Pelayanan


                                               PELAYANAN:  Letak Penting dan Relevansinya

                     I Wayan Sukarma

“Perubahan itu abadi”. Begitu pandangan Zeno tentang realitas yang dikonstruksi dan dialami. Berdasarkan pandangan ini kemudian, Heraklitos mengungkapkan bahwa segala sesuatu selalu dalam kemenjadian, yakni untuk menyatakan sifat relatif dari pengalaman. Boleh jadi, reformasi yang bergulir Mei 1998 yang menandai terjadinya perubahan paradigma dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat di Indonesia. Secara etimologi, reformasi berarti perubahan secara drastis untuk perbaikan bidang sosial, politik, hukum, agama, dan sebagainya dalam suatu masyarakat atau negara (KBBI, 2005:939). Definisi ini menegaskan bahwa reformasi menghendaki perubahan paradigmatik dalam pengelolaan bidang-bidang kehidupan terutama berkaitan dengan tatanan kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Perubahan paradigmatik ini mengandaikan terjadinya penyempurnaan dunia-kehidupan melalui efektivitas pandangan-dunia untuk memelihara keberlangsungan kehidupan itu sendiri. Dalam hal ini, peningkatan derajat dan harkat manusia umumnya, harus berada dalam ide para pengelola pemerintahan, baik lembaga legislatif, yudikatif, maupun eksekutif.

 
Pemerintahan sebagai seni pengelolaan kekuasaan telah hadir bersamaan dengan adanya manusia, bahkan sejak awal kehidupannya. Ini didasari pada asumsi bahwa dalam kehidupan sehari-hari setiap orang mempunyai kebutuhan dan keinginan, bahkan kepentingan yang berbeda antara yang satu dan yang lainnya. Perbedaan ini, selain dapat menciptakan harmoni, tetapi lebih besar berpotensi menciptakan disharmoni, yaitu pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan dihadapi oleh organisasi dan kerja sama sejenisnya. Oleh karena itu, tujuan utama dibentuknya pemerintahan, antara lain untuk menjaga suatu sistem ketertiban dan keteraturan sehingga masyarakat dapat menjalani kehidupannya secara wajar (Rasyid, 1997:11). Dengan demikian, tugas pemerintah adalah melayani dan mengatur masyarakat. Menurut Thoha (1995:102), tugas pelayanan lebih menekankan upaya mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, mempersingkat waktu proses pelaksanaan urusan publik, dan memberikan kepuasan kepada publik. Sementara itu, tugas mengatur lebih menekankan kekuasaan (power) yang melekat pada posisi jabatan birokrasi tertentu. Suatu pemerintahan dikatakan baik dan berhasil, bila pemerintah itu mampu melindungi, memberdayakan, dan menyejahterakan rakyatnya.
Untuk mencapai tujuan tersebut sehingga sasaran utama dari reformasi birokrasi adalah memperbaiki struktur, kultur, dan aparatur pemerintahan dalam kerangka sistemik. Struktur bertalian erat dengan sistem pemerintahan sehingga keberadaannya merupakan kunci keberhasilan bagi suatu pemerintahan. Dalam hal ini, reformasi menghendaki adanya struktur pemerintah yang efektif dan efisien – berdaya guna dan berhasil guna. Efektivitas dan efisiensi struktur ini akan mendapatkan makna yang sebenar-benarnya, bila struktur tersebut mampu membangun kultur pemerintahan yang baik. Agenda reformasi menekankan pada kultur pemerintahan yang transparan, akuntabilitas, dan profesional. Selanjutnya, struktur dan kultur ini hanya akan berjalan dengan baik, bila didukung oleh aparatur pemerintah yang mumpuni, profesional, serta memiliki dedikasi dan loyalitas. Secara bersama-sama, baik struktur, kultur, maupun aparatur pemerintah harus diarahkan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi yang paling hakiki dari pemerintah, yakni pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment), dan pembangunan (development). Pelayanan membuahkan keadilan masyarakat, pemberdayaan mendorong kemandirian masyarakat, dan pembangunan bertujuan menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Seturut dengan cita-cita reformasi, paradigma pemerintahan masa kini dibangun dengan menempatkan masyarakat sebagai subjek pelayanan, pemberdayaan, dan pembangunan. Malahan sejak reformasi dikumadangkan tuntutan kepada pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik semakin kuat. Tuntutan ini seiring dengan semakin kompleksnya kebutuhan dan keiginan masyarakat yang lebih banyak dipicu oleh perubahan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan agama. Perubahan pada bidang-bidang ini secara signifikan membawa dampak terhadap aspek-aspek kehidupan lainnya. Semakin tingginya tingkat persaingan hidup, mobilitas sosial, dan kebutuhan terhadap kenyamanan merupakan faktor penting yang mendorong semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan publik. Dalam hal ini, dinamika masyarakat yang semakin modern meminta respons pemerintah secara positif melalui peningkatan pelayanan publik yang inheren dengan tujuan reformasi birokrasi itu sendiri. Dengan demikian, pemerintah bukan hanya menjadi agen yang mengantarkan masyarakat pada kondisi kemajuan dan kemapanan, melainkan juga menjadi agen bagi terciptanya keadilan bagi seluruh warga negara.
Dalam kerangka modernitas, manusia modern ditandai dengan munculnya masyarakat berorganisasi (organizational society) dan masyarakat birokrasi (bureaucratic society). Kemunculan masyarakat berorganisasi dan birokrasi seiring dengan peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak-hak asasinya, hak-hak demokrasinya, dan kebebasan individu. Peran pemerintah sebagai agen perubahan (the agent of change) sesungguhnya telah turut serta membangun terbentuknya masyarakat seperti ini sehingga mau tidak mau, modernisasi selalu berhubungan dengan kinerja pemerintah itu sendiri. Dengan mengacu pemikiran Sutopo dan Suryanto (2006:3), hubungan antara masyarakat modern dan pemerintah secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut.
(a)     Manusia modern yang semakin cerdas menuntut lebih banyak dari pemerintahnya. Oleh karena itu, juga pemerintah harus berbuat lebih banyak bagi warganya.
(b)     Tingkat pendidikan yang semakin tinggi mengakibatkan masyarakat semakin sadar akan hak dan kewajibannya. Oleh karena itu, semakin pintar pula dalam menuntut hak-haknya, meskipun terkadang tidak diimbangi dengan meningkatnya kesadaran terhadap kewajibannya kepada bangsa, negara, dan pemerintah.
(c)      Kebudayaan yang dicapai semakin lama semakin tinggi. Dalam arti bahwa kesadaran masyarakat terhadap norma-norma kemanusiaan, nilai-nilai sosial, harkat, dan martabatnya juga semakin tinggi. Ini memberikan tuntutan agar kepribadian dan hak-hak hidupnya dihargai, bukan saja oleh orang lain, tetapi juga oleh pemerintah.
Perkembangan di atas sekaligus menunjukkan terjadinya pergeseran konsepsi negara pada abad XX ini. Ide negara kepolisian (police state) telah bergeser menjadi negara kesejahteraan (welfare state). Konsepsi ini menempatkan pemerintah tidak lagi hanya sebagai pengatur negara, tetapi secara aktif dan kreatif berusaha mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan warganya dalam berbagai aspek kehidupan. Konsekuensinya bahwa negara harus mengemban empat fungsi pokok, yaitu protectional function (fungsi perlindungan), welfare function (fungsi kesejahteraan), educational function (fungsi pendidikan), dan peacefulness function (fungsi kedamaian) (Varma, 2001).
Penjelasan teoretis tentang kemutlakan tanggung jawab dan fungsi pemerintah dalam mewujudkan negara kesejahteraan tersebut juga dapat dilihat dari teori Adam Smith tentang tugas pokok pemerintah. Menurut Smith (Rahayu, 1997:2–5) bahwa tugas pokok pemerintah meliputi, (a) melindungi masyarakat dari ancaman dan kejahatan (military force), (b) melindungi masyarakat dari ketidakadilan (injustice) dan penindasan (oppression); serta (c) pembangunan dan pemeliharaan lembaga dan aktivitas pemerintah. Sederhananya, peran dan fungsi pemerintahan modern adalah melakukan perbaikan keluar, yaitu mengupayakan terciptanya kesejahteraan masyarakat dan perbaikan ke dalam melalui peningkatan kualitas struktur, kultur, dan aparatur birokrasi. Dengan demikian, kewajiban utama dari pemerintah adalah mewujudkan konsep ideal tentang negara kesejahteraan.  
Secara ideal, sesungguhnya Indonesia telah mencita-citakan terwujudnya negara kesejahteraan (welfare state). Cita-cita ini telah diungkap dalam konstitusi dan garis-garis besar pembangunan Indonesia yang sudah diarahkan pada tercapainya cita-cita tersebut. Pertama, sila kelima dari Pancasila adalah Keadilan Sosial Bagi Seluruh Bangsa Indonesia. Ini berarti bahwa tujuan negara adalah mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin yang merata bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kedua, dalam Pembukaan UUD 1945 (alinea IV) dikatakan bahwa tujuan pembentukan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Ketiga, dalam Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945 dinyatakan bahwa (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan mengenai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Keempat, dalam GBHN sebagai acuan dalam pembangunan negara ditegaskan bahwa tujuan pembangunan nasional adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 (Aruan, 2004).
Konsep tentang negara kesejahteraan (welfare state), baik sebagai paradigma baru maupun cita-cita luhur dan tujuan pembangunan nasional di Indonesia tampaknya sejalan dengan pandangan politik Hindu. Pandangan Hindu tentang politik terutama tertuang dalam kitab Arthasastra, juga dalam teks-teks lainnya, seperti Canakya Nitisastra, Ramayana, Mahabharata (bagian Santi Parwa), Kakawin Nitisastra, dan Rajaniti. Misalnya, dalam Santi Parwa LXIII, menguraikan peranan politik bagi kehidupan manusia sebagai berikut.
"Manakala politik telah sirna, Weda pun sirna pula, semua aturan hidup hilang musnah, semua kewajiban manusia terabaikan. Pada politiklah semua berlindung. Pada politiklah semua awal tindakan diwujudkan, pada politiklah semua pengetahuan dipersatukan, pada politiklah semua dunia terpusatkan".                                            

"Ketika tujuan hidup manusia - dharma, artha, kama, dan moksa semakin jauh. Begitu juga pembagian masyarakat semakin kacau, maka pada politiklah semua berlindung, pada politiklah semua kegiatan agama/yajna diikatkan, pada politiklah semua pengetahuan dipersatukan, dan pada politiklah dunia terpusatkan".

Santi Parwa hendak mengingatkan pemerintah sebagai penentu dan pelaksana kebijakan politik harus menggunakan kekuatan politiknya untuk mengarahkan manusia pada pencapaian tujuan hidupnya, yaitu dharma, artha, kama, dan moksa. Dalam konteks ini, negara atau pemerintah berperan penting dalam mengusahakan dan memelihara kemakmuran rakyat. Seturut dengan hal ini, bahkan Arthasastra mengajarkan usaha-usaha untuk mendapatkan keseimbangan antara kemakmuran rakyat dan kekayaan negara. Arthasastra mengajukan dua syarat utama, yaitu penegakan hukum dan ketertiban, serta kinerja administratif yang memadai (Radendra S., 2005: 3-4). Dengan demikian, tugas pemerintah dalam menciptakan rasa aman, nyaman, dan keadilan kepada masyarakat sejalan dengan makna kesejahteraan itu sendiri. Oleh karena itu, sudah seharusnya hal ini dijadikan sasaran dan tujuan pemerintah dalam memberi pelayanan terbaik kepada masyarakat. Senada dengan hal ini, juga Kakawin Ramayana, Bab III, sloka 84 memberi pesan berikut.
Nahan de sang natha kemita, irikang bhumi subhaga,
Pararthasih yagong sakalara, nikang rat wi nulatan,
Tuminghal yatna asing sawuwusikanang sasana tinut,
Tepet masih tar weruh kutima, milaging bancana dumeh.
Artinya :
Demikianlah kewajiban seorang raja untuk melindungi dunia demi untuk kemakmuran dan kebahagian rakyat. Seorang raja harus selalu mengutamakan kepentingan-kepentingan rakyatnya dan segala penderitaan rakyat juga harus dipikirkan. Semua ajaran dalam kitab-kitab suci harus diikuti sengan seksama. Dengan demikian, rakyat akan tetap mencintai raja dengan teguh, tidak mengenal kecurangan, serta menjauhi penipuan, itulah pahalanya.

Nasehat Rama kepada Bharata tersebut lebih menekankan pada keteladanan pemimpin yang bijaksana yang selalu berpegang pada dharma. Menghindari kesenangan nafsu duniawi dan sebaliknya, justru selalu memikirkan atau melenyapkan penderitaan rakyat atau orang-orang yang dipimpinnya. Bila dikaitkan antara kepemimpinan dan pelayanan bahwa kedudukan seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya adalah sebagai pelayan. Pelayan dalam hal ini adalah pelayan masyarakat, pelayan negara, dan pelayan dalam arti luas dalam suatu organisasi yang dipimpinnya. Pemimpin yang mumpuni dan memiliki jiwa kenegarawanan merupakan syarat mutlak terwujudnya kesejahteraan rakyat dan berlaku sebaliknya bahwa pemimpin yang gagal mengemban amanah rakyat akan membawa penderitaan bagi rakyatnya. Konsekuensi logis dari semua ini bahwa seluruh proses politik dan ketatanegaraan haruslah diarahkan pada terciptanya sosok pemimpin yang baik.
Pemerintah adalah pemimpin yang selalu melayani rakyatnya. Hal ini sejalan dengan paradigma reformasi birokrasi bahwa seorang birokrat bukanlah seorang raja yang wajib dilayani sebaliknya, ia adalah pelayan masyarakat. Dengan pergeseran paradigma ini, pemerintah dituntut untuk selalu meningkatkan kualitas pelayanan publik dalam wujud pelayanan prima. Dalam Surat Keputusan MENPAN Nomor 81 Tahun 1993 disebutkan bahwa pelayanan prima merupakan terjemahan dari istilah “Excellent Service” yang secara harfiah berarti pelayanan yang sangat baik dan/atau pelayanan yang terbaik karena sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku atau dimiliki oleh instansi yang memberikan pelayanan.
Untuk mengetahui tingkat pelayanan publik lebih lanjut, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Pedayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/23/25/M.PAN/05/2006 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik Menterti Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. Dalam peraturann ini dijelaskan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak sipil setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa, dan/atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Kemudian, dijelaskan bahwa standar pelayanan adalah suatu tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai komitmen atau janji dari penyelenggara pelayanan kepada masyarakat untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Artinya, apratur negara dan penyelenggara negara lainnya adalah pelayan masyarakat.
Menjadi pelayan yang baik memerlukan perpaduan yang sempurna antara kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Ketiga kecerdasan ini menginternal dalam diri untuk membangun pribadi yang cerdas, santun, dan berwibawa sehingga mampu memberikan pelayanan yang cermat dan akurat, sekaligus menyenangkan. Mengingat dalam pelayanan yang baik, kepuasan konsumen adalah tujuannya. Terkait dengan hal tersebut, agama merupakan sumber nilai yang pertama dan utama dalam rangka membangun spirit pelayanan khususnya bagi aparatur pemerintah. Hal ini dapat dipahami karena agama berperan dalam memberikan pengaruhnya terhadap individu, baik dalam bentuk sistem nilai, motivasi maupun pedoman hidup, juga sebagai pembentuk kata hati (Ishomuddin, 2002:36).
Agama memiliki pengaruh sebagai motivasi yang mendorong individu untuk melakukan suatu aktivitas karena perbuatan yang dilatarbelakangi oleh keyakinan agama dinilai mempunyai unsur kesucian dan ketaatan. Dalam hal ini, agama dapat berperan sebagai motivator dan inspirator tindakan seseorang. Sementara itu, agama sebagai nilai etik membimbing manusia untuk bertindak sesuai dengan norma-norma sehingga dapat memilah dan memilih mana yang boleh dilakukan dan mana yang harus dihindari menurut ajaran agamanya. Dengan kata lain, agama menjadi etos kerja bagi masyarakat pemeluknya. Begitu juga agama memberikan harapan kepada pemeluknya. Orang akan melaksanakan ajaran agamanya dengan baik karena didorong oleh harapan tentang pengampunan atau kasih sayang dari Tuhan. Ajaran-ajaran agama yang berisikan tentang kebahagiaan akhirat di samping kebahagian dunia menjadi kekuatan tersendiri bagi manusia dalam menghadapi dinamika kehidupan di dunia-kehidupan yang tidak selamanya sesuai dengan harapan. Ketika pendekatan rasional telah mengalami jalan buntu mengatasi berbagai tantangan dan hambatan, maka agama hadir menawarkan harapan (Notingham, 2003).
Begitu juga agama Hindu, selain mengajarkan cara-cara mengenal kehendak Tuhan untuk manusia dan dunia, juga begitu banyak mengajarkan cara-cara menjalankan kehidupan di duia reletif ini. Malahan Hindu, baik sebagai agama mupun jalan hidup (way of life), juga mengajarkan prinsip pelayanan (Sewaka Dharma). Sewaka Dharma sebagai basis kehidupan manusia mengajarkan pelayanan kepada Tuhan, leluhur, guru, sesama, dan alam lingkungannya. Malahan Swami Ramakrishna Paramahamsa menegaskan bahwa pelayanan kepada sesama manusia sama nilainya dengan pelayanan kepada Tuhan “Manawa Sewa Madhawa Sewa” (Rajeev, 1990:28-29). Pandangan ini menegaskan pelayanan adalah hakikat kemanusiaan yang dicerahi oleh nilai-nilai ketuhanan. Sewaka Dharma merupakan prinsip pengarah (guiding principle) bagi manusia untuk memberikan pelayanan yang terbaik dalam kehidupannya.
Sewaka Dharma pada dasarnya merupakan prinsip universal yang dapat diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam konteks birokrasi modern, Sewaka Dharma mendapatkan arti dan maknanya yang paling penting dalam upaya mewujudkan pelayanan prima kepada masyarakat. Dalam hal ini, Sewaka Dharma menjadi spirit yang melandasi seluruh bentuk pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat demi terwujudnya tujuan dari penyelenggaraan pemerintahan, yaitu terciptanya masyarakat yang adil, makmur, sejahtera lahir dan batin.
Relevansi Sewaka Dharma menjadi spirit yang melandasi seluruh bentuk pelayanan kepada masyarakat memerlukan landasan konseptual yang jelas. Keperluan ini merupakan alasan kuat untuk menempatkan Pengertian Sewaka Dharma dalam bentuk “manava seva madhava seva” menjadi bahasan pertama. Landasan konseptual ini diharapkan dapat memperkuat komitmen dan kewajiban pemerintah kepada masyarakat terutama dalam melayani dan mengatur masyarakat. Bagian kedua ini meliputi dua kewajiban pokok, yaitu tugas pelayanan dengan lebih banyak mengutamakan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, mempersingkat waktu proses urusan publik, dan memberikan kepuasan kepada publik. Kemudian, tugas mengatur lebih menekankan kekuasaan yang melekat pada posisi jabatan birokrasi.
Untuk itu diperlukan dukungan dari spirit lain, yaitu Pelayanan Asrtabrata. Konsep ini menjadi bahasan ketiga, yang ditujukan untuk memperluas dan meningkatkan kualitas pelayanan. Pelayanan Asta Brata menuntut karaktersitik pelayan yang memiliki sifat-sifat dewata, yaitu Hyang Indra, Yama, Suryam Candra, Bayu, Kuwera, Baruna, dan Agni. Dewa-dewa itulah yang menjadi anggota badan sang pelayan. Karakteristik pelayan inilah yang mampu menjadikan dirinya sebagai tenaga pendorong melindungi kehidupan rakyat, selalu ingat dan menjunjung tinggi sumpah janji seorang ksatria, dan menjadikan ajaran suci sebagai pegangan dalam berpikir dan bertindak.
Dengan begitu, pemerintah sungguh-sungguh menjadi Sang Sewaka Dharma, pengabdi dharma sejati. Menjadi Sang Sewaka Dharma inilah bahasan keempat, yaitu perpaduan sempurna antara prinsip hidup, kompetensi, dan perilaku pelayanan. Dapat dipercaya bahwa sebagian potensi pelayanan ini merupakan faktor bawaan, hereditas, daya potensial (karma wasana). Akan tetapi, sebagian besar lainnya dibangun oleh lingkungan, baik alam, sosial, maupun budaya melalui proses pembelajaran (sewaka guna widya). Malahan Hindu mengajarkan proses pembelajaran seumur hidup yang berlangsung sepanjang hayat dikandung badan untuk mengantarkan manusia kepada kedewasaan dan kematangan. Hanya manusia dewasa dan matanglah yang bisa menjadikan dirinya Sang Sewaka Dharma.
Pengendalian diri merupakan ciri penting dari Sang Sewaka Dharma. Ciri inilah dibahas pada bagian kelima, yaitu pentingnya pengendalian diri dalam benteng etika karena secara eksistensial manusia adalah makhluk bebas. Manusia memiliki kehendak bebas dan kebebasan untuk membangun eksistensinya sendiri, baik individu maupun sosial. Hakikat manusia adalah kebebasan sehingga secara moral mereka memiliki kewajiban moral. Dalam hal ini, mereka mesti-harus tunduk pada kemanusiaannya demi kemuliaan untuk semua. Mewujudkan kemuliaan inilah tanggung jawab Sang Sewaka Dharma seturut dengan kebebasan manusia yang diapresiasi lewat rumusan tri hita karana. Secara antroposentris memang manusia sentral dari segalanya, tetapi manusia sendiri yang menentukan hubungannya dengan alam dan Tuhan. Dalam hal ini, melayani alam dan sesama tiada lain adalah melayani Tuhan.
Pelayanan seperti itu menjadi wacana penutup dari seluruh rangkaian pembahasan tentang Sewaka Dharma. Bagian keenam yang terakhir ini menegaskan bahwa melayani adalah wujud perhatian, perhatian adalah hakikat kehidupan, dan hakikat kehidupan adalah sewaka dharma. Spiral semacam ini menunjukkan betapa penting dan mendesaknya Sewaka Dharma – hakikat pelayanan Hindu – dipraktikkan dalam pemerintahan, yakni dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Dalam pemerintahan birokrasi, bahkan pelayanan merupakan tugas dan fungsi utama pemerintah untuk mewujudkan keadilan. 


BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...