KEMATIAN KELUARGA:
I Wayan Sukarma[1]
Abstrak
Keluarga merupakan fondasi konstruksi sosial
sebuah bangsa (manusia), tetapi keluarga sering diabaikan dalam proses
perencanaan dan panataan sosial. Demikian juga moralitas merupakan satu dimensi
khas manusia yang menjadi sumber jaminan sosial sering dikalahkan oleh dimensi
rasionalitas. Di antara tarik-menarik dimensi moralitas dan rasionalitas ini
generasi muda Hindu terlunta-lunta dalam kegamangan dan kebingungan nilai. Untuk
mengatasi kegamangan dan kebingungan nilai ini dapat dimulai dari membangun
keluarga ideal bagi generasi muda. Keluarga ideal yang ditawarkan adalah
pembangunan dan penataan keluarga Hindu berdasarkan dharma. Dharma yang
dimengerti sebagai seluruh tugas manusia berdasarkan catur purusha artha (empat tujuan kehidupan), catur varna (empat kelompok lapisan sosial), dan catur asrama (empat tingkatan
kehidupan).
Kata Kunci: Kematian Keluarga dan Krisis
Moral.
Krisis Masa Kini
Sekarang sedang terjadi pengenduran
tradisi, norma-norma, dan hukum, serta tatanan kehidupan yang telah mapan pada
taraf yang mencengangkan. Ini akibat dari proses modernisasi, industrialisasi,
dan pertumbuhan ekonomi yang mendorong manusia mengalami perkembangan
menakjubkan dalam bidang material, tetapi secara bersamaan mengalami
perkembangan terbatas dalam bidang moral. Malahan Radhakrishnan (2003:1--2)
mengingatkan bahwa:
“kita sekarang hidup dalam sebuah dunia, di mana
tragedi bersifat universal tengah berlangsung. Ide-ide yang pada masa lalu
dipandang sebagai hal yang tidak terpisahkan dari kepatutan dan keadilan
sosial, yang mampu mengarahkan dan mendisiplinkan tingkah laku selama
berabad-abad sekarang mulai sirna. Dunia dikoyak oleh kesalahpahaman, kebencian,
dan perselisihan. Atmosfer kehidupan dipenuhi dengan suasana kecurigaan,
ketidakpastian, dan ketakutan mencekam terhadap masa depan. Kita hidup dalam
suatu periode ketegangan yang penuh derita, kecemasan luar biasa, dan berbagai
kekecewaan. Dunia sekarang berada dalam suatu kondisi kesurupan”.
Dunia kesurupan – mungkin “zaman edan”
menurut Ranggawarsita atau seperti “anything
goes” yang diteriakkan Paul Feyerabend dalam dunia ilmu pengetahuan – yang
digambarkan oleh Radhakrishnan tersebut bukan dunia yang berdiri sendiri nun
jauh di sana yang lepas dari ikatan moral. Akan tetapi dunia manusia tempat
membangun interaksi untuk saling memahami setiap kehadiran, yaitu keluarga
manusia. Dunia tempat mengenal hak anggota keluarga untuk hidup dan berkembang
dalam makna persahatan manusiawi. Dunia yang mewadahi aktivitas manusia menuju
perkembangan kondisi sosial yang mengantarkannya pada kehidupan material,
moral, dan intelektual sesuai dengan keutamaan dan kemuliaan. Dunia yang
memungkinkan pencapaian kesempurnaan dan kemurnian manusiawi. Akan tetapi
kenyataan bebicara lain, dorongan buta ke arah kehancuran tampaknya merasuki
manusia. Keserakahan pada sumber daya alam, begitu banyak didemontrasikan
melalui rendahnya pengendalian nafsu-selera. Malahan upaya saling mendominasi
antara sesama manusia semakin tidak terkendali. Akibatnya, kehancuran sosial
justru disebabkan oleh mereka yang berpengetahuan tanpa kesadaran, bahkan oleh
mereka yang berpengetahuan agama tanpa kesadaran agama (Sukarma, dalam Mantik,
dkk.(ed), 2009). Ini sebuah refleksi “kesedihan moral” yang bersumber dari
semakin sirnanya fungsi dan peranan keluarga dalam penataan kehidupan sosial.
Kata “keluarga Hindu” misalnya, bukan
hanya sekadar menunjuk pada suatu unit interaksi, melainkan sebuah sistem
tempat keseluruhan tatanan sosial dimulai. Keluarga Hindu menjadi sumber
penataan sosial yang sangat luas, bahkan melebihi batas-batas keluarga itu
sendiri. Keluarga dalam kebudayaan tradisional, seperti ditunjukkan oleh
komunitas banjar dan desa pakraman dimulai dari sebuah
perkawinan. Upacara perkawinan (pawiwahan)
merupakan instrumen pengesahan keluarga baru dan sekaligus mengesahkan
kehadirannya menjadi krama banjar
dan/atau krama desa pakraman. Dalam komunitas dengan budaya tradisional ini indikator
stratifikasi sosial dalam menentukan pemimpin ditentukan berdasarkan, antara
lain ketuaan, kewangsaan, formal, dan kepemilikan (Triguna, 2004). Indikator ketuaan dan kewangsaan pada beberapa desa tradisional masih memiliki kedudukan
dan peranan yang menentukan. Kedudukan mereka memang tidak formal, tetapi nyata
diakui dan didudukkan sebagai kendali sosial. Sebaliknya, pemimpin formal dan
pimpinan atas dasar kepemilikan terbentuk kemudian.
Apabila pemimpin formal merupakan
kepanjangan tangan pemerintah maka munculnya pemimpin berdasarkan atas
kepemilikan lebih merupakan fenomena new
comers. Ini sebagai konskuensi dari ‘keberhasilan’ interaksi warga banjar dengan dunia luar. Pada akhirnya, semua itu membentuk pola
dan cara bertindak yang dianggap baik dalam suatu keluarga orang Bali Dengannya
keluarga menjadi tempat tradisi Hindu berlangsung, seperti pemujaan kepada
leluhur (sanggah/ merajan, bahkan dadia). Keluarga menjadi tempat
berseminya tradisi keagamaan Hindu yang memberi pengalaman belajar berkaitan
dengan upaya penanaman nilai moral dan kemanusiaan. Keluarga merupakan benteng
moral yang kuat, tempat nilai-nilai dipelihara dan tindakan sosial dirancang
bersama. Walaupun demikian, keluarga Hindu, seperti juga banyak keluarga
lainnya tidak lagi menjadi tanda dari adanya sebuah kebudayaan, tetapi telah
menjadi wakil dari sebuah dunia yang terdapat di luarnya. Keluarga kehilangan
kepercayaan dari anggotanya, karena itu bukanlah ungkapan kosong ketika
Abdullah (2006:153) mengatakan bahwa ”keluarga sedang mengalami kematian”.
Ketika keluarga tidak lagi menjadi tempat
harmoni dan jaminan sosial, sebagaimana fungsi yang telah dijalankannya
berabad-abad maka dapat diduga bahwa rumah bukan lagi menjadi tempat yang aman
dan nyaman bagi generasi muda. Rumah bukan lagi merupakan pernaungan dan
perlindungan yang memadai, baik secara fisik maupun mental. Kondisi ini
mendorong mereka lari ke luar rumah untuk menemukan dirinya dalam lingkungan
sosial dan budaya yang lebih luas. Dalam kegundahannya, mereka merasa kehilangan
pedoman hidup dan merasa tidak diperhatikan, bahkan merasa tidak diterima dalam
lingkungan keluarga. Perasaan semacam ini mendorong mereka melakukan pencarian
bersendirian misalnya, dalam pergaulan teman sebaya (veer group) dan kelompok lainnya dengan kegiatan yang cenderung
memberikannya tantangan baru (Suhartin,1980; Goode, 2004). Kadang kala juga
mereka suntuk menjelajahi dan menggumuli ruang-ruang dunia virtual yang memang
menyajikan beragam informasi dalam berbagai saluran. Malahan di sini mereka
membangun dan menata “dunia baru” melalui keluasan imajinasinya. Kemudian,
dunia maya ini dipandangnya menjadi sebuah dunia nyata yang menyajikan sebuah
kebenaran yang layak “di-rumah-i”. Akibatnya, lahir budaya jalanan, yakni
budaya yang secara sistematis berada di luar budaya induk yang telah mapan,
baku, dan formal (Abdullah, 2006).
Budaya jalanan yang menurut Abdullah
(2006:194-195) lebih merupakan serangkaian simbol, yang memberikan identitas
dan kekuatan dalam adaptasi kultural dan struktural, yang dilakukan sekelompok
orang di suatu tempat. Norma yang dikembangkan kelompok ini menunjukkan
pemberlakuan prinsip-prinsip yang “menyimpang” dari norma-norma yang berlaku
secara general. Modifikasi kendaraan bermotor misalnya, merupakan fenomena
budaya jalanan yang didemontrasikan oleh generasi muda di kota-kota besar.
Ramainya kelompok pengendara kendaraan merek tertentu di jalan raya juga
merupakan gejala sejenis. Budaya semacam ini menampilkan diri sebagai tegangan
dari budaya induk dan minta diterima sebagai sebuah kebenaran, sebagaimana
halnya budaya induk yang telah mapan. Tegangan yang demikian tidak jarang
melahirkan ide-ide tentang kebaruan yang justru mampu menjadi inspirasi bagi
produk-produk berikutnya. Perhatikan model mutahir modifikasi kendaraan yang
segera diikuti pihak produsen karena hubungan antara produsen dan konsumen
memang tidak lebih dari sekadar nikmat dan kenikmatan. Walaupun begitu, tetap
saja “penyimpangan” seperti ini, bukan menjadi tujuan keluarga yang lebih
bertumpu pada kemapanan budaya induk.
Dalam konteks inilah perlu dipertanyakan
peran sekaa teruna, yang secara
genealogis ataupun antropologis merupakan sebuah keluarga yang mewadahi
aktivitas generasi muda Hindu dalam banjar
dan desa pakraman. Demikian juga
generasi muda Hindu dibesarkan dalam keluarga tradisional, yakni sebuah
keluarga yang tertata dalam terminologi krama
banjar dan krama desa pakraman. Kata “krama” memang sengaja digunakan untuk
menunjukkan bahwa keluarga merupakan sebuah komune. Kata “komune” merujuk pada
sebuah ikatan yang dilandasi oleh kemampuan “berbagi tanpa membagi”, bahkan
juga masyarakat dibentuk atas dasar kata ini. Apabila tidak demikian maka
masyarakat adalah penjumlahan individu dan tentu di dalamnya sarat dengan
perebutan sumber-sumber ekonomi dan kekuasaan (Sponville, 2006). Kemudian,
gugatan terhadap kata “krama” dalam
perkembangan dunia sekarang ini tentu dapat menjadi tanda semakin tergerusnya
pondasi moralitas keluarga Hindu. Gugatan inilah yang mendorong munculnya
pertanyaan berikut. Proses sosial manakah yang mendorong perubahan posisi dan
relasi keluarga hingga menemui kematiannya? Bagaimanakah proses revitalisasi
peranan keluarga dalam mengatasi krisis moral generasi muda Hindu?
Mungkin saja pertanyaan semacam ini masih
ada gunanya, tetapi bukanlah dimaksudkan sebagai ambisi untuk menjawab semua
persoalan moralitas yang sedang dihadapi generasi muda Hindu. Walaupun hanya
sebuah koreksi kecil, tetapi sekecil apapun partisipasinya dalam pembicaraan
moralitas, setidak-tidaknya tetap berharap, agar generasi muda Hindu tidak
terperosok ke dalam era kegelapan intelektual dan barbarisme etik. Dengan
demikian, pencapaian luhur generasi masa lalu tidak sia-sia, bahkan dengannya
generasi muda Hindu semakin mampu melihat himpitan beban fisik, derita jiwa,
dan kedukaan hati yang ditimbulkan oleh permainan moralitas dalam dunia
sosial.
Perubahan Posisi dan Relasi Keluarga
Kontradiksi kehidupan sosial tidak dapat
dihindari karena modernisasi dan industrialisasi telah menjadi kekuatan besar
yang memaksa terjadinya penyesuaian nilai-nilai dalam masyarakat. Modernisasi
di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia melalui proyek
pembangunanisasi yang lebih bertumpu pada pertumbuhan ekonomi telah memaksa
masyarakat melakukan penyesuaian hasrat, nafsu, dan selera dalam berbagai aspek
kehidupan. Akibatnya, perubahan tatanan nilai budaya dan norma sosial dalam
masyarakat tidak dapat dihindari. Nilai-nilai tradisional yang diwarisi secara
turun-temurun mulai dipertanyakan oleh nilai-nilai ekspresi diri. Tekanan
rasionalitas terhadap moralitas semakin menggejala yang mendorong masyarakat
lebih mementingkan norma nominal kehidupan daripada nilai kehidupan itu sendiri
(Abraham, 1991; Fakih, 2007). Artinya, masyarakat global dewasa ini tengah
menuju ke arah sebuah dunia dengan tingkat kompleksitas kehidupan yang semakin
tinggi, dan bersamanya membawa berbagai kontradiksi kehidupan, baik sosial dan
budaya maupun agama (Suhandji-Waspodo,
2004:44; Fakih, 2007:12; Snow, 2007:16).
Kondisi tersebut secara nyata telah
menunjukkan berpengaruhnya terhadap perubahan tatanan keluarga. Perubahan yang
terjadi secara meluas yang mengubah posisi dan relasi keluarga dalam dunia
sosial menurut Abdullah (2006:155) paling tidak, bisa dilihat pada tiga tahapan
berikut.
(1) Masuknya pasar ke dalam masyarakat petani
yang mulai mempengaruhi budaya agraris yang bukan hanya mempengaruhi proses
komodifikasi dari hasil-hasil pertanian, tetapi juga telah memperluas jaringan
sosial dan orientasi masyarakat ke luar desa. Di sini anggota keluarga mulai
terintegrasi ke dalam suatu sistem dunia dan sistem relasi di luar keluarga dan
teritori budaya.
(2) Integrasi pasar, yakni semakin kuatnya
pengaruh pasar sejalan dengan semakin terikatnya penduduk desa ke dalam suatu
tatanan yang lebih luas, seperti ke dalam ide-ide, nilai-nilai, dan
praktik-praktik yang bersifat nasional. Di sini definisi keluarga mulai diambil
alih oleh negara hingga munculnya konsep keluarga kecil dengan “dua anak cukup”.
(3) Ekspansi pasar, yakni suatu perubahan
pusat kekuasaan ke pasar dalam penataan sistem sosial yang bersifat global
dengan serangkaian nilai dan norma baru. Di sini daya beli dan kekuatan ekonomi
menjadi faktor dominan dalam identifikasi diri dan pengelompokan sosial, karena
itu kelas sosial telah membentuk karakter keluarga.
Dalam kondisi yang demikian, keluarga
tidak mampu lagi merumuskan identitasnya sendiri. Misalnya, anak bukan lagi
menjadi milik orang tuanya dalam sebuah keluarga karena media telah merebut
konsensus dan membentuk nilai-nilai yang mengarahkan tingkah lakunya. Perumusan
kebutuhan keluarga bukan lagi menjadi hak prerogatif kepala keluarga bersama
anggota keluarga lainnya karena sistem konsumsi telah diambil alih oleh
produsen, kapitalis. Akibatnya, keluarga kehilangan kemampuan untuk berdiri
sendiri, keluarga tidak lagi merumuskan kebutuhannya. Menurut Abdullah
(2006:160) keluarga telah menjadi wakil dari kepentingan politik dan pasar.
Pilihan-pilihan yang dilakukan di dalam rumah merupakan pilihan-pilihan yang
telah disediakan oleh pemerintah dan pasar. Pemerintah telah menyediakan
pilihan tentang jumlah anak, jarak kelahiran, bahkan termasuk alat kontrasepsi
yang digunakan. Pemerintah juga menyediakan jenis dan jenjang pendidikan, dari
yang “gratis” hingga yang “kemahalan”. Malahan strata pendidikan yang diraih
oleh seseorang telah menjadi simbol status dalam dunia sosial. Artinya,
keluarga benar-benar terasing dari nilai-nilai keluarga dan kekeluargaan
sehingga keluarga bukan lagi menjadi tempat “berbagi” dan “membagi” segala hal
bagi anggotanya.
Selain pemerintah, juga pasar telah
menghadirkan kebutuhan-kebutuhan simbolis yang mengarah pada pembentukan status
dan pendefinisan identitas keluarga. Di dalam rumah telah terjadi proses estetisasi
kebutuhan secara meluas, bahkan hingga tak terbatas karena pasar memang tidak
membatasi jaringannya. Keluarga telah
menjadi objek dari ekspansi pasar melalui iklan yang secara persuasif
menghegemoni kebutuhan keluarga dalam hubungan kekuasan simbolik. Pasar telah
menentukan pilihan-pilihan dengan mendikte nafsu-selera anggota keluarga,
seperti makanan, pakaian, dan aksesoris penampilan lainnya yang secara umum di
luar batas kebutuhan biologis, bahkan cenderung tidak fungsional. Ketika proses
konsumsi sedang berlangsung, pada prinsipnya telah terjadi perubahan nilai dan
aturan normatif keluarga secara berkala. Malahan status sebuah keluarga lebih
ditentukan oleh kepemilikan atas barang-barang hasil industri, bukan
berdasarkan harmoni dan jaminan sosial yang melekat padanya.
Perubahan nilai dan aturan normatif
tersebut telah membuat keluarga kehilangan otoritas dan juga lokasi keluarga
mulai bergeser ke luar batas-batas keluarga. Kepala keluarga yang semula
memiliki kekuasaan dalam mengatur sikap dan tindakan ideal yang harus
diperlihatkan anggota keluarga kemudian, harus tunduk pada otoritas dan
kekuasaan di luar keluarga. Pusat-pusat kekuasaan baru itu memberikan kekuatan
kepada anggota keluarga melakukan pembangkangan terhadap nilai-nilai dan aturan
keluarga yang telah mapan. Ini menunjukkan bahwa keluarga tidak hanya
berhadapan dengan negara, tetapi juga terlibat dalam jaringan yang lebih luas
dan kompleks dengan melibatkan pasar (Brinton, 1981; Abdullah, 2006; Dormer,
2008). Malahan Abdullah (2006:158) menegaskan bahwa relasi antara state, market, dan society
inilah yang menjadi basis ideologi bagi praktik-praktik sosial yang
mendefinisikan keluarga sebagai lokasi konsumsi. Keluarga bukan lagi sekadar
tempat berbagai program pemerintah dijalankan, tetapi beragam program pasar
yang melibatkan anggota keluarga dalam proses konsumsi massal. Pada gilirannya,
keluarga menjadi objek atas nilai-nilai yang dibentuk oleh pasar yang
memberikan kekuatan individual untuk menegosiasikan nilai-nilai dan keabsahan suatu
tindakan karena pasar memberikan pilihan baru. Misalnya, model berpakaian yang
ditawarkan pasar sangat potensial menggugat nilai kesopanan yang ditanamkan
dalam keluarga.
Ini berarti kemajuan industri dalam
berbagai mode produksi baru telah melahirkan diferensiasi nilai dan norma
sehingga komunalisme diragukan dalam penataan sosial. Nilai-nilai tidak lagi
dikonstruksikan dengan harmoni, tetapi dengan serangkaian negosiasi yang
melibatkan agen-agen yang berbeda. Proses semacam ini bisa berlangsung karena ikatan-ikatan
tradisional mulai runtuh. Kepemimpinan tradisional dan jaring-jaring otoritas
yang melemah kemudian, menyebabkan prinsip-prinsip kekuasaan dan kontrol diatur
oleh pertimbangan-pertimbangan rasional dalam kaitannya dengan mengambil
keputusan. Nilai-nilai mulai dinegosiasikan dalam keluarga secara lebih terbuka
sehingga nilai keluarga bukan lagi ditentukan oleh orang tua, ayah-ibu.
Kemudian, hubungan antargenerasi terjadi dalam bentuk dialektis yang menjadi
dasar bagi pembentukan karakter keluarga. Kekuasaan mulai terpecah dan otoritas
orang tua dalam proses pengambilan keputusan mulai terbatas (Perquin, 1981;
Giddens, 2005; Abdullah, 2006).
Lemahnya otoritas orang tua dan hilangnya
fungsi tradisional keluarga sejalan dengan semakin tingginya mobilitas
pekerjaan dan intensipnya penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
Komunikasi antaranggota keluarga tidak lagi dilakukan dalam suasana komune
sehingga relasi keluarga kering dari rasa-manusia karena keduanya berlangsung
lewat handpone dan tergesa-gesa.
Model komunikasi seperti ini mempengaruhi cara kerja dan nilai-nilai yang
melekat sangat mempengaruhi ritme kehidupan dan pembentukan norma. Akhirnya
secara perlahan, namun pasti terjadi proses dehumanisasi, manusia semakin
terasing dari rasa-diri manusia, sebuah kondisi yang telah menjadi suatu mode
pembicaraan tentang dampak teknologi yang melahirkan keterasingan (Schoorl,
1991; Goode, 2004; Abdullah, 2006). Akibatnya, anak sebagai satu generasi
keluarga semakin jauh dari ikatan keluarga dan menemukan dirinya terasing di
tengah-tengah dunia moral yang tak bertuan. Dunia moral seperti ini mendorong
mereka semakin larut dalam arus moral yang tanpa warna sehingga mereka
mewarnainya sendiri. Dari sinilah krisis
moral negerasi muda dimulai yang berujung pada semakin lunturnya otoritas moral
orang tua.
Selain karena tekanan politik dan
intervensi pasar, juga hilangnya kekuatan keluarga disebabkan oleh semakin
tingginya tingkat mobilitas anggota keluarga. Mobilitas ini tidak jarang
disebabkan oleh tuntutan dunia pekerjaan karena spesifikasi kehidupan yang
melahirkan beragam profesi telah mendorong anggota keluarga melakukan
pilihan-pilihan pekerjaan yang cenderung berada di luar lingkungan keluarga.
Ketika anggota keluarga mulai terlibat di luar lingkungan keluarga, baik
permanen maupun temporer menurut Abdullah (2006:161) unsur-unsur yang menjadi
penyusun dan pengikat keluarga tidak mudah dilestarikan.
Kepentingan-kepentingan keluarga telah dikalahkan oleh kepentingan pekerjaan di
luar rumah, bahkan intensitas pekerjaan menarik anggota keluarga untuk tinggal
di luar rumah.
Dalam situasi ketika keluarga
terkontaminasi oleh dunia luar, seperti dunia politik dan pasar termasuk
pekerjaan yang memaksakan kepatuhan-kepatuhan atas nilai telah menyebabkan keluarga
sebagai intitusi semakin melemah. Keluarga tidak dapat lagi melaksanakan
azas-azas kepatutan dan keadilan sosial serta tidak dapat mempertahankan
nilai-nilai generik keluarga. Keluarga tidak dapat dijadikan tempat yang nyaman
untuk memecahkan setiap gejolak yang dialami anggotanya dan bukan lagi menjadi
tempat melegakan untuk membenamkan segala kegelisahan dan kegalauan sosial.
Pada gilirannya bisa diterima bahwa keluarga bukan lagi simbol kenyamanan dan
ketenteraman, seperti dipahami generasi masa lalu dalam lingkungan kebudayaan
tradisional. Perubahan posisi dan relasi keluarga, dalam hal ini keluarga Hindu
lebih disebabkan oleh tekanan politik, intervensi pasar, dan tuntutan profesi.
Kondisi keluarga yang demikian, tentu bukan tempat yang subur bagi perkembangan
moral generasi muda Hindu.
Dharma: Reformasi Keluarga dan Perkembangan Moral
Ketika keluarga
kehilangan emosional dan cita rasa kemanusiaan maka otonomi manusia memang
patut dikembalikan kepada harkat dan martabatnya (Brower, 1976; Poedjawijatna,
1996). Otonomi manusia tercapai dalam kebebasan untuk mengakui norma-norma yang
diyakini sendiri sebagai kewajibannya. Kebebasan mengakui norma-norma inilah
dimensi moralitas manusia. Mungkin dapat dikatakan, bukan saja moralitas
merupakan suatu dimensi nyata dalam hidup setiap manusia, baik pada tahapan
perorangan maupun pada tahapan sosial, namun juga harus dikatakan bahwa
moralitas hanya terdapat pada manusia. Moralitas merupakan suatu ciri khas
manusia yang tidak dapat ditemukan pada makhluk di bawah tingkat manusiawi.
Pada binatang misalnya, tidak ada kesadaran tentang baik dan buruk, tentang
yang boleh dan dilarang atau tentang yang harus dilakukan dan tidak pantas
dilakukan (Poedjawijatna, 1996:67; Bertens, 2002:6). Artinya, ketika anggota keluarga
menerima norma-norma keluarga sebagai kewajiban maka keluarga tersebut telah
menjadi keluarga ideal. Jadi, keluarga ideal adalah tempat anggota keluarga
menjalankan kewajiban moralnya, kesadaran tentang yang harus dilakukan dan yang
pantas dilakukan atas nama, dari, dan untuk keluarga. Interaksi antarkesadaran
inilah yang dimaksudkan dengan keluarga ideal, tempat berseminya moralitas
generasi muda.
Perlu ditegaskan
bahwa pembicaraan ini tidak dimaksudkan sebagai upaya untuk mengembalikan
peranan keluarga seperti pada masa lalu karena keluarga mungkin sudah
digantikan oleh institusi-institusi lain. Akan tetapi revitalisasi peranan
keluarga, yakni menghidupkan kembali peranan keluarga yang pernah suskses
dimainkan pada masa lalu. Walaupun begitu, mungkin bisa diterima bahwa fungsi
keluarga masih substansial dan potensi yang dimilikinya dapat menjadi dasar
yang cukup kuat untuk merancang sebuah model keluarga ideal. Model sebuah
keluarga yang menjadi sumber moralitas dan mengalirkannya ke tengah-tengah samudera
kehidupan sosial. Dengannya keluarga dapat memberikan kehidupan yang lebih
baik, bukan hanya bagi keluarga itu sendiri, tetapi juga bagi komunitas dan
masyarakat tempat keluarga itu menjadi bagian integralnya. Rupanya masih
penting dan relevan diketengahkan pesan dalam berlalu lintas, “sopan di rumah
dan tertib di jalan raya” karena pesan ini berisi himbauan moral bagi
keselamatan semua pengendara. Di jalan raya misalnya, pengendara berubah
menjadi “setan” jalanan, berebut kesempatan menyalip tanpa aturan, bahkan dapat
mencelakakan pengendara lainnya. Jalan raya telah menyediakan tempat, di mana
pengendara kendaraan memiliki kesempatan menunjukkan kemanusiaannya dan
kesetanannya yang selama ini tersembunyi. Ini berarti masih penting dan relevan
memelihara sopan-santun dalam keluarga untuk mewujudkan generasi muda Hindu
bermoral.
Keluarga memang
bukan institusi yang statis tanpa mengalami perubahan, tetapi senantiasa
mengalami dinamika dalam proses adaptasinya. Oleh karena itu bukan tindakan
bijaksana, bila memikirkan untuk mengembalikan peranan keluarga ke dalam
bentuknya semula. Pembicaraan ini memang tidak sedang mengimpikan dan mengigau
untuk merindukan sebuah harmoni, seperti yang didemontrasikan oleh keluarga
pada masa lalu. Akan tetapi menggunakan pencapaian luhur generasi masa lalu
bagi penataan keluarga pada masa kini sehingga melalui jejak-jejak sejarah
kecerahan masa depan dapat diidolakan. Dalam konteks ini Abdullah (2006:164)
menegaskan bahwa yang diperlukan sekarang ini adalah upaya memformat ulang
keluarga dan memfungsikannya sesuai dengan zaman dan aktor-aktor yang terlibat
di dalamnya. Pikiran memformat ulang institusi keluarga ini, tiada lain adalah
upaya membangun interaksi kesadaran anggota keluarga inheren dalam perkembangan
zaman. Mengingat kesadaran manusia sendiri ditentukan oleh pengetahuannya
tentang zaman itu sendiri. Ini berarti harmoni keluarga, bukanlah kondisi yang
baku dan kaku, melainkan senantiasa dinegosiasikan bagi kemuliaan setiap
generasi.
Kemuliaan moralitas generasi muda Hindu
memang seharusnya berakar dalam keluarga yang sistem nilainya sungguh-sungguh
dibangun berdasarkan prinsip Dharma. Dharma yang menurut Radhakrishnan (2003)
sebagai seluruh tugas manusia berdasarkan catur
purusha artha (empat tujuan kehidupan), catur
varna (empat kelompok lapisan sosial), dan catur asrama (empat tingkatan kehidupan). Dharma sebagai realisasi kehormatan manusiawi, kehidupan sosial
tempat generasi muda mengenal hak anggota masyarakat untuk hidup, bekerja, dan
berkembang. Tempat generasi muda Hindu mencapai suasana kesempurnaan dan
kemurnian kehidupan yang mengantarkannya kepada kelimpahan material, moral, dan
intelektual sesuai dengan kebaikan semua orang. Dharma yang dalam Perda Provinsi Bali Nomor 03 tahun 2001 tentang
Desa Pakraman menjadi landasan bagi tatanan sosial orang Bali yang diatur
berdasarkan prinsip harmoni Tri Hita
Karana. Prinsip yang menuntut generasi muda Hindu senantiasa menjaga
keselarasan antara dirinya dengan Tuhan, sesama, dan alam. Dengan landasan
moral Hindu Dharma mereka bekerja dalam spirit persembahan, karena itu kerja
adalah yadnya. Di sini tidak tersedia
kesempatan untuk menggeser batas-batas keluarga keluar dari dimensi keluarga
itu sendiri. Di dalamnya generasi muda merasa betah berbagi hati dan keprihatinan
sosial untuk merancang tindakan sosial demi kebaikan bersama.
Kini saatnya harus diterima bahwa keluarga
Hindu yang ideal memang merupakan akar moralitas generasi muda. Dengannya banjar dan desa pakraman menjadi lingkungan etis yang menggembirakan,
menyediakan tempat di mana generasi muda memperoleh pengetahuan dan kesadaran
moralitas. Kesadaran yang menuntun pengertian dan pemahaman generasi muda bahwa
keluarga, banjar, dan desa pakraman
pada prinsipnya merupakan tradisi dan lembaga sebuah masyarakat tempat
kewajiban moral berakar. Lembaga semacam ini memang perlu dirumuskan ulang
dalam sebuah tatanan sosial yang dinamis karena lembaga dan tradisi yang
memberikan pendidikan moral janganlah sampai tertinggal di belakang kesadaran
masyarakat. Dengannya pencapaian luhur generasi masa lalu tetap menjadi teladan
generasi masa kini dan kemudian, dengan teladan ini generasi masa kini
(generasi muda) belajar membaca ketenteraman masa depan. Inilah format keluarga
ideal, benteng moral yang kuat, akar moralitas generasi muda Hindu.
Penutup: Undangan Moral Buat Generasi Muda Hindu
Sampai di sini sudah jelas bahwa proses
sosial yang mendorong posisi dan relasi keluarga, antara lain kebijakan pemerintah
negara dan sistem pasar. Proses ini merupakan proyek modernisasi yang memang
sedang berlangsung di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia.
Implikasinya adalah spesialisasi dan spesifikasi kehidupan dalam berbagai
dimensi yang kemudian, melahirkan beragam profesi. Profesi yang mendorong
anggota keluarga ke luar rumah, bahkan tinggal di luar rumah ternyata
menimbulkan disharmoni interaksi anggota keluarga. Kondisi ini lebih jauh
mendorong generasi muda Hindu melakukan pencarian jati dirinya di luar rumah
dalam lingkungan sosial yang lebih luas. Dalam konteks ini yang diperlukan,
bukan mengembalikan keluarga kepada peranan dan fungsinya seperti sukses yang
pernah dicapai pada masa lalu. Melainkan memformat ulang interaksi keluarga
berdasarkan prinsip dharma, yakni
keseluruhan tugas manusia berdasarkan catur
purusha artha (empat tujuan kehidupan), catur
varna (empat kelompok lapisan sosial), dan catur asrama (empat tingkatan kehidupan). Kejelasan tujuan hidup
dan kehidupan, sebagaimana “diperintah” dalam tingkatan kehidupan dan
“diperindah” dalam pelapisan sosial pada gilirannya, tidak memberi ruang kepada
generasi muda Hindu untuk berbuat lain. Dengannya keluarga tetap dan selalu
menjadi tempat “berbagai hati” bagi generasi muda bersama anggota keluarga
lainnya. Keluarga pun tidak perlu kehilangan batas-batasnya hingga jauh ke luar
batas-batas keluarga, seperti tersangkut pada jaringan sistem global yang tidak
jelas entah apa dan siapa itu.
Benar, pembicaraan ini memang ditujukan
pada terwujudnya generasi muda Hindu yang bermoral melalui sebuah keluarga
ideal, yakni sebuah keluarga yang terbangun dari fondasi interaksi kesadaran dharma. Patut disadari bahwa kesadaran dharma hanya mungkin dibentuk melalui
pengetahuan tentang dharma, karena
itu yang diperlukan generasi muda Hindu adalah kajian-kajian tentang Dharma.
Selain di sekolah, pendalaman ajaran dharma,
juga dapat ditanamkan di dalam keluarga dan sekaa
teruna di tingkat banjar. Fakta
menunjukkan bahwa tradisi Hindu Dharma tidak melawan perubahan, bahkan
digunakan menangani ruang dan waktu dengan memasukkan segala pengalaman dalam
keberlanjutan masa lalu, masa kini, dan masa depan yang distrukturkan dalam
praktik-praktik sosial yang sedang berlangsung. Di sini generasi muda yang
bermoral Hindu menjadi penting, apalagi ketika mereka harus mengambil peran
sebagai ahli waris dan pewaris tradisi Hindu Dharma. Tanggung jawab ini bisa
ditangani mulai dari keluarga, kemudian sekolah, dan seterusnya masyarakat adat
sesuai dengan tiga pusat pendidikan. Mengingat generasi muda Hindu harus
menemukan ulang tradisinya ketika hendak mengambil alih warisan budaya dari
pendahulunya karena pewarisan nilai tidak dimungkinkan tanpa melalui proses
pembelajaran. Pengalaman belajar inilah upaya merangkai masa lalu, masa kini,
dan masa depan agar keluarga, komunitas, dan masyarakat agar selalu selaras
dengan nilai agamanya.
Walaupun demikian, gelombang perubahan
zaman dalam berbagai varisasi dan variannya telah mendorong keluarga dan
masyarakat luas harus mengikutinya. Perubahan karakter masyarakat yang ditandai
oleh semakin lemahnya ikatan-ikatan tradisional merupakan peristiwa pengenduran
moralitas karena semakin kuatnya tekanan rasionalitas. Pada saat bersamaan
individu memiliki otonomi yang lebih besar, karena itu minat individual sedang
mendapat ruang yang lebih luas dalam berekspresi. Keluarga tradisional
benar-benar runtuh dan harus tunduk kepada kekuatan kekuasaan yang berada di
luar dirinya. Akan tetapi kodrat manusia, bukanlah menyerahkan nasibnya kepada
kekuatan yang berada di luar dirinya. Manusia memiliki kekuatan akal, kemampuan
budi, serta penalaran yang memadai sehingga hasrat manusiawi dapat menjadi alat
yang menjadikan sesuatu yang ideal bisa terwujud. Hasrat untuk mewujudkan
keluarga ideal sebagai akar moralitas generasi muda Hindu merupakan kesadaran
ilahi. Dengannya hidup dan kehidupan manusia tidak boleh dianggap tidak
bernilai. Kemudian, menjadikan hidup dan kehidupan lebih bernilai merupakan
“undangan moral” kepada generasi Muda Hindu.
Daftar Bacaan
Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abraham, Francis M. 1991. Modernisasi di Dunia Ketiga: Suatu Teori
Umum Pembangunan. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
Alan, woods dan Ted Grant. 2006.
Reason In Revolt: Revolusi berpikir dalam
ilmu pengetahuan modern. Yogyakarta: Ire Press.
Bertens, K. 2002. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Brinton, Crane. 1981. Pembentukan Pemikiran Modern. Jakarta:
Mutiara.
Brower, Maw. 1976. Bapak Ibu Dengarlah: Bunga Rampai Masalah
Keluarga. Jakarta: PT. Gramedia.
Bruce, Steve. 2000. Fundamentalisme: Pertautan Sikap
Keberagamaan dan Modernitas. Jakarta: Erlangga.
Casanova, Jose. 2003. Agama Publik Di Dunia Modern: Public
Religion in the Modern World. Surabaya: Pustaka Eureka; Malang: ReSIST, dan
Yogyakarta: LPIP.
Dormer, Peter. 2008. Makna Desain Modern: Budaya Material,
Konsumeisme, (Peng)Gaya(an). Yogyakarta: Jalasutra.
Fakih, Mansour, 2007, Analisis Gender & Transformasi Sosial,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Giddens, Anthony, 2005, Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Goode, William J. 2004. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi
Aksara.
Gunarsa & Gunarsa,
Singgih. 1979. Psikologi Untuk Keluarga.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Hazlitt, Henry, 2003, Dasar-dasar Moralitas, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Mantik, Agus S dkk., (ed).
2009. PHDI Setengah Abad: Sebuah
Retrospeksi. Denpasar: Panitia Peringatan 59 tahun PHDI.
Perquin, Russen, Carp.
1981. Pendidikan Keluarga dan Masalah
Kewibawaan. Bandung: Jenmars.
Poedjawijatna, 1996, Etika Filsafat Tingkah Laku, Jakarta:
Rineka Cipta.
Praja, Juhaya S., 2003, Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta:
Prenada Media.
Rachels, James, 2004, Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius.
Radhakrishnan, S. 2003. Agama-Agama Timur dan Pemikiran Barat.
Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu
Indonesia.
Salam, Burhanuddin H.,
2000, Etika Individual: Pola Dasar
Filsafat Moral, Jakarta: Rineka Cipta.
Schoorl, JW, 1991. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan
Negara-negara Sedang Berkembang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sponville, Andre Comte,
2006, Spiritualitas Tanpa Tuhan,
Jakarta: Pustaka Alvabet.
Suhanadji-Waspodo TS, 2004.
Modernisasi dan Globalisasi: Studi
Pembangunan dalam Perspektif Global. Malang: Insan Cendekia.
Suhartin C, R.I. 1980. Cara Mendidik Anak Dalam Keluarga Masa Kini.
Jakarta: Bhratara.
Teichman, Jenny. 1998. Etika Sosial. Yogyakarta: Kanisius.
* Tulisan ini merupakan pengembangan dari
Makalah dengan judul “Membangun Keluarga Ideal: Akar Moralitas Generasi Muda
Hindu”, disajikan pada Kegiatan Pembinaan Sekaa Teruna yang diselenggarakan
oleh Departemen Agama Kantor Kota Denpasar di Denpasar pada tanggal 7 – 9
Agustus 2009.
[1] Penulis adalah dosen Fakultas Ilmu Agama,
Universitas Hindu Indonesia Denpasar.