FILSAFAT: SUATU PENGANTAR

PENGANTAR:
KUNCI UNTUK MEMBUKA PINTU FILSAFAT

Oleh I Wayan Sukarma

Om Swastyastu,
Om awighnam astu namo siddham.
(semoga selalu dalam lindungan Tuhan, tiada halangan, dan sukses selalu)

Penting saya sampaikan bahwa dalam analisis pemikiran filosofis begitu banyak berkembang aliran pemikiran. Di antara beragamnya pemikiran tersebut, di samping terdapat kesamaan atau kemiripan pandangan, antara yang satu dengan yang lainnya bukan saja terdapat perbedaan, tetapi juga tidak sedikit bersilangan, bahkan berlawanan. Hal ini dimungkinkan karena dunia filsafat merupakan arena berpikir kritis dan radikal serta senantiasa menjaga keutuhan dan kemerdekaan berpikir sehingga di dalamnya tersedia ruang bagi perbedaan dan pertentangan pemikiran. Ini menjadi kekhasannya, yang senantiasa memberi kelonggaran bagi skeptivis, spekulatif, dan alternatif. Di sini ketidakpuasan terhadap suatu jawaban (argumentasi), ketidaktuntasan selalu terbuka didiskusikan dalam dialog yang mahasehat. Akibat beragamnya perkembangan pemikiran tersebut menyebabkan kerancuan sudut pandang dan argumentasi terhadap pandangan filsafat Hindu tidak dapat dihindarkan. Perbedaan dan pertentangan pemikiran bukan saja terjadi terhadap filsafat Hindu, melainkan di dalam filsafat Hindu sendiri juga terjadi perkembangan pemikiran dalam berbagai aliran.
Filsafat Hindu, Filsafat India, dan Teologi Hindu (Brahmavidya), bahkan juga Metafisika merupakan empat tema yang sering rancu dalam studi filsafat khususnya filsafat Timur. Kerancuan pengertian juga terjadi antara filsafat Hindu dan agama Hindu, karena keduanya sering dipandang sebagai objek yang sama. Agama dan filsafat (Hindu) memang memiliki bidang kajian yang sama, yakni bidang yang ultimate, soal hidup dan mati. Perbedaan antara agama dan filsafat (Hindu) bukan terletak pada bidang kajiannya, melainkan pada cara penyelidikannya. Kesangsian ini sebagaimana juga diungkapkan Takwin (2001) dan Maswinara (1999) bahwa filsafat Hindu diperkirakan oleh beberapa orang sebagai sinonim dengan filsafat India. Hal ini benar, hanya apabila kata “Hindu” digunakan dalam pengertian geografis dari “India”, tetapi apabila kata “Hindu” itu berarti pengikut dari Hinduisme maka perkiraan tersebut menjadi keliru dan menyesatkan. Walaupun pada kenyataannya istilah “filsafat Hindu” sering digunakan dan dimaksudkan sebagai aliran pemikiran filosofis yang berkembang di India sehingga merujuk dan disamakan dengan istilah “filsafat India”.
Filsafat India menunjukkan pertimbangan filosofis dan seluruh pemikiran spekulatif, baik India kuno ataupun modern, orang Hindu ataupun non-Hindu, teis ataupun ateis. Filsafat India dengan demikian merupakan kesatuan dan keseluruhan pertimbangan pemikiran filosofis dan seluruh pemikiran spekulatif yang berkembang di India dalam berbagai aliran atau paham. Sementara itu, filsafat Hindu merupakan sarva-dharsana-samgraha yang pada pada dasarnya dibagi menjadi dua pandangan, astika (orthodoks) dan nastika (heterodoks). Teologi Hindu atau disebut Brahmavidya adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan, esensi, eksistensi, dan aktivitas-aktivitas-Nya. Brahmavidya juga disebut tattwajnana (Tat yang berarti Itu, Tuhan, Nirguna Brahman) atau brahmajnana (ilmu pengetahuan tentang Brahma, Tuhan, Saguna Brahman). Selanjutnya, metafisika adalah teori tentang realitas: apakah yang merupakan realitas puncak? Ringkasnya, filsafat Hindu berarti menempatkan filsafat sebagai metode dalam mempelajari Hindu, atau melihat Hindu dari sudut pandang filsafat (harap dibedakan dengan agama Hindu, yang melihat Hindu sebagai agama atau mempelajari Hindu sebagai disiplin praktis untuk mengabdikan diri).
Penegasan ini penting karena dalam studi-studi tentang agama bahwa filsafat dan agama, bahkan termasuk teologi, sering dipertentangkan. Filsafat mungkin memiliki cara tersendiri menelusuri ajaran yang esensi dalam setiap agama, yaitu Tuhan. Berbeda dengannya, teologi justru mempertahankan pandangannya tentang Tuhan berdasarkan agama, wahyu, dan kitab suci. Oleh karena itu konsepsi Tuhan dalam filsafat selalu bersifat spekulatif, sedangkan konsepsi Tuhan dalam teologi adalah ajaran berdasarkan kitab suci, keyakinan, dan kepercayaan, agama. Kalau begitu mungkinkah ada pertentangan antara agama dan filsafat? Pada dasarnya ‘tidak’ karena kalau kedua-duanya mempunyai kebenaran maka kebenaran itu satu, dan sudah barang tentu sama. Tidak mungkin ada sesuatu yang pada prinsipnya benar, juga tidak benar. Sama tidak mungkinkannya mengatakan “yang Tuhan”, juga sekaligus “bukan Tuhan”. Tegasnya bahwa lapangan filsafat dan agama beberapa hal mungkin sama, akan tetapi dasarnya amat berlainan. Filsafat berdasarkan pikiran belaka. Agama berdasarkan wahyu Ilahi. Agama tergolong religi juga sering disebut kepercayaan, alasannya: karena yang diwahyukan oleh Tuhan haruslah dipercayai.
Sementara itu, filsafat yang kerjanya berlandasan akal, melihat segala sesuatu di bawah permukaan, bahkan sedalam-dalamnya, mengakar, tidak menghendaki ide-ide yang dibaca lalu tenggelam menuju kematiannya dan terkubur di dalam pikiran tanpa memperoleh pemahaman dan apresiasi. Untuk itu diperlukan interaksi antara ide-ide yang sedang dibaca dengan ide-ide yang telah ada di dalam pikiran agar ide-ide tersebut bisa hidup dan berkembang sesuai dengan zaman dan peradaban. Oleh karena itu komentar saya sendiri, yang menyusul pada setiap bagian setelah atau sebelum kutipan atau dalam ungkapan atau dalam ilustrasi lisan, tidak dimaksudkan lebih dari sekadar sebagai petunjuk-petunjuk dasar, melainkan bagaimana kita mampu mengembangkan kemampuan membaca dengan wawasan filosofis yang kritis. Freeman (2004:vii) menganjurkan, langkah pertama dalam mengembangkan wawasan kritis itu adalah belajar membaca dengan apresiasi. Apresiasi dan pemahaman itu berkaitan erat. Memahami sebuah ide berarti mengetahui apa yang dimaksudkan, sementara mengapresiasi suatu ide berarti mengetahui nilainya. Jadi, memahami sebuah ide berarti mengetahui apa yang dimaknai, mengapresiasi sebuah ide berarti mengetahui signifikansinya. Ini yang membedakan antara belajar filsafat dan agama (Hindu).
Perbedaan antara agama dan filsafat tidak terletak dalam bidangnya, tetapi dalam caranya menyelidiki bidang itu sendiri. Trueblood (1965) menjelaskan bahwa filsafat berarti memikir, sedangkan agama berarti mengabdikan diri. Pemeluk agama merasa ia harus mengabdikan dirinya sekuat-kuatnya kepada agama yang dipeluknya. Orang yang belajar filsafat tidak saja mengetahui soal filsafat, tetapi lebih penting dari itu ia dapat berpikir. Begitu juga orang yang mempelajari agama tidak hanya puas dengan pengetahuan agama, tetapi memerlukan membiasakan dirinya dengan hidup secara agama. Tempel (Trueblood, 1965) mengatakan bahwa filsafat menuntut pengetahuan untuk memahami, sedangkan agama menuntut pengetahuan untuk beribadat. Orang beragama mengatakan bahwa pokok dari agama bukan pengetahuan tentang Tuhan, tetapi perhubungan antara seorang manusia dengan Tuhan. Malahan Lewis (Trueblood, 1965) menyatakan bahwa agama dapat dibandingkan dengan enjoyment (konkretnya dapat disamakan dengan rasa cita seseorang), sedangkan filsafat adalah contemplation (yakni pikiran sipencinta tentang rasa cinta itu). Misalnya, seorang laki-laki mencintai seorang perempuan, rasa cinta itu dinamakan enjoyment, sedangkan memikirkan rasa cintanya, itulah disebut contemplation. Agama banyak berhubungan dengan hati, sedangkan filsafat banyak berhubungan dengan pikiran yang dingin dan tenang. Agama seperti air sungai yang terjun dari bendungan dengan gemuruhnya, sedangkan filsafat seperti air telaga yang tenang dan jernih dapat dilihat dasarnya. Filsafat walaupun tenang dalam pekerjaannya, tetapi sering mengeruhkan pikiran penganutnya, sedangkan agama walaupun memenuhi pemeluknya dengan semangat dan perasaan pengabadian diri, tetapi mempunyai efek yang menenangkan jiwa pemeluknya.
Sampai di sini, saya mencoba mengantarkan pemikiran Anda ke pintu filsafat. Kiranya, telah diperoleh perbandingan gambaran tentang filsafat dan agama, filsafat Hindu dan filsafat India, teologi dan metafisika, agar lebih mudah memasuki kajian-kajian berikutnya. Ini menunjukkan bahwa kebenaran itu kompleks, tidak sederhana. Dalam pembahasannya tidak jarang terjadi perbedaan pandangan dan pertentangan pemikiran sehingga menghadirkan kebenaran yang beragam. Dalam membicarakan soal-soal pertentangan, Trueblood (1965) memberi nasihat bahwa kita harus dapat menjaga diri daripada dua kesukaran. Pertama, kita harus menjaga sikap suka menolak apa yang kita tidak setujui, dan kedua, kita harus menjaga diri dari sikap suka menerima apa yang kelihatannya dapat kita setujui. Kebenaran terletak dalam sifat hati-hati di antara kedua taraf tersebut, dengan disertai oleh pikiran yang terbuka terhadap tiap-tiap dari mana saja datangnya. Jadi, sebaik-baiknya pendirian ialah pendirian yang tengah-tengah, yang boleh dikatakan selalu terombang-ambing antara percaya seluruhnya dan berpikir seluruhnya. Dalam mempelajari keagamaan, mestinya kita harus bersikap netral dan tidak boleh memihak, yang artinya, harus netral tidak mempunyai rasa permusuhan dengan orang-orang yang tersangkut dalam perkara itu. Sayang sekali sikap semacam itu tidak mungkin dalam menyelidiki keagamaan. Ini menunjukkan bahwa dalam bidang apapun kebenaran itu tidak dapat dicapai, kecuali oleh orang-orang yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Akhirnya, saya boleh berharap, kita telah siap memasuki belantara studi filsafat Hindu, khususnya Sad Darsana. Kepada Anda, saya ucapkan selamat menikmati liku-liku perjalanan dalam penyelidikan filosofis mengenai sedikit dari pemikiran Hinduisme yang tanpa batas.
Sebelum melintasi sistem pemikiran Hindu, Sad Darsana, Anda perlu mengenal kunci masuk ke wilayah tersebut, sebagaimana umumnya memasuki wilayah filsafat, yang tereduksi dari pemikiran Baggini (2004), karena apa yang khas dari filsafat adalah ia mempertanyakan segalanya dan bebas asumsi. Filsafat justru mengungkapkan dan mempertanyakan asumsi-asumsi yang mendasari pemikiran sehari-hari tentang dunia kita, diri kita, nilai kita, dan kepercayaan kita. Pada saat yang sama, seseorang tidak selalu bisa mempertanyakan segalanya atau (kita) hanya mampu mempertimbangkan soal-soal paling mendasar dalam filsafat. Seperti, bagaimana kita memiliki pengetahuan dan apakah dunia luar itu ada atau tidak, serta dari mana dan kemana alam ini. Inilah soal penting dalam filsafat. Persoalannya adalah tidak ada formula untuk menentukan persoalan mana yang harus diletakkan di satu sisi dan mana sebagai pusat isu yang didiskusikan. Ini sebabnya pembicaraan filsafat tampak seperti melingkar-lingkar, padahal seperti kebanyakan dalam filsafat, penilaian yang tepat diperlukan. Sayangnya, penilaian yang tepat lebih menyerupai kepandaian yang perlu dikembangkan seseorang ketimbang teknik yang bisa diajarkan secara langsung. Sadar adanya problem saja sudah permulaan yang baik. Kebanyakan orang mulai mendalami filsafat dan mulai memikirkan sedikit hal-hal mudah yang bisa didapatkan dengan mempersoalkan sejumlah asumsi pada sebuah argumentasi tersisa di atasnya. Hanya ketika kita mempertimbangkan soal-soal paling dasar dari filsafat, kita selalu butuh membuat beberapa asumsi memulainya. Soalnya adalah apakah ini asumsi yang cocok atau tidak.
Orang berkata bahwa filsafat semata-mata soal ide, sangat abstrak, dan sulit dipahami, bahkan cenderung mebingungkan. Kenyataannya, lebih akurat mengatakan bahwa filsafat adalah soal argumentasi. Argumentasi adalah justifikasi rasional yang mendasar untuk kesimpulan. Ada banyak jalan di mana proses justifikasi rasional bisa dimulai. Akan tetapi, sebelum kita ke tingkatan itu, kita harus mulai dengan dari mana argumentasi itu berasal: premis. Premis sebuah argumentasi adalah hal pokok yang harus diterima sebagai kebenaran agar justifikasi bisa dimulai. Baggini (2004) memberi contoh argumentasi tentang eksistensi Tuhan: pertimbangkan argumentasi bahwa Tuhan tidak ada karena ada kejahatan dan kebaikan di dunia, Kemahakuasaan Tuhan tidak akan mengizinkan itu terjadi. Paling sedikit ada tiga premis yang dituntut untuk argumentasi ini: jika Tuhan itu ada, Tuhan Mahakuasa; jika Tuhan itu ada, Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang; dan ada kejahatan di dunia. Dari tiga premis ini, argumentasi berusaha menunjukkan bahwa Tuhan tidak bisa ada. Dengan kata lain, premis bisa digunakan untuk menyediakan justifikasi rasional untuk kesimpulan bahwa Tuhan tidak ada. Jika Anda berpikir bahwa tidak ada kejahatan di dunia, misalnya, argumentasi itu tidak membumi. Bagaimana seseorang memutuskan untuk menerima premis sebuah argumentasi? Tak ada jawaban yang sederhana untuk ini. Kadang-kadang, kita dituntut untuk menerima sebuah premis berdasarkan fakta. Dalam kesempatan lain, kita dituntut untuk menerima premis dalam wilayah konseptual. Kadang-kadang kita juga dituntut untuk menerima sebuah premis karena dirinya sendiri adalah kesimpulan dari argumentasi lain. Kadang-kadang premis-premis dinyatakan jelas, dalam kesempatan lain mereka didapatkan secara diam-diam. Dalam salah satu atau beberapa kasus, ketika menilai sebuah argumentasi seseorang harus mengidentifikasikan apa premisnya dan apakah bisa diterima. Lantas, haruskah Anda mulai mempertimbangkan apakah justifikasi rasional mencukupi bagi sebuah kesimpulan.
Seluruh argumentasi bergerak dari premis kepada kesimpulan, tetapi ada perbedaan jalan dalam membuat gerakan ini. Tiga bentuk yang paling penting adalah deduksi, induksi, dan abduksi (Baggini, 2004). Deduksi adalah yang paling ketat di antara ketiganya. Pada argumentasi deduktif, gerakan dari premis ke kesimpulan seringkas dan seketat penjumlahan matematika. Seperti 1 + 1 = 2, tak terbantahkan, maka dalam argumentasi deduktif: premis + premis = kesimpulan, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Catat bahwa dalam sebuah argumentasi demikian, “maka” sama halnya dengan “=” dalam operasi penjumlahan. Dalam contoh ini, jelas bahwa kesimpulan yang mengikuti premis 2 sebagai penjumlahan 1 + 1. Maksudnya, jika premis benar, maka kesimpulan harus juga benar. Demikianlah syarat sebuah argumentasi dikatakan sahih. Itu tidak berarti bahwa kesimpulan harus ditunjukkan supaya benar. Kebenarannya hanya ditampilkan jika premisnya benar. Jika premis benar dan argumentasinya sah, argumentasinya benar. Sebuah argumentasi benar adalah sasaran kerja filsafat.
Argumentasi induktif tidak mempunyai hubungan kemutlakan yang sama antara kebenaran premis dan kesimpulannya. Dalam sebuah argumentasi induktif, premis dianggap menjadi petunjuk penting bagi kebenaran kesimpulan dan bukan sebuah garansi bagi kebenarannya. Ambil contoh berikut. Tak seorang pun pernah berlari 100 meter kurang dari 9,7 menit. Wati akan berlari 100 meter besok. Maka, Wati tidak akan berlari 100 meter kurang dari 9,7 menit besok. Kesimpulan ini tidak diikuti oleh beberapa kemutlakan premis. Mungkin saja premis benar, tetapi kesimpulannya salah – Wati akan mengacaukannya dengan/karena ia berlari 100 meter secara menakjubkan. Argumentasi deduktif dalam kasus ini tidaklah sahih. Bagaimanapun juga, dalam persoalan ini, argumentasi yang mungkin tidak sahih tidak mengganggu kita. Kita tidak menuntut kesimpulan untuk mengikutinya sebagai masalah yang diperlukan dari premis. Cukuplah bila premis memberikan kita alasan baik yang luar biasa banyaknya untuk menerima kesimpulan. Maka argumentasi induktif tidak menuntut standar bukti ketat yang sama seperti dituntut oleh argumentasi deduktif.
Ada banyak perselisihan filosofis yang menarik dan penting mengenai status dan justifikasi argumentasi induktif. Kita semua butuh kejelasan tentang ini bahwa mereka benar-benar mempunyai tempat mereka dan berbeda dalam justifikasi argumentasi deduktif. Untuk menyatakan mereka tidak sahih, kita harus selalu menguji apakah premis-premis itu menyediakan bukti yang cukup untuk meneguhkan kesimpulan. Argumentasi abduksi, namanya yang lebih deskriptif “argumentasi untuk penjelasan yang terbaik”. Argumentasi ini mencari penjelasan terbaik dari suatu fenomena. Bentuk argumentasi ini adalah jenis catatan rasional terbaik yang bisa kita berikan untuk sebuah kesimpulan, jika ia tidak bisa ditunjukkan oleh argumentasi deduktif atau, jika ketidakcukupan pentunjuk untuk membangun argumentasi induktif.
Seandainya seseorang menyerap seluruh pelajaran tentang dirinya, masih tersedia tempat yang luas sebagai sarana kritik argumentasi. Pertama, seseorang bisa menunjukkan bahwa argumentasi itu berdiri di atas premis yang salah. Ia menyerang argumentasi pada sumbernya dan mencegahnya turun ke dasar. Dalam kesempatan lain, cukup untuk menunjukkan bahwa premis itu tidaklah dibangun. Kedua, seseorang bisa menunjukkan bahwa argumentasi itu berdiri di atas premis yang tidak diakui dan juga salah atau tidak dibangun sebagai kebenaran. Ketiga, jika argumentasi itu adalah deduktif strukturnya, seseorang bisa menunjukkan bahwa argumentasi itu tidaklah sahih. Orang melakukan ini dengan menunjukkan bahwa premis tidak memberikan garansi untuk kebenaran kesimpulan. Keempat, dalam sebuah argumentasi induktif, seseorang bisa menunjukkan bahwa premis tidak menyediakan petunjuk yang cukup untuk kesimpulan. Kelima, dalam sebuah argumentasi abduktif seseorang bisa memperdebatkan bahwa ada penjelasan yang lebih baik daripada yang ditawarkan seseorang. Keenam, seseorang bisa memperdebatkan bahwa sebuah bentuk pembenaran yang tidak pantas dan tidak cukup telah digunakan. Isu yang berbeda datang dari tipe argumentasi yang berbeda.
Terlihat bahwa pengujian argumentasi filosofis merupakan upaya yang agak negatif. Fokusnya ada pada kritik dan menemukan kesalahan. Akan tetapi, tujuannya yang meyakinkan adalah menemukan kebenaran, bukan sekadar untuk memporakporandakan argumentasi. Tentu saja benar bahwa filsafat bukanlah sebuah upaya negatif. Akan tetapi, keliru melihat seluruh aspek kritisnya negatif seluruhnya. Ketika kita menguji argumentasi dari semua sisi dan berusaha menemukan kesalahan di dalamnya, kita tidak (atau sebaliknya tidak akan) melakukannya hanya untuk kegemaran mencari-cari kesalahan. Fungsi pengujian kritis yang demikian itu lebih menyerupai fungsi bagian pengawasan mutu (quality control) di dalam sebuah pabrik. Kita mengkaji argumentasi seketat mungkin karena kita ingin seseorang yang keluar dan menikmati kehidupan intelektual menjadi selama dan seefektif mungkin. Meskipun demikian, yang lebih sering terjadi, sebuah argumentasi yang tidak sepenuhnya berhasil. Kita masih selalu bisa belajar dari pengujian yang teliti sebuah argumentasi, sekalipun kita mengakhirnya dengan menolaknya. Sedikitnya ada tiga cara untuk melakukannya. Pertama, argumentasi utama dalam filsafat semuanya, atau kadang-kadang sedikitnya, dikemukakan dan dipercaya oleh bebarapa orang tercerdas dalam masyarakat. Kedua, jika sebuah argumentasi cacat, kiranya hanya perlu sedikit perbaikan. Ketiga, untuk melihat kegagalan sebuah argumentasi, sekalipun argumentasi itu tidak dapat dipertukarkan lagi, adalah kita kadang-kadang bisa belajar dari kesalahan.
Jelaslah bahwa tak ada perbedaan antara membaca filsafat dengan baik dengan berfilsafat. Oleh karena itu, keahlian seorang pembaca yang perlu dikembangkan adalah keahlian berfilsafat. Keahlian berfilsafat ini dimulai dari pengembangan wawasan kritis seperti telah dianjurkan oleh Freeman (2004:vii) dapat dimulai dari langkah pertama dalam mengembangkan wawasan kritis itu adalah belajar membaca dengan apresiasi. Sejalan dengan pembacaan kritis dalam kerangka memahami dan apresiasi, Baggini (2004) meringkas persyaratan menjadi filosof sebagai berikut.
• Untuk menjadi filosof, seseorang perlu memperlakukan filsafat yang dibacanya, bukan sebagai teks otoritatif yang harus diserap dan dijelaskan, tetapi sebagai satu sisi perbincangan yang perlu diikuti. Seseorang perlu mendekati teks secara kritis dan kontruktif. Dibutuhkan keseimbangan antara mencari yang mungkin salah dari argumentasi itu dan mencari sejumlah kebenaran atau wawasan yang mungkin kurang mendalam.
• Penting untuk menerobos secara pasti apa yang tertulis pada halaman di depan Anda. Seseorang akan berusaha dan melihat apa yang memotivasi sebuah argumentasi, apa yang tidak dinyatakan oleh premis, yang berlindung di baliknya, dan bagaimana seseorang bisa membangun sebuah argumentasi. Yang dibaca seseorang hampir selalu menjadi permulaan penyelidikan dan bukan akhirnya.
• Jika semua ini menyebabkan membaca filsafat kedengaran sangat diperlukan, itu hanya karena jika dilakukan dengan semestinya, membaca filsafat memang diperlukan. Filsafat menuntut Anda untuk menggambarkan semua sumber daya intelektual Anda demi intelek yang menjadi satu-satunya sumber daya yang harus digarap bersama filsafat. Bagaimanapun juga, meskipun sebuah keharusan, sejumlah orang merasakannya bermanfaat, juga kadang-kadang menyegarkan.

Demikianlah pengantar ini berupaya menyediakan salah satu atau sebagian kunci untuk membuka pintu beberapa perbendaharaan filsafat, dalam hal ini khususnya Filsafat Hindu. Dengan kunci ini Anda sekaligus telah mengenal pintu filsafat yang hendak Anda masuki dan melakukan penjelajahan dalam ruang pemikiran tanpa batas. Selamat melakukan petualangan intektual dalam dunia pemikiran, bahkan dari dunia pemikiran yang satu ke dunia pemikiran yang lain, dunia filsafat yang beragam. Akan tetapi tugas Anda bukanlah merasakan enaknya pemikiran-pemikiran tersebut, merasakan nikmatnya filsafat itu; melainkan memikirkan enaknya pemikiran-pemikiran tersebut, memikirkan nikmatnya filsafat itu. Anda tidak diharapkan menjadi pecinta, melainkan menjadi pemikir cinta itu. Ini sebabnya saya sarankan Anda bisa menggunakan kunci ini dengan tepat dan sebaik-baiknya. Sekali lagi, ini hanyalah kunci untuk masuk pintu filsafat, selanjutnya, “terserah Anda”, tetapi satu yang saya harapkan Anda menemukan diri Anda gembira melintasi dunia filsafat yang mungkin sebelumnya begitu asing.
Saya pun paham bahwa tidak ada yang lebih menakutkan daripada keterasingan terutama terasing terhadap diri sendiri yang sebenarnya hadir dalam pengalaman sehari-hari. Keterasingan itu disebabkan oleh kegelapan (awidya) karena kegelapan yang berarti ketidaktahuan menyebabkan rendahnya kemampuan membedakan realitas, nama-rupa. Adakah yang lebih menakutkan daripada lemahnya kesadaran pada realitas? Untuk mengatasinya diperlukan pengetahuan benar (widya) karena pengetahuan benar dapat memberikan kejernihan, penerangan, dan pencerahan atas realitas. Pada posisi inilah upaya yang sedang kita lakukan; dan terima kasih kepada kesediaan dan kesetiaan Anda, telah menempatkan saya menjadi teman sehati dalam petualangan imajiner ini. Oleh karena itu, kata “maaf” bagi pembuka jalan kebijaksanaan harus saya sampaikan kepada Anda, karena jejak-jejak kebenaran tidak selalu mudah dikenali, dan langkah-langkah kebajikan terlalu samar dipahami. Itu sebabnya saya berpikir perlunya menyampaikan pesan berikut.

“Kehadiran penting bagi pengalaman,
pengalaman penting bagi pemahaman,
pemahaman penting bagi apresiasi,
apresiasi penting bagi nilai,
nilai penting bagi manusia,
dan terpenting bagi ‘kita’,
adalah kemanusiaan”.

Om Santih Santih Santih Om

Denpasar, 24 Maret 2005
I Wayan Sukarma

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...