktif dan kreatif mewujudkan kesejahteraan.
Konsekuensinya,
negara harus mengemban empat fungsi pokok, yaitu protectional function (fungsi perlindungan), welfare function (fungsi
kesejahteraan), educational function (fungsi pendidikan), dan
peacefulness function (fungsi kedamaian). Hal ini
dijelaskan pada bagian keenam dalam tema Negara Kesejahteraan.
Kemudian, yang dimaksud dengan konsep
kesejahteraan dalam Arthasastra, antara lain terpenuhinya kebutuhan material dan nonmaterial
masyarakat, adanya jaminan sosial dan penanggulangan terhadap
resiko kehidupan, dan pengentasan kemiskinan. Negara
Kesejahteraan dalam Arthasastra menempatkan
keseimbangan antara kekayaan negara dengan kesejahteraan rakyat. Kekayaan
negara diperoleh dari berbagai sumber pendapatan (ayasarira) yang digunakan untuk kesejahteraan. Pengeluaran negara (vyasarisa) digunakan untuk membiayai
tujuh unsur negara (saptangga),
seperti mencukupi kebutuhan raja dan rumah tangga istana (svamin), gaji pejabat dan
pegawai pemerintah (amatya),
membangun tata ruang dan infrastruktur (janapada),
termasuk membiayai benteng dan tentara.
Dalam negera
kesejahteraan, Kautilya
menganjurkan membangun empat
pilar hukum, yaitu (1) dhramasastra ‘hukum suci’,
(2) vyavahara ‘kesaksian’, carittara ‘sejarah atau tradisi’, dan (4) sasana ‘maklumat raja-raja’. Hal ini
dijelaskan pada bagian kedelapan dalam tema Hukum dan Keadilan. Dengan merujuk
pemikiran Barat, yaitu teori keadilan kemudian, dijelaskan bahwa keadilan
menurut Rawl sejalan dengan upaya penegakan hukum dan keadilan menurut Arthasastra. Artinya, hukum bukan saja
dilaksanakan secara adil, tetapi bertujuan untuk mewujudkan keadilan itu
sendiri. Hukum adalah institusi yang diciptakan dan ditegakkan oleh negara
karena mengatur hak dan kewajiban setiap warga negara. Jadi, dapat dipahami
bahwa hukum dalam keadilannya memberikan ruang kebebasan bagi individu
berdasarkan catur ashrama dan catur varna. Dalam hal ini, catur ashrama dan catur varna semestinya mendapat perlakuan yang adil dan seharusnya
diapresiasi berdasarkan Dharma. Pengapresiasian
catur ashrama dan catur varna merupakan landasan utama
untuk mewujudkan negara kesejahteraan.
Begitulah
sekilas tentang politik dan kepemimpinan yang diperbincangkan buku ini.
Harapannya, mudah-mudahan informasi yang diberikan bermanfaat bagi pengembangan
ilmu politik dan ilmu kepemimpinan itu sendiri. Sekurang-kurangnya dapat
menjadi ispirasi bagi pengembangan dunia-kehidupan yang memang sarat dengan
kontradiksi nilai dan norma. Apalagi setiap orang adalah politikus sekaligus
pemimpin sehingga perlu membaca buku ini terutama dalam rangka mewujudkan
keamanan dan kenyamanan sosial. Mengingat rasa aman dan nyaman merupakan modal
dasar untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemuliaan bagi semua.
Dengan
demikian, membaca buku ini berarti membuka diri untuk mendapatkan pengetahuan
baru untuk melengkapi struktur pengetahuan sebelumnya. Setidak-setidaknya untuk
menguatkan ingatan tentang ilmu politik dan ilmu kepemimpinan Hindu yang sudah
menyatu dalam struktur kognitif. Selanjutnya, pengetahuan tersebut dapat
dimanfaatkan untuk memperoleh, mengelola, dan menggunakan berbagai bentuk modal
untuk memenuhi kebutuhan, keperluan, dan kepentingan dalam dunia-kehidupan.
Sebuah dunia-relatif yang dijejali oleh perubahan, karena itu setiap orang
tetap memerlukan dharma karena
padanya seluruh pemikiran tergantung. Ini sebabnya meragukan dharma adalah kesia-siaan. Apabila
meragukan dharma adalah kesia-siaan,
maka belajar ilmu politik dan ilmu kepemimpinan dapat dipastikan tidak akan
tidak sia-sia. Mengingat pada politik dan melalui kepemimpinan dharma ditegakkan.
Kiranya, saya
tidak perlu jauh-jauh mengantarkan pemikiran Gunadha dan Sutrisno karena
pasangan ini sudah biasa berpetualang sendirian. Mereka sudah biasa menelusuri
lorong-lorong ilmu dan terminal-terminal pengetahuan sendirian. Hasil
penelusurannya sudah banyak diterbitkan dalam jurnal dan majalah ilmiah, bahkan
dalam bentuk buku, seperti buku yang sedang Anda pegang ini. Bacalah dengan
penuh kecurigaan, seperti Descartes meragukan realitas melalui cogito ergo sumnya, ‘aku berpikir, maka
aku ada’.
Hanya saran, Anda
tidak perlu segera menerima atau menolak, baik sebagian maupun keseluruhan
gagasan dalam buku ini. Jagalah jarak kritis dengan teks karena Anda tidak akan
merasa nyaman bila membaca tanpa jarak. Mengingat buku ini sama sekali tidak
berambisi hendak menjawab seluruh pertanyaan tentang ilmu politik dan ilmu
kepemimpinan. Bila Anda sungguh-sungguh meragukan isi buku ini berarti kehadiran
buku ini sudah mencapai maksud tujuannya. Mengingat sejarah pemikiran, baik
Timur maupun Barat selalu dimulai dari tegangan antara teks dan konteks, antara
konsep dan imajinasi, atau antara univokal dan equivokal. Kalaupun pembaca
menemukan letak penting dan relevansi buku ini di antara tegangan tersebut, itu
hanyalah kemujuran Anda, bukan karena kesempurnaan buku ini. Ketaksempurnaannya
dipersembahkan kepada pembaca sekaligus mengundang partisipasi Anda bagi
perkembangan pemikiran politik dan kepemimpinan Hindu pada masa depan. Dengan
begitu, pemikiran politik dan kepemimpinan Hindu semakin menemukan jati dirinya
dan dapat memenuhi tuntutan perubahan zaman.
Pada akhirnya saya ucapkan selamat membaca dan
berpetualang dalam belantara pemikiran politik dan kepemimpinan Hindu yang memang tidak pernah berkesudahan. Mengingat seluruh pemikiran dalam buku ini
memang belum final, bahkan tidak akan pernah final karena penulis tidak hendak
membakukan dan membekukan pemikirannya pada suatu kemutlakan. Begitulah
konsensus dunia-pemikiran, bahkan adalah naif, bila hendak menuntaskan suatu pemikiran pada suatu
kemutlakan. Suatu
pemikiran hanya berhenti untuk sementara pada suatu terminal kebenaran karena
pemikiran itu segera akan melanjutkan perjalannya menuju terminal berikutnya dan
terminal kebenaran berikutnya.
Begitulah cara kerja yang ditawarkan penulis buku ini yang
dimulai dari pemahaman tekstual menuju ke penafsiran dan kemudian ke pemahaman baru lagi. Memang benar bahwa pemikiran bergerak
dari tahu ke tahu dan tahu berikutnya, karena itu buku ini masih menyisakan
ruang kosong untuk dialog, diskusi, dan verifikasi, bahkan
falsifikasi.
Ruang untuk mengkiritisinya
hingga diperoleh makna politik dan kepemimpinan Hindu yang lebih holistik dan komprehensif. Begitulah lazimnya para pemikir “berbagi dengan tanpa membagi”, tindakan yang hanya dapat dilakukan oleh pikiran. Berdasarkan
kelaziman inilah, juga saya menaruh harapan besar,
mudah-mudahan Anda menemukan diri dalam kepenuhan.
Om Santih
Santih Santih Om.
Denpasar, April 2012
Editor