PELAYANAN: Letak Penting dan Relevansinya
I Wayan Sukarma
“Perubahan itu abadi”. Begitu pandangan Zeno tentang
realitas yang dikonstruksi dan dialami. Berdasarkan pandangan ini kemudian,
Heraklitos mengungkapkan bahwa segala sesuatu selalu dalam kemenjadian, yakni untuk menyatakan sifat relatif dari pengalaman. Boleh
jadi, reformasi yang bergulir Mei 1998 yang menandai terjadinya perubahan paradigma dalam kehidupan bernegara,
berbangsa, dan bermasyarakat di Indonesia. Secara etimologi, reformasi berarti
perubahan secara drastis untuk perbaikan bidang sosial, politik, hukum, agama,
dan sebagainya dalam suatu masyarakat atau negara (KBBI, 2005:939). Definisi
ini menegaskan bahwa reformasi menghendaki perubahan paradigmatik dalam
pengelolaan bidang-bidang kehidupan terutama berkaitan dengan tatanan kehidupan
bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Perubahan paradigmatik ini
mengandaikan terjadinya penyempurnaan dunia-kehidupan melalui efektivitas pandangan-dunia untuk memelihara keberlangsungan kehidupan itu sendiri. Dalam
hal ini, peningkatan derajat dan harkat manusia umumnya, harus berada dalam ide
para pengelola pemerintahan, baik lembaga legislatif, yudikatif, maupun
eksekutif.
Pemerintahan sebagai seni pengelolaan kekuasaan telah hadir
bersamaan dengan adanya manusia, bahkan sejak awal kehidupannya. Ini didasari pada
asumsi bahwa dalam kehidupan sehari-hari setiap orang mempunyai kebutuhan dan keinginan,
bahkan kepentingan yang berbeda antara yang satu dan yang lainnya. Perbedaan
ini, selain dapat menciptakan harmoni, tetapi lebih besar berpotensi
menciptakan disharmoni, yaitu pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan dihadapi oleh
organisasi dan kerja sama sejenisnya. Oleh karena itu, tujuan utama dibentuknya
pemerintahan, antara lain untuk menjaga suatu sistem ketertiban dan keteraturan
sehingga masyarakat dapat menjalani kehidupannya secara wajar (Rasyid, 1997:11).
Dengan demikian, tugas pemerintah adalah melayani dan mengatur masyarakat.
Menurut Thoha (1995:102), tugas pelayanan lebih menekankan upaya mendahulukan
kepentingan umum, mempermudah urusan publik, mempersingkat waktu proses
pelaksanaan urusan publik, dan memberikan kepuasan kepada publik. Sementara
itu, tugas mengatur lebih menekankan kekuasaan (power) yang melekat pada posisi jabatan birokrasi tertentu. Suatu
pemerintahan dikatakan baik dan berhasil, bila pemerintah itu mampu melindungi,
memberdayakan, dan menyejahterakan rakyatnya.
Untuk mencapai tujuan tersebut sehingga sasaran utama dari reformasi birokrasi
adalah memperbaiki struktur, kultur, dan aparatur pemerintahan dalam kerangka
sistemik. Struktur bertalian erat dengan sistem pemerintahan sehingga
keberadaannya merupakan kunci keberhasilan bagi suatu pemerintahan. Dalam hal
ini, reformasi menghendaki adanya struktur pemerintah yang efektif dan efisien
– berdaya guna dan berhasil guna. Efektivitas dan efisiensi struktur ini akan
mendapatkan makna yang sebenar-benarnya, bila struktur tersebut mampu membangun
kultur pemerintahan yang baik. Agenda reformasi menekankan pada kultur
pemerintahan yang transparan, akuntabilitas, dan profesional. Selanjutnya, struktur
dan kultur ini hanya akan berjalan dengan baik, bila didukung oleh aparatur
pemerintah yang mumpuni, profesional, serta memiliki dedikasi dan loyalitas. Secara
bersama-sama, baik struktur, kultur, maupun aparatur pemerintah harus diarahkan
untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi yang paling hakiki dari pemerintah,
yakni pelayanan (service),
pemberdayaan (empowerment), dan
pembangunan (development). Pelayanan
membuahkan keadilan masyarakat, pemberdayaan mendorong kemandirian masyarakat,
dan pembangunan bertujuan menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Seturut dengan cita-cita reformasi, paradigma pemerintahan masa kini dibangun
dengan menempatkan masyarakat sebagai subjek pelayanan, pemberdayaan, dan
pembangunan. Malahan sejak reformasi dikumadangkan tuntutan kepada pemerintah
untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik semakin kuat. Tuntutan ini seiring
dengan semakin kompleksnya kebutuhan dan keiginan masyarakat yang lebih banyak
dipicu oleh perubahan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan agama. Perubahan
pada bidang-bidang ini secara signifikan membawa dampak terhadap aspek-aspek
kehidupan lainnya. Semakin tingginya tingkat persaingan hidup, mobilitas
sosial, dan kebutuhan terhadap kenyamanan merupakan faktor penting yang
mendorong semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan publik. Dalam
hal ini, dinamika masyarakat yang semakin modern meminta respons pemerintah
secara positif melalui peningkatan pelayanan publik yang inheren dengan tujuan
reformasi birokrasi itu sendiri. Dengan demikian, pemerintah bukan hanya
menjadi agen yang mengantarkan masyarakat pada kondisi kemajuan dan kemapanan,
melainkan juga menjadi agen bagi terciptanya keadilan bagi seluruh warga
negara.
Dalam kerangka modernitas, manusia modern ditandai dengan munculnya
masyarakat berorganisasi (organizational
society) dan masyarakat birokrasi (bureaucratic
society). Kemunculan masyarakat berorganisasi dan birokrasi seiring dengan
peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak-hak asasinya, hak-hak
demokrasinya, dan kebebasan individu. Peran pemerintah sebagai agen perubahan (the agent of change) sesungguhnya telah
turut serta membangun terbentuknya masyarakat seperti ini sehingga mau tidak
mau, modernisasi selalu berhubungan dengan kinerja pemerintah itu sendiri. Dengan
mengacu pemikiran Sutopo dan Suryanto (2006:3), hubungan antara masyarakat
modern dan pemerintah secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut.
(a)
Manusia modern yang semakin cerdas menuntut lebih banyak dari
pemerintahnya. Oleh karena itu, juga pemerintah harus berbuat lebih banyak bagi
warganya.
(b)
Tingkat pendidikan yang semakin tinggi mengakibatkan
masyarakat semakin sadar akan hak dan kewajibannya. Oleh karena itu, semakin
pintar pula dalam menuntut hak-haknya, meskipun terkadang tidak diimbangi
dengan meningkatnya kesadaran terhadap kewajibannya kepada bangsa, negara, dan
pemerintah.
(c)
Kebudayaan yang dicapai semakin lama semakin tinggi. Dalam
arti bahwa kesadaran masyarakat terhadap norma-norma kemanusiaan, nilai-nilai
sosial, harkat, dan martabatnya juga semakin tinggi. Ini memberikan tuntutan
agar kepribadian dan hak-hak hidupnya dihargai, bukan saja oleh orang lain,
tetapi juga oleh pemerintah.
Perkembangan di atas sekaligus menunjukkan terjadinya pergeseran konsepsi
negara pada abad XX ini. Ide negara kepolisian (police state) telah bergeser menjadi negara kesejahteraan (welfare state). Konsepsi ini menempatkan
pemerintah tidak lagi hanya sebagai pengatur negara, tetapi secara aktif dan
kreatif berusaha mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan warganya dalam
berbagai aspek kehidupan. Konsekuensinya bahwa negara harus mengemban empat
fungsi pokok, yaitu protectional
function (fungsi perlindungan), welfare function (fungsi kesejahteraan),
educational function (fungsi pendidikan), dan peacefulness
function (fungsi kedamaian) (Varma, 2001).
Penjelasan teoretis tentang kemutlakan tanggung jawab dan fungsi pemerintah
dalam mewujudkan negara kesejahteraan tersebut juga dapat dilihat dari teori
Adam Smith tentang tugas pokok pemerintah. Menurut Smith (Rahayu, 1997:2–5)
bahwa tugas pokok pemerintah meliputi, (a) melindungi masyarakat dari ancaman
dan kejahatan (military force), (b)
melindungi masyarakat dari ketidakadilan (injustice)
dan penindasan (oppression); serta
(c) pembangunan dan pemeliharaan lembaga dan aktivitas pemerintah. Sederhananya,
peran dan fungsi pemerintahan modern adalah melakukan perbaikan keluar, yaitu
mengupayakan terciptanya kesejahteraan masyarakat dan perbaikan ke dalam
melalui peningkatan kualitas struktur, kultur, dan aparatur birokrasi. Dengan
demikian, kewajiban utama dari pemerintah adalah mewujudkan konsep ideal tentang
negara kesejahteraan.
Secara ideal, sesungguhnya Indonesia telah mencita-citakan terwujudnya negara
kesejahteraan (welfare state). Cita-cita
ini telah diungkap dalam konstitusi dan garis-garis besar pembangunan Indonesia
yang sudah diarahkan pada tercapainya cita-cita tersebut. Pertama, sila kelima
dari Pancasila adalah Keadilan Sosial Bagi Seluruh Bangsa Indonesia. Ini
berarti bahwa tujuan negara adalah mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin
yang merata bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kedua, dalam
Pembukaan UUD 1945 (alinea IV) dikatakan bahwa tujuan pembentukan negara
Indonesia adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial. Ketiga, dalam Pasal 33 ayat (1),
(2) dan (3) UUD 1945 dinyatakan bahwa (1) Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasarkan asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan mengenai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi,
air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Keempat, dalam GBHN
sebagai acuan dalam pembangunan negara ditegaskan bahwa tujuan pembangunan
nasional adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya dalam rangka mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945 (Aruan, 2004).
Konsep tentang negara kesejahteraan (welfare state), baik sebagai paradigma baru maupun cita-cita luhur
dan tujuan pembangunan nasional di Indonesia tampaknya sejalan dengan pandangan
politik Hindu. Pandangan Hindu tentang politik terutama tertuang dalam kitab Arthasastra, juga dalam teks-teks
lainnya, seperti Canakya Nitisastra,
Ramayana, Mahabharata (bagian Santi
Parwa), Kakawin Nitisastra, dan Rajaniti.
Misalnya, dalam Santi Parwa
LXIII, menguraikan peranan politik bagi kehidupan manusia sebagai berikut.
"Manakala
politik telah sirna, Weda pun sirna pula, semua aturan hidup hilang musnah,
semua kewajiban manusia terabaikan. Pada politiklah semua berlindung. Pada politiklah
semua awal tindakan diwujudkan, pada politiklah semua pengetahuan dipersatukan,
pada politiklah semua dunia terpusatkan".
"Ketika
tujuan hidup manusia - dharma, artha,
kama, dan moksa semakin jauh.
Begitu juga pembagian masyarakat semakin kacau, maka pada politiklah semua
berlindung, pada politiklah semua kegiatan agama/yajna diikatkan, pada politiklah semua pengetahuan dipersatukan,
dan pada politiklah dunia terpusatkan".
Santi Parwa
hendak mengingatkan pemerintah sebagai penentu dan pelaksana kebijakan politik
harus menggunakan kekuatan politiknya untuk mengarahkan manusia pada pencapaian
tujuan hidupnya, yaitu dharma, artha,
kama, dan moksa. Dalam konteks ini, negara atau pemerintah berperan penting
dalam mengusahakan dan memelihara kemakmuran rakyat. Seturut dengan hal ini,
bahkan Arthasastra mengajarkan
usaha-usaha untuk mendapatkan keseimbangan antara kemakmuran rakyat dan
kekayaan negara. Arthasastra
mengajukan dua syarat utama, yaitu penegakan hukum dan ketertiban, serta kinerja
administratif yang memadai (Radendra S., 2005: 3-4). Dengan demikian, tugas
pemerintah dalam menciptakan rasa aman, nyaman, dan keadilan kepada masyarakat
sejalan dengan makna kesejahteraan itu sendiri. Oleh karena itu, sudah
seharusnya hal ini dijadikan sasaran dan tujuan pemerintah dalam memberi
pelayanan terbaik kepada masyarakat. Senada dengan hal ini, juga Kakawin Ramayana, Bab III, sloka 84 memberi pesan berikut.
Nahan de sang natha kemita, irikang bhumi subhaga,
Pararthasih yagong sakalara, nikang rat wi nulatan,
Tuminghal yatna asing sawuwusikanang sasana tinut,
Tepet masih tar weruh kutima, milaging bancana dumeh.
Artinya
:
Demikianlah
kewajiban seorang raja untuk melindungi dunia demi untuk kemakmuran dan
kebahagian rakyat. Seorang raja harus selalu mengutamakan
kepentingan-kepentingan rakyatnya dan segala penderitaan rakyat juga harus
dipikirkan. Semua ajaran dalam kitab-kitab suci harus diikuti sengan seksama.
Dengan demikian, rakyat akan tetap mencintai raja dengan teguh, tidak mengenal
kecurangan, serta menjauhi penipuan, itulah pahalanya.
Nasehat Rama kepada Bharata tersebut lebih menekankan pada keteladanan
pemimpin yang bijaksana yang selalu berpegang pada dharma. Menghindari kesenangan nafsu duniawi dan sebaliknya, justru
selalu memikirkan atau melenyapkan penderitaan rakyat atau orang-orang yang
dipimpinnya. Bila dikaitkan antara kepemimpinan dan pelayanan bahwa kedudukan
seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya adalah sebagai pelayan.
Pelayan dalam hal ini adalah pelayan masyarakat, pelayan negara, dan pelayan
dalam arti luas dalam suatu organisasi yang dipimpinnya. Pemimpin yang mumpuni
dan memiliki jiwa kenegarawanan merupakan syarat mutlak terwujudnya
kesejahteraan rakyat dan berlaku sebaliknya bahwa pemimpin yang gagal mengemban
amanah rakyat akan membawa penderitaan bagi rakyatnya. Konsekuensi logis dari semua
ini bahwa seluruh proses politik dan ketatanegaraan haruslah diarahkan pada
terciptanya sosok pemimpin yang baik.
Pemerintah adalah pemimpin yang selalu melayani rakyatnya. Hal ini sejalan
dengan paradigma reformasi birokrasi bahwa seorang birokrat bukanlah seorang
raja yang wajib dilayani sebaliknya, ia adalah pelayan masyarakat. Dengan
pergeseran paradigma ini, pemerintah dituntut untuk selalu meningkatkan
kualitas pelayanan publik dalam wujud pelayanan prima. Dalam Surat Keputusan
MENPAN Nomor 81 Tahun 1993 disebutkan bahwa pelayanan prima merupakan
terjemahan dari istilah “Excellent
Service” yang secara harfiah berarti pelayanan yang sangat baik dan/atau
pelayanan yang terbaik karena sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku atau
dimiliki oleh instansi yang memberikan pelayanan.
Untuk mengetahui tingkat pelayanan publik lebih lanjut, Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri
Negara Pedayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/23/25/M.PAN/05/2006 tentang
Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik Menterti Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara. Dalam peraturann ini dijelaskan bahwa pelayanan publik adalah
kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar
sesuai dengan hak-hak sipil setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang,
jasa, dan/atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan
publik. Kemudian, dijelaskan bahwa standar pelayanan adalah suatu tolok ukur
yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian
kualitas pelayanan sebagai komitmen atau janji dari penyelenggara pelayanan
kepada masyarakat untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Artinya, apratur
negara dan penyelenggara negara lainnya adalah pelayan masyarakat.
Menjadi pelayan yang baik memerlukan perpaduan yang sempurna antara
kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Ketiga kecerdasan ini
menginternal dalam diri untuk membangun pribadi yang cerdas, santun, dan
berwibawa sehingga mampu memberikan pelayanan yang cermat dan akurat, sekaligus
menyenangkan. Mengingat dalam pelayanan yang baik, kepuasan konsumen adalah
tujuannya. Terkait dengan hal tersebut, agama merupakan sumber nilai yang
pertama dan utama dalam rangka membangun spirit pelayanan khususnya bagi
aparatur pemerintah. Hal ini dapat dipahami karena agama berperan dalam
memberikan pengaruhnya terhadap individu, baik dalam bentuk sistem nilai,
motivasi maupun pedoman hidup, juga sebagai pembentuk kata hati (Ishomuddin,
2002:36).
Agama memiliki pengaruh sebagai motivasi yang mendorong individu untuk
melakukan suatu aktivitas karena perbuatan yang dilatarbelakangi oleh keyakinan
agama dinilai mempunyai unsur kesucian dan ketaatan. Dalam hal ini, agama dapat
berperan sebagai motivator dan inspirator tindakan seseorang. Sementara itu,
agama sebagai nilai etik membimbing manusia untuk bertindak sesuai dengan
norma-norma sehingga dapat memilah dan memilih mana yang boleh dilakukan dan
mana yang harus dihindari menurut ajaran agamanya. Dengan kata lain, agama
menjadi etos kerja bagi masyarakat pemeluknya. Begitu juga agama memberikan
harapan kepada pemeluknya. Orang akan melaksanakan ajaran agamanya dengan baik
karena didorong oleh harapan tentang pengampunan atau kasih sayang dari Tuhan.
Ajaran-ajaran agama yang berisikan tentang kebahagiaan akhirat di samping
kebahagian dunia menjadi kekuatan tersendiri bagi manusia dalam menghadapi
dinamika kehidupan di dunia-kehidupan yang tidak selamanya sesuai dengan
harapan. Ketika pendekatan rasional telah mengalami jalan buntu mengatasi
berbagai tantangan dan hambatan, maka agama hadir menawarkan harapan
(Notingham, 2003).
Begitu juga agama Hindu, selain mengajarkan cara-cara mengenal kehendak
Tuhan untuk manusia dan dunia, juga begitu banyak mengajarkan cara-cara
menjalankan kehidupan di duia reletif ini. Malahan Hindu, baik sebagai agama
mupun jalan hidup (way of life), juga
mengajarkan prinsip pelayanan (Sewaka
Dharma). Sewaka Dharma sebagai
basis kehidupan manusia mengajarkan pelayanan kepada Tuhan, leluhur, guru, sesama,
dan alam lingkungannya. Malahan Swami Ramakrishna Paramahamsa menegaskan bahwa
pelayanan kepada sesama manusia sama nilainya dengan pelayanan kepada Tuhan “Manawa Sewa Madhawa Sewa” (Rajeev,
1990:28-29). Pandangan ini menegaskan pelayanan adalah hakikat kemanusiaan yang
dicerahi oleh nilai-nilai ketuhanan. Sewaka
Dharma merupakan prinsip pengarah (guiding
principle) bagi manusia untuk memberikan pelayanan yang terbaik dalam kehidupannya.
Sewaka Dharma pada
dasarnya merupakan prinsip universal yang dapat diterapkan dalam berbagai
bidang kehidupan. Dalam konteks birokrasi modern, Sewaka Dharma mendapatkan arti dan maknanya yang paling penting
dalam upaya mewujudkan pelayanan prima kepada masyarakat. Dalam hal ini, Sewaka Dharma menjadi spirit yang melandasi
seluruh bentuk pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat demi
terwujudnya tujuan dari penyelenggaraan pemerintahan, yaitu terciptanya
masyarakat yang adil, makmur, sejahtera lahir dan batin.
Relevansi Sewaka Dharma menjadi spirit yang melandasi seluruh bentuk
pelayanan kepada masyarakat memerlukan landasan konseptual yang jelas. Keperluan
ini merupakan alasan kuat untuk menempatkan Pengertian Sewaka Dharma dalam
bentuk “manava seva madhava seva”
menjadi bahasan pertama. Landasan
konseptual ini diharapkan dapat memperkuat komitmen dan kewajiban pemerintah kepada
masyarakat terutama dalam melayani dan mengatur masyarakat. Bagian kedua ini meliputi dua kewajiban pokok, yaitu
tugas pelayanan dengan lebih banyak mengutamakan kepentingan umum, mempermudah
urusan publik, mempersingkat waktu proses urusan publik, dan memberikan
kepuasan kepada publik. Kemudian, tugas mengatur lebih menekankan kekuasaan
yang melekat pada posisi jabatan birokrasi.
Untuk itu diperlukan dukungan dari spirit lain, yaitu Pelayanan Asrtabrata.
Konsep ini menjadi bahasan ketiga,
yang ditujukan untuk memperluas dan meningkatkan kualitas pelayanan. Pelayanan
Asta Brata menuntut karaktersitik pelayan yang memiliki sifat-sifat dewata, yaitu Hyang Indra, Yama, Suryam
Candra, Bayu, Kuwera, Baruna, dan Agni. Dewa-dewa itulah yang menjadi anggota
badan sang pelayan. Karakteristik pelayan inilah yang mampu menjadikan dirinya sebagai
tenaga pendorong melindungi kehidupan rakyat, selalu ingat dan menjunjung
tinggi sumpah janji seorang ksatria, dan menjadikan ajaran suci sebagai
pegangan dalam berpikir dan bertindak.
Dengan begitu,
pemerintah sungguh-sungguh menjadi Sang
Sewaka Dharma, pengabdi dharma sejati. Menjadi Sang Sewaka Dharma inilah bahasan
keempat, yaitu perpaduan sempurna antara prinsip hidup, kompetensi, dan
perilaku pelayanan. Dapat dipercaya bahwa sebagian potensi pelayanan ini merupakan
faktor bawaan, hereditas, daya potensial (karma
wasana). Akan tetapi, sebagian besar lainnya dibangun oleh lingkungan, baik
alam, sosial, maupun budaya melalui proses pembelajaran (sewaka guna widya). Malahan Hindu mengajarkan proses pembelajaran
seumur hidup yang berlangsung sepanjang hayat dikandung badan untuk
mengantarkan manusia kepada kedewasaan dan kematangan. Hanya manusia dewasa dan
matanglah yang bisa menjadikan dirinya Sang
Sewaka Dharma.
Pengendalian diri merupakan ciri penting dari Sang Sewaka Dharma. Ciri inilah dibahas pada bagian kelima, yaitu pentingnya pengendalian
diri dalam benteng etika karena secara eksistensial manusia adalah makhluk
bebas. Manusia memiliki kehendak bebas dan kebebasan untuk membangun
eksistensinya sendiri, baik individu maupun sosial. Hakikat manusia adalah kebebasan
sehingga secara moral mereka memiliki kewajiban moral. Dalam hal ini, mereka
mesti-harus tunduk pada kemanusiaannya demi kemuliaan untuk semua. Mewujudkan
kemuliaan inilah tanggung jawab Sang Sewaka Dharma seturut dengan kebebasan
manusia yang diapresiasi lewat rumusan tri
hita karana. Secara antroposentris memang manusia sentral dari segalanya,
tetapi manusia sendiri yang menentukan hubungannya dengan alam dan Tuhan. Dalam
hal ini, melayani alam dan sesama tiada lain adalah melayani Tuhan.
Pelayanan
seperti itu menjadi wacana penutup dari seluruh rangkaian pembahasan tentang Sewaka Dharma. Bagian keenam yang terakhir ini menegaskan
bahwa melayani adalah wujud perhatian, perhatian adalah hakikat kehidupan, dan
hakikat kehidupan adalah sewaka dharma.
Spiral semacam ini menunjukkan betapa penting dan mendesaknya Sewaka Dharma – hakikat pelayanan Hindu –
dipraktikkan dalam pemerintahan, yakni dalam kehidupan bernegara, berbangsa,
dan bermasyarakat. Dalam pemerintahan birokrasi, bahkan pelayanan merupakan
tugas dan fungsi utama pemerintah untuk mewujudkan keadilan.