Membaca Kembali Peran Desa
Pakraman
I Wayan Sukarma
Desa pakraman melalui
kahyangan tiga memang telah
mengafirmasi perubahan sosial dan budaya karena proses penciptaan,
pemeliharaan, dan peleburan nilai telah menjadi bagian integral dari struktur
kognitif warga desa. Walaupun
demikian, yang lebih diperlukan adalah cara melakukan tahapan-tahapan perubahan
itu sehingga tidak keluar dari perubahan dan tantangan zaman. Berkaitan dengan
cara mengadaptasi dan mengdopsi perubahan dan tantangan zaman inilah diperlukan
proses pembelajaran. Demikian juga pewarisan budaya dari generasi dahulu kepada
generasi berikutnya tidak dapat dilakukan tanpa proses pembalajaran. Mengingat dalam
komunitas adat masa lalu dan simbol adalah sarana untuk menangani ruang dan
waktu dengan memasukkan segala pengalaman dalam keberlanjutan masa lalu, masa
kini, dan masa depan yang distrukturkan dalam praktik-praktik sosial yang
sedang berlangsung. Begitulah zaman yang terdiri atas fakta sosial memaksa warga desa menjadi manusia pembelajar.
Kata Kunci: Desa Pakraman dan
Perubahan Zaman.
Orang Bali: Minoritas di Pulau Sendiri
Modernisasi dan globalisasi mengakibatkan
terjadinya perubahan besar dalam waktu singkat, baik dalam masyarakat maupun
kebudayaan (Fakih, 2001; Suhandji-Waspodo, 2004). Berkaitan dengan dampak dari
perubahan besar dan cepat itu Radhakrishnan (2003:1--2) mengingatkan betapa
rapuhnya tatanan dunia manusia pada masa kini seperti berikut.
“Kita sekarang hidup dalam sebuah
dunia, di mana tragedi bersifat universal tengah berlangsung. Ide-ide yang pada
masa lalu dipandang sebagai hal yang tidak terpisahkan dari kepatutan dan
keadilan sosial, yang mampu mengarahkan dan mendisiplinkan tingkah laku selama
berabad-abad sekarang mulai sirna. Dunia dikoyak oleh kesalahpahaman,
kebencian, dan perselisihan. Atmosfer kehidupan dipenuhi dengan suasana
kecurigaan, ketidakpastian, dan ketakutan mencekam terhadap masa depan. Kita
hidup dalam suatu periode ketegangan yang penuh derita, kecemasan luar biasa,
dan berbagai kekecewaan. Dunia sekarang berada dalam suatu kondisi kesurupan”.
Sekarang sedang terjadi
pengenduran tradisi, norma-norma, dan hukum, serta tatanan kehidupan yang telah
mapan pada taraf mencengangkan. Manusia mengalami perkembangan menakjubkan
dalam bidang material, tetapi bersamaan dengan itu juga mengalami perkembangan yang
terbatas dalam bidang moral (Radhakrishnan, 2003:21). Kontradiksi kehidupan
sosial tidak dapat dihindari karena modernisasi dan industrialisasi telah
menjadi kekuatan penting yang memaksa penyesuaian nilai-nilai dan norma-norma
dalam masyarakat (Abdullah, 2006:105). Malahan masyarakat global dewasa ini
tengah menuju ke arah sebuah dunia dengan tingkat kompleksitas kehidupan yang
semakin tinggi, bersamanya membawa berbagai kontradiksi kehidupan, baik sosial
dan kebudayaan maupun agama (Schoorl,
1991; Peacock, 2005; Snow, 2007).
Dalam masyarakat tradisional desa pakraman misalnya, menurut Sukarma (Sarad, No. 110 Juni 2009) pengaruh
modernisasi tampak melalui pergeseran epistemologi sosial, yaitu dari ‘yang
baik adalah yang benar’ ke ‘yang benar adalah yang baik’. Masyarakat
tradisional beranggapan, ’apa yang baik menurut mereka’, ’itulah yang benar
bagi mereka’ (kebenaran tidak dapat mendahului kebaikan). Sebaliknya,
masyarakat modern beranggapan, ’apa yang benar menurut mereka’, ’itulah yang
baik bagi mereka’ (kebaikan tidak dapat mendahului kebenaran). Ukuran kebenaran
adalah akal dan rasio sehingga yang benar adalah yang masuk akal dan/atau yang
logis. Sebaliknya, yang tidak masuk akal, tidak logis, dan irasional adalah yang
salah. Artinya, masyarakat modern lebih mengedepankan rasionalitas daripada
moralitas, sedangkan masyarakat tradisional lebih mengutamakan moralitas
daripada rasionalitas. Walaupun ini bukan soal pilihan, tetapi dapat diduga di
antara rasionalitas dan moralitas ini desa
pakraman mengalami anomali dan kebingungan berkepanjangan. Kebingungan
rasionalitas mengakibatkan ketersesatan moralitas sehingga desa pakraman mengalami kesulitan mewujudkan sukerta tata parhyangan, pawongan, dan palemahan.
Kalangan akademik dalam bentuk seminar dan
diskusi sudah banyak menyuarakan suatu keprihatinan bersama bahwa aktivitas
pembangunan yang tidak terkendali dan sektor pariwisata yang berekspansi dengan
cepat menyebabkan kerusakan lingkungan, baik fisikal, sosial, maupun budaya.
Mereka juga khawatir mengenai pengaruh budaya Barat akan mendorong
kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan sikap hidup yang materialistis dan
hedonis dengan mengorbankan nilai-nilai keagamaan tradisional Bali (Nordholt,
2007:505). Nilai-nilai religiusitas orang Bali semakin termarginalkan karena
semakin dominannya nilai-nilai nonreligius menguasai bidang kehidupan religius.
Malahan nilai-nilai nonreligius begitu perkasa menjelajahi sendi-sendi
kehidupan pakraman, bahkan mewabah ke
dalam sanubari warga desa. Menghadapi
persoalan ini tidak terlalu mudah kalau hanya mengandalkan kemampuan prajuru, karena itu prajuru desa perlu mengadakan temu-wirasa,
berbagi-hati dengan mereka yang sama-sama merasa prihatin (Sukarma dalam Sarad No. 112 Agustus 2009).
Persoalan itu tidak lepas dari arus ribuan
pekerja perantau Muslim dari pulau Jawa dan Lombok memberikan perasaan tidak
mengenakkan bahwa orang Bali tengah menjadi sebuah minoritas di pulau mereka
sendiri. Mereka menjadi penonton atas keberhasilan para perantau di rumah
mereka sendiri (Nordholt, 2007:505). Malahan kondisi ini mendorong semakin
berkembangnya “sekaa pajongkokan” yang
mengitari dagang nasi jinggo sekitar trotoar jalan perkotaan. ‘Dunia malam’
kafe misalnya, sudah semakin dekat memasuki wilayah desa pakraman, bahkan mewabah bukan saja pada generasi muda,
melainkan juga para kepala keluarga begitu menikmatinya. Untuk mencegah semakin
meluasnya dampak dari wabah ini dirasakan semakin perlunya suatu revitalisasi
spiritual, moral, dan upaya memperkuat kepercayaan diri pada budaya Bali. Oleh
karena itu perlu dilakukan pembacaan ulang terhadap masa lalu agar rekayasa
sosial-budaya masa depan Bali dapat menjadi tuntunan bagi perbuatan dan
tindakan pada masa kini. Tuntunan yang dapat dijadikan master plan sebuah kontruksi sosial dan budaya Bali. Ajeg Bali
misalnya, menurut Nordholt (2007:505) menjadi kunci dalam pencarian sebuah master plan yang menghormati keseimbangan
yang ringkih antara dewa-dewi, manusia, dan lingkungan.
Menuju strategi Ajeg Bali merupakan menuju
strategi menciptakan Bali yang kuat-tegar dan tabah. Kata “ajeg” (“ajek”
berarti tetap, tidak berubah, seperti dijelaskan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, 2007:15) lebih mengacu pada sebuah
wacana tentang kedudukan budaya Bali di Indonesia sejak reformasi dan
desentralisasi mengubah peta politik Indonesia. Kemudian, wacana Ajeg Bali
merupakan respons masyarakat Bali terhadap budaya Barat yang lebih formalistik (Nordholt,
2007:505). Pada dasarnya wacana ini merangkum kegelisahan dan kecemasan orang
Bali, yakni semacam perasaan terancam oleh berbagai pengaruh eksternal yang
negatif dan budaya Bali harus diselamatkan. Fakta kegelisahan dan kecemasan
orang Bali ini seperti ditunjukkan oleh Burhanuddin (2008) dalam Bali Yang Hilang atas pembacaannya
terhadap perubahan sosial dan kebudayaan masyarakat adat sekitar Kabupaten
Badung dan Kota Denpasar. Masyarakat adat (warga
desa pakraman) dikatakan mengalami ‘kekalahan telak’ dari perantau dalam
sebuah kompetisi besar kehidupan untuk memperebutkan sumber-sumber
ekonomi.
Rupanya, keterdesakan masyarakat adat
telah mendorong komitmen Rai Mantra (Wali Kota Denpasar) melestarikan
eksistensi desa pakraman, bahkan
gelontorkan 875 juta rupiah untuk 35 desa
pakraman (Bali Post, 1 Juli 2009:hal. 3). Boleh jadi, komitmen ini
merupakan suatu bentuk keprihatinan terhadap tergerusnya nilai-nilai
tradisional yang disebabkan oleh semakin derasnya pengaruh nilai-nilai modern
di desa pakraman. Prihatin karena desa pakraman yang sesungguhnya merupakan
media ekspresi religiusitas umat Hindu Bali telah menjadi medan ekspresi
nilai-nilai nonreligius. Keprihatinan ini merupakan himbauan moral, agar orang
Bali semakin perduli kepada desanya, apabila tidak maka desa pakraman tinggallah kenangan. Pertanyaannya, bagaimanakah
caranya agar orang Bali (warga desa
pakraman) dapat mengambil tanggung jawab dalam membangun kehidupan sosial
dan budaya di tangannya sendiri?
Kalau ditelusuri yang paling wajar memikul
tugas dan fungsi ini adalah pemimpin desa
pakraman, yaitu bendesa dan prajuru desa lainnya. Walaupun demikian,
mungkin saja ada bendesa dan prajuru desa yang melontarkan balik
pertanyaan, memangnya siapa saya? Emangnya gue pikirin? Patut disadari bahwa mereka
bukannya hendak menyangkal tanggung jawab, tetapi mungkin persoalan-persoalan desa pakraman telah memangsanya atau
mungkin permainan moralnya sendiri telah menelannya mentah-mentah. Di sini
menjadi relevan ungkapan Hadi (2007:103) “bagaimana saya dapat mengentaskan
orang lain dari benaman lumpur kehidupan ini, kalau saya sendiri terpasung di
dalamnya”. Akan tetapi, takdir warga desa
bukan melarikan diri dari ketidaksempurnaan, karena itu jauh lebih baik mencoba
daripada terbenam dan menjadi lumpur itu sendiri.
Desa Pakraman dan Perubahan Zaman
Desa Pakraman sebagaimana diatur dalam
Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 03 Tahun 2001 setidak-tidaknya dibentuk
oleh enam unsur pokok, yaitu kesatuan masyarakat hukum adat, mempunyai satu
kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup menurut Hindu, ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa), mempunyai wilayah dan harta kekayaan sendiri, dan
berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Keenam unsur ini hendak menegaskan
bahwa sistem sosial masyarakat adat Bali bercorak Hindu dan ini menjadi semacam
identitas desa pakraman. Aktivitas
sosial-religius masyarakat adat yang dijiwai oleh agama Hindu dimanifestasikan
dalam bentuk pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi melalui Kahyangan Tiga. Demikian juga substansi awig-awig desa pakraman dijiwai oleh agama Hindu, yaitu penjabaran
dari falsafah Tri Hita Karana. Parhyangan
mengatur kegiatan manusia melakukan hubungan dengan Tuhan, pawongan mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam kegiatan
sosial, dan palemahan berupa
perwujudan hubungan manusia dengan alam yang menjadi tempat pemukiman dan
sumber kehidupan masyarakat (Surpha, 2002; Janamijaya, 2003; Gunadha, 2009).
Ini berarti desa pakraman merupakan satu kesatuan harmonis dari tiga gatra,
yaitu krama desa sebagai gatra pawongan membutuhkan ruang untuk
melaksanakan aktivitasnya, berupa kewajiban hidup di wilayah desa pakraman,
yaitu gatra palemahan. Selain
kesejahteraan juga manusia memiliki kerinduan religius sehingga memerlukan
hubungan khusus dengan Tuhan, yaitu gatra parhyangan.
Kenyataannya, manusia adalah bagian dari alam yang berpartisipasi membentuk
watak alam dan sebaliknya, juga alam turut serta membangun karakter manusia.
Demikian juga untuk melangsungkan kehidupannya, manusia tergantung pada
lingkungannya, baik lingkungan alam tempat tinggalnya maupun lingkungan sosial
tempat menjalankan kehidupan sosial. Dengan demikian, manusia mempengaruhi,
bahkan mengubah lingkungannya, karena itu antara krama desa dan lingkungan desanya terdapat satu jalinan saling
mempengaruhi. Krama desa sebagai
makhluk sosial membutuhkan jalinan komunikasi harmonis untuk memenuhi kebutuhan
dan kepentingan bersama dalam suasana aman dan nyaman.
Malahan Antropolog Barat menemukan Bali
sebagai sebuah pulau tempat budaya dan alam saling berpautan erat, tempat
tinggal sebuah masyarakat mapan dan harmonis yang secara berkala digairahkan
ritus-ritus mempesona. Alamnya menyajikan keindahan Bali dalam warna gaib tridatu dan kilauan sunset dewata nawa sanga
yang menggetarkan rasa-agama-budhi.
Kebudayaan Bali yang diwarnai pernik-pernik upacara
yadnya menawarkan keramahan orang
Bali khas bhakti dalam tatanan dan
tuntunan santun sarat pesona melalui jalinan tattwa-susila-acara. Perpaduan harmonis antara kelimpahan upacara
keagamaan, kesenian, dan pemandangan hijau menggambarkan ciri arkhais
kebudayaan Bali. Melimpahnya kegiatan ritual dan seni orang Bali menurut Mead
dan Bateson (Picard, 2006) patut dilihat sebagai gejala yang harus dibahas
dalam kerangka psikologis-kulturalis. Dalam pandangan mereka bahwa kebudayaan
Bali menjadi semacam sistem pengatur dorongan-dorongan naluri yang menimbulkan
sejenis skizofrenia-kultural.
Kenyataan pada pengalaman empiris dalam
kehidupan sehari-hari menurut Sukarma (Burhanuddin, 2008) bahwa jalinan antara
agama Hindu dan kebudayaan Bali telah menjadi panduan bagi sikap dan perilaku
orang Bali. Dengannya orang Bali membentuk suatu keyakinan bahwa kebudayaan itu
merupakan peta kognitif yang telah menjadi kompas dalam perjalanan hidupnya
karena kebudayaan itu dijadikan pedoman tingkah laku. Jalinan antara orang Bali
dan alamnya melalui semangat religius dalam bingkai upacara yadnya telah
melahirkan harmoni kehidupan mengagumkan. Harmoni kehidupan orang Bali hingga
kini masih layak dijadikan objek pemuas nafsu-selera manusia modern. Akan
tetapi, dampak dari zaman kemajuan dengan label modernistas bukanlah
menyuburkan keharmonisan tersebut, malahan dapat meleburnya menjadi patologi
modernitas. Bentuk patologi modernitas ini, antara lain pudarnya rasa-diri, zaman
edan (Ranggawarsita), apatis
(Nietzche), alienasi (Marx), homeless (Berger), anything goes (Feyerabend), dan mitologi (Ardono).
Faktanya modernisasi dan pergaulan global
telah membawa perubahan yang signifikan pada masyarakat dan kebudayaan Bali.
Perubahan ini tidak dapat dihindari karena modernisasi merupakan suatu proses
komprehensif pertumbuhan ekonomi, mobilisasi sosial, dan ekspansi budaya.
Pertumbuhan ekonomi adalah proses peningkatan secara progresif tingkat
kesejahteraan ekonomi penduduk pada umumnya. Mobilisasi sosial adalah proses
keterlibatan yang lebih besar dalam kelompok‑kelompok sekunder, pola‑pola baru,
sosialisme antisipatoris, dan pembentukan kelompok referensi baru yang terpisah
dari yang tradisional. Kemudian, ekspansi budaya adalah proses penyempitan
bidang aksi yang bersifat preskriptif, perluasan rentangan alternatif‑alternatif
melalui pola‑pola sosialisasi dan tingkah laku baru (Abraham, 1991:206).
Selanjutnya, Abraham (1991:207--209) menjelaskan
ciri-ciri pertumbuhan ekonomi meliputi peningkatan konsumsi energi material;
tingkat teknologi tinggi; dominannya sektor‑sektor sekunder dan tersier;
diversifikasi produksi dalam kerangka perkembangan terintegrasi; pemisahan
kerja dengan rumah tangga dan peningkatan diferensiasi struktur ekonomi; dan tumbuhnya
spesialisasi peranan ekonomi dan unit kegiatan ekonomi‑produksi, konsumsi, dan
pemasaran. Ciri-ciri mobiliasai sosial mencakup peningkatan partisipasi melalui
perkumpulan sukarela; kesadaran sosial yang besar dipermudah oleh kemajuan
transportasi dan komunikasi, revolusi pengetahuan dan perluasan gagasan;
manipulasi psikologis yang didukung media massa; mobilitas sosial mengarah pada
pencairan struktur kelas; mobilitas fisik meningkat mendorong ke arah
urbanisasi; integrasi politik melalui intensifikasi kekuasaan badan perundang‑undangan,
administrasi, dan politik negara; perubahan bentuk partisipasi, perluasan hak‑hak
sipil, dan sosial; perluasan bentuk konsumsi modern kepada kelompok yang sama;
perluasan pendidikan dan peningkatan identifikasi komunitas. Kemudian, ekspansi
budaya, antara lain peningkatan angka melek huruf; ekspos media massa secara
lebih besar; perluasan kawasan rekreasi, hiburan, dan nilai‑nilai budaya;
penilaian kembali lembaga tradisional dan menyajikan alternatif yang dapat
menggiatkan sistem‑sistem asing; dan pembentukan struktur lembaga baru,
prosedur, dan orientasi nilai yang mampu menghadapi tantangan perubahan yang
cepat.
Apabila ciri-ciri tersebut yang menjadi
pemicu bagi perubahan masyarakat dan kebudayaan Bali, maka Atmaja (2005)
menyebut “Bali pada era globalisasi, pulau seribu pura tidak seindah penampilannya” merupakan fakta yang tak
terbantahkan. Walaupun demikian, patut dipahami bahwa keterbukaan orang Bali
terhadap pendatang dari berbagai latar belakang misalnya, memang tidak salah.
Akan tetapi, sikap permisif yang berlebihan pada giliran akan menimbulkan
permasalahan ikutan, baik dalam bentuk fisikal, sosial, maupun budaya. Seperti
ketidaksbilan daya dukung ruang, menurunnya kualitas ekologi, populasi penduduk
tidak terkendali, persaingan hidup semakin ketat, politik identitas menjadi
bagian integral dari eksistensi diri, ruang-ruang sosial semakin padat
interaksi dan integrasi sosial semu, otonomi sosial, dan diferensiasi budaya
terjadi secara meluas (Sukarma dalam Burhanuddin, 2008).
Implikasi dari permasalahan ini seperti dijelaskan
oleh Sukarma (dalam Burhanuddin, 2008) bahwa dalam berbagai fenomena sosial
telah muncul perilaku menyimpang secara psiko-sosial yang mengindikasikan
terjadinya penurunan pada dimensi moralitas dan humanitas. Dinamika dan
dialektika antara penduduk pribumi (warga
wed) dan perantau dalam berbagai kancah kehidupan memang bukan fenomena
sosial yang dengan mudah dapat diderivikasi. Demikian juga kenyataan dalam
pengalaman empiris memang tidak selalu menyenangkan karena setidak-tidaknya
yang paling menonjol ditemukan Burhanuddin (2008) adalah penduduk pribumi
sekitar kawasan wisata harus ‘tunduk dan bertekuk-lutut’ kepada perantau.
Mereka harus menyingkir ke belakang pada bagian tersempit gang-gang kehidupan
yang diciptakannya sendiri karena bagian depan berupa ruang-ruang longgar
merupakan lokasi pemajangan hasil-hasil industri yang telah “dikuasai” oleh perantau.
Ironis memang dan kemudian, orang Bali
digambarkan menjadi tamu di rumahnya sendiri, mereka tercerabut dari akar
tradisinya, karena itu wacana Ajeg Bali lebih terdengar sebagai pertahanan diri
yang bersifat kesukuan. Akhirnya, tuduhan sebagai masyarakat pengusung
etnosentrisme pun tidak dapat dihindari, karena itu pandangan yang menyatakan
bahwa Bali adalah sebuah benteng terbuka[2]
mendapat legitimasi yang meyakinkan. Pada sisi budaya, ternyata orang Bali
begitu tertutup, sedangkan pada sisi ekonomi mereka begitu terbuka. Misalnya,
ketatnya persyaratan menjadi krama banjar
dan/atau desa pakraman menunjukkan
sikap ketertutupan, sedangkan masuknya perantau ke wilayah pasar-pasar
tradisional membuktikan sikap keterbukaan. Malahan pengamatan sepintas
memberitahukan bahwa toko-toko sepajang Jalan Gajah Mada Denpasar dan
sekitarnya lebih banyak dikuasai oleh perantau daripada warga desa. Kecuali para pedagang musiman yang datang dari pedesaan
yang meminjam ‘emperan toko’ untuk sekadar menjajakan hasil panennya.
Kekalahan penduduk pribumi dari perantau
dalam kompetisi kehidupan sosial-ekonomi menurut Triguna (2004:11) disebabkan
oleh beberapa faktor yang sekaligus menjadi indikator perubahan karakter orang
Bali[3],
antara lain seperti berikut. Pertama
karena ketidaksiapan dan ketidakmampuan orang Bali bersaing dengan new comers (pendatang). Kedua, persaingan dan pemilahan antara
penduduk asli (pribumi) dan pendatang melalui katagorisasi beroposisi (binary
opposition) telah membentuk karakter orang Bali yang penuh dengan perasaan
curiga, terlebih-lebih lagi sikap itu dijustifikasi melalui simbol kultural. Ketiga, perubahan karakter orang Bali
dipengaruhi oleh proses monetarisasi. Keempat,
banyak institusi sosial dan kultural mulai tidak mampu memerankan fungsi-fungsi
manifes, bahkan cenderung hanya menjadi media untuk menghidupkan ‘keagungan
fisikal masa lalu’. Kelima, sekalipun
wacana mengenai pentingnya kebudayaan sebagai ‘panglima’ pembangunan Bali,
tetapi dalam implementasinya alokasi biaya untuk kepentingan itu belum sesuai
dengan wacana dan harapan. Selain kelima faktor eksternal tersebut perubahan
karakter orang Bali, juga disebabkan karena secara internal orang Bali sendiri
memiliki potensi terbuka terhadap perubahan dan mengakui perubahan itu sebagai
suatu ‘titah’ yang harus diikuti.
Ini sebabnya dalam komunitas adat, seperti
desa pakraman bahwa masa lalu dan
simbol merupakan sarana untuk menangani ruang dan waktu dengan memasukkan
segala pengalaman dalam keberlanjutan masa lalu, masa kini, dan masa depan
distrukturkan oleh praktik-praktik sosial yang sedang berlangsung. Agama
sebagai inti dari sistem nilai yang dipraktikkan menjadi norma dalam dunia
sosial, karena itu kekuasaan Tri Murti yang secara teologis dipahami sebagai
konsepsi kehadiran, sedangkan secara kontekstual menjadi siklus strukturisasi,
destrukturisasi, dan restrukturisasi tatanan nilai. Menurut Giddens, (2005;
2008) tindakan ini bukan rangkaian kumpulan interaksi dan nalar, tetapi
konsistensi monitoring perilaku dan konteksnya yang ditujukan pada keteraturan
dan keseimbangan sosial. Oleh karena itu, Sukarma (Sarad No. 109 Mei 2009) menegaskan bahwa tatanan nilai dalam
komunitas adat selalu dalam proses perubahan sehingga tradisi tidak sepenuhnya
statis. Artinya, generasi baru harus menemukan ulang tradisinya ketika hendak
mengambil alih warisan budaya dari pendahulunya karena pewarisan nilai dalam
suatu komunitas tidak dimungkinkan tanpa proses pembelajaran. Pengalaman
belajar inilah upaya merangkai masa lalu, masa kini, dan masa depan agar desa pakraman senantiasa selaras dengan
nilai-nilai Hindu.
Membaca Kembali Peran Desa Pakraman
Masyarakat perkotaan sebagaimana lazimnya
penduduk kota-kota besar menunjukkan bentuk association
(Cooley), gesellschaft (Tonnies)
dengan solidarite organique (Durkheim).
Artinya, hubungan antarorang didasarkan atas kontraktual, anonim, dan
berazas-guna. Model hubungan ini telah mendesak desa pakraman semakin terpinggirkan yang seharusnya menjadi basis
sosial-religius masyarakat adat dan juga sekaligus menjalankan fungsi-fungsi
lembaga agama. Hal ini setidak-tidaknya tergambar dari pandangan masyarakat bahwa
lembaga adat dan lembaga agama bersifat buatan dan pimpinan lembaga, baik adat
maupun agama dipilih berdasarkan wewenang dan hukum. Kondisi masyarakat
demikian menuntut agama bukan lagi sebagai yang mutlak mengatur manusia,
melainkan agama dimungkinkan ‘diatur’ oleh kepentingan dan kebutuhan manusia.
Manusia dalam kebutuhan dan kepentingannya mengatur agama agar sesuai dengan
tuntutan hidup yang selalu berubah (misalnya, kesibukan, efisiensi,
kemanusiaan, dan demokratisasi). Oleh karena itu, manusia selalu melakukan
pemahaman dan penafsiran (interpretative
and understanding) terhadap agama yang sebelumnya terbungkus oleh berbagai
simbol ekpresif, kognitif, evaluatif, dan konstruktif (Triguna, 2004:3).
Agama tidak lagi semata-mata hanya
berhubungan dengan hal-hal yang bersifat dahsyat dan keramat yang berpusat pada
hal-hal yang gaib (nominous), tetapi
agama menjadi penting terutama dalam konteks situasi ketidakpastian dan ketidakberdayaan.
Dalam keadaan seperti ini, agama menyediakan pandangan tentang dunia yang tidak
terjangkau (beyond). Oleh karena itu,
deprivasi dan frustasi dapat dirasakan dan dialami sebagai hal yang bermakna
pada diri manusia. Di samping itu, juga agama dirasakan sebagai sarana ritual
yang memberi peluang terjalinnya 'hubungan' manusia dengan hal-hal yang berada
di luar jangkauannya (Triguna, 2004:5). Agama yang bersumber pada religiusitas merupakan
cara untuk menyatakan dan mengungkapkan hubungan dengan Tuhan. Berkaitan dengan
posisi agama, bahkan O'Dea (1992:13) secara rinci merumuskan enam fungsi agama
dalam kehidupan masyarakat sebagai berikut.
(1) Agama menyediakan dan
menjadi dukungan, pelipur lara, dan rekonsiliasi ketika manusia menghadapi
ketidakpastian, kekecewaan, dan keterasingan dari tujuan dan norma-norma yang
menatanya.
(2) Agama menawarkan hubungan
yang transendental melalui pemujaan dan ibadat, dan karenanya agama memberikan
landasan penguat emosional dan identitas dalam situasi ketidakpastian. Melalui
ajaran yang mutlak, juga agama dapat mewujudkan keteraturan dan ketertiban yang
pada dasarnya merupakan suatu usaha mendukung kelestarian status dan peranan.
(3) Agama berfungsi meligitimasi
pembagian fungsi dan fasilitas termasuk ganjaran. Penyimpangan yang dilakukan
oleh seorang individu acapkali 'diampuni' melalui mekanisme ritual sehingga
individu yang melakukan penyimpangan disatukan kembali dalam kelompok sosial.
Dengan demikian, agama telah mensucikan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat
yang telah terbentuk dan
terpelihara.
(4) Melalui agama
dimungkinkan terwujudnya standar nilai yang memungkinkan suatu nilai dan norma
yang telah melembaga dikaji secara kritis.
(5) Agama berfungsi sebagai
pemberi identitas. Peranserta manusia dalam suatu ritual, doa, dan ritus
lainnya telah membedakan dirinya dari orang lain yang melakukan ritual dan doa
secara berbeda. Melalui ritus agama dengan mudah seseorang diidentifikasi siapa
dia dan apa ia.
(6) Agama berhubungan dengan
proses pendewasaan melalui stages along
the life cycle. Hal ini sebagaimana
para psikolog menggambarkan masa-masa krisis yang dialami oleh individu dalam
proses pendewasaannya dan agama berfungsi melibatkan individu dalam proses belajar.
Enam fungsi agama tersebut dijadikan acuan
untuk membaca kembali peran desa pakraman
di tengah-tengah derasnya perubahan dan tantangan zaman. Hal ini berdasarkan
pertimbangan bahwa desa pakraman
merupakan lembaga adat yang sosio-religius dan telah menempatkan diri pada satu
sisi menjadi lembaga adat yang bergelut dengan kehidupan tradisi yang hampir
seluruhnya berdimensi sosial. Sementara itu, juga pada sisi lain desa pakraman menjadi lembaga agama
karena dalam praktiknya desa pakraman
melaksanakan fungsi lembaga agama, yaitu mengatur hubungan antarumat dan
hubungan antara umat Hindu dengan pemimpin agamanya. Berdasarkan fungsi ganda desa pakraman tersebut dapat ditawarkan
managemen sosial dan budaya yang menjadi peran desa pakraman[4]
dalam menghadapi perubahan dan tantangan zaman seperti berikut.
Pertama, pemurnian tradisi desa pakraman. Ini
dilakukan karena melalui agama dimungkinkan terwujudnya standar nilai yang
memungkinkan suatu nilai dan norma yang telah melembaga dikaji secara kritis.
Selain itu, juga karena perubahan masyarakat dan kebudayaan merupakan implikasi
yang diyakini oleh warisan pemikiran Pencerahan sebagai tujuan (Giddens, 2005).
Ini terjadi karena penggunaan pengetahuan tidak homogen, perubahan tatanan
nilai inheren dalam inovasi dan orientasi kognitif yang terus berubah, dan
tidak ada pengetahuan kehidupan sosial yang mencakup semua situasi. Apabila
pengetahuan warga desa tentang dunia
sosialnya semakin baik, maka cakupan konsekuensi yang tidak dikehendaki mungkin
akan semakin terbatas, tetapi refleksivitas kehidupan sosial modern menghambat
kemungkinan ini. Untuk itu diperlukan pemurnian tradisi, seperti yang
dikonsepsikan dalam Tri Murti dan Tri
Hita Karana. Dengannya warga desa memahami
bahwa mereka turut serta dalam membangun watak Alam dan sebaliknya, Alam
berpartisipasi dalam membangun karakter mereka. Untuk mewujudkan eksistensi mereka,
warga desa merujuk pada Realitas
Tertinggi, Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Kedua, membangun kesadaran desa ring raga (desa di
dalam diri warga). Dalam hal ini parajuru desa memberi kesempatan seluas-luasnya kepada warga desa belajar berkomunikasi secara rasional dengan mengambil
sikap verbal terhadap pengalamannya. Paling tidak mereka belajar mengatakan
alam luar yang sesuai dengannya, mereka belajar mengatakan yang wajar dikatakan
terhadap masyarakat, mereka belajar jujur mengungkapkan alam batinnya melalui bahasa yang jelas, dan mereka belajar membuktikan klaim itu
dalam sebuah pergaulan. Artinya, rasionalitas adalah disposisi warga desa yang mampu berbahasa dan
bertindak yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungannya dan keharusan
untuk mempertanggungjawabkan perkataannya. Ini menegaskan bahwa visi-lokal
berisi kemampuan ‘berbahasa ibu’ dan bertindak menurut tradisi dan warga desa memperolehnya melalui
interaksi sosial dan kebebasannya. Ini gagasan tentang reinterpretasi dan
reposisi Bahasa Bali, sebuah impian untuk menjadikannya ”Ibu Moralitas dan
Rasionalitas Desa Pakraman”, penuntun
pikiran, kata-kata, dan tindakan kepada sebuah kesadaran: ”Desa Ring
Raga”.
Ketiga,
meningkatkan sradha-bhakti warga desa. Dalam hal ini
agama menawarkan hubungan yang transendental melalui pemujaan dan ibadat, dan
karenanya agama memberikan landasan penguat emosional dan identitas dalam
situasi ketidakpastian. Melalui ajaran yang mutlak juga agama dapat mewujudkan
keteraturan dan ketertiban sosial yang pada dasarnya merupakan suatu usaha
mendukung kelestarian status dan peranan. Dalam konteks ini sradha-bhakti yang menuntun pikiran dan
tindakan kreatif warga desa juga sekaligus
melindungi kebebasannya. Dengannya Tri Hita Karana dan Tri Mandala menjadi
sumber moral untuk memahami kehendak Ruang Desa Pakraman – Jati Diri Bali. Di
sini agama Hindu lebih fungsional dalam kehidupan setidak-tidaknya dapat
menjadi sumber penjelasan terakhir tentang masalah fundamental kehidupan karena
memberikan dasar-komitmen dan tujuan kehidupan; menjadi sumber ketenangan dan
kedamaian karena memberi kepastian hidup; menjadi pembenaran atas
praktik-praktik kehidupan dalam masyarakat karena memberi azas-azas moralitas;
serta meneguhkan tata nilai dan memuaskan kerinduan yang paling mendalam karena
memberi pengalaman mengenai keimanan. Pada gilirannya bidang-bidang kehidupan
yang semula dibatasi sekat-sekat spasial dan temporal semakin diresapi sradha-bhakti sehingga kehidupan kembali
pada garis eksistensinya; dan sudah semestinya ’dari mana semuanya lahir,
dengannya semua bertahan hidup, dan kepadanya semua kembali’. Dengan demikian,
Desa Pakraman tetap dan selalu menjadi Desa bagi Pakramannya. Inilah Asli:
Wajah Bali.
Keempat, memperlakukan warga desa sebagai makhluk religius. Di sini agama berfungsi melegitimasi
pembagian fungsi dan fasilitas termasuk ganjaran. Penyimpangan yang dilakukan
oleh warga desa acapkali 'diampuni'
melalui mekanisme ritual sehingga warga
desa yang melakukan penyimpangan disatukan kembali dalam kelompok sosial.
Dengan demikian, agama telah mensucikan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat adat
yang telah terbentuk dan terpelihara. Ini sebabnya harus diterima bahwa warga desa memang manusia religius
sehingga desa pakraman memang
lingkungan tempat memperoleh pengetahuan agama, merefleksikan kesadaran agama,
dan mempraktikkan agama. Tuhan sebagai yang esensial dalam agama dipahami
sebagai Pengada di titik asal-mula, Pemelihara pada sepanjang garis eksistensi,
dan Pelebur di titik tujuan-kehidupan. Kehidupan yang dihiasi indahnya
nilai-nilai ketuhanan akan memberikan kegembiraan keberagamaan dalam dunia
sosial yang diselimuti moral. Kegembiraan semacam ini tidak menyisakan ruang
bagi tindakan munafik dan hipokrit, seperti mereka yang berpengetahuan agama
tanpa berkesadaran agama, yang menebar ketakutan, kengerian, kehancuran, dan
kemusnahan ras manusia. Jadi, warga desa
harus berani mengambil tanggung jawab sradha-bhaktinya
di tangannya sendiri tanpa menunggu teladan prajuru
karena merealisasikan ketuhanan
merupakan tujuan hidup pribadi. Inilah Dharma Desa Pakraman.
Simpulan
Pada gilirannya dapat dipahami bahwa desa pakraman yang eksis dalam dunia-relatif
harus diterima bukan sebagai ‘barang sesuatu’ yang statis, kaku, dan beku.
Melainkan sebuah desa yang selalu
hidup dan berkembang dinamis melalui proses pemurnian nilai (penciptaan,
pemeliharaan, dan peleburan) sehingga desa
pakraman senantiasa menjadi arena yang damai bagi perkembangan religiusitas
dan moralitas. Malahan Radhakrishnan (2003) menegaskan bahwa seluruh alam,
bahkan yang paling rendah sekalipun melakukan usaha yang tiada hentinya untuk
menginginkan ke tingkatan berikutnya yang lebih tinggi, yang mana pada dirinya
sendiri merupakan bayangan dari perwujudan yang lebih bawah. Demikian juga desa pakraman perlu menempatkan
tujuannya di atas perkembangan yang telah dicapainya karena perkembangan pada
masa kini bukan gambaran masa depan yang diidolakannya. Dalam proses pemurnian
ini warga desa terus-menerus melakukan adaptasi nilai dan menentukan strategi
tindakan, karena itu tidak dapat dihindari warga
desa selalu melakukan pemutahiran pengetahuan sejalan dengan perubahan
zaman.
Desa
pakraman melalui kahyangan tiga memang mengafirmasi
perubahan zaman karena teologi Tri Murti dipahami sebagai proses konstruksi,
dekontruksi, dan rekontruksi tatanan nilai. Mengelola proses sisklis ini
merupakan fakta sosial yang memaksa warga
desa selalu menjadi generasi baru yang harus menemukan ulang tradisinya
ketika hendak mengambil alih warisan budayanya. Mengingat pewarisan nilai dalam
suatu komunitas tidak dimungkinkan tanpa pembelajaran. Proses pembelajaran ini
adalah upaya memadukan agama dengan tradisi dan menjadikannya acuan moral
sehingga warga desa mampu mengelola
perubahan dan menghadapi tantangan zaman. Pada gilirannya desa pakraman selalu menjadi lingkungan pendidikan, yaitu tempat
subur berseminya religiusitas, moralitas, dan kemanusiaan. Dengan demikian,
tidak diragukan lagi bahwa warga desa
mampu memegang tanggung jawab dalam membangun kehidupan sosial dan budaya di
tangannya sendiri.
Daftar Kepustakaan
Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi
dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abraham, Francis M. 1991. Modernisasi di Dunia Ketiga: Suatu Teori
Umum Pembangunan. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
Atmaja, Nengah Bawa. 2005.
“Bali Pada Era Globalisasi: Pulau Seribu Pura Tidak Seindah Penampilannya”.
Singaraja: Penelitian.
Berger, Peter L. 1994. Langit Suci: Agama Sebagai
Realitas Sosial (terjemahan: The Scred Canopy), Jakarta:
Pustaka LP3ES.
Burhanuddin, Yudhis M,
2008, Bali Yang Hilang: Pendatang, Islam,
dan Etnisitas di Bali, Yogyakarta: Kanisius.
Fakih,
Mansour. 2001. Runtuhnya Teori
Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Giddens, Anthony. 2005. Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
...................... dan
Jonathan Turner. 2008. Social Theory
Today: Panduan sistematis Tradisi dan Tren Terdepan Teoi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gunadha, Ida Bagus.2009. Pemberdayaan Desa Pakraman.Denpasar:
Kerjasama UNHI & Kanwil Dep.Agama Provinsi Bali.
Hadi, Hardono. 2007. Kepemimpinan Religius Transformasi.
Yogyakarta: Satunama.
Janamijaya, I Gede, I Nyoman Wiratmaja, I Wayan Gede
Suacana (ed.). 2003. Eksistensi Desa
Pakraman di Bali. Denpasar: Yayasan Tri Hita Karana Bali.
Nordohlt, Henk Schulte dan
Gerry Van Klinken. 2007. Politik Lokal di
Indonesia. Jakarta: KITLV dan Yayasan Obor Indonesia.
O’Dea, Thomas F.1992.Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal.
Yogyakarta: Yayasan Silidaritas Gajahmada.
Peacock, James L. 2005. Ritus Modernisasi: Aspek Sosial dan Sombolik
Teater Rakyat Indonesia. Jakarta: Desantara.
Picard, Michel. 1992. Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Poerwadarminta W.J.S. 2007.
Kamus Umum Bahsa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Radhakrishnan, S.2003. Agama-Agama Timur dan Pemikiran Barat.
Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu
Indonesia.
Schoorl, JW. 1991. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan
Negara-negara Sedang Berkembang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Snow C.P. 2007. Dua Budaya Dan
Sebuah Pandangan Kedua. Yogyakarta: Jalasutra.
Suhandji-Waspodo TS. 2004. Modernisasi dan Globalisasi: Studi Pembangunan dalam Perspektif Global. Malang: Insan Cendekia.
Sukarma, I Wayan.2009. “Pemurnian
Tradisi Dalam Komunitas Adat”, Sarad,
No. 109 Mei 2009.
.....................2009.
“Impian Untuk Desa Pakraman”, Sarad,
No. 110 Juni 2009.
.....................2009.
“Ketika Wajah Bali Sudah Keriput”, Sarad,
No. 111 Juli 2009.
.....................2009.
“Dharma Untuk Desa Pakraman”, Sarad,
No. 112 Agustus 2009.
.....................2009.
“Kalau Prajuru Desa Pakraman Kesurupan” Sarad,
No. 113 September 2009.
Surpha, I Wayan. 2002. Seputar Desa Pekraman dan Adat Bali.
Denpasar: BP.
Triguna, Ida Bagus Gde Yudha. 2004. Perubahan Karakter Orang Bali (orasi ilmiah disampaikan pada
pengukuhan guru besar dalam bidang sosiolosi agama). Denpasar: Universitas
Hindu Indonesia.
[1] Tulisan ini modifikasi dari makalah disampaikan pada Pembinaan
Managemen Desa Pakraman Angkatan I & II dilaksanakan oleh Kantor Kementrian
Agama Kota Denpasar tanggal 18 dan 19 Pebruari 2010 di Denpasar.
[2] Hal ini sebagaimana diyakini oleh Henk Schult Nordholt
dalam essai Bali: Sebuah Benteng Terbuka dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van
Klinken (editor), (2007:505—542), Politik
Lokal di Indonesia.
[3]
Kelima faktor ini, sebagaimana dijelaskan oleh Triguna (2004:11) dalam Perubahan Karakter Orang Bali (pada
pengukuhan guru besar dalam bidang sosiolosi agama) yang pada dasarnya
digunakan sebagai indikator untuk menjelaskan perubahan karakter orang Bali
dalam konteks modernisasi dan globalisasi.
[4] Peran desa
pakraman ini sebagaimana dijelaskan oleh Sukarma dalam beberapa artikel
berikut: “Pemurnian Tradisi Dalam Komunitas Adat”, “Impian Untuk Desa Pakraman”,
“Ketika Wajah Bali Sudah Keriput”, “Dharma Untuk Desa Pakraman”, “Kalau Prajuru
Desa Pakraman Kesurupan” (Sarad,
109--113, Mei--September2009).