KESETIKAWANAN SOSIAL
I Wayan Sukarma
Masyarakat kontemporer,
digambarkan sebagai masyarakat yang didominasi oleh tanda-tanda dan kode-kode
yang diasosiasikan dengan komoditas-komoditas menuju ke arah universal
pembentukan sistem tanda yang abstrak (Ritzer, 2003:157). Ini sebabnya pada
tataran empiris masyarakat kontemporer dicirikan dengan tingginya tingkat
persaingan antarindividu atau kelompok dalam berbagai aspek kehidupan;
dominannya nilai simbolis barang; proses estetisasi kehidupan; melemahnya
sistem referensi tradisional; dan kehidupan yang berorientasi pasar. Ini
merupakan refleksi dari masyarakat perkotaan yang oleh Ernest Burger (dalam Abdullah,
2006:31) dipandang sebagai lapangan persaingan antara kelompok sosial dan
kekuatan ekonomi. Masalah sosial yang berkaitan dengan kependudukan misalnya,
tekanan penduduk yang begitu besar di kota menimbulkan berbagai persoalan
karena begitu banyaknya orang memperebutkan tempat tinggal, kesempatan kerja,
fasilitas trasfortasi, dan ruang untuk kegiatan sosial. Malahan tekanan
penduduk itu cukup kuat untuk mendorong munculnya kota-kota baru sekitar kota
besar. Ini sebabnya kota-kota besar akan diisi oleh orang-orang desa dengan
kultur agrarisnya, sementara kota baru (satelit) akan diisi oleh orang-orang
kota dengan kultur masyarakat industrial (Abdullah sebagaimana dikutif
Sukarma,2007:206-207 ).
Tulisan Sukarma dalam Jurnal Ilmu Agama dan Kebudaayaan Dharma Smrthi No. 10 Vol V
Oktober 2007 di atas, ingin memberikan informasi secara implisit bahwasanya
masyarakat Bali saat ini sedang bergerak dari masyarakat agraris menuju
masyarakat jasa. Dengan kata lain masyarakat Bali sedang bergerak dari
masyarakat komunal menju masyarakat individual dengan segala konsekuensinya.
Tulisan ini memberikan jalan untuk menelusuri lebih jauh tentang kondisi riil
di lapangan atau dalam kehidupan masyarakat menyangkut makin berkembangnya
nuansa individual yang semakin jauh dari suasana komunal. Tentu hal ini akan
berdampak pada realisasi ajaran-ajaran filantropi Hindu. Asumsinya makin
individual masyarakat maka makin kecil peluangnya melaksanakan ajaran
filantropi.
Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian
Suandra (2008) di Kabupaten Badung. Suandra menemukan bahwa distribusi bantuan
yang diberikan kepada desa adat oleh Pemda Kabupaten Badung ternyata sebagian
besar hanya digunakan untuk pembangunan fisik seperti perbaikan tempat suci,
dan sebagian lainnya untuk kepentingan upacara, dan ada juga untuk kegiatan
pesraman. Alasannya sederhana saja bahwa petunjuk pendistribusiannya memang
seperti itu, dan masyarakat juga merasa senang sebab telah terbebas dari
kewajiban untuk kepentingan ritual agama sebab telah dibantu pemerintah.
Penelitian yang dilakukan oleh Suandra ini
memberi inspirasi bagi penelitian ini, namun fokus lebih ditetakankan pada
penggalangan dana masyarakat untuk kepentingan filantropi, berbeda dengan yang
dilakukan oleh Suandra yang lebih fokus pada distribusi dana bantuan pemerintah
untuk desa adat.
Menurut Mantra (1989,22) tujuan agama
Hindu adalah memberi jalan bagi pembebasan. Jalan pembebasan yang dimaksud
adalah melaksanakan yadnya, punia, dan kerthi sebagai
pelaksanaan dari ajaran brata
(pengendalian diri). Esensi yang terdapat dalam ajaran tersebut adalah
keikhlasan dan pengabdian yang tulus
secara terus menerus kepada Tuhan.
Dengan mengembangkan jiwa ikhlas maka belenggu indrawi sedikit demi sedikit dapat dilenyapkan untuk
menghilangkan kepapaan. Apabila yadnya dilaksanakan dengan ikhlas tanpa suatu
keinginan apapun untuk meraih buah atau hasilnya dan benar-benar dilakukan
dengan ketakmelekatan, maka manusia akan mencapai kebersihan mental, dan
berjalan pada jalur kebajikan guna sampai pada kebahagiaan abadi yang juga
disebut pembebasan (moksha) (Mukhyananda, 1996: 37). Sementara itu menurut Pendit (1993, 75-76)
dalam Hindu paling tidak terdapat enam tujuan dalam menjalankan desiplin
kehidupan ini. Pertama, berbakti
kepada Tuhan/Hyang Widhi Wasa adalah disiplin hidup yang pertama dan utama.
Kerja apapun yang dilakukan manusia tanpa disiplin hidup berbhakti pada Tuhan ,
semuanya akan sia-sia. Kedua,
berbhakti kepada kekuatan-kekuatan yang mengatur kosmos, alam semesta ini
dengan berbagai hukum dan tatanannya sehingga menjadi satu kesatuan yang maha
aghung dan dahsyat secara harmonis, serasi dan selaras. Ketiga, berbhakti kepada nenek moyang dan orang tua, asal mula
manusia dilahirkan ke dunia. Tanpa mereka manusia tak akan ada, oleh karena
harus berbhakti pada mereka. Keempat, berbhakti kepada guru, dan mereka yang lebih
tua, yang patut dihormati dan diteladani. Ini penting karena guru aalah
pengajar dan pendidik. Kelima,
berbhakti kepada fakir miskin. Berbhakti di sini hanya istilah saja, tujuan
sebenarnya adalah memberi sedekah kepada fakir miskin, membantu mereka
meringankan beban kehidupan dengan jalan memberikan apa saja menurut kemampuan.
Membantu fakir miskin sebenarnya adalah berbhakti kepada Tuhan, karena mereka
adalah juga saudara. Orang yang membutuhkan pertolongan di kala duka, terutama
mereka yang tertimpa mala petaka, tersisi dan tak berdaya karena cacat jasmani,
wajib untuk dibantu. Keenam,
berbhakti kepada binatang dan tumbuhan. Binatang dan tumbuhan sebagai ekosistem
sangat membantu kehidupan manusia. Tanpa binatang dan tumbuhan manusia tak akan
bisa hidup. Pada tanaman dan binatang juga terdapat kehidupan yang berasal dari
Tuhan.
Agama,
menurut mazhab positivis sebagaimana halnya seni dan sains adalah bagian dari
puncak-puncak ekspresi kebudayaan, sehingga keduanya sering dikategorikan sebagai civilization
(peradaban, bukan sekadar culture). Namun bagi kelompok theolog dan bagi para
penganut agama, kebudayaan dipandang sebagai perpanjangan perilaku agama. Agama
dan budaya dipandang memiliki basis ontologis yang berbeda namun bersifat
komplementer. Agama dianggap ruh yang datang dari langit, sementara kebudayaan
adalah jasad bumi yang siap menerima ruh agama, sehingga perpaduan keduanya
menghasilkan peradaban. Ruh tak bisa beraktivitas tanpa jasad, sementara jasad
budaya akan mati tanpa adanya ruh agama (Hidayat, 2003: 7).
Pandangan ini ingin mempertegas bahwa antara
kebudayaan dan agama bersifat komplementer satu dengan yang lainnya.
Doktrin-doktrin keagamaan dalam implementasinya membutuhkan kebudayaan sebagai
wadahnya, sehingga dengan demikian bila terjadi regulasi dalam bidang agama,
langsung maupun tidak langsung hal ini akan memberi dampak pada kebudayaan
dimana agama tersebut berkembang. Demikian pula halnya dengan kebudayaan sebuah
masyarakat yang selalu berkembang dinamis sesuai dengan zamannya, disadari
ataupun tidak hal ini akan berdampak pula terhadap keberagamaan masyarakat
tersebut. Pengaruh kebudayaan terhadap agama paling tampak pada aspek perilaku
beragama atau tata susila dan aspek ritual masyarakat Hindu di Bali.
Menurut Koentjaraningrat (1983:181-182)
kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar. Pengertian ini menunjukkan, bahwa kebudayaan itu adalah kebiasaan atau
perilaku berpola yang diperoleh dari belajar, baik dalam wujud gagasan atau
ide-ide, dalam wujud tindakan maupun dalam wujud hasil karya. Artinya, yang
bukan hasil belajar tidak dapat dikatakan sebagai kebudayaan. Setiap kegiatan
belajar membutuhkan interaksi, baik dengan diri sendiri, lingkungan alam,
lingkungan sosial, maupun dengan lingkungan supernatural. Sepanjang terjadi
interaksi, selama itu pula akan terjadi saling mempengaruhi, baik disadari (over) maupun tidak disadari (laten). Sejalan dengan pemikiran
Koentjaraningrat tersebut Foucault menyatakan bahwa ” Religion
is inescapably bound up with cultural practices “ (Carrete,2000:145). Dari paparan ini dapat dipahami bahwa
proses belajar menjadi kata kunci dalam upaya mengimplementasikan ajaran-ajaran
agama. Belajar dalam pengertian ini bisa berarti proses peniruan terhadap
perilaku berpola yang dilakukan oleh mereka yang menjadi anutan masyarakatnya.
Dengan kata lain bila hal ini dikaitkan dengan upaya membangun semangat
filantropi bahwa contoh-contoh tindakan dan perilaku para pemimpin atau
kelompok elit dalam masyarakat dapat menjadi stimulus bagi masyarakat untuk
melakukan gerakan filantropi.
Lebih jauh Koentjaraningrat (1983:189),
menyebutkan ada tiga wujud kebudayaan, yaitu: (1) wujud kebudayaan sebagai
sesuatu yang komplek dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan
dan sebagainya; (2) wujud kebudayaan sebagai sesuatu komplek aktivitas serta
tidankan yang berpola dari manusia dalam masyarakat; dan (3) wujud kebudayaan
sebagai benda-benda hasil karya manusia. Bila dibandingkan dengan keberagamaan
masyarakat Hindu di Bali sebagaimana terpapar di atas maka wujud kebudayaan
sebagai sesuatu komplek aktivitas serta tidankan yang berpola dari manusia
dalam masyarakat; dan wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia
paling dinamis serta mengalami perubahan terus menerus, tidak demikian halnya
dengan wujud kebudayaan berupa kompleksitas ide-ide. Yang disebutkan
terakhirnya ini sangat sulit berubah, namun bukan sesuatu yang tak mungkin
mengalami perubahan. Sedangkan isi kebudayaan sebagai unsur-unsur kebudayaan
universal, secara Etnografi oleh Koentjaraningrat (1983:339) disusun sebagai
berikut : (1) bahasa, (2) sistem
tekhnologi, (3) sistem ekonomi, (4) organisasi sosial, (5) sistem pengetahuan,
(6) kesenian, dan (7) sistem religi. Di sini tampak bahwa agama yang menurut
Koentjaraningrat disebut dengan sistem religi, jelas-jelas dikategorikan
sebagai bagian atau unsur dari kebudayaan. Pandangan yang sedikit berbeda bila
dibandingkan dengan kelompok teolog yang menyatakan bahwa kebudayaanlah yang
merupakan wujud riil dari nilai-nilai agama.
Agama merupakan aspek sentral dan
fundamental dalam kebudayaan dan, kebudayaan dalam arti keseluruhan, isi
kongkrit yang terkandung di dalamnya bisa saja harmonis atau konflik dengan
situasi yang ada dalam masyarakat atau dengan proses tranformasinya ke depan.
Anggapan agama sebagai salah satu unsur inti dalam kebudayaan akan membantu
meringkas arti penting agama bagi manusia. Seperti halnya kebudayaan, agama pun
dapat digambarkan sebagai suatu mekanisme, yang berfungsi untuk mendapatkan
kembali gerak yang sinambung dengan cara menanamkan pesan dan proses serentak
dengan penampilan tujuan, maksud dan bentuk historis. Agama, seperti halnya
kebudayaan, merupakan transformasi simbolis pengalaman. Rancangan yang diberikan
agama terhadap kehidupan dianggap oleh orang beragama sebagai suatu
penyelamatan, natural atau super natural,
dalam makna pengalaman yang lebih dalam. Sedang bagi orang-orang skeptis
agama dilihat sebagai seperangkat persetujuan yang menghambat terjadinya
peristiwa-peristiwa dan menganggap jagad raya sebagai tak ada artinya bagi
manusia. Telah dinyatakan bahwa kebudayaan dalam arti total adalah keunggulan
penemuan manusia, walaupun sangat kabur sifatnya. Jika bukan karena campur
tangan kepentingan manusia, maka berubahnya alam dan bergesernya waktu akan
terlihat tanpa arti dan tanpa arah. Dengan kata lain bahwa kebudayaan merupakan gejala khas manusia, gejala
hubungan timbal balik manusia sebagai individu, manusia secara kolektif
(masyarakat), alam (ruang), dan sejarah (waktu) (Sutrisno, 2008: 5).
Dapat dikatakan bahwa agama ketika pertama
kali diwahyukan merupakan ”sesuatu yang suci” yang dimaksudkan sebagai piranti
dalam menata perilaku manusia. Dengan kemampuan yang dimilikinya manusia
kemudian memberikan sentuhan kepada agama sehingga lewat bahasa, bentuk
eksternalisasi dari nilai-nilai menjadi beragam budaya yang menggambarkan
betapa antara agama dan budaya sebenarnyalah memang terjalin satu dengan yang
lainnya.
Seperti halnya kebudayaan, agama juga
merupakan sistem pertahanan dalam arti sebagai seperangkat kepercayaan dan
sikap yang akan melindungi manusia melawan kesangsian, kebimbangan dan agresi
yang menjengkelkan. Agama merupakan salah satu bentuk perlindungan budaya,
melalui mana secara sadar atau tidak, ketakutan dan agresi yang timbul di
antara individu dan masyarakat dapat diredakan. Selanjutnya seperti halnya
kebudayaan, agama juga merupakan suatu sistem pengarahan yang tersusun dari
unsur-unsur normatif yang membentuk jawaban manusia terhadap berbagai tingkat
pemikiran, perasaan dan perbuatan. Ia membuat manusia menerima, merasakan,
memikirkan serta melaksanakan dengan cara-cara yang diinginkan. Dalam Hindu hal
ini dikenal dengan istilah Tri Kaya Parisudha. Terakhir, seperti halnya kebudayaan,
agama juga mencakup simbol ekonomi. Ia menyangkut pengalokasian nilai-nilai
simbolis dalam bobot yang berbeda
(O’Dea, 1985: 215-216).
Sebagaimana dimaklumi bahwa masyarakat
Hindu Bali dikenal memiliki dan menjunjung tinggi adat istiadatnya. Mungkin
sering kali muncul pertanyaan apa yang menyebabkan adat istiadat itu memiliki
kekuatan memaksa sehingga orang mau melaksanakannya? Ada satu hal yang menjadi
kunci jawaban dari pertanyaan itu adalah adanya nilai-nilai agama yang memberi
roh bagi pelaksanaan adat istiadat itu. Dengan adanya norma-norma agama memungkinkan disesuaikannya tingkah laku
manusia dengan norma-norma tersebut. Namun penyesuaian dengan norma-norma
tersebut akan lebih memiliki kekuatan memaksa, apabila hal itu disertai dengan
ganjaran-ganjaran. Ganjaran dan hukuman sosial (sanksi sosial) tersebut sampai
taraf tertentu masih diakui dalam semua norma sosial, hanya saja kebanyakan
orang mau menyesuaikan diri dengan norma-norma itu karena pernah menerima
sanksi atau cemohan dari teman-temannya. Jika norma-norma tersebut dikaitkan
dalam kerangka yang sakral maka sanksinyapun dikaitkan dengan hal-hal yang
bersifat sakral. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa agama telah memberikan
dasar yang kuat bagi penetapan norma-norma sosial dalam masyarakat sehingga
norma-norma sosial itu mempunyai kekuatan memaksa untuk menata perilaku
masyarakat. Dengan menempatkan agama sebagai norma tertinggi sebagai pola
rujukan tingkah laku, ganjaran yang diterimapun tidak hanya bersifat duniawi,
tetapi juga dunia yang lain, selain dunia nyata ini.
Ini
berarti peranan agama dalam masyarakat harus dilihat terutama sebagai sesuatu
yang mempersatukan, baik dalam pemikiran maupun tindakan. Dengan kata lain
agama telah menciptakan ikatan bersama termasuk dalam kewajiban-kewajiban
sosial yang membantu mempersatukan mereka. Agama juga berfungsi sebagai
pelestarian nilai-nilai yang sakral sehingga memungkinkan nilai-nilai tersebut
dapat ajeg terhadap perubahan-perubahan yang selalu terjadi pada masyarakat
pendukungnya. Dalam hal ini agama dimanfaatkan untuk mewadahi norma dan nilai
yang menata sistem dan struktur sosial dalam suatu masyarakat. Agama menjadi
ide yang diidolakan pada setiap tindakan sosial sehingga masyarakat senantiasa
berada dalam keseimbangan dan keteraturan sistem dan struktur yang mantap.
Kondisi ini dapat diharapkan memunculkan kehidupan sosial yang tenteram dan
damai yang di dalamnya fungsi agama menjadi penting dan dominan. Dengan begitu
agama pada gilirannya sungguh-sungguh menempatkan dirinya sebagai pengatur lalu
lintas kewajiban-kewajiban sosial melalui perintah dan larangannya dan di
dalamnya warga dan masyarakat tidak dapat menolaknya. Ini sebabnya pada waktu
belakangan ini sejak abad ke-20 agama menjadi objek menarik bagi kalangan
ilmuan dan budayawan (Utama, 2007: 170).
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh
Robertson (1988:xvii) bahwa salah satu gejala intelektual yang paling menarik
pada abad ke-20 adalah besarnya minat untuk mempelajari agama, dan pada suatu
ketika terdapat kesesuaian pendapat secara luas bahwa kepercayaan agama
sebagaimana difahami secara tradisional, secara mencolok makna intrinsiknya
bagi sebagian besar warga masyarakatat modern. Memperhatikan perkembangan studi
agama-agama dewasa ini dapat dikelompokkan menjadi dua pendekatan. Pendekatan
yang pertama bersifat teophosentris,
yaitu menelaah agama sebagai seperangkat ajaran-ajaran dari Tuhan yang
tercantum dalam kitab-kitab suci. Agama dipandang sebagai seperangkat keyakinan
yang sakral dan mutlak, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia
dengan sesamanya, dan manusia dengan alam lingkungan di mana ia berada. Studi
agama seperti ini bersifat sangat normatif atau dengan kata lain menggunakan
pendekatan yang bersifat tekstual. Pada dimensi ini agama diletakkan sebagai
standar moral dan acuan sopan santun tingkah laku sosial budaya. Agama dalam
hal ini dipandang sebagai pusat-pusat orientasi nilai yang memiliki kebenaran
analistis-ideologis.
Sementara
itu, pendekatan kedua, agama ditelaah
sebagai kenyataan yang bersifat sosio-historis yang tumbuh dan berkembang dalam
pengalaman perilaku para pemeluknya. Dalam pendekatan ini agama lebih dimaknai
dalam konteks kehidupan dan kebudayaan para pemeluknya. Pendekatan ini lebih
bersifat kontekstual atau lebih bersifat empirik. Di dalam praktik ini
kebenaran agama secara tekstual mendapatkan nilai tertingginya karena kebenaran
agama lebih ditekankan pada praktiknya dan bukan hanya dalam kebenaran
normatifnya. Walaupun tidak setiap kebenaran secara normatif selalu sama dengan
kebenaran agama secara praksis dalam kehidupan sosial karena pada kenyataannya
tidak ada ide yang eksis dalam realitas empiris. Akan tetapi setidak-tidaknya
agama memiliki dua dimensi penting bagi manusia, yakni menata pemikiran dan
sikap manusia dan juga menata tindakannya dalam berbagai aspeknya. Secara
tekstual agama menata pemikiran manusia sehingga secara kontekstual ia tidak
tersesat dalam dunia pengalaman yang sarat dengan kontradiksi nilai dan norma.
Perpaduan antara agama sebagai kebenaran tekstual dan kontekstual merupakan
ideologi tertinggi dari sebuah cita-cita keberagamaan dalam setiap masyarakat
manusia.
Walaupun
demikian, kedua pendekatan ini sepertinya berlawanan arah dengan segala
kemungkinan yang akan terjadi kelak karena pada kenyataannya tidak pernah ada
kebenaran subjektif sekaligus objektif. Oleh karena itu, bisa jadi muncul
dekonstruksi terhadap ajaran-ajaran agama yang selama ini telah dianggap mapan,
namun tidak tertutup kemungkinan akan terjadi proses dialektis yang akan
menghasil sesuatu yang mengantarkan agama pada situasi yang lebih mendunia
tanpa kehilangan maknanya. Proses ini nampaknya sedang berlangsung terus dalam
dinamika pemikiran para pemerhati masalah-masalah agama. Namun demikian harapan
yang melekat pada proses itu adalah pertama,
agama yang mengandung pesan-pesan moral yang bersifat fundamental tersebut
dapat digali dan dikembangkan sehingga menjadi nilai-nilai aktual yang dapat
memberikan pencerahan bagi kehidupan umat manusia. Dengan demikian studi-studi
keagamaan dapat memperkuat sraddha
(sistem keyakinan) umat, bukan sebaliknya, malahan memperlemah keyakinan
terhadap sraddha tersebut. Kedua, studi keagaman juga diharapkan
lebih fungsional dalam membantu manusia mengahadapi problema-problema kehidupan
yang semakin sulit saat ini. Mengingat begitu banyaknya persoalan hidup yang
muncul dari aspek kehidupan lainnya sehingga diharapkan keagamaan tidak
menambah persoalan itu. Ketiga,
studi-studi agama diharapkan dapat mempersempit jurang fanatisme sempit yang
memungkinkan terciptanya keharmonisan dalam masyarakat yang multiagama dan
multikultural. Sebuah tantangan besar dalam negara kesatuan Republik Indonesia
tercinta ini yang dikenal memiliki sistem keberagamaan yang plural, sehingga
peran negara sebagai regulator menjadi sangat signifikan. Negara harus berdiri
secara netral diantara berbagai ideologi agama yang jelas berbeda satu dengan
lainnya.
Walaupun
demikian, dalam dunia yang semakin sempit oleh karena pesatnya perkembangan
informasi dan teknologi, baik agama maupun masyarakat telah mengalami
perubahan. Fungsi agama dalam masyarakat juga mengalami pergeseran-pergeseran
yang semakin meyakinkan semakin jauh dari fungsinya semula karena kehadiran
tidak lagi dimonopoli oleh identitas yang bersifat kewilayahan. Identitas tidak
lagi dapat ditemukan dalam batas-batas budaya masyarakat setempat karena arus
barang dan orang semakin dinamis. Dalam konteks pergeseran semacam ini simbol
kebudayaan akhirnya, bukan lagi sebagai pengarah yang menentukan code of conduct dalam suatu masyarakat
yang dipatuhi dan memiliki daya paksa, tetapi menjadi alat politik bagi
perjuangan kepentingan para pihak, baik individual, kelompok maupun institusi.
Simbol-simbol agama misalnya, tidak hanya menjadi penunjuk arah dari suatu
praktik yang berhubungan dengan regiliusitas, tetapi juga bagi sebagian orang,
kelompok atau institusi menjadi alat bagi legitimasi atas keberadaan dan
kepentingan. Agama berfungsi mengesahkan keberadaan dan tindakan-tindakan yang
bisa terjadi menyimpang dari substansi ajaran karena citra telah mewakili suatu
realitas keagamaan itu sendiri. Agama dipraktikkan sebagai bagian dari
pengendalian sosial dan identifikasi diri untuk pemosisian individu, kelompok,
dan institusi dalam serangkaian transaksi sosial yang dinamis dan kontekstual.
Simbol-simbol budaya telah menjadi alat bagi penegasan autentisitas kelompok
yang keberadaannya menjadi bagian dari sistem sosial global dengan pertentangan
nilai yang semakin tajam (Abdullah, 2006:9).
Dalam konteks agama dan kebudayaan, dapat
dikatakan bahwa agama dipraktekkan dalam bentuk tradisi. Tradisi adalah
kerangka acuan norma dalam kehidupan bermasyarakat yang disebut pranata.
Suparlan, sebagaimana dikutip Jalaluddin (2002:180) mengatakan bahwa pranata
ada dua jenis, yaitu primer dan sekunder. Pranata primer merupakan kerangka
acuan norma yang mendasar dan hakiki dalam kehidupan manusia karena berhubungan
dengan kehormatan, harga diri, jati diri, dan kelestrarian masyarakat. Oleh
karena itu pranata ini sangat sulit berubah karena hidup dalam jiwa dan hanya
ada dalam pikiran yang paling dalam dari masyarakat pendukungnya. Dalam hal ini
dapat dikatakan bahwa pranata primer lebih bercorak menekankan pada pentingnya
keyakinan dan kebersamaan serta bersifat tertutup atau pribadi. Contoh yang
tepat untuk menunjuk pranata primer adalah pranata-pranata keluarga,
kekerabatan, keagamaan, pertemanan atau persahabatan. Sebaliknya, pranata
sekunder lebih bersifat fleksibel sehingga mudah berubah sesuai dengan situasi
yang diinginkan oleh masyarakat pendukungnya. Pranata ini bercorak rasional,
terbuka untuk umum, dan kompetitif misalnya, pranata politik, pranata
pemerintahan, pranata ekonomi dan/atau pasar, dan pranata hukum.
Berdasarkan dua jenis pranata ini dapat
dikatakan bahwa tradisi keagamaan termasuk ke dalam pranata primer karena di
dalamnya mengandung unsur-unsur yang berkaitan dengan kepercayaan dan keyakinan
mengenai ketuhanan, tindak keagamaan, perasaan-perasaan yang bersifat mistik,
penyembahan kepada yang dianggap suci (sakral), dan keyakinan terhadap
nilai-nilai yang hakiki. Artinya, tradisi keagamaan sulit berubah karena selain
memuat unsur-unsur yang memiliki nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan
keyakinan masyarakat, juga tradisi keagamaan mengandung nilai-nilai yang sangat
penting berkaitan erat dengan agama yang dianut masyarakat.Tradisi keagamaan
Hindu misalnya, bersumber dari norma-norma yang termuat dalam kitab-kitab suci,
baik Sruti maupun Smerti. Seperti Catur Weda, Upanisad,
Itihasa, Purana-purana, dan Nibanda
Sutra.
Sebagaimana dikatakan O’Dea (1992:98)
bahwa agama yang terlihat sebagai pusat kebudayaan dan penyaji kebudayaan yang
tertinggi dan suci, menunjukkan mode kesadaran manusia yang menyangkut
bentuk-bentuk simbolik. Sebagai sistem pengarah perilaku manusia, agama tersusun
dalam unsur-unsur normatif yang membentuk jawaban pada berbagai tingkat
pemikiran, perasaan, dan perbuatan dalam bentuk pola berpikir dengan
kompleksitas hubungan manusia dalam masyarakat termasuk lembaga-lembaga.
Artinya, dalam satu masyarakat yang warganya terdiri atas pemeluk suatu agama
secara umum pranata keagamaan menjadi salah satu pranata kebudayaan masyarakat
tersebut. Dalam konteks ini terlihat ada hubungan erat antara tradisi keagamaan
dengan kebudayaan masyarakat tersebut. Faisal (dalam Bungin, 2006: 67)
mengatakan bahwa agama merupakan inti kebudayaan yang dijadikan pedoman atau
acuan dalam praktik sosial.
Agama adalah keyakinan yang bersumber pada ajaran-ajaran
suci yang diwahyukan Tuhan untuk memberikan tuntunan bagi manusia dalam
menjalani hidup dan kehidupan di dunia sehingga mampu mencapai kebahagiaan
jasmani/duniawi dan kebahagiaan rohani/surgawi. Tujuan hidup tersebut menjadi
penting untuk diketahui dan dipahami secara seksama sebab ia akan menjadi
landasan utama umat manusia dalam berbagai aktivitasnya. Mengapakah harus
berangkat dari landasan agama? Agama dalam bentuk apapun selalu muncul sebagai
kebutuhan ideal umat manusia. Oleh karena itu peranan agama sangat menentukan dalam setiap kehidupan, dan tanpa
agama manusia tidak akan hidup sempurna. Peranan agama menjadi sangat penting
dalam kehidupan manusia karena agama terkait dengan kebudayaan dalam masyarakat
sehingga agama dan masyarakat saling mempengaruhi (Utama, 2006:2). Ini berarti
ide tentang kesempurnaan hidup sangat tergantung kepada agama karena ajarannya
yang diwahyukan oleh Tuhan haruslah dipercaya sedemikian rupa. Mengingat
kebenaran agama yang adalah kebenaran wahyu sehingga di dalamnya tidak
dibenarkan adanya dialog tentang keyakinan benar, tetapi kepercayaan (religious).
Agama berisi ajaran-ajaran tentang kebenaran yang
tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk
hidup selamat di dunia dan di akhirat (setelah mati). Agama sebagai sistem
keyakinan dapat menjadi bagian dari sistem nilai yang ada dalam kebudayaan
masyarakat bersangkutan, dan menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol
dari tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan
sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya. Dalam hal ini
agama sebagai sumber moral tidaklah mungkin mengandung kesalahan-kesalahan
ataupun keburukan-keburukan yang dapat menyebabkan manusia (penganutnya)
bertindak ke arah yang kontra produktif terhadap kesempurnaan hidupnya. Dengan
demikian agama menjadi pedoman bagi seluruh nilai kesempuranaan hidup yang
layak diperebutkan dan perjuangkan dalam segala lini kehidupan karena hanya
dengan demikian agama benar-benar menjadi milik sebuah masyarakat. Ini sebabnya
agama benar-benar dapat hidup dalam setiap hati masyarakat sebagai pembakar
semangat sosial dan pewarna bagi keindahan kebudayaan suatu masyarakat yang
layak disebut sebagai masyarakat beradab.
Dengan demikian secara sosiologis agama adalah sistem kepercayaan
yang diwujudkan dalam bentuk perilaku sosial tertentu. Dengan kata lain dapat
diungkapkan bahwa setiap perilaku yang diperankan oleh manusia terkait langsung
dengan sistem keyakinan yang dimiliki sesuai agama yang dianutnya. Dengan
demikian maka segala perilaku manusia didorong dan dikendalikan oleh sistem
keyakinan yang telah tertanam dalam sanubarinya. Sistem keyakinan yang
dimilikinya merupakan kristalisasi dari sistem nilai yang ditanamkan oleh
lingkungan dimana manusia itu tumbuh dan berkembang.
Bagi orang-orang yang hidup dalam
masyarakat macam apapun, konsepsi tentang agama merupakan bagian tak
terpisahkan dari pandangan hidup mereka dan sangat diwarnai oleh perasaan
mereka yang khas terhadap apa yang dianggap sakral. Dengan kata lain dapat
diungkapkan bahwa pada seluruh lapisan masyarakat, dalam keadaan tertentu
manusia pada dasarnya bersifat relijius.
Menurut Kahmad yang mengutip pandangan
Glock dan Stark (1968: 11-19) menyebutkan ada lima dimensi agama. Pertama, dimensi keyakinan. Dimensi ini
berisikan pengharapan sambil berpegang teguh pada teologis tertentu. Kedua, dimensi praktik agama yang
meliputi perilaku simbolik dari makna-makna keagamaan yang terkandung
didalamnya. Ketiga, dimensi
pengalaman keagamaan yang merujuk pada
seluruh keterlibatan subjektif dan individual dengan hal-hal yang suci dari
suatu agama. Keempat, dimensi
pengetahuan agama, artinya orang beragama memiliki pengetahuan tentang
keyakinan, ritus, kitab suci, dan tradisi. Kelima,
dimensi konsekuensi yang mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan,
praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.
Sementara itu akhli lainnya seperti Mukti
Ali (1998:4) berpandangan bahwa antara agama dan masyarakat terjalin hubungan
yang bersifat saling mempengaruhi. Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa
sistem keyakinan sebuah agama tidak bersifat steril, tetapi dia dipengaruhi
oleh unsur-unsur lain di luar dirinya. Selain dibentuk oleh substansi
ajarannya, maka ia juga akan dipengaruhi oleh sistem dan struktur sosial dimana
agama tersebut dimanivestasikan oleh pemeluknya. Artinya bahwa agama dapat
beradaptasi dengan lingkungan masyarakat pemeluknya, tetapi di sisi lain agama
juga bisa menjadi pengendali sosial masyarakat pemeluknya.
Dari paparan tersebut di atas semakin
nampak bahwa agama memang diperlukan dalam menata perilaku masyarakat. Dalam
perjalanan hidup manusia selalu
dihadapkan pada kondisi ketidakpastian, ketidakberdayaan dan kelangkaan
yang memang merupakan karakteristik fundamental kondisi manusia. Penyakit sosial
(Social Distemper) dalam kehidupan
sosial dapat berakar dari kesenjangan antara lembaga-lembaga sosial dan tujuan
dunia. Alam telah membentuk banyak ras dengan bahasa, agama dan tradisi-tradisi
sosial yang berbeda, dan telah memberi tugas manusia untuk menciptakan tatanan
dalam dunia manusia dan menemukan suatu jalan hidup (way of life) dan melalui jalan hidup ini kelompok-kelompok yang
berbeda dapat hidup berdampingan secara damai dan mengambil langkah untuk
menyelesaikan perbedaan-perbedaan. Dunia tidak dimaksudkan menjadi suatu medan
pertempuran bagi bangsa-bangsa yang berperang, melainkan dimaksudkan untuk
menjadi suatu persemakmuran bersama dari kelompok-kelompok yang berbeda yang
bekerja sama dalam suatu cara yang konstruktif untuk mencapai martabat, dan
kehidupan mulia dan kemakmuran bagi semua.
Kondisi-kondisi yang diperlukan bagi
persatuan dunia sudah tersedia; namun manusia kurang memiliki tekad.
Pemisah-pemisah besar, seperti misalnya lautan dan pegunungan sudah dapat
diatasi. Melalui fasilitas-fasilitas transportasi dan komunikasi yang tersedia
sekarang, dunia tak ubahnya menjadi suatu lingkungan yang terhubung erat.
Berbeda dengan agama dan adat-istiadat yang memiliki karakter lokal, ilmu
pengetahuan tidak mengenal batas politik atau sosial dan menggunakan suatu
bahasa yang dapat dimengerti oleh semua pihak. Pengaruh mesin terhadap manusia
telah menghancurkan dunia pramesin dari negara-negara (state) yang bersifat independen penuh. Revolusi industri telah
mempengaruhi hubungan-hubungan ekonomi secara menyeluruh sehingga kita telah
menjadi suatu masyarakat dunia dengan suatu ekonomi dunia yang menghendaki
suatu tatanan dunia.
Dengan kata lain, dunia berada di simpang
jalan, dihadapkan pada dua alternatif: pengaturan dunia sebagai suatu
keseluruhan atau perang-perang periodik. Maka, Ilmu mengungkap unsur-unsur
kosmik yang identik sebagai dasar kehidupan manusia. Filsafat melihat suatu
kesadaran universal yang berada di balik alam dan kemanusiaan. Agama menunjuk
pada perjuangan dan aspirasi spiritual kita bersama.
Terkait dengan kondisi tersebut dalam hal
ini fungsi agama adalah menyediakan dua hal. Pertama, memberikan suatu cakrawala pandang tentang dunia luar yang
tak terjangkau oleh manusia, dalam arti di mana deprivasi dan frustasi dapat
dialami sebagai sesuatu yang mempunyai makna. Kedua, menyediakan sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia
dengan hal di luar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi
manusia mempertahankan moralnya.
Menurut Radhakrisnan, dalam diri manusia
senantiasa akan terjadi fermentasi (peragian) mental dan moral, yaitu suatu
ketegangan antara fakta dan keberadaannya sekarang dan keadaan diri yang ingin
dicapainya, antara materi yang menawarkan eksistensi dan roh yang menempanya
menjadi suatu keberadaan yang signifikan (Radhakrisnan, 2003: 51). Agama-agama
berusaha untuk memuaskan kebutuhan fundamental manusia dengan memberinya
kepercayaan, cara hidup, suatu iman, dan suatu komunitas. Dengan demikian, bisa
memulihkan hubungan yang terputus antara dirinya dan dunia spiritual di atasnya dan dunia
manusia di sekitarnya.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa manusia sangat membutuhkan agama lebih-lebih
ketika mereka mengalami problem-problem hidup. Ketika manusia menghadapi
problem-problem kemanusiaannya, mereka membutuhkan sarana penghubungan dengan
Yang Maha Kuasa yang diyakini mampu memberikannya perlindungan. Terutama sekali
bagi mereka yang sedang sakit, mereka yang akan mengalami operasi besar sangat
rentan mengalami depresi mental sehingga dibutuhkan doa-doa yang mampu
membangkitkan rasa percaya diri sehingga terbebas dari rasa putus asa, frustasi
dan sebagainya.Dengan demikian hubungan agama dengan masyarakat menyajikan
sebuah dilema fundamental yang bisa dikedepankan dalam tiga aspek. Pertama dan yang terpenting; agama
melibatkan manusia pada situasi akhir di titik mana lahir kesadaran akan hal
tertinggi. Di sini masalah makna tertinggi dan kedudukan manusia di dalam
segala rencana tampil ke permukaan. Masalah-masalah ini tampil dalam urgensi
yang terkenal dengan kata-kata modern sebagai eksistensial. Kedua, agama menyangkut hal-hal yang
suci karena itu agama berkenaan dengan pemahaman dan tanggapan khusus yang
membutuhkan keluhuran pandang atas
objeknya. Agama merupakan model kesadaran yang sangat lain dibandingkan dengan
suasana sekuler atau profan dari kepentingan manusia dan tindak tanduknya,
secara fundamental ia disebut heterogen. Ketiga,
agama dilandaskan pada keyakinan, karena itu objeknya adalah supraempiris dan
ajarannya tidak mungkin diperagakan atau dibuktikan secara empiris.
Dilihat dari fungsi dan peran agama dalam
memberikan pengaruhnya terhadap individu, baik dalam bentuk sistem nilai,
motivasi maupun pedoman hidup maka pengaruh yang paling penting adalah sebagai
pembentuk kata hati (Ishomuddin, 2002: 36). Agama juga mempunyai pengaruh
sebagai motivasi dalam mendorong individu untuk melakukan suatu aktivitas
karena perbuatan yang dilakukan dengan latar belakang keyakinan agama dinilai
mempunyai unsur kesucian serta ketaatan yang tinggi. Dalam hal ini agama dapat
berperan sebagai motivator dan inspirator bagi tindakan seseorang. Sementara
agama sebagai nilai etik membimbing manusia untuk bertindak sesuai dengan
norma-norma sehingga dapat memilah mana yang boleh dilakukan dan mana yang
harus dihindari sesuai ajaran agamanya masing-masing, atau dengan kata lain
agama bisa menjadi etos kerja masyarakat pemeluknya. Nilai-nilai etik agama
membuat orang berkewajiban mentaati, baik aturan-turan maupun
perundang-undangan yang berlaku, dan mendorong orang untuk memenuhi
kewajibannya membayar utang atau pajak, serta mendorong orang untuk memberikan dana punia kepada yang membutuhkan
(salah satu bentuk filantropi). Agama juga memberikan harapan kepada
pemeluknya, sebab orang yang melaksanakan ajaran agama dengan baik banyak
didorong oleh akan adanya harapan tentang pengampunan atau kasih sayang dari
Tuhan/Hyang Widhi Wasa. Ajaran-ajaran agama yang berisikan tentang kebahagiaan
akhirat di samping kebahagian dunia menjadi kekuatan sendiri bagi manusia dalam
menghadapi dinamika kehidupan di dunia yang tidak selamanya sesuai dengan
harapan. Banyak hambatan dan
tantangan dapat muncul dalam kehidupan manusia dan ketika pendekatan rasional
telah mengalami jalan buntu maka agama hadir menawarkan harapan.
Ini berarti agama menjadi upaya terakhir
bagi perjalanan nalar manusia dalam mencari dan menemukan kebenaran. Pada
tingkat ini agama menjadi rujukan tertinggi bagi cita-cita kemanusiaan sebab
kekuatan akal dan kemampuan nalar, ternyata tidak selalu memuaskan kebutuhan
manusia tentang kebenaran. Pada kenyataannya tidak semua dimensi kehidupan
manusia dapat dipahami hanya dengan mengandalkan akal dalam kerangka
rasionalitas sebab menurut pandangan psikoanalisis bahwa kesadaran manusia
ibarat gunung es . Kekuatan akal hanya
mampu menggapai puncaknya saja sebagai kesadaran konvensional, sedangkan
kesadaran alamiah manusia secara potensial tersimpan sebagai ketaksadaran.
Boleh jadi, apa yang dimaksudkan oleh Freud sebagai dimensi ketaksadaran (bawah
sadar) adalah dimensi religiusitas manusia menurut Eliade, dan yang oleh Gryson
disebut sebagai Kesadaran Universal atau Realitas Tertinggi. Pada dimensi
inilah agama memainkan perannya terutama dalam upayanya memahami manusia yang
multidimensional (Hartoko,
2003; dan Fudyartanto, 2005).
Secara garis besarnya terdapat tiga
perspektif dalam memandang hubungan antara agama dengan persoalan-persoalan
kemasyarakatan. Pertama, perspektif
mekanik holistik, yang memposisikan hubungan antara agama dan
persoalan-persoalan kemasyarakatan sebagai sesuatu yang tak terpisahkan. Kedua, pemikiran yang mengajukan
preposisi bahwa keduanya merupakan wilayah-wilayah (domains) yang antara satu
dengan lainnya berbeda, karenanya harus dipisahkan. Ketiga, pandangan tengah yang mencoba mengintegrasikan
pandangan-pandangan yang antagonistik
dalam melihat hubungan agama dan persoalan kemasyarakatan. Di pihak lain,
pandangan ini juga ingin melunakkan perspektif mekanik-holistik yang seringkali
melakukan generalisasi, bahwa agama selalu mempunyai kaitan atau hubungan yang
tak terpisahkan dengan masalah-masalah kemasyarakatan. Dengan
kata lain perspektif yang ketiga ini berpandangan bahwa agama dan
persoalan-persoalan kemasyarakatan merupakan wilayah yang berbeda. Namun
demikian karena imbasan nilai-nilai keagamaan dalam persoalan-persoalan kemasyarakatan
dapat terwujud dalam bentuk yang tidak mekanik-holistik dan institusional,
dalam realitas sulit ditemukan bukti-bukti yang tegas (brute facts) bahwa antara
keduanya tidak ada hubungan sama sekali. Untuk itu, hubungan antara dua wilayah
yang berbeda itu akan selalu ada
walaupun dalam kadar dan intensitas yang tidak sama serta dalam pola dan
bentuk yang tidak selalu mekanistik, formalistik atau legalistik.
Seringkali konstruksi polanya mengambil
bentuk inspiratif dan substantif (Effendy,2001: 8-9).
Sementara itu Utama dalam Jurnal Ilmu
Agama dan Kebudayaan Dharma Smrthi Nomor 10 Vol V Oktober 2007 menyatakan bahwa fenomena keagamaan bukan semata-mata tentang
ide yang normatif, tetapi juga menyangkut tindakan keagamaan dalam konteks
sosial budaya. Malahan agama memperoleh arti dan maknanya yang tertinggi justru
dalam praktiknya dan bukan hanya dalam pikiran karena berpikir tidak pernah
eksis di dalam tradisi. Di dalamnya sistem tindakan mendapat nilai yang
seluas-luasnya karena beragama berarti bertindak menurut agama dan bukan hanya
berpikir dan berkata-kata menurut agama, apalagi tentang agama. Dalam hal ini
tidak dapat dihindari haruslah diandaikan bahwa agama fungsional dalam sistem
dan struktur berpikir dan bertindak manusia yang senantiasa menjaga integritas
kepribadian penganutnya. Jadi, agama merupakan faktor yang menentukan sistem
dan struktur tindakan sosial dan kebudayaan dalam berbagai lapangan kehidupan
manusia sehingga agama diharapkan mampu memecahkan persoalan hidup manusia dan
kemanusiaan (Utama, 2007:165-166).
Beberapa pustaka tersebut di atas kiranya
sudah memberikan indikasi yang jelas bahwa manusia berkewajiban untuk membantu
mereka yang karena suatu dan lain hal menjadi kurang beruntung dalam kehidupan
ini. Sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa/Hyang Widhi Wasa, manusia wajib
menyisihkan kekayaannya untuk didermakan kepada mereka yang memerlukan karena
hal itu merupakan implementasi dari ajaran berbhakti pada Hyang Widhi
Wasa.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
ajaran-ajaran Hindu yang termuat dalam berbagai kitab suci dan susastra Hindu
harus di implementasikan dalam kehidupan nyata sehingga menghasilkan manusia
yang tidak saja santun kepada Tuhan tetapi juga menghasilkan manusia yang
santun secara sosial.