Kesetiakawanan Sosial

KESETIKAWANAN SOSIAL

I Wayan Sukarma


Masyarakat kontemporer, digambarkan sebagai masyarakat yang didominasi oleh tanda-tanda dan kode-kode yang diasosiasikan dengan komoditas-komoditas menuju ke arah universal pembentukan sistem tanda yang abstrak (Ritzer, 2003:157). Ini sebabnya pada tataran empiris masyarakat kontemporer dicirikan dengan tingginya tingkat persaingan antarindividu atau kelompok dalam berbagai aspek kehidupan; dominannya nilai simbolis barang; proses estetisasi kehidupan; melemahnya sistem referensi tradisional; dan kehidupan yang berorientasi pasar. Ini merupakan refleksi dari masyarakat perkotaan yang oleh Ernest Burger (dalam Abdullah, 2006:31) dipandang sebagai lapangan persaingan antara kelompok sosial dan kekuatan ekonomi. Masalah sosial yang berkaitan dengan kependudukan misalnya, tekanan penduduk yang begitu besar di kota menimbulkan berbagai persoalan karena begitu banyaknya orang memperebutkan tempat tinggal, kesempatan kerja, fasilitas trasfortasi, dan ruang untuk kegiatan sosial. Malahan tekanan penduduk itu cukup kuat untuk mendorong munculnya kota-kota baru sekitar kota besar. Ini sebabnya kota-kota besar akan diisi oleh orang-orang desa dengan kultur agrarisnya, sementara kota baru (satelit) akan diisi oleh orang-orang kota dengan kultur masyarakat industrial (Abdullah sebagaimana dikutif Sukarma,2007:206-207 ).
Tulisan Sukarma dalam Jurnal Ilmu Agama dan Kebudaayaan Dharma Smrthi No. 10 Vol V Oktober 2007 di atas, ingin memberikan informasi secara implisit bahwasanya masyarakat Bali saat ini sedang bergerak dari masyarakat agraris menuju masyarakat jasa. Dengan kata lain masyarakat Bali sedang bergerak dari masyarakat komunal menju masyarakat individual dengan segala konsekuensinya. Tulisan ini memberikan jalan untuk menelusuri lebih jauh tentang kondisi riil di lapangan atau dalam kehidupan masyarakat menyangkut makin berkembangnya nuansa individual yang semakin jauh dari suasana komunal. Tentu hal ini akan berdampak pada realisasi ajaran-ajaran filantropi Hindu. Asumsinya makin individual masyarakat maka makin kecil peluangnya melaksanakan ajaran filantropi.
Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian Suandra (2008) di Kabupaten Badung. Suandra menemukan bahwa distribusi bantuan yang diberikan kepada desa adat oleh Pemda Kabupaten Badung ternyata sebagian besar hanya digunakan untuk pembangunan fisik seperti perbaikan tempat suci, dan sebagian lainnya untuk kepentingan upacara, dan ada juga untuk kegiatan pesraman. Alasannya sederhana saja bahwa petunjuk pendistribusiannya memang seperti itu, dan masyarakat juga merasa senang sebab telah terbebas dari kewajiban untuk kepentingan ritual agama sebab telah dibantu pemerintah.
Penelitian yang dilakukan oleh Suandra ini memberi inspirasi bagi penelitian ini, namun fokus lebih ditetakankan pada penggalangan dana masyarakat untuk kepentingan filantropi, berbeda dengan yang dilakukan oleh Suandra yang lebih fokus pada distribusi dana bantuan pemerintah untuk desa adat.
Menurut Mantra (1989,22) tujuan agama Hindu adalah memberi jalan bagi pembebasan. Jalan pembebasan yang dimaksud adalah  melaksanakan yadnya, punia, dan kerthi sebagai pelaksanaan dari ajaran brata (pengendalian diri). Esensi yang terdapat dalam ajaran tersebut adalah keikhlasan dan pengabdian yang tulus  secara terus menerus kepada  Tuhan. Dengan mengembangkan jiwa ikhlas maka belenggu indrawi  sedikit demi sedikit dapat dilenyapkan untuk menghilangkan kepapaan. Apabila yadnya dilaksanakan dengan ikhlas tanpa suatu keinginan apapun untuk meraih buah atau hasilnya dan benar-benar dilakukan dengan ketakmelekatan, maka manusia akan mencapai kebersihan mental, dan berjalan pada jalur kebajikan guna sampai pada kebahagiaan abadi yang juga disebut pembebasan (moksha) (Mukhyananda, 1996: 37).  Sementara itu menurut Pendit (1993, 75-76) dalam Hindu paling tidak terdapat enam tujuan dalam menjalankan desiplin kehidupan ini. Pertama, berbakti kepada Tuhan/Hyang Widhi Wasa adalah disiplin hidup yang pertama dan utama. Kerja apapun yang dilakukan manusia tanpa disiplin hidup berbhakti pada Tuhan , semuanya akan sia-sia. Kedua, berbhakti kepada kekuatan-kekuatan yang mengatur kosmos, alam semesta ini dengan berbagai hukum dan tatanannya sehingga menjadi satu kesatuan yang maha aghung dan dahsyat secara harmonis, serasi dan selaras. Ketiga, berbhakti kepada nenek moyang dan orang tua, asal mula manusia dilahirkan ke dunia. Tanpa mereka manusia tak akan ada, oleh karena harus berbhakti pada mereka. Keempat,  berbhakti kepada guru, dan mereka yang lebih tua, yang patut dihormati dan diteladani. Ini penting karena guru aalah pengajar dan pendidik. Kelima, berbhakti kepada fakir miskin. Berbhakti di sini hanya istilah saja, tujuan sebenarnya adalah memberi sedekah kepada fakir miskin, membantu mereka meringankan beban kehidupan dengan jalan memberikan apa saja menurut kemampuan. Membantu fakir miskin sebenarnya adalah berbhakti kepada Tuhan, karena mereka adalah juga saudara. Orang yang membutuhkan pertolongan di kala duka, terutama mereka yang tertimpa mala petaka, tersisi dan tak berdaya karena cacat jasmani, wajib untuk dibantu. Keenam, berbhakti kepada binatang dan tumbuhan. Binatang dan tumbuhan sebagai ekosistem sangat membantu kehidupan manusia. Tanpa binatang dan tumbuhan manusia tak akan bisa hidup. Pada tanaman dan binatang juga terdapat kehidupan yang berasal dari Tuhan.

Agama, menurut mazhab positivis sebagaimana halnya seni dan sains adalah bagian dari puncak-puncak ekspresi kebudayaan, sehingga keduanya sering dikategorikan  sebagai civilization (peradaban, bukan sekadar culture). Namun bagi kelompok theolog dan bagi para penganut agama, kebudayaan dipandang sebagai perpanjangan perilaku agama. Agama dan budaya dipandang memiliki basis ontologis yang berbeda namun bersifat komplementer. Agama dianggap ruh yang datang dari langit, sementara kebudayaan adalah jasad bumi yang siap menerima ruh agama, sehingga perpaduan keduanya menghasilkan peradaban. Ruh tak bisa beraktivitas tanpa jasad, sementara jasad budaya akan mati tanpa adanya ruh agama (Hidayat, 2003: 7).
Pandangan ini ingin mempertegas bahwa antara kebudayaan dan agama bersifat komplementer satu dengan yang lainnya. Doktrin-doktrin keagamaan dalam implementasinya membutuhkan kebudayaan sebagai wadahnya, sehingga dengan demikian bila terjadi regulasi dalam bidang agama, langsung maupun tidak langsung hal ini akan memberi dampak pada kebudayaan dimana agama tersebut berkembang. Demikian pula halnya dengan kebudayaan sebuah masyarakat yang selalu berkembang dinamis sesuai dengan zamannya, disadari ataupun tidak hal ini akan berdampak pula terhadap keberagamaan masyarakat tersebut. Pengaruh kebudayaan terhadap agama paling tampak pada aspek perilaku beragama atau tata susila dan aspek ritual masyarakat Hindu di Bali.
Menurut Koentjaraningrat (1983:181-182) kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Pengertian ini menunjukkan, bahwa kebudayaan itu adalah kebiasaan atau perilaku berpola yang diperoleh dari belajar, baik dalam wujud gagasan atau ide-ide, dalam wujud tindakan maupun dalam wujud hasil karya. Artinya, yang bukan hasil belajar tidak dapat dikatakan sebagai kebudayaan. Setiap kegiatan belajar membutuhkan interaksi, baik dengan diri sendiri, lingkungan alam, lingkungan sosial, maupun dengan lingkungan supernatural. Sepanjang terjadi interaksi, selama itu pula akan terjadi saling mempengaruhi, baik disadari (over) maupun tidak disadari (laten). Sejalan dengan pemikiran Koentjaraningrat tersebut Foucault menyatakan bahwa  ” Religion is inescapably bound up with cultural practices “ (Carrete,2000:145). Dari paparan ini dapat dipahami bahwa proses belajar menjadi kata kunci dalam upaya mengimplementasikan ajaran-ajaran agama. Belajar dalam pengertian ini bisa berarti proses peniruan terhadap perilaku berpola yang dilakukan oleh mereka yang menjadi anutan masyarakatnya. Dengan kata lain bila hal ini dikaitkan dengan upaya membangun semangat filantropi bahwa contoh-contoh tindakan dan perilaku para pemimpin atau kelompok elit dalam masyarakat dapat menjadi stimulus bagi masyarakat untuk melakukan gerakan filantropi.
Lebih jauh Koentjaraningrat (1983:189), menyebutkan ada tiga wujud kebudayaan, yaitu: (1) wujud kebudayaan sebagai sesuatu yang komplek dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; (2) wujud kebudayaan sebagai sesuatu komplek aktivitas serta tidankan yang berpola dari manusia dalam masyarakat; dan (3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Bila dibandingkan dengan keberagamaan masyarakat Hindu di Bali sebagaimana terpapar di atas maka wujud kebudayaan sebagai sesuatu komplek aktivitas serta tidankan yang berpola dari manusia dalam masyarakat; dan wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia paling dinamis serta mengalami perubahan terus menerus, tidak demikian halnya dengan wujud kebudayaan berupa kompleksitas ide-ide. Yang disebutkan terakhirnya ini sangat sulit berubah, namun bukan sesuatu yang tak mungkin mengalami perubahan. Sedangkan isi kebudayaan sebagai unsur-unsur kebudayaan universal, secara Etnografi oleh Koentjaraningrat (1983:339) disusun sebagai berikut : (1)  bahasa, (2) sistem tekhnologi, (3) sistem ekonomi, (4) organisasi sosial, (5) sistem pengetahuan, (6) kesenian, dan (7) sistem religi. Di sini tampak bahwa agama yang menurut Koentjaraningrat disebut dengan sistem religi, jelas-jelas dikategorikan sebagai bagian atau unsur dari kebudayaan. Pandangan yang sedikit berbeda bila dibandingkan dengan kelompok teolog yang menyatakan bahwa kebudayaanlah yang merupakan wujud riil dari nilai-nilai agama.
Agama merupakan aspek sentral dan fundamental dalam kebudayaan dan, kebudayaan dalam arti keseluruhan, isi kongkrit yang terkandung di dalamnya bisa saja harmonis atau konflik dengan situasi yang ada dalam masyarakat atau dengan proses tranformasinya ke depan. Anggapan agama sebagai salah satu unsur inti dalam kebudayaan akan membantu meringkas arti penting agama bagi manusia. Seperti halnya kebudayaan, agama pun dapat digambarkan sebagai suatu mekanisme, yang berfungsi untuk mendapatkan kembali gerak yang sinambung dengan cara menanamkan pesan dan proses serentak dengan penampilan tujuan, maksud dan bentuk historis. Agama, seperti halnya kebudayaan, merupakan transformasi simbolis pengalaman. Rancangan yang diberikan agama terhadap kehidupan dianggap oleh orang beragama sebagai suatu penyelamatan, natural atau super natural,  dalam makna pengalaman yang lebih dalam. Sedang bagi orang-orang skeptis agama dilihat sebagai seperangkat persetujuan yang menghambat terjadinya peristiwa-peristiwa dan menganggap jagad raya sebagai tak ada artinya bagi manusia. Telah dinyatakan bahwa kebudayaan dalam arti total adalah keunggulan penemuan manusia, walaupun sangat kabur sifatnya. Jika bukan karena campur tangan kepentingan manusia, maka berubahnya alam dan bergesernya waktu akan terlihat tanpa arti dan tanpa arah. Dengan kata lain bahwa kebudayaan  merupakan gejala khas manusia, gejala hubungan timbal balik manusia sebagai individu, manusia secara kolektif (masyarakat), alam (ruang), dan sejarah (waktu) (Sutrisno, 2008: 5).
Dapat dikatakan bahwa agama ketika pertama kali diwahyukan merupakan ”sesuatu yang suci” yang dimaksudkan sebagai piranti dalam menata perilaku manusia. Dengan kemampuan yang dimilikinya manusia kemudian memberikan sentuhan kepada agama sehingga lewat bahasa, bentuk eksternalisasi dari nilai-nilai menjadi beragam budaya yang menggambarkan betapa antara agama dan budaya sebenarnyalah memang terjalin satu dengan yang lainnya.
Seperti halnya kebudayaan, agama juga merupakan sistem pertahanan dalam arti sebagai seperangkat kepercayaan dan sikap yang akan melindungi manusia melawan kesangsian, kebimbangan dan agresi yang menjengkelkan. Agama merupakan salah satu bentuk perlindungan budaya, melalui mana secara sadar atau tidak, ketakutan dan agresi yang timbul di antara individu dan masyarakat dapat diredakan. Selanjutnya seperti halnya kebudayaan, agama juga merupakan suatu sistem pengarahan yang tersusun dari unsur-unsur normatif yang membentuk jawaban manusia terhadap berbagai tingkat pemikiran, perasaan dan perbuatan. Ia membuat manusia menerima, merasakan, memikirkan serta melaksanakan dengan cara-cara yang diinginkan. Dalam Hindu hal ini dikenal dengan istilah Tri Kaya Parisudha. Terakhir, seperti halnya kebudayaan, agama juga mencakup simbol ekonomi. Ia menyangkut pengalokasian nilai-nilai simbolis dalam bobot yang berbeda  (O’Dea, 1985: 215-216).             
Sebagaimana dimaklumi bahwa masyarakat Hindu Bali dikenal memiliki dan menjunjung tinggi adat istiadatnya. Mungkin sering kali muncul pertanyaan apa yang menyebabkan adat istiadat itu memiliki kekuatan memaksa sehingga orang mau melaksanakannya? Ada satu hal yang menjadi kunci jawaban dari pertanyaan itu adalah adanya nilai-nilai agama yang memberi roh bagi pelaksanaan adat istiadat itu. Dengan adanya norma-norma agama memungkinkan disesuaikannya tingkah laku manusia dengan norma-norma tersebut. Namun penyesuaian dengan norma-norma tersebut akan lebih memiliki kekuatan memaksa, apabila hal itu disertai dengan ganjaran-ganjaran. Ganjaran dan hukuman sosial (sanksi sosial) tersebut sampai taraf tertentu masih diakui dalam semua norma sosial, hanya saja kebanyakan orang mau menyesuaikan diri dengan norma-norma itu karena pernah menerima sanksi atau cemohan dari teman-temannya. Jika norma-norma tersebut dikaitkan dalam kerangka yang sakral maka sanksinyapun dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat sakral. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa agama telah memberikan dasar yang kuat bagi penetapan norma-norma sosial dalam masyarakat sehingga norma-norma sosial itu mempunyai kekuatan memaksa untuk menata perilaku masyarakat. Dengan menempatkan agama sebagai norma tertinggi sebagai pola rujukan tingkah laku, ganjaran yang diterimapun tidak hanya bersifat duniawi, tetapi juga dunia yang lain, selain dunia nyata ini.
 Ini berarti peranan agama dalam masyarakat harus dilihat terutama sebagai sesuatu yang mempersatukan, baik dalam pemikiran maupun tindakan. Dengan kata lain agama telah menciptakan ikatan bersama termasuk dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Agama juga berfungsi sebagai pelestarian nilai-nilai yang sakral sehingga memungkinkan nilai-nilai tersebut dapat ajeg terhadap perubahan-perubahan yang selalu terjadi pada masyarakat pendukungnya. Dalam hal ini agama dimanfaatkan untuk mewadahi norma dan nilai yang menata sistem dan struktur sosial dalam suatu masyarakat. Agama menjadi ide yang diidolakan pada setiap tindakan sosial sehingga masyarakat senantiasa berada dalam keseimbangan dan keteraturan sistem dan struktur yang mantap. Kondisi ini dapat diharapkan memunculkan kehidupan sosial yang tenteram dan damai yang di dalamnya fungsi agama menjadi penting dan dominan. Dengan begitu agama pada gilirannya sungguh-sungguh menempatkan dirinya sebagai pengatur lalu lintas kewajiban-kewajiban sosial melalui perintah dan larangannya dan di dalamnya warga dan masyarakat tidak dapat menolaknya. Ini sebabnya pada waktu belakangan ini sejak abad ke-20 agama menjadi objek menarik bagi kalangan ilmuan dan budayawan (Utama, 2007: 170). 
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Robertson (1988:xvii) bahwa salah satu gejala intelektual yang paling menarik pada abad ke-20 adalah besarnya minat untuk mempelajari agama, dan pada suatu ketika terdapat kesesuaian pendapat secara luas bahwa kepercayaan agama sebagaimana difahami secara tradisional, secara mencolok makna intrinsiknya bagi sebagian besar warga masyarakatat modern. Memperhatikan perkembangan studi agama-agama dewasa ini dapat dikelompokkan menjadi dua pendekatan. Pendekatan yang pertama bersifat teophosentris, yaitu menelaah agama sebagai seperangkat ajaran-ajaran dari Tuhan yang tercantum dalam kitab-kitab suci. Agama dipandang sebagai seperangkat keyakinan yang sakral dan mutlak, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam lingkungan di mana ia berada. Studi agama seperti ini bersifat sangat normatif atau dengan kata lain menggunakan pendekatan yang bersifat tekstual. Pada dimensi ini agama diletakkan sebagai standar moral dan acuan sopan santun tingkah laku sosial budaya. Agama dalam hal ini dipandang sebagai pusat-pusat orientasi nilai yang memiliki kebenaran analistis-ideologis.
            Sementara itu, pendekatan kedua, agama ditelaah sebagai kenyataan yang bersifat sosio-historis yang tumbuh dan berkembang dalam pengalaman perilaku para pemeluknya. Dalam pendekatan ini agama lebih dimaknai dalam konteks kehidupan dan kebudayaan para pemeluknya. Pendekatan ini lebih bersifat kontekstual atau lebih bersifat empirik. Di dalam praktik ini kebenaran agama secara tekstual mendapatkan nilai tertingginya karena kebenaran agama lebih ditekankan pada praktiknya dan bukan hanya dalam kebenaran normatifnya. Walaupun tidak setiap kebenaran secara normatif selalu sama dengan kebenaran agama secara praksis dalam kehidupan sosial karena pada kenyataannya tidak ada ide yang eksis dalam realitas empiris. Akan tetapi setidak-tidaknya agama memiliki dua dimensi penting bagi manusia, yakni menata pemikiran dan sikap manusia dan juga menata tindakannya dalam berbagai aspeknya. Secara tekstual agama menata pemikiran manusia sehingga secara kontekstual ia tidak tersesat dalam dunia pengalaman yang sarat dengan kontradiksi nilai dan norma. Perpaduan antara agama sebagai kebenaran tekstual dan kontekstual merupakan ideologi tertinggi dari sebuah cita-cita keberagamaan dalam setiap masyarakat manusia.
            Walaupun demikian, kedua pendekatan ini sepertinya berlawanan arah dengan segala kemungkinan yang akan terjadi kelak karena pada kenyataannya tidak pernah ada kebenaran subjektif sekaligus objektif. Oleh karena itu, bisa jadi muncul dekonstruksi terhadap ajaran-ajaran agama yang selama ini telah dianggap mapan, namun tidak tertutup kemungkinan akan terjadi proses dialektis yang akan menghasil sesuatu yang mengantarkan agama pada situasi yang lebih mendunia tanpa kehilangan maknanya. Proses ini nampaknya sedang berlangsung terus dalam dinamika pemikiran para pemerhati masalah-masalah agama. Namun demikian harapan yang melekat pada proses itu adalah pertama, agama yang mengandung pesan-pesan moral yang bersifat fundamental tersebut dapat digali dan dikembangkan sehingga menjadi nilai-nilai aktual yang dapat memberikan pencerahan bagi kehidupan umat manusia. Dengan demikian studi-studi keagamaan dapat memperkuat sraddha (sistem keyakinan) umat, bukan sebaliknya, malahan memperlemah keyakinan terhadap sraddha tersebut. Kedua, studi keagaman juga diharapkan lebih fungsional dalam membantu manusia mengahadapi problema-problema kehidupan yang semakin sulit saat ini. Mengingat begitu banyaknya persoalan hidup yang muncul dari aspek kehidupan lainnya sehingga diharapkan keagamaan tidak menambah persoalan itu. Ketiga, studi-studi agama diharapkan dapat mempersempit jurang fanatisme sempit yang memungkinkan terciptanya keharmonisan dalam masyarakat yang multiagama dan multikultural. Sebuah tantangan besar dalam negara kesatuan Republik Indonesia tercinta ini yang dikenal memiliki sistem keberagamaan yang plural, sehingga peran negara sebagai regulator menjadi sangat signifikan. Negara harus berdiri secara netral diantara berbagai ideologi agama yang jelas berbeda satu dengan lainnya.
            Walaupun demikian, dalam dunia yang semakin sempit oleh karena pesatnya perkembangan informasi dan teknologi, baik agama maupun masyarakat telah mengalami perubahan. Fungsi agama dalam masyarakat juga mengalami pergeseran-pergeseran yang semakin meyakinkan semakin jauh dari fungsinya semula karena kehadiran tidak lagi dimonopoli oleh identitas yang bersifat kewilayahan. Identitas tidak lagi dapat ditemukan dalam batas-batas budaya masyarakat setempat karena arus barang dan orang semakin dinamis. Dalam konteks pergeseran semacam ini simbol kebudayaan akhirnya, bukan lagi sebagai pengarah yang menentukan code of conduct dalam suatu masyarakat yang dipatuhi dan memiliki daya paksa, tetapi menjadi alat politik bagi perjuangan kepentingan para pihak, baik individual, kelompok maupun institusi. Simbol-simbol agama misalnya, tidak hanya menjadi penunjuk arah dari suatu praktik yang berhubungan dengan regiliusitas, tetapi juga bagi sebagian orang, kelompok atau institusi menjadi alat bagi legitimasi atas keberadaan dan kepentingan. Agama berfungsi mengesahkan keberadaan dan tindakan-tindakan yang bisa terjadi menyimpang dari substansi ajaran karena citra telah mewakili suatu realitas keagamaan itu sendiri. Agama dipraktikkan sebagai bagian dari pengendalian sosial dan identifikasi diri untuk pemosisian individu, kelompok, dan institusi dalam serangkaian transaksi sosial yang dinamis dan kontekstual. Simbol-simbol budaya telah menjadi alat bagi penegasan autentisitas kelompok yang keberadaannya menjadi bagian dari sistem sosial global dengan pertentangan nilai yang semakin tajam (Abdullah, 2006:9).
Dalam konteks agama dan kebudayaan, dapat dikatakan bahwa agama dipraktekkan dalam bentuk tradisi. Tradisi adalah kerangka acuan norma dalam kehidupan bermasyarakat yang disebut pranata. Suparlan, sebagaimana dikutip Jalaluddin (2002:180) mengatakan bahwa pranata ada dua jenis, yaitu primer dan sekunder. Pranata primer merupakan kerangka acuan norma yang mendasar dan hakiki dalam kehidupan manusia karena berhubungan dengan kehormatan, harga diri, jati diri, dan kelestrarian masyarakat. Oleh karena itu pranata ini sangat sulit berubah karena hidup dalam jiwa dan hanya ada dalam pikiran yang paling dalam dari masyarakat pendukungnya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pranata primer lebih bercorak menekankan pada pentingnya keyakinan dan kebersamaan serta bersifat tertutup atau pribadi. Contoh yang tepat untuk menunjuk pranata primer adalah pranata-pranata keluarga, kekerabatan, keagamaan, pertemanan atau persahabatan. Sebaliknya, pranata sekunder lebih bersifat fleksibel sehingga mudah berubah sesuai dengan situasi yang diinginkan oleh masyarakat pendukungnya. Pranata ini bercorak rasional, terbuka untuk umum, dan kompetitif misalnya, pranata politik, pranata pemerintahan, pranata ekonomi dan/atau pasar, dan pranata hukum.  
            Berdasarkan dua jenis pranata ini dapat dikatakan bahwa tradisi keagamaan termasuk ke dalam pranata primer karena di dalamnya mengandung unsur-unsur yang berkaitan dengan kepercayaan dan keyakinan mengenai ketuhanan, tindak keagamaan, perasaan-perasaan yang bersifat mistik, penyembahan kepada yang dianggap suci (sakral), dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang hakiki. Artinya, tradisi keagamaan sulit berubah karena selain memuat unsur-unsur yang memiliki nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan keyakinan masyarakat, juga tradisi keagamaan mengandung nilai-nilai yang sangat penting berkaitan erat dengan agama yang dianut masyarakat.Tradisi keagamaan Hindu misalnya, bersumber dari norma-norma yang termuat dalam kitab-kitab suci, baik Sruti maupun Smerti. Seperti Catur Weda, Upanisad, Itihasa, Purana-purana, dan Nibanda Sutra.
Sebagaimana dikatakan O’Dea (1992:98) bahwa agama yang terlihat sebagai pusat kebudayaan dan penyaji kebudayaan yang tertinggi dan suci, menunjukkan mode kesadaran manusia yang menyangkut bentuk-bentuk simbolik. Sebagai sistem pengarah perilaku manusia, agama tersusun dalam unsur-unsur normatif yang membentuk jawaban pada berbagai tingkat pemikiran, perasaan, dan perbuatan dalam bentuk pola berpikir dengan kompleksitas hubungan manusia dalam masyarakat termasuk lembaga-lembaga. Artinya, dalam satu masyarakat yang warganya terdiri atas pemeluk suatu agama secara umum pranata keagamaan menjadi salah satu pranata kebudayaan masyarakat tersebut. Dalam konteks ini terlihat ada hubungan erat antara tradisi keagamaan dengan kebudayaan masyarakat tersebut. Faisal (dalam Bungin, 2006: 67) mengatakan bahwa agama merupakan inti kebudayaan yang dijadikan pedoman atau acuan dalam praktik sosial.
Agama adalah keyakinan yang bersumber pada ajaran-ajaran suci yang diwahyukan Tuhan untuk memberikan tuntunan bagi manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan di dunia sehingga mampu mencapai kebahagiaan jasmani/duniawi dan kebahagiaan rohani/surgawi. Tujuan hidup tersebut menjadi penting untuk diketahui dan dipahami secara seksama sebab ia akan menjadi landasan utama umat manusia dalam berbagai aktivitasnya. Mengapakah harus berangkat dari landasan agama? Agama dalam bentuk apapun selalu muncul sebagai kebutuhan ideal umat manusia. Oleh karena itu peranan agama sangat menentukan dalam setiap kehidupan, dan tanpa agama manusia tidak akan hidup sempurna. Peranan agama menjadi sangat penting dalam kehidupan manusia karena agama terkait dengan kebudayaan dalam masyarakat sehingga agama dan masyarakat saling mempengaruhi (Utama, 2006:2). Ini berarti ide tentang kesempurnaan hidup sangat tergantung kepada agama karena ajarannya yang diwahyukan oleh Tuhan haruslah dipercaya sedemikian rupa. Mengingat kebenaran agama yang adalah kebenaran wahyu sehingga di dalamnya tidak dibenarkan adanya dialog tentang keyakinan benar, tetapi kepercayaan (religious). 
Agama berisi ajaran-ajaran tentang kebenaran yang tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat (setelah mati). Agama sebagai sistem keyakinan dapat menjadi bagian dari sistem nilai yang ada dalam kebudayaan masyarakat bersangkutan, dan menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol dari tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya. Dalam hal ini agama sebagai sumber moral tidaklah mungkin mengandung kesalahan-kesalahan ataupun keburukan-keburukan yang dapat menyebabkan manusia (penganutnya) bertindak ke arah yang kontra produktif terhadap kesempurnaan hidupnya. Dengan demikian agama menjadi pedoman bagi seluruh nilai kesempuranaan hidup yang layak diperebutkan dan perjuangkan dalam segala lini kehidupan karena hanya dengan demikian agama benar-benar menjadi milik sebuah masyarakat. Ini sebabnya agama benar-benar dapat hidup dalam setiap hati masyarakat sebagai pembakar semangat sosial dan pewarna bagi keindahan kebudayaan suatu masyarakat yang layak disebut sebagai masyarakat beradab.
Dengan demikian secara sosiologis agama adalah sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku sosial tertentu. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa setiap perilaku yang diperankan oleh manusia terkait langsung dengan sistem keyakinan yang dimiliki sesuai agama yang dianutnya. Dengan demikian maka segala perilaku manusia didorong dan dikendalikan oleh sistem keyakinan yang telah tertanam dalam sanubarinya. Sistem keyakinan yang dimilikinya merupakan kristalisasi dari sistem nilai yang ditanamkan oleh lingkungan dimana manusia itu tumbuh dan berkembang.
Bagi orang-orang yang hidup dalam masyarakat macam apapun, konsepsi tentang agama merupakan bagian tak terpisahkan dari pandangan hidup mereka dan sangat diwarnai oleh perasaan mereka yang khas terhadap apa yang dianggap sakral. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa pada seluruh lapisan masyarakat, dalam keadaan tertentu manusia pada dasarnya bersifat relijius.
Menurut Kahmad yang mengutip pandangan Glock dan Stark (1968: 11-19) menyebutkan ada lima dimensi agama. Pertama, dimensi keyakinan. Dimensi ini berisikan pengharapan sambil berpegang teguh pada teologis tertentu. Kedua, dimensi praktik agama yang meliputi perilaku simbolik dari makna-makna keagamaan yang terkandung didalamnya. Ketiga, dimensi pengalaman keagamaan  yang merujuk pada seluruh keterlibatan subjektif dan individual dengan hal-hal yang suci dari suatu agama. Keempat, dimensi pengetahuan agama, artinya orang beragama memiliki pengetahuan tentang keyakinan, ritus, kitab suci, dan tradisi. Kelima, dimensi konsekuensi yang mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.
Sementara itu akhli lainnya seperti Mukti Ali (1998:4) berpandangan bahwa antara agama dan masyarakat terjalin hubungan yang bersifat saling mempengaruhi. Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa sistem keyakinan sebuah agama tidak bersifat steril, tetapi dia dipengaruhi oleh unsur-unsur lain di luar dirinya. Selain dibentuk oleh substansi ajarannya, maka ia juga akan dipengaruhi oleh sistem dan struktur sosial dimana agama tersebut dimanivestasikan oleh pemeluknya. Artinya bahwa agama dapat beradaptasi dengan lingkungan masyarakat pemeluknya, tetapi di sisi lain agama juga bisa menjadi pengendali sosial masyarakat pemeluknya.
Dari paparan tersebut di atas semakin nampak bahwa agama memang diperlukan dalam menata perilaku masyarakat. Dalam perjalanan hidup manusia selalu  dihadapkan pada kondisi ketidakpastian, ketidakberdayaan dan kelangkaan yang memang merupakan karakteristik fundamental kondisi manusia. Penyakit sosial (Social Distemper) dalam kehidupan sosial dapat berakar dari kesenjangan antara lembaga-lembaga sosial dan tujuan dunia. Alam telah membentuk banyak ras dengan bahasa, agama dan tradisi-tradisi sosial yang berbeda, dan telah memberi tugas manusia untuk menciptakan tatanan dalam dunia manusia dan menemukan suatu jalan hidup (way of life) dan melalui jalan hidup ini kelompok-kelompok yang berbeda dapat hidup berdampingan secara damai dan mengambil langkah untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan. Dunia tidak dimaksudkan menjadi suatu medan pertempuran bagi bangsa-bangsa yang berperang, melainkan dimaksudkan untuk menjadi suatu persemakmuran bersama dari kelompok-kelompok yang berbeda yang bekerja sama dalam suatu cara yang konstruktif untuk mencapai martabat, dan kehidupan mulia dan kemakmuran bagi semua.
Kondisi-kondisi yang diperlukan bagi persatuan dunia sudah tersedia; namun manusia kurang memiliki tekad. Pemisah-pemisah besar, seperti misalnya lautan dan pegunungan sudah dapat diatasi. Melalui fasilitas-fasilitas transportasi dan komunikasi yang tersedia sekarang, dunia tak ubahnya menjadi suatu lingkungan yang terhubung erat. Berbeda dengan agama dan adat-istiadat yang memiliki karakter lokal, ilmu pengetahuan tidak mengenal batas politik atau sosial dan menggunakan suatu bahasa yang dapat dimengerti oleh semua pihak. Pengaruh mesin terhadap manusia telah menghancurkan dunia pramesin dari negara-negara (state) yang bersifat independen penuh. Revolusi industri telah mempengaruhi hubungan-hubungan ekonomi secara menyeluruh sehingga kita telah menjadi suatu masyarakat dunia dengan suatu ekonomi dunia yang menghendaki suatu tatanan dunia.
Dengan kata lain, dunia berada di simpang jalan, dihadapkan pada dua alternatif: pengaturan dunia sebagai suatu keseluruhan atau perang-perang periodik. Maka, Ilmu mengungkap unsur-unsur kosmik yang identik sebagai dasar kehidupan manusia. Filsafat melihat suatu kesadaran universal yang berada di balik alam dan kemanusiaan. Agama menunjuk pada perjuangan dan aspirasi spiritual kita bersama.
Terkait dengan kondisi tersebut dalam hal ini fungsi agama adalah menyediakan dua hal. Pertama, memberikan suatu cakrawala pandang tentang dunia luar yang tak terjangkau oleh manusia, dalam arti di mana deprivasi dan frustasi dapat dialami sebagai sesuatu yang mempunyai makna. Kedua, menyediakan sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal di luar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia mempertahankan moralnya.
Menurut Radhakrisnan, dalam diri manusia senantiasa akan terjadi fermentasi (peragian) mental dan moral, yaitu suatu ketegangan antara fakta dan keberadaannya sekarang dan keadaan diri yang ingin dicapainya, antara materi yang menawarkan eksistensi dan roh yang menempanya menjadi suatu keberadaan yang signifikan (Radhakrisnan, 2003: 51). Agama-agama berusaha untuk memuaskan kebutuhan fundamental manusia dengan memberinya kepercayaan, cara hidup, suatu iman, dan suatu komunitas. Dengan demikian, bisa memulihkan hubungan yang terputus antara dirinya  dan dunia spiritual di atasnya dan dunia manusia di sekitarnya.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa  manusia sangat membutuhkan agama lebih-lebih ketika mereka mengalami problem-problem hidup. Ketika manusia menghadapi problem-problem kemanusiaannya, mereka membutuhkan sarana penghubungan dengan Yang Maha Kuasa yang diyakini mampu memberikannya perlindungan. Terutama sekali bagi mereka yang sedang sakit, mereka yang akan mengalami operasi besar sangat rentan mengalami depresi mental sehingga dibutuhkan doa-doa yang mampu membangkitkan rasa percaya diri sehingga terbebas dari rasa putus asa, frustasi dan sebagainya.Dengan demikian hubungan agama dengan masyarakat menyajikan sebuah dilema fundamental yang bisa dikedepankan dalam tiga aspek. Pertama dan yang terpenting; agama melibatkan manusia pada situasi akhir di titik mana lahir kesadaran akan hal tertinggi. Di sini masalah makna tertinggi dan kedudukan manusia di dalam segala rencana tampil ke permukaan. Masalah-masalah ini tampil dalam urgensi yang terkenal dengan kata-kata modern sebagai eksistensial. Kedua, agama menyangkut hal-hal yang suci karena itu agama berkenaan dengan pemahaman dan tanggapan khusus yang membutuhkan  keluhuran pandang atas objeknya. Agama merupakan model kesadaran yang sangat lain dibandingkan dengan suasana sekuler atau profan dari kepentingan manusia dan tindak tanduknya, secara fundamental ia disebut heterogen. Ketiga, agama dilandaskan pada keyakinan, karena itu objeknya adalah supraempiris dan ajarannya tidak mungkin diperagakan atau dibuktikan secara empiris.
Dilihat dari fungsi dan peran agama dalam memberikan pengaruhnya terhadap individu, baik dalam bentuk sistem nilai, motivasi maupun pedoman hidup maka pengaruh yang paling penting adalah sebagai pembentuk kata hati (Ishomuddin, 2002: 36). Agama juga mempunyai pengaruh sebagai motivasi dalam mendorong individu untuk melakukan suatu aktivitas karena perbuatan yang dilakukan dengan latar belakang keyakinan agama dinilai mempunyai unsur kesucian serta ketaatan yang tinggi. Dalam hal ini agama dapat berperan sebagai motivator dan inspirator bagi tindakan seseorang. Sementara agama sebagai nilai etik membimbing manusia untuk bertindak sesuai dengan norma-norma sehingga dapat memilah mana yang boleh dilakukan dan mana yang harus dihindari sesuai ajaran agamanya masing-masing, atau dengan kata lain agama bisa menjadi etos kerja masyarakat pemeluknya. Nilai-nilai etik agama membuat orang berkewajiban mentaati, baik aturan-turan maupun perundang-undangan yang berlaku, dan mendorong orang untuk memenuhi kewajibannya membayar utang atau pajak, serta mendorong orang untuk memberikan dana punia kepada yang membutuhkan (salah satu bentuk filantropi). Agama juga memberikan harapan kepada pemeluknya, sebab orang yang melaksanakan ajaran agama dengan baik banyak didorong oleh akan adanya harapan tentang pengampunan atau kasih sayang dari Tuhan/Hyang Widhi Wasa. Ajaran-ajaran agama yang berisikan tentang kebahagiaan akhirat di samping kebahagian dunia menjadi kekuatan sendiri bagi manusia dalam menghadapi dinamika kehidupan di dunia yang tidak selamanya sesuai dengan harapan. Banyak hambatan dan tantangan dapat muncul dalam kehidupan manusia dan ketika pendekatan rasional telah mengalami jalan buntu maka agama hadir menawarkan harapan.  
Ini berarti agama menjadi upaya terakhir bagi perjalanan nalar manusia dalam mencari dan menemukan kebenaran. Pada tingkat ini agama menjadi rujukan tertinggi bagi cita-cita kemanusiaan sebab kekuatan akal dan kemampuan nalar, ternyata tidak selalu memuaskan kebutuhan manusia tentang kebenaran. Pada kenyataannya tidak semua dimensi kehidupan manusia dapat dipahami hanya dengan mengandalkan akal dalam kerangka rasionalitas sebab menurut pandangan psikoanalisis bahwa kesadaran manusia ibarat gunung es . Kekuatan akal hanya mampu menggapai puncaknya saja sebagai kesadaran konvensional, sedangkan kesadaran alamiah manusia secara potensial tersimpan sebagai ketaksadaran. Boleh jadi, apa yang dimaksudkan oleh Freud sebagai dimensi ketaksadaran (bawah sadar) adalah dimensi religiusitas manusia menurut Eliade, dan yang oleh Gryson disebut sebagai Kesadaran Universal atau Realitas Tertinggi. Pada dimensi inilah agama memainkan perannya terutama dalam upayanya memahami manusia yang multidimensional (Hartoko, 2003; dan Fudyartanto, 2005).
Secara garis besarnya terdapat tiga perspektif dalam memandang hubungan antara agama dengan persoalan-persoalan kemasyarakatan. Pertama, perspektif mekanik holistik, yang memposisikan hubungan antara agama dan persoalan-persoalan kemasyarakatan sebagai sesuatu yang tak terpisahkan. Kedua, pemikiran yang mengajukan preposisi bahwa keduanya merupakan wilayah-wilayah (domains) yang antara satu dengan lainnya berbeda, karenanya harus dipisahkan. Ketiga, pandangan tengah yang mencoba mengintegrasikan pandangan-pandangan  yang antagonistik dalam melihat hubungan agama dan persoalan kemasyarakatan. Di pihak lain, pandangan ini juga ingin melunakkan perspektif mekanik-holistik yang seringkali melakukan generalisasi, bahwa agama selalu mempunyai kaitan atau hubungan yang tak terpisahkan dengan masalah-masalah kemasyarakatan. Dengan kata lain perspektif yang ketiga ini berpandangan bahwa agama dan persoalan-persoalan kemasyarakatan merupakan wilayah yang berbeda. Namun demikian karena imbasan nilai-nilai keagamaan dalam persoalan-persoalan kemasyarakatan dapat terwujud dalam bentuk yang tidak mekanik-holistik dan institusional, dalam realitas sulit ditemukan bukti-bukti yang tegas (brute facts) bahwa antara keduanya tidak ada hubungan sama sekali. Untuk itu, hubungan antara dua wilayah yang berbeda itu akan selalu ada  walaupun dalam kadar dan intensitas yang tidak sama serta dalam pola dan bentuk yang tidak selalu mekanistik, formalistik atau legalistik. Seringkali  konstruksi polanya mengambil bentuk inspiratif dan substantif (Effendy,2001: 8-9).

Sementara itu Utama dalam Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan Dharma Smrthi Nomor 10 Vol V Oktober 2007  menyatakan bahwa  fenomena keagamaan bukan semata-mata tentang ide yang normatif, tetapi juga menyangkut tindakan keagamaan dalam konteks sosial budaya. Malahan agama memperoleh arti dan maknanya yang tertinggi justru dalam praktiknya dan bukan hanya dalam pikiran karena berpikir tidak pernah eksis di dalam tradisi. Di dalamnya sistem tindakan mendapat nilai yang seluas-luasnya karena beragama berarti bertindak menurut agama dan bukan hanya berpikir dan berkata-kata menurut agama, apalagi tentang agama. Dalam hal ini tidak dapat dihindari haruslah diandaikan bahwa agama fungsional dalam sistem dan struktur berpikir dan bertindak manusia yang senantiasa menjaga integritas kepribadian penganutnya. Jadi, agama merupakan faktor yang menentukan sistem dan struktur tindakan sosial dan kebudayaan dalam berbagai lapangan kehidupan manusia sehingga agama diharapkan mampu memecahkan persoalan hidup manusia dan kemanusiaan (Utama, 2007:165-166).
Beberapa pustaka tersebut di atas kiranya sudah memberikan indikasi yang jelas bahwa manusia berkewajiban untuk membantu mereka yang karena suatu dan lain hal menjadi kurang beruntung dalam kehidupan ini. Sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa/Hyang Widhi Wasa, manusia wajib menyisihkan kekayaannya untuk didermakan kepada mereka yang memerlukan karena hal itu merupakan implementasi dari ajaran berbhakti pada Hyang Widhi Wasa. 
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ajaran-ajaran Hindu yang termuat dalam berbagai kitab suci dan susastra Hindu harus di implementasikan dalam kehidupan nyata sehingga menghasilkan manusia yang tidak saja santun kepada Tuhan tetapi juga menghasilkan manusia yang santun secara sosial.






BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...