TATTWA JNANA



TATTWA JNÀNA:
KAJIAN TERHADAP STRUKTUR

I Wayan Suka Yasa

1. Pendahuluan
“Candi pustaka” yang menjadi kepustakaan Hindu Bali merupakan warisan dari tradisi nyastra. Cikal bakal tradisi ini bermula dari keterbukaan masyarakat Bali mula yang niraksara menerima pencerahan dari tradisi besar Hindu yang beraksara. Berdasarkan telaah kepustakaan Hindu Jawa-Bali terbukti bahwa lontar yang dikelompokkan sebagai naskah kakawin mayor yang sampai saat ini masih diapresiasi dalam tradisi nyastra berasal dari zaman jayanya Hindu di Jawa, yaitu dari zaman Mpu Sindok abad ke-9 sampai runtuhnya Kerajaan Majapahit abad ke-l5 (Poerbatjaraka, 1962;  Zoetmulder, 1983).
Akibat kuatnya pengaruh agama Islam di Jawa, naskah-naskah Hindu Jawa diselamatkan menurut dua arah penyelamatan. Di satu sisi, naskah-naskah tersebut diselamatkan ke daerah pedalaman Jawa tengah, sekitar Gunung Merbabu-Merapi. Koleksi naskahnya disebut koleksi Merbabu-Merapi (Setyawati, 2002:1). Di sisi lain, naskah-naskah juga diselamatkan ke Bali.  Di Bali lontar ini dihargai sebagai candi pustaka (Agastia, 1987:140) tempat suci yang dibangun dengan kata-kata terpilih untuk memuliakan Sang Hyang Aji Saraswati yang dipuja secara khusus pada hari suci Saraswati. Atas perlakuan ini, kesakralan lontar tetap terpelihara. Di pusat-pusat tradisi nyastra, teks lontar tetap berfungsi pendidikan. Teksnya selalu diapresiasi dan disalin melalui tradisi nurun lontar. Bagi para genius Bali (Mantra,1996:10), yang dalam tradisi Bali disebut anak nyastra, teks lontar itu dijadikan sumber inspirasi untuk menciptakan karya budaya yang baru. Bahkan, ada semacam pembalian teks Jawa Hindu, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, seperti halnya yang pernah dilakukan di Jawa Timur pada abad ke-10 ada semacam proyek membahasajawakan karya-karya Bhagawan Bhyasa (Agastia, 1987:71). Dalam tradisi ini nilai-nilai teks Kawi diadopsi, diwacanakan, diadaptasi kemudian dikembangkan untuk mencerahi kearifan lokal Bali, yang kemudian menjadi kebudayaan Bali tradisional.
Dalam aktivitas sosial di desa adat, nilai-nilai teks lontar yang telah diadaptasi itu ditransformasikan, terutama lewat seni dari generasi ke generasi. Jasa tradisi nyastra ini mendapat perhatian khusus para orientalis. Teeuw (1983:83) menyatakan: “Sarjana Bali yang menyelamatkan dan menghidupkan tradisi filologi setempat itu melakukan kritik teks, penafsiran dan penerapan sastra ini dengan cara mereka sendiri, dan dalam tahun-tahun belakangan ini saya beberapa kali dapat memastikan bahwa tradisi Bali bernilai tinggi dan bermanfaat sekali”.
          Sarjana Bali yang dimaksud Teeuw tidak lain adalah anak nyastra “orang berilmu”di Bali (Bagus, 1980:7). Mereka adalah orang yang suntuk melakukan olah budi dan rasa dengan membaca terutama teks lontar. Bidang apresiasi sastra tradisional belakangan ini kembali tampak bergairah dengan mengakses teknologi komunikasi.
                 Esensi dari ribuan lontar yang terdokumentasi, baik di perpustakaan formal maupun pribadi di Bali memiliki tiga tema utama yang menyatu-padu membangun beraneka-ragam tema minor. Tiga tema utama dimaksud adalah jñàna, suúila, dan raûa. (1) Tema jñàna, yaitu pengetahuan hakikat diwujudkan menjadi lontar tattwa. Isinya didominasi oleh doktrin-doktrin teologi-filosofis. (2) Tema suúila diwujudkan menjadi lontar sàúana dan nìti. Isi teksnya didominasi oleh ajaran moral dan kepemimpinan. (3) Tema raûa atau estetika-religius diwujudkan dalam lontar seni dan lontar-lontar religius-magis.
                 Sosiologi humanistik berasumsi bahwa simbol, nilai, dan makna merupakan dasar (basic term) karena atas dasar itu manusia memandang dirinya sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat (Triguna,1997:4). Sehubungan dengan itu, ketiga tema utama tersebut jelas merupakan pokok nilai kearifan Hindu yang mengajegkan kebudayaan Bali. Ketiga nilai itu berfungsi membangun citra masyarakat Bali, baik karakter, pengetahuan, maupun cita rasanya dalam hubungan dengan Tuhan, sesama, dan lingkungan. Keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam kemudian dirumuskan menjadi konsep kearifan Hindu di Indonesia yang disebut tri hita karana. Harmonisasi di antara ketiganya menjadi isu amat sentral di berbagai bagian dunia sebagai akibat eksploitasi manusia secara berlebihan terhadap alam (Triguna, 1997:4). Bahkan, seorang antropolog, Parsudi Suparlan dalam tulisannya yang berjudul “Kebudayaan dan Pembangunan”, mendefinisikan agama semakna dengan konsep tri hita karana, sebagai berikut. “Agama secara mendasar dan umum dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhan, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya” (Mastuhu (ed.), 1996:109).
                 Penarapan sistem pendidikan Barat di Indonesia sejak pertengahan abad ke-19 mengakibatkan pengaruh kebudayaan Barat yang bercorak intelektualistis, materialistis, dan individualis semakin meluas (Geriya, 2000:3; Atmaja, 2001:17). Pengaruhnya terhadap kebudayaan Bali menonjol sejak awal abad ke-20 (Mantra, 1996:1). Akibatnya, keajegan kebudayaan Bali tradisional yang berkarakterkan budaya ekspresif yang bercirikan nilai-nilai religius, estetika, dan solidaritas berada pada posisi dilematis. Dinamikanya menunjukkan dua arah perkembangan. Di satu sisi berproses ke arah integrasi adaptif dan di sisi lain juga menunjukkan dialektik antagonistik (Geriya, 2000:3).
                 Dinamika yang mengarah ke integrasi adaptif disebabkan oleh adanya gejala bahwa orang (Bali) tidak mau kehilangan kepribadiannya (Mantra, 1996:6). Kebudayaan Bali telah memperlihatkan daya tahan dari abad ke abad menghadapi perubahan-perubahan karena sifatnya yang luwes, dinamis, adoptif, adaptif, dan kreatif. Di samping itu, kebudayaan Bali juga mempunyai potensi untuk mengalami perkembangan, pembaharuan, dan perubahan. Pada kesempatan lain, Mantra (1996:14) menyatakan keyakinanya: “Sepanjang kedudukan dan fungsi seni budaya masih kuat dalam kehidupan keluarga dan masyarakat Bali, dan upacara-upacara dari kelahiran sampai mati masih kokoh, maka seni budaya akan selalu hidup dan merakyat”.
                 Akan tetapi, di sisi lain pengaruh modernisasi, juga mengakibatkan berbagai benturan budaya tidak dapat dihindari. Ini muncul dalam berbagai kasus yang membawa dampak negatif: fenomena distorsi, degradasi, demoralisasi sampai dengan berbagai pelecehan kultural (Geriya, 2000:3). Naya Sujana (dalam Geriya, 2000:5) berkesimpulan bahwa dinamika kebudayaan Bali tradisional menuju kebudayaan Bali modern mengandung ancaman serius, krisis, dan semakin tidak berdaya. Kebudayaan Bali tengah mengalami distorsi, diskontinu, dan disintegrasi. Dari sisi sosial dan pendidikan, Bawa Atmadja (2001:22--30) menyatakan bahwa masyarakat Bali mengalami disorganisasi sosial yang teraktualisasi dalam perilaku menyimpang yang dapat dipilah menjadi tiga: kesukaran semantik, konversi agama, dan menguatnya budaya konsumen. Dalam bidang agama, bahkan ada isu bahwa agama Hindu yang dianut di Bali adalah agama ritual yang boros dan tidak jelas akar teologisnya. Isu terakhir ini menarik untuk dicermati.
                 Pengaruh negatif tradisi modern benar-benar disadari oleh para indolog dan budayawan Bali. Oleh karena itu, dicetuskanlah ide-ide untuk menyelamatkan, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan Bali. Sehubungan dengan itu, pada tahun 1928 atas prakarsa residen Bali Lombok, LJJ. Caron didirikanlah perpustakaan yang bernama Kirtya Liefrinck van der Tuuk (Gedong Kirtya) untuk menyelamatkan lontar Bali-Lombok. Kemudian tahun 1932 didirikan Museum Bali yang tujuannya juga untuk menyelamatkan warisan budaya Bali.
                 Setelah Indonesia merdeka pemerintah pusat pun menaruh perhatian besar terhadap keselamatan kebudayaan Bali. Untuk membina sumber daya manusia Bali yang diharapkan memiliki komitmen terhadap kebudayaan Bali, pada tahun 1957 Poerbatjaraka dan Ida Bagus Mantra ditugasi mendirikan dan membina Fakultas Sastra. Lima tahun kemudian (tahun 1962) dimekarkan menjadi Universitas Udayana dengan pola ilmiah pokok kebudayaan. Berdekatan dengan itu, yaitu tahun 1963 didirikan pula Institut Hindu Dharma (tahun 1993 menjadi Universitas Hindu Indonesia) dengan pola ilmiah pokok agama dan kebudayaan. Di samping itu, ada satu lagi lembaga yang melestarikan kebudayaan Bali, yaitu Akademi Seni Tari Indonesia (Mantra, l996).
                 Lebih lanjut setelah Ida Bagus Mantra  menjadi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali (l978--l988), pelestarian dan pengembangan kebudayaan Bali sunguh-sungguh mendapat perhatian. Salah satu pandangannya yang menjadi dasar penyusunan strategi pembangunan Bali tertuang dalam tulisannya yang berjudul Budaya Bali: Strategi dan Realitas, sebagai berikut.
“Dalam menghadapi arus komunikasi yang semakin besar ini, satu-satunya jalan yang paling bijaksana dan dapat dipertanggungjawabkan secara nasional ialah peningkatan kesadaran berbudaya kita yang menumbuhkan kemauan dan komitmen berbudaya. Ini berarti hendaknya kita lebih mendalam mempelajari agama Hindu dan nyastra (mendalami kesusastraan Bali). Dengan landasan ini kita akan mampu menyaring unsur-unsur yang baik dan menyisihkan unsur-unsur yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa” (Mantra, 1996:2).
                 Untuk merealisasikan ide tersebut Pemerintah Daerah Propinsi Bali  tahun 1980-an mendirikan Dinas Kebudayaan. Unitnya, yaitu Pusat Dokumentasi Bali, sejak berdiri secara terprogram bertugas menginventarisasi, mentransliterasi, menerjemahkan, mengkaji, dan menyebarkan (secara terbatas) hasil terjemahan dan kajiannya  ke masyarakat Hindu, khususnya di Bali. Tujuan utamanya adalah untuk menjembatani teks dengan pewarisnya. Akan tetapi, hasil kajian teks lontar, khususnya kajian teks lontar tattwa yang lebih mendalam sejauh diketahui masih langka adanya.                
                 Atas tantangan dan peluang tersebut di atas maka penelitian ini difokuskan dengan mengedepankan tema “Brahma Widya dan Kearifan Lokal”. Brahma widya atau teologi Hindu di Bali jelas tersimpan dalam kepustakaan Bali, terutama pada lontar tattwa, seperti Buwana Koúa, Wrêhaspati Tattwa, Tattwa Jñàna, Jñàna Siddhànta, Bhuwana Sangksepa, dan Gaóapati Tattwa. Nilai-nilai teologis-filosofis yang terkandung dalam sejumlah lontar penting tersebut sejauh diketahui ada beberapa yang belum digali secara ilmiah yang lebih mendalam.  Oleh karena itu dari sejumlah lontar dimaksud lontar yang mengandung teks Tattwa Jñàna (TJ) dipilih menjadi objek penelitian ini. Ada keunikan-keunikan yang menjadikan teks TJ khas dan menarik untuk diteliti. Keunikan dimaksud, antara lain sebagai berikut.
(a)    Ada penyimpangan terhadap konvensi penulisan teks tattwa. Teks TJ ditulis secara naratif berbahasa Kawi dengan meminimalkan úloka Sanskerta. Dari sudut kearifan lokal, kreativitas penulis menyimpangi konvensi penulisan teks tattwa patut dihargai sebagai wujud wira (keberanian) anak nyastra mengajegkan kearifan lokal. Teks tattwa yang lain menjadikan úloka Sanskerta sebagai teks inti dan bahasa Kawi bertindak sebagai bahasa penerjemah atau untuk menerangkan isi úloka di depannya. Ini berarti kedudukan bahasa Sanskerta lebih tinggi daripada bahasa Kawi. Bahasa Sanskerta bertindak sebagai bahasa “wahyu”, sedangkan bahasa Kawi sebagai bahasa tafsir, yang bertugas menerangkan ajaran yang terkandung dalam úloka dimaksud. Bahasa Sanskerta sebagai bahasa puisi dan bahasa Kawi sebagai bahasa prosa dalam satu naskah. Akan tetapi, dalam teks TJ, bahasa Kawi adalah bahasa utama, bahasa penutur teks untuk menerangkan ajaran kepada murid-murid terpilih.
(b)   Teks TJ ditulis dengan gaya bertutur (dialogis katekismus) dengan latar sistem pendidikan seperti sistem pendidikan upanisad. Di Bali disebut aguron-guron atau nabe-sisya, yaitu murid-murid terpilih duduk di bawah dekat gurunya untuk mendengarkan ajaran rahasia yang disebut tattwa jñàna.  Keunikannya, penulis tidak mempersonifikasikan secara jelas siapa sang guru dan muridnya itu. Kekaburan tokoh dalam teks TJ menjadi menarik dari sudut  kearifan lokal bahwa teks adalah  milik dan untuk kepentingan masyarakat. Tidak begitu penting apakah tokoh itu dewa atau manusia suci, yang utama apakah ajarannya itu berguna untuk kebaikan bersama atau tidak.
(c)    Ajaran yang disampaikan berstruktur. Hal-hal yang dipandang sulit, dipertanyakan dan diulas dengan gaya metafora. Pengarang tampak lebih mengedepankan cara berpikir logis. Sebaliknya cara pengungkapan teologi yang memitos diposisikan untuk lebih menjelaskan ungkapan-ungkapan filosofis yang dipandang sukar.
(d)   Boleh jadi karena hal tersebut, teks TJ menjadi cukup populer di kalangan anak nyastra di Bali. Hal ini dapat diketahui dari jumlah turunan dan versi teks yang terdokumentasi.  Tanggapan lebih jauh, seorang anak nyastra Bali, Ida Ketut Djelantik, atas penghargaannya terhadap keluhuran nilai teks Kawi  dan atas pertimbangan didaktik memilih dan menjadikan teks TJ sebagai salah satu sumber inspirasinya dalam nyastra. Teks Kawi kemudian diadaptasi menjadi karya-karya “baru”. Dalam bidang tattwa karyanya diberi judul Aji Sangkya. Dalam bidang sastra Ida Ketut Djelantik menulis Geguritan Sucita yang struktur tattwa-nya jelas mengadaptasi teks TJ atau Wrêhaspati Tattwa. Karya-karya itu, dipandang dari isinya dapat disebut sebagai salah satu wujud nyata usahanya mendalami dan membalikan teks berbahasa Kawi. Ini berarti ada kesinambungan teks. Nilai teks Kawi diadaptasi menjadi nilai kebudayaan Bali.
                 Berdasarkan latar keberadaan kepustakan Bali dan dilema masyarakat Hindu di Bali sebagai pendukung kebudayaan Bali maka masalahnya dapat diidentifikasi sebagai berikut.
(a)    Wacana ajeg Bali mengisyaratkan  masyarakat  Bali agar menpertahankan kebudayaan Bali, yaitu ajeg agama, adat, dan seni budaya, sementara pengaruh tradisi modern yang berlatar kebudayaan Barat semakin kuat. Konsekuensinya, masyarakat Bali mengalami ketegangan sosial-kultural.
(b)   Teologi Hindu di Bali yang menjadi nilai kebudayaan Bali tersimpan dalam teks dengan medium lontar. Teksnya berbahasa Sanskerta, Jawa Kuno, dan Bali yang ditulis dengan aksara Bali, sementara sebagian besar masyarakat Bali tidak lagi mampu membaca dan mengerti bahasa teks tersebut. Akibatnya, teks semakin berjarak dengan pewarisnya.
(c)    Di samping faktor-faktor di atas, masyarakat Bali mengalami hambatan sosio-psikologis untuk mempelajari teks yang ditulis dengan aksara Bali, terutama yang memakai medium lontar. Ada wacana yang ditafsirkan dan ditransformasikan secara keliru sehingga masyarakat merasa sungkan dan ragu untuk mempelajari teks lontar. Misalnya wacana aywa wera, yang sesungguhnya bermakna pengendalian diri atau agar hati-hati untuk mempelajari ajaran khusus tingkat lanjut dimaknai sebagai larangan untuk membaca teks lontar secara umum dan atau belajar agama.
(d)   Teks lontar TJ merupakan salah satu teks tattwa yang penuh dengan ajaran teologi Hindu seperti yang dianut di Bali. Akan tetapi, terjemahan dan kajian yang mempu menjembatani teks ini dengan pembaca sejauh ini belum memadai.
                 Berdasarkan identifikasi masalah tersebut maka masalah penelitian dirumuskan sebagi berikut. Bagaimanakah struktur ajaran yang terdapat dalam teks TJ?

2. Pembahasan
2.1 Ikhtisar Sang Hyang Tattwa Jñàna
(a)    Cetana dan Acetana adalah dua asas purba. Adanya sama halus, sama sukma, dan abadi. Cetana adalah Úiwa Tattwa. Ia adalah jñàna, yaitu asas yang tahu dan sadar abadi. Sebaliknya Acetana adalah Màyà Tattwa. Asas yang bersifat lupa dan berwujud hampa (2).
(b)   Úiwa Tattwa dibedakan menjadi tiga: Paramaúiwa Tattwa, Sadàúiwa Tattwa, dan Àtmikà Tattwa. (1) Paramaúiwa Tattwa adalah keberadaan Bhaþara Úiwa di niskàla. Ia adalah kesadaran yang langgeng, sempurna, tak ternoda, bebas dari ruang dan waktu, bebas nilai, tak terpikirkan, dan tak terlukiskan; (2) Sadàúiwa Tattwa adalah Bhaþàra Úiwa yang wyàpara, yaitu kesadaran Úiwa yang aktif: serba tahu dan serba kerja. Ia berstana pada Padmasana yang tiada lain adalah Caduúakti-Nya: Jñànaúakti (Mahatahu), Kriyaúakti (Mahakarya), Wibhuúakti (Mahasempurna), dan Prabhuúakti (Mahakuasa) ; (3) sedangkan  Àtmika Tattwa adalah Bhaþàra Úiwa yang uta-pota, yaitu kesadaran yang laksananya menyusup-menguntai, memancar memberi kesadaran kepada Màyà Tattwa. Ia yang laksananya menjadi jiwa segala ciptaan. Dalam hal ini Ia dan laksananya dianalogkan sebagai matahari dan sinarnya. Matahari diam abadi, langgeng tak ternoda, tetapi sinar yang memancar memberi sinar dan energi, baur menyusup dalam segala rupa-warna ciptaan. Adanya pada ciptaan sebagai adanya api dalam kayu (3--5, 24, 29--30,34--36).
(c)    Bhaþàra Mahulun yang tidak lain adalah Bhaþàra Sadàúiwa berkehendak  menyaksikan segala ciptaan. Oleh karena itu, Ia mempertemukan Sang Hyang Àtmà dengan Pradhana Tattwa, anaknya Màyà Tattwa. Sang Hyang Àtmà adalah Puruûa, yaitu perwujudan dari asas yang sadar (tutur) dipertemukan dengan Pradhana Tattwa, yaitu perwujudan dari asas yang alpa (lupa). Dari perkawinan kosmis Puruûa-Pradhana tersebut lahirlah citta dan guóa (6, 25-26, 28-29).
(d)   Citta adalah wujud kasar dari Puruûa, sedangkan guóa adalah wujud kasar dari Pradhàna Tattwa. Ada tiga jenis guóa, yaiu sattwa, rajah, dan tamah. Ketiga guóa inilah dijadikan sifat oleh citta. Oleh karena itu, ada yang disebut citta sattwa, citta rajah, dan citta tamah. (1) Ciri-ciri citta sattwa antara lain pandai, bijaksana, susila, setia, bakti, jujur, penuh kasih sayang, tidak sedih bila ditimpa penderitaan, tidak senang bila mendapat kesukaan; (2) Ciri-ciri citta rajah antara lain aktif, egois, cepat bangga, irihati, cepat tersinggung, gampang marah, suka memaksa, usil, suka mengagung-agungkan diri, loba, licik, bengis; (3) Ciri-ciri citta tamah antara lain malas, kumal, senang makan, penidur, bodoh, pengkhayal, nafsu besar, suka irihati. Kelekatan citta pada guóa inilah yang menyebabkan Àtma mengalami tumimbal lahir (7—9,26).
(e)    Dari kelekatan pertemuan citta dengan guóa lahirlah buddhi, yaitu wujud kasar dari triguóa yang diberi kesadaran oleh citta.  Sifat buddhi antara lain tidak tetap pendirian,  berkepribadian mendua: sadar tak sadar, tahu tidak tahu, baik tidak baik (10).
(f)    Dari buddhi lahirlah ahangkàra, yaitu wujud kasar buddhi akibat buddhi berkesadaran aku. Ia adalah kesadaran yang menyatakan sesuatu itu ada atau tidak ada, kesadaran yang melaksanakan aktivitas baik-buruk, dan kesadaran yang mengaku serba milik. Ada tiga ahangkàra: ahàngkara si waikrêta, si taijasa, dan si bhùtàdi (11, 26).
(g)   Aktivitas (1) ahangkàra si taijasa adalah menciptakan manah (pikiran); pañca buddhindriya (lima indra persepsi): indra pada mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit; dan panca karmendriya (lima indra pekerja): indra pada mulut, tangan, kaki, alat kelamin, dan anus; (2) ahangkàra si bhùtàdi adalah menciptakan pañca tanmàtra dan pañca mahàbhùta. Panca tanmàtra, yaitu lima unsur halus (màtra) dari suara, udara, teja, rasa, dan bau. Sedangkan pañca mahàbhuta, yaitu lima unsur besar alam semesta: ether, yang berembus, yang panas, yang cair, dan yang padat; (3) ahangkàra si taijasa berfungsi membantu kerja si taijasa dan si bhùtàdi (12).
(h)   Bhaþàra Mahulun dengan daya saktinya mengolah Pañca mahàbhùta: prêthiwi, àpàh, teja bàyu, àkàúa dipadu dengan guóa. Dari perpaduan itu terciptalah aóðabhuwana (alam semesta). Ada empat belas lapis alam. Adanya seperti sarang tawon berlapis-lapis. Tujuh bagian alam atas disebut saptaloka: Satyaloka, Mahàloka, Janaloka, Tapaloka, Swarggaloka, Bhuwarloka, dan Bhurloka; dan tujuh bagian alam bawah disebut sapta pàtàla:  Pàtàla, Waitàla, Nitàla, Mahàtàla, Sutàla,Tàlatàla, dan Rasatàla. Di bagian bawah sapta pàtàla adalah Mahànaraka stana Sang Hyang Kàlàgnirudra, api yang menjadi dasar alam semesta yang senantiasa berkobar (13—14).
(i)     Evolusi selanjutnya, atas kehendak Bhaþàra Mahulun, laksana kesadarannya yang pada tahap ini disebut Sang Hyang Pramàóa atau Sang Hyang Àtmà dirangsang untuk berkembang biak menjadi segala jenis mahluk. Buddhi dan manah menjadi alat berpikir, sedangkan ahangkàra sebagai sarana untuk mengaku dan melaksanakan perbuatan baik-buruk (15)
(j)     Perkembangan Sang Hyang Pramàóa menjadi beraneka ragam makhluk penghuni alam semesta mengalami tumimbal lahir. Hal itu disebabkan oleh pengaruh triguna: sattwa, rajah, dan tamas. Tiap-tiap makhluk menjadi berbeda kualitasnya menurut dominan tidaknya pengaruh karakter dasar yang disebut yoni. Ada tiga kelompok yoni: yoni buddhi sattwa, yoni buddhi rajah, dan yoni buddhi tamas. Tiap-tiap kelompok yoni tersebut diurut menurut kualitasnya sebagai berikut.

Jenis-jenis yoni buddhi sattwa
Ciri-ciri kegemarannya
1.Yoni sang hyang
    tripuruûa

2. Yoni pañcaåsi

3. Yoni saptaåsi


4. Yoni dewaåsi


5. Yoni dewa


6.  Yoni widyàdhara



7. Yoni gandhawa
Gemar akan kearifan, ilmu pengetahuan, suka ajaran kesempurnaan.

Gemar melaksanakan tapa, brata, yoga, dan samàdhi.

Gemar melaksanakan upacara agama, japa, dan mantra.

Berani berkurban demi cintanya kepada semua mahluk.

Gemar kepada ajaran dharma, suka berbuat jasa, dan dermawan.

Gemar akan olah kanuragan, rela mempertaruhkan jiwa, tidak ragu dalam bertindak, batin dan pikirannya jernih, dan memiliki ketetapan hati.

Gemar akan segala kesenian, suka bertamasya untuk menikmati keindahan alam (16).


Jenis-jenis yoni buddhi rajah
Ciri-cirinya
1.Yoni dànawa



2. Yoni daitya



3. Yoni ràkûasa
Bila mendapat kata-kata kasar, ia menjadi marah, tetapi mampu mengendalikannya karena malu kepada masyarakat di sekelilingnya.

Bila mendapat kata-kata kasar, ia menjadi marah, tetapi untuk sementara waktu ia dapat mengendalikan kemarahannya lalu menghindar sambil menggerutu.

Bila mendapat kata-kata kasar, ia menjadi marah, badannya gemetar, mengumpat-umpat, mendelik, mencak-mencak, dan menantang (17).



Jenis-jenis buddhi tamas
Ciri-cirinya
1.     Yoni bhùtayaksa



2.    Yoni bhùtadêngên




3.     Yoni bhùtakàla


4.  Yoni bhùtapisàca



Tidak senang makan, ia puas hanya dengan sejumput makanan, sejumput sayur, dan seteguk minuman nira.

Suka memilih-milih makanan, pikirannya menjadi tenteram hanya bila mendapatkan makanan kesukaannya, uring-uringan, dan tidak riang.

Rakus akan makanan, tidak memilih-milih makanan yang penting kenyang.

Haus makanan enak, bingung bila tidak mendapatkan makanan, suka mencuri dan suka membuat huru-hara hanya demi makanan (18)


(a)    Evolusi dan inevolusi makhluk ditentukan oleh kombinasi yoni yang menjadi karakter dasar dan kecenderungan perilaku hidupnya sebagai berikut.

Kombinasi yoni
Akibatnya
1      Bila yoni bhùtayakûa berkombinasi dan didominasi oleh pengaruh yoni tripuruûa, pañcaåsi, saptaåsi, dewaåsi, dan dewa

2      Bila yoni bhùtadêngên berkombinasi dan didominasi oleh pengaruh yoni dewa, widyàdhara, dan daitya

3      Bila yoni bhùtakàla berkombinasi dan didominasi oleh yoni gandàrwa dan ràkûasa

4      Bila yoni bhùtapisàca berkombinasi dan didominasi oleh yoni ràkûasa

5      Akan tetapi bila yoni bhùtapisàca saja yang dominan

Àtmà mencapai mokûa.


Àtmà mencapai surga.


Àtmà menjelma menjadi  manusia.


Àtmà jatuh ke neraka.

Àtmà menjadi triyak: binatang peliharaan, binatang liar, burung, ikan, dan binatang yang bergerak dengan dadanya (19).

(b)   Kemerosotan kualitas Àtmà menjadi berbagai jenis makhluk, dari kelahiran berkualitas luhur menjadi berkualitas lebih rendah disebabkan oleh merosotnya iman dan kekurangtekunan dalam melaksanakan yoga. Bila Sang Hyang Tripuruûa: Brahma, Wiûóu, dan Iúwara merosot imannya dan lalai dalam beryoga, maka ia merosot menjadi pañcaåsi. Demikian seterusnya berturut-turut: pancaåsi menjadi saptaåsi, dewaåsi, dewa, widhyàdara, gandharwa, dànawa, daitya, ràkûasa, bhùtayakûa, bhùtadêngên, bhùtakàla, bhùtapisàca, mànuûa, dan triyak. Demikian Àtmà mengalami tumimbal lahir (19,30).
(c)    Sang Hyang Yamabala disebut juga Bhaþ­àra Dharma, penguasa hukum karma, menghukum dan memberi hadiah kepada semua makhluk menurut perbuatannya. Perbuatan bajik menyebabkan Àtmà mencapai surga. Dalam kelahiran berikutnya ia lahir menjadi orang yang beruntung. Sebaliknya, perbuatan buruk menyebabkan Àtmà jatuh ke neraka dan dalam kelahiran berikutnya lahir menjadi manusia tidak beruntung atau menjadi binatang (20--22, 32--33).
(d)   Pada bagian ini fokus perhatian dipusatkan pada penjelmaan Àtmà menjadi manusia. Atas kehendak Bhaþàra Mahulun, pada mulanya sari-sari pañca mahàbhùta yang disebut sadrasa dijadikan tubuh Àtmà (bayi manusia).  Perkembangan tahap kedua, bayi itu tumbuh dan menjadi manusia dewasa dari sadrasa yang diperoleh dari makanan dan minuman. Perkembangan tahap ketiga, setelah manusia dewasa sadrasa itu menjadi sperma (kàma) dan sel telur (ratih). Cintalah yang mempertemukan manusia pria dan wanita ciptaan pertama ini sehingga beranak pinak menjadi banyak. Bila sperma yang dominan atas sel telur ia lahir menjadi laki-laki. Sebaliknya, bila sel telur dominan atas sperma, ia lahir menjadi wanita. Akan tetapi, bila sperma dan sel telur sama-sama dominan, ia akan lahir menjadi manusia banci. Tiap-tiap unsur halus dan unsur besar alam semesta menjadi bagian yang membangun strukur tubuh manusia dan triguóa menjadi sifatnya (37--41).
(e)    Pradhàna Tattwa, yaitu wujud asas materi yang dikembangkan menjadi badan Sang Hyang Àtmà inilah yang disebut ambêk dalam diri manusia. Ambêk adalah alat yang digunakan untuk berpikir oleh Sang Hyang Àtmà. Ambêk menjadi penyebab manusia melakukan perbuatan baik dan buruk. Ambêk juga sebagai penyebab manusia mengalami suka duka, tumimbal lahir, mengembara ke seluruh alam menurut kecenderungan pikirannya. Oleh karena itu, ambêk juga dipandang sebagai kumpulan pahala perbuatan. Orang yang bijak mengetahui dan menyimpulkan bahwa ambêk adalah akar penyebab penderitaan. Sehubungan dengan itu, ia senantiasa berusaha mengendalikan dan mengarahkan pikirannya dengan sadana mengamalkan ajaran yoga  yang disebut Sang Hyang Prayogasandhi. Ajaran filsafat yang disebut Sang Hyang Tattwa Jñàna menjadi suluh hidupnya. Sebaliknya Sang Hyang Prayogasandhi menjadi sadananya untuk mencapai kesempurnaan terakhir yang disebut Anta Wiúeûa (40--41).

 2.2  Struktur Dasar Sang Hyang Tattwa Jñàna
                 Akhirnya, dari seluruh bagian ikhtisar tersebut di atas dapatlah digambarkan struktur dasar ajaran Tattwa Jñàna dalam bentuk diagram sebagai berikut.
                                                CETANA        (ÚIWA TATTWA)
                           Paramaúiwa Tattwa
                           Sadàúiwa Tattwa
   Àtmika Tattwa
                                                        +
                                                ACETANA  (MÀYÀ TATTWA)

                               Puruûa +  Pradh­àna

                                  Citta +  Triguóa                                                          

                                                 Buddhi

                                                     (Jñàna-ajñàna, dharma-adharma)
Ahangkàra      
         Si Waikreta              Si Taijasa            s   Si Bhùtàdi 
     Manah & Daúendriya                                         Pañca Tanmàtra
                                                                     Panca Mahàbhùta

Keterangan:                                   Aóðabhuwana

             = aspek                             (alam semesta)
    +       = dikawinkan                             O
             = menjadi                          Segala makhluk
    O      = sarinya menjadi

2.3 Ikhtisar Sang Hyang Prayogasandhi
          Setelah ajaran Tattwa Jñàna dipahami dengan sempurna maka untuk merealisasikan pengetahuan kesempurnaan tersebut sehingga sang diri menemukan dan manunggal dengan Sang Diri Sejati, teks TJ menawarkan langkah berikutnya, yaitu mengamalkan ajaran Prayogasandhi dengan cara membatinkan ajaran tapa, brata, yoga, dan samàdhi (42—43).
          Prayogasandhi adalah usaha yang berkesinambungan dari aúana, prànàyàma, pratyàhara, dhàrana, dhyàna, tarka, dan mencapai samàdhi. Hubungan yang menguntai tahap-tahap yoga itulah yang disebut sandhi. Tujuannya adalah agar kesadaran menjadi manunggal, sebab kesadaran adalah perwujudan Bhaþàra di alam nyata ini. Artinya, manusia hendaknya menyadari Bhaþàra dalam segala tingkah lakunya (44).
        Tahapan ajaran Prayogasandhi dijelaskan sebagai berikut.
(a)    Àúana, yaitu sikap duduk. Ada enam sikap duduk yang ditawarkan. Seorang siswa yoga hendaknya memilih satu di antara sikap itu untuk dibiasakan dalam latihan yoga.
(b)   Prànàyàma, yaitu mengendalikan napas dengan teknik rêcaka, pùraka, dan kumbhaka dalam pikiran terpusat. Tujuannya adalah untuk membina kesehatan diri dan meredakan pengaruh sifat rajah dan tamah. Dengan demikian, sifat sattwa menjadi semakin terang.
(c)    Pratyàhara, yaitu menarik indra dari objek kesukaannya dan dipusatkan pada cita yang terang.
(d)   Dharàna, yaitu pikiran dipusatkan pada Omkara di hati, menjaga pikiran agar tetap sadar, dan menyucikan diri dari segala noda.
(e)    Dhyàna, yaitu pikiran terpusat dalam kesadaran roh, tidak lagi mendua, tidak goyang, hening, dan terang bagaikan pelita dalam tempayan.
(f)    Tarka, yaitu renungan mendalam tentang dan dalam Ia yang menjadi tujuan utama.
(g)   Samàdhi yaitu keadaan bahwa kesadaran sang yogi telah kembali manunggal dengan Bhaþàra Sadàúiwa Tattwa. Ia kembali menjadi serba tahu dan serba kerja. Sang Hyang Àtmà kembali menjadi Mahatahu, Mahakarya, Mahasempurna, dan Mahakuasa (43-49).
(h)   Sang yogi yang telah berhasil mencapai samàdhi berhasil menguasai astaiúwarya: (1) animà, dapat mengubah wujud menjadi besar, kecil, atau gaib; (2) laghimà, tubuh sang yogi dapat menjadi ringan atau berat; (3) mahimà, dihormati di mana-mana; (4) pràpti, segala kehendaknya terwujud; (5) prakàmya, dapat mengubah wujud sekehendaknya; (6) iúitwa dapat memerintah dewa; (7) waúitwa tidak ada yang dapat menentang kehendaknya; (8) yatrakàmawasàyitwa dapat mengutuk dewa menentang kehendaknya. Demikianlah asteúwarya ciri orang yang telah berhasil mencapai yoga wiúesa (50).

3. Simpulan
          Tattwa Jñàna salah satu teks siwaistik yang membedakan tiga asas esensi Siwa, yaitu Paramaúiwa Tattwa, Sadàúiwa Tattwa, dan Àtmikà Tattwa. Untuk memahami esensi tersebut terlebih dahulu hendaklah dipahami dualitas tunggal sebagai asas purba, yaitu Cetana dan Acetana. Setelah ajaran Tattwa Jñàna dipahami dengan sempurna maka untuk merealisasikan pengetahuan kesempurnaan tersebut sehingga sang diri menemukan dan manunggal dengan Sang Diri Sejati, teks TJ menawarkan langkah berikutnya, yaitu mengamalkan ajaran Prayogasandhi dengan cara membatinkan ajaran tapa, brata, yoga, dan samàdhi (42—43).

Daftar Pustaka


Agastia, I.B.G. l987. Sagara Giri Kumpulan Esei Sastra Jawa Kuna. Denpasar:: Wyasa Sanggraha.

Astra, I Gede Semadi. dkk. 2001. Kamus Sanskerta Indonesia. Denpasar: Pemerintah Propinsi Bali.

Atmadja, Nengah Bawa. 2001. Reformasi ke Arah Kemajuan yang Sempurna dan Holistik. Surabaya: Paramita.

Bagus, Lorenz. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Dharma Palguna, Ida Bagus Made. 1999. Dharma Úùnya Memuja dan Meneliti Úiwa. Denpasar:  yayasan Dharma Sastra.

Devi Singhal, Sudarshana. 1962. Tattajnàna and Mahajnàna Twu Kawi Philosophical texts. Delhi: The Arya Bharati Mudranalaya.

Djelantik, Ida Ketut. 1947. “Aji Sangkya”. Singaraja. Naskah Stensilan.

_____.1979. “Aji Sangkya”. Nyitdah Tabanan: Stensilan.

Geriya, I Wayan. 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI. Denpasar. Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.

Jelantik, Ida Ketut. 1947. Aji Sangkya. Tabanan: disebarkan oleh I Ketut Repet.

Lupito, Yuliani. 1995. Kamus Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mantra, I.B.  1996. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar: Yayasan Dharma sastra.

_____. 1989. Bhagawadgita. Denpasar: Pemda Tingkat I Bali

Mardiwarsito,L. l990. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Flores: Nusa Indah.

Palguna, I.B. Made Dharma. 1999. Dharma Sunya Memuja dan Meneliti Siwa. Denpasar: Yayasan Dharma sastra.

Polak, Mayor. 1996. Pàtànjali Ràja Yoga. Surabaya: Paramita.

Pudja, Gede. 1981. Bhagawadgita (Pancama Weda). Jakarta: Maya Sari.

_____. 1992. Theologi Hindu (Brahma Widya). Jakarta: Yayasan Dharma Sarati.

Putra, IG.A.G. 1988. Wrhaspati Tattwa. Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi.

Radhakrishna, S. 1989. Upanisad-Upanisad Utama 1 dan 2  Jakarta: Yayasan Parijata.

Setyawati, Kartika, dkk. Katalog Naskah Perapi Merbabu. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Soebadio, Haryati. 1985. Jnànasiddhànta. Jakarta: Djambatan.

Subagya, Rachmat. l981. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.

Sudharta, Tjokorda Rai. dkk. 1996. Upacara Mawinten. Denpasar: Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.

Sura, dkk. I Gede. 1989. Tattwa Jñàna Kajian Teks dan Terjemahan. Denpasar: Upada Sastra

_____. dkk. 1994. Bhuwanakosa (Alih Aksara dan Alih Bahasa). Denpasar: Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali.

_____. dkk.1994. Wrhaspati Tatwa, Ganapati Tatwa, Tatwa Jnàna Kajian Teks dan Terjemahannya. Denpasar: Kantor Dokumentasi Budaya Bali.

_____. dkk. 1996. Bhuwana Mahbah. Denpasar: Kantor Dokumentasi Budaya Bali.

_____. dkk. 2001. Alih Aksara dan Terjemahan Tutur Medang Kemulan. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.

_____. 2000. Siwa Tattwa. Denpasar: Pemerintah Daerah Tngkat I Bali.

_____. dkk. 2002. Kamus Istilah Agama Hindu. Denpasar: Pemerintah Propinsi Bali.

Triguna, I.B. Gede Yudha. 1997. “Mobilitas Kelas, Konflik, dan Penafsiran Kembali Simbolisme Masyarakat Hindu di Bali”. Bandung: Disertasi Universitas Padjadjaran.

_____.  2000. Teori Tentang Simbol. Denpasar: Widya Dharma.

Warna, I Wayan. dkk. 1988. Arjuna Wiwaha. Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

_____. dkk. 1990. Kamus Bali-Indonesia. Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I Bali.

Wiryamartana, I Kuntara. 1990. Arjunawiwaha. Yogyakarta: Dutawacana University Press.

Zoetmulder, P.J. 61. Parwwa Bhàsà. Jakarta: Obor

_____. 1983. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.

_____.1995. kamus Jawa Kuna-Indonesia (1, 2) Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...