CATUR PURUSHA ARTHA
Oleh I Wayan Sukarma
Tujuan hidup manusia yang terpenting menurut Hindu diklasifikasi menjadi empat, yaitu artha, kama, dharma, dan moksa. (1) Artha sebagai tujuan pertama adalah kepemilikan material. Ilmu pengetahuan yang melatari tujuan ini adalah ilmu ekonomi dan politik, teknik bertahan hidup untuk melawan sifat iri hati, terjun dalam persaingan, menentang fitnah dan pemerasan, tirani raja-raja lalim yang mengganggu, dan kekerasan para tetangga yang sembrono. Secara literer, kata “artha” berarti benda, objek, substansi, dan meliputi seluruh objek nyata yang dapat dimiliki, dinikmati dan hilang, dan yang kita butuhkan dalam kehidupan sehari-hari, yakni untuk memenuhi kebutuhan hidup yang benar, seperti antara lain untuk menghidupi rumah tangga, keluarga, dan membayar kewajiban agama. Objek ini, juga memberi kontribusi pada kesenangan inderawi, kenikmatan perasaan, dan kepuasan manusiawi yang alami, seperti cinta, karya seni yang indah, bunga, emas, pakaian yang bagus, rumah yang nyaman, kesenangan di meja makan.
Kata artha berkonotasi sebagai “memperoleh kekayaan dan kesejahteraan duniawi, kemajuan, keuntungan, harta-benda”, juga “hasil”; dalam dunia perdagangan: ”keluhan, aksi, dan petisi”. Kalau mengacu pada dunia eksternal, artha dalam konotasi yang paling luas, berarti bahwa “yang dapat dipahami, yakni objek inderawi”; kalau mengacu dunia jiwa batiniah, berarti “akhir dan tujuan, objek harapan, nafsu, motif, penyebab, alasan, kepentingan, manfaat, keinginan, dan kepedulian”; dan sebagai suku kata majemuk – artha berarti demi kepentingan, atas nama, dengan maksud”. Istilah ini juga meliputi semua makna (a) objek pencarian manusia, (b) alat untuk mencari, dan (c) kebutuhan dan nafsu yang mendorong pencarian ini.
Di India ada sebuah literatur khusus tentang pengetahuan yang cakupannya dipersempit pada wilayah politik, baik politik individu dalam kehidupan sehari-hari, maupun politik untuk mendapatkan, menguji, dan melanggengkan kekuasaan dan kekayaan sebagai raja. Ilmu pengetahuan ini diilustrasikan dalam fabel sebagai alat yang paling penting untuk menyampaikan filsafat kehidupan yang nyata. Buku teks itu kering, lucu, kasar, dan sinikal yang merefleksikan hukum rimba yang keras dalam kehidupan manusia. Manusia yang saling memangsa, menyerang, dan membunuh mengilhami pola berpikir seperti itu. Prinsip-prinsip dasarnya terbenam di bawah laut; sehingga ajarannya dinamakan Mastya-nyaya, “Prinsip atau Hukum (nyaya) Ikan (matsya)” – yang katakanlah “ikan-ikan besar memakan sesamanya yang kecil”. Ajaran ini, juga disebut Arthasastra, “Pedoman (sastra) tentang Pengetahuan Kekayaan (artha)”, yang di dalamnya bisa dijumpai semua hukum, politik, ekonomi, diplomasi, dan perang yang abadi.
Dua fabel yang paling terkenal adalah Pancatantra, “Lima (panca) Tenunan (tantra)”, yakni “Lima Risalah”, dan Hitopadesa, “Perintah (upadesa) di dalam Apa yang Disebut Faedah dan Keuntungan (hita)”. Salah satu risalah sistematis yang paling penting adalah sebuah karya ensiklopedik yang dikenal dengan Kautiliya Arthasastra, yang namanya dilekatkan setelah, dan secara tradisonal diatribusikan kepada, Canakya Kautilya, Ketua Candragupta Maurya, yang legendaris dan hidup akhir abad ke-4 SM. Sebuah risalah yang lebih pendek, yang kemudian disebut Barshapatya Arthasastra, adalah kumpulan pendek aforisme yang dianggap sebagai karya Brhaspati yang suci, seorang ketua mitos, pendeta istana, dan ketua penasihat politik Indra, raja dari dewa-dewa. Risalah pendek lain adalah karya Kamandaki, Nitisastra, “Sari, Buah atau Esensi (sastra) Perintah, atau Perilaku yang Benar (niti)”. Pelajaran-pelajaran yang bernilai, juga tampak dalam banyak dialog, kisah, dan fabel didaktik pada epos besar, Mahabharata – fragmen-fragmen dari risalah-risalah yang kini hilang itu berasal dari zaman feodal India abad ke-8 dan 9 SM.
(2)Kama adalah kesenangan dan cinta. Di dalam mitologi India, Kama adalah bagian dari Dewa Asmara. Dia adalah dewa cinta Hindu, yang dengan selembar bunga dan lima anak panah, mengirim hasrat yang menggetarkan hati. Kama adalah hasrat untuk berinkarnasi, dan tuan serta guru bumi, juga penguasa wilayah langit bagian bawah. Karya klasik Kama India yang masih bertahan adalah Kamasutra, ditulis oleh Vatsyayana. Karya ini menyebabkan India terkenal dengan reputasinya yang ambisius tentang sensualitas yang menyesatkan, karena masalah ini dihadirkan pada tingkat yang sepenuhnya sekular dan teknis, sebuah buku teks untuk para pecinta dan pelacur. Sikap Hidu yang utama sebenarnya adalah teliti, suci, dan sangat tenang, yang ditandai dengan penekanannya pada pencarian yang sepenuhnya spiritual dan kekhusukan pengalaman religius serta mistis. Ajaran Kama muncul untuk mengoreksi dan mencegah frustasi dalam kehidupan suami-istri yang pasti selalu terjadi di mana pernikahan itu mewadahinya dan percintaan menjadi tidak terkecualikan. Selama berabad-abad, pernikahan semakin sarat dengan masalah-masalah keluarga. Persetujuan kepala keluarga, yang didasarkan pada horoskop yang dibuat oleh para astrolog dan didasarkan pada pertimbangan ekonomi dan sosial, menentukan nasib pasangan pengantin muda. Tidak diragukan lagi ada banyak rumah tangga yang membosankan dan menyiksa yang bisa diatasi dengan studi kecil tentang pengetahuan pelacuran. Studi ini ditujukan untuk sebuah masyarakat yang dingin, tidak jangak; dan studi ini berisikan ikhtisar tentang teknik-teknik pemanasan dan perangsangan seks.
Walaupun terlalu teknis, beberapa pandangannya yang mendasar tentang sikap terhadap lawan jenis masih dapat diambil darinya – suatu konsep tentang psikologi cinta Hindu, analisis perasaan, dan ungkapan emosional, serta pandangan tentang tugas dan wilayah cinta. Oleh karena itu Kamasutra sebenarnya tidak jauh dari ajaran tantra, yang tiada lain adalah ajaran tentang penguasaan terhadap rasa dalam berbagai wujudnya, bahkan pada puncaknya mengarah pada hakikat sifatnya yang religius-spritual, teologis. Selain kitab tersebut, Natyasastra merupakan salah satu buku yang sejenis, mengenai teknik menari, berpantomim, bernyanyi, dan drama bagi para profesional.
(3)Dharma berisi seluruh kewajiban agama dan moral. Dharma itu, juga dipersonifikasikan sebagai dewa, tetapi dia merupakan pribadi yang relatif abstrak. Buku yang membahas tentang dharma adalah Dharmasastra dan Dharmasutra, atau buku-buku tentang Hukum. Sebagian buku ini diatribusikan pada tokoh-tokoh khayal terkemuka, seperti Manu, nenek moyang manusia, dan sebagian buku lainnya diatribusikan pada santa-santa dan guru-guru Brahman yang terkenal pada zaman dahulu. Karya-karya awal berisi petunjuk-petunjuk sosial, ritual, dan agama yang kemudian menjadi aliran-aliran Vedic. Akan tetapi buku-buku hukum terkemudian – dan yang paling terkenal adalah ikhtisar besar yang disusun oleh Manu – berisi seluruh konteks kehidupan Hindu ortodoks. Ritual-ritual dan tata cara sosial dari tiga kasta tinggi ini, Brahmana (pendeta), Ksatriya (bangsawan), dan Vaisya (pedagang dan petani) diformulasikan secara teliti berdasarkan praktek-praktek pribadi yang diduga berasal dari ajaran Sang Pencipta sendiri. Bukan raja atau milyuner, tetapi orang bijak, santa, Mahatma (yang secara literer berarti “murah hati”: “Diri atau Jiwa (atman) yang besar (mahat)” yang mendapat tempat atau penghormatan tertinggi dalam sistem ini. Sebagai tukang ramal, lidah atau juru bicara kebenaran abadi, dia merupakan orang yang menciptakan seluruh tatanan masyarakat. Sementara itu, raja, lebih tepatnya, menjadi pengelola tatanan tersebut; para petani dan pedagang berperan menyediakan bahan-bahan untuk membentuk tatanan itu; dan para pekerja (sudra) adalah orang-orang yang menyumbangkan tenaga fisiknya. Semua kasta ini diselaraskan dengan wahyu, pemeliharaan, dan pengalaman Yang Maha Agung sebagai imaji suci. Dengan demikian dharma adalah ajaran tentang kewajiban dan hak setiap manusia dalam sebuah masyarakat ideal, dan hukum atau cermin seluruh perilaku moral.
(4) Moksa, apavarga, nirvrtti, atau nivrtti adalah penebusan dosa, atau pembebasan spiritual. Pembebasan spiritual dianggap sebagai tujuan puncak, kebaikan manusia yang tertinggi, dan mengatasi tiga tujuan sebelumnya. Artha, Kama, dan Dharma yang dikenal sebagai trivarga, kelompok tiga, adalah pencarian dunia; masing-masing mengimplikasikan orientasi atau filsafat hidupnya sendiri-sendiri, dan memiliki sebuah literatur khusus. Tujuan tertinggi dalam pemikiran, penelitian, ajaran, dan tulisan India ini menyangkut tema pembebasan spiritual terbesar dari kebodohan dan nafsu ilusif duniawi pada umumnya, yaitu moksa. Moksa berasal dari kata muc, “melepaskan, membebaskan, mengeluarkan, mengirim; meninggalkan, lari, keluar”, berarti “pembebasan, pelarian, kebebasan, pelepasan; penyelamatan, pengiriman; pembebasan jiwa terakhir”. Apavarga, dari kata kerja apavrj, “mencegah, menghancurkan, menghilang; melepaskan, mencabut, mengeluarkan”, berarti “pelemparan, penembakan (peluru), pembebasan; penyempurnaan, pencapaian, pembebasan dari eksistensi, kepuasan, kebahagiaan, penyudahan, pelenyapan; pantangan dari kegiatan atau kerja; pemberhentian, pengunduran diri; berhenti dari perilaku atau emosi duniawi; diam, pelepasan dari dunia; istirahat, tidur, kebahagiaan yang luar biasa”. Semua istilah tersebut berarti suatu tujuan tertinggi manusia yang dipahami oleh orang suci India.
Bumi Rumah Kita
Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam I W a y a n S u k a r m a Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...
Cari Blog Ini
Arsip Blog
Popular Posts
-
SISTEM PENGOBATAN USADA BALI A.A. Ngr Anom Kumbara Pen gantar Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manu...
-
BRAHMAVIDYA DALAM BHUANA KOSA Oleh I Wayan Sukarma Abstrak Bhuana Kosa adalah lontar yang paling tua dalam kelompok lontar-lontar Siwaistik....
-
PERKEMBANGAN SHIWA-BUDDHA DI INDIA DAN INDONESIA (Pendekatan Ilmu Sejarah) Prof. D.Litt...
-
TATTWA JNÀNA: KAJIAN TERHADAP STRUKTUR I Wayan Suka Yasa 1. Pendahuluan “Candi pustaka” yang menjadi kepustakaan Hindu Bali...
-
REINKARNASI Wacana Surga-Bumi-Neraka I Wayan Suka Yasa Abstrak Keyakinan manusia pada reinkarnasi mungkin lebih tua dari se...
Tentang Penulis
Nama: I Wayan Sukarma
Email: putraghanes58@gmail.com