FILSAFAT HINDU

FILSAFAT HINDU: ANTARA BERPIKIR DAN PERCAYA (SEPENUHNYA)

Oleh I Wayan Sukarma

Sebelum masuk pada studi filsafat, kita harus membersihkan pikiran kita dari pertanyaan: Apa sebenarnya yang saya harapkan dari filsafat? Pada satu sisi, ada banyak orang yang secara diam-diam takut, yang spontan menolak jawaban-jawaban dari pertanyaan tersebut. Mereka melihat filsafat itu sulit dinikmati – suatu saat mungkin mengasyikan, tetapi sangat kompleks, berbelit-belit, abstrak, dan tidak memiliki nilai praktis. Bagi orang-orang yang berpendapat seperti ini, metafisika dipandang kabur dan tidak berguna, hanya memusingkan kepala; spekulasinya yang tiada batas berlawanan dengan penemuan-penemuan sains modern; dan telah tersisih dengan terbitnya buku-buku dari para pemikir terakhir. Pada sisi lain, apa yang dibutuhkan adalah sesuatu yang di luar pemikiran kritis; sesuatu yang seharusnya disadari secara intuitif oleh orang waras sebagai Kebenaran (dengan K besar) tentang eksistensi manusia dan sifat kosmos; sesuatu yang masuk ke dalam dada dan menembus hati, yang oleh Baudelaire disebut sebagai “mata kail baja dari dunia yang terbatas”. Apa yang dibutuhkan adalah sebuah filsafat yang akan menantang dan menuntaskan tugas yang pernah diperankan agama; dan kebutuhan ini tidak bisa dipenuhi oleh satu mata kuliah pun tentang validitas inferensi (Zimmer, 2003:15).

Kutipan di atas mencoba memperlihatkan dua model pemikiran, pertama, model pemikiran yang sepenuhnya menggunakan kekuatan akal dan kemampuan nalar, yang secara murni diterapkan berdasarkan sains-sains alam modern. Berfilsafat dimaknai hanya sebagai upaya menemukan dan menyusun informasi ilmiah atas pertanyaan mengenai hakikat atau azas mutlak alam semesta, manusia, dan Zat Tertinggi. Kedua, model pemikiran yang menggunakan kekuatan akal dan kemampuan nalar, yang dalam spekulasinya disempurnakan dalam kesadaran intuisi. Berfilsafat, di samping merupakan justifikasi argumentasi ilmiah, juga merupakan upaya memperoleh kesadaran mengenai sang diri terdalam manusia, kebenaran dan kebebasan.
Menurut Zimmer (2003:16) orang-orang bijak India berada pada pihak pemikir yang kedua. Sebenarnya, hanya pada tahun-tahun belakangan ini ajaran-ajaran mereka diterima banyak orang dalam bentuk teks cetak dan terjemahan populer. Mereka pertama-tama bersikeras memastikan, apakah seorang calon yang menempatkan filsafat pada kedudukannya dianugerahi kecakapan spiritual. Apakah dia telah menyelesaikan kuliah-kuliah pendahuluan? Apakah dia siap untuk mendapatkan pelajaran ketika bertatap muka dengan guru? Apakah dia patut mendapatkan tempat di kaki guru? Ini menunjukkan bahwa penyelesaian orang-orang bijak India terhadap teka-teki kehidupan dan pendekatan mereka terhadap misteri alam semesta sangat berbeda dengan apa yang dipakai dalam penelitian dan pendidikan modern terutama oleh para pemikir Barat. Orang-orang bijak India tidak menolak ataupun berapologi bahwa ajaran-ajaran mereka sulit dipahami, terlalu mistis, religius, dan oleh karenanya dipandang bersifat esoterik.
Filsafat pada prinsipnya sebagai pembantu penelitian empiris membuka tirai sains kontemporer; dan metafisika membuka kritik yang rasional dari setiap penjuru. Artinya, filsafat merupakan penalaran yang mutlak dibutuhkan, yakni filsafat adalah ide dan syarat bagi pemikiran praktis dan bukan terbatas hanya pada ide yang menggantung di langit awang-awang rasionalitas teoretis, sebagaimana dimaknai oleh sebagian dari para kretisi bahwa filsafat dan umumnya teori-teori hanya digunakan menghegemoni realitas. Dengan demikian filsafat hanya memperoleh posisi abstraknya, tanpa makna praktis, dan tidak perduli terhadap kehidupan manusia di bumi realitas yang sarat makna, penuh kontradiksi norma-norma, dan konflik nilai-nilai, yang sesungguhnya adalah bidang utama dari kajiannya. Belajar filsafat bukan terbatas hanya pada penguasaan berbagai pengetahuan filsafat (filosofistik), tetapi berikhtiar menemukan pemahaman yang jernih tentang sesuatu, “keinginan menjadi arif”. Belajar filsafat berarti belajar untuk berhasrat pada kearifan atau belajar untuk mencintai kearifan, kebijaksanaan.
Untuk itu diperlukan kepandaian, upaya, dan kerja keras berdasarkan semangat, kekuatan, dan kemampuan akal, yang semata-mata dilakukan demi menaklukkan data-data empiris dalam kancah realistis dengan pertukaran pemikiran secara rasional. Dengannya, kearifan diraih, melalui pengambilan sikap terhadap suatu pendirian tertentu dalam kehidupan. Walaupun demikian, bukanlah akal semata-mata menjadi sarana utamanya, melainkan juga diperlukan penguatan dan peneguhan diri (buddhi) dalam suasana kesadaran penuh, kemampuan menjadikan diri sendiri sebagai subjek dan sekaligus objek dalam berlimpahnya nama dan bentuk. Dalam berfilsafat tidak ada seorangpun yang “telah tahu” atau telah menemukan kepastian kebenaran, karena filsafat dalam hal ini berarti “hasrat menemukan kebenaran”. Menemukan kebenaran mutlak di dalam dunia relatif, merupakan kemustahilan dan usaha yang sia-sia, tetapi juga bukan hal yang tak mungkin, absurd. Untuk itu diperlukan sistematika berpikir yang tidak sederhana dalam keseluruhan keberadaan yang sesungguhnya sederhana, sekaligus kompleks. Mengingat kebenaran itu, bukanlah subjek dan juga bukan objek. Dia, ada di luar kemampuan penginderaan. Indera tidak bisa menjangkaunya, walaupun kekuatan dan kemampuannya diperluas hingga tak terbatas. Kebijaksaan tidaklah mungkin didapat hanya dengan menambah pengetahuan dan menambah kekuatan indera. Ia bukan semata-mata keluasan, melain juga kedalaman. Oleh karena itu objek filsafat tidak bisa ditentukan di sini-sekarang. Mengingat objek filsafat adalah segala keberadaan, bukan terbatas hanya pada ada yang sekarang saja, tetapi juga ada yang pernah ada, bahkan ada yang mungkin ada, karena itu studi filsafat mempunyai rumusan yang beragam.
Tanpa mempersoalkan ragam mana dari rumusan yang benar, pada dasarnya filsafat adalah usaha akal manusia mencari dan mendapatkan pandangan mengenai dunia dan pandangan hidup yang benar, yang memuaskan pencarinya . Usaha berfilsafat dimulai ketika orang berusaha menjelaskan asal-mula dan tujuan dunia serta kejadian-kejadian yang terjadi di dalamnya berdasarkan akalnya, bukan berdasarkan keterangan agama. Orang secara teknis mulai berfilsafat dalam arti yang sebenarnya, jika ia mulai dengan akalnya mencari jawaban atas segala persoalan yang bersangkutan dengan dunia, baik mengenai asal mulanya maupun nasib dan tujuannya.
Tujuan berfilsafat menurut Palmquis (2002:52) berasal dari pengakuan kebebalan hingga meraih cinta kealiman dan dari rasa takjub berkeheningan hingga memperoleh pemahaman tentang kata-kata. Metafisika misalnya, dapat mengajarkan perbedaan antara hal-hal yang bisa diketahui dan yang tidak bisa diketahui. Hanya jika telah mempelajarinya, keberanian memasuki wilayah logika telah siap dalam kematangannya karena logika akan mengajarkan pemahaman tentang kata-kata. Segera setelah memiliki pondasi teoretis ini penerapan pemahaman baru ini dapat digunakan menggapai kebenaran dan pengetahuan yang relevan dengan kehidupan manusia. Mencari “ilmu sejati” inilah yang disebut cinta kealiman. Dengan mencintai kealiman maka penyelidikan pada tahapan berikutnya tanpa tersesat dalam kawasan yang menakjubkan bisa dilanjutkan sehingga melahirkan sikap yang sunguh-sungguh takjub berkeheningan.
Filsafat Barat melalui banyak guru filsafat terkenal, sejak Thales di Militos dan Pythagoras sampai dengan Empedocles dan Plato; dari Plotinus dan para pemikir Neoplatonik sampai dengan mistikus-mistikus Abad Pertengahan; dan kemudian pada Spinoza dan Hegel, bergulat dengan masalah-masalah yang melampaui wilayah akal sehat, yang hanya bisa diungkapkan dalam rumusan yang sulit dan samar, dan dengannya paradoks. Filsafat telah berhasil dan sangat berjasa membangun dunia empiris yang sempurna, tetapi meninggalkan begitu banyak ruang kosong bagi sastra-sastra agama, keyakinan, dan kepercayaan. Mengingat filsafat dan mitos merupakan dua objek yang sama dalam perbedaannya. Hal ini terbentang dalam keseluruhan sejarah pemikiran Barat, yang diawali sejak masa kosmosentris dan teosentris hingga ke antroposentris.
Para pemikir Timur sama sadarnya dengan para pemikir Barat atas fakta bahwa kekuatan akal dan kemampuan nalar (baca: logos) tidak cukup untuk menuntaskan masalah-masalah tersebut guna mengungkapkan kebenaran. Sebagaimana Rene Descartes dengan “cogito ergo sum” -nya menyangsikan secara radikal segala sesuatu, ada. Berpikir itu dibatasi oleh bahasa, dan karenanya lebih banyak menyisakan ruang-kosong terbuka. Berpikir itu semacam berbicara di dalam diri tanpa suara, tidak bisa dirumuskan dalam kata-kata atau simbol-simbol, karena itu tradisi yang ada tidak eksis dalam proses berpikir. Oleh karenanya diperlukan akal yang kreatif, khusus, cerdas, dan berani untuk menembus apa yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata. Dengan demikian muncul kepermukaan sebuah analisis dalam penerimaan penuh terhadap apa yang disebut intuisi. Seluruh raga disertakan melalui disiplin diri dalam olah rasa, olah-hasrat, olah-niat, olah-akal, olah-budi, dan olah-cipta-rasa-karsa yang permanen sebagaimana dikenal di dalam disiplin yoga. Dengan tradisi yoga ini, filsafat India menjadi sebuah mental praktis dan disiplin fisik untuk mewujudkan kehidupannya melalui bangkit dan hidupnya akal pikiran. Filsafat Hindu menyelidiki alam, dicari intisarinya, diselami hakikatnya, dicari sebab-sebab yang sedalam-dalamnya, akan tetapi tidaklah berhenti di situ saja, masih mempunyai tujuan lebih lanjut: kebebasan (Poedjawijatna, 1986:54).
Persoalan kebebasan, kebenaran, hakikat alam, dan kemanusiaan termasuk moral Hindu banyak diuraikan dalam Kitab Suci Weda. Menurut keyakinan Hindu isi kitab ini diwahyukan oleh Tuhan (walaupun beberapa pemikiran filosofis India, seperti Mimamsa menolaknya) melalui para resi, para brahmana, dan para guru. Pewahyuan itu terjadi secara langsung di dalam hati sanubari para resi atau para brahmana atau para guru tadi tentang kejadian-kejadian yang sedang dihadapi. Misalnya, kejahatan, baik alam maupun moral, seperti berakenaragam bencana alam, malapetaka keyakinan, dehumanisasi, kemerosotan dan keruntuhan moral, terancamnya keselamatan, dan lain-lainnya; sebagaimana juga banyak diwejangkan oleh Bhagavan Sri Krsna, sang avatara dalam Bhagavadgita. Jadi, “orang Hindu” berfilsafat lebih dimotivasi oleh kenyataan bahwa hidup adalah keterikatan yang menyebabkan penderitaan; dan penderitaan itu harus dilenyapkan; tujuannya adalah untuk mencapai kebebasan, realisasi diri yang terdalam, kesempurnaan. Sebagaimana halnya filsafat Barat, pusat pemikiran filosofis dalam Hindu, juga diawali dengan mendalami hakikat alam semesta, prinsip mutlak segala sesuatu, hakikat hidup dan kehidupan, atman dan brahman, dan hakikat manusia sebagai prinsip hidup, tindakan dalam berlimpahnya ruang dan waktu. Demikianlah Weda, wahyu Tuhan, mengajarkan hakikat hidup dan tujuan hidup serta cara-cara menjalankan hidup yang benar dimulai dari pengertian mendalam tentang alam semesta melalui berbagai manifestasi dewa-dewa.
Semula wahyu itu diteruskan oleh penerimanya kepada generasi berikutnya secara lisan dan kemudian, dibukukan dalam kitab Weda. Begitu Weda disampaikan secara lisan, diucapkan, dinyanyikan, dan kemudian ditulis. Jarak waktu antara pewahyuan yang pertama dan pembukuan yang terakhir meliputi zaman hingga berabad-abad, kira-kira dari 2000 SM hingga 500 SM, selama kira-kira 1500 tahun. Pembukuan itu terjadi secara bertahap, yakni pertama-tama yang terkumpul adalah bagian Weda yang disebut Samhita kemudian, bagian Weda yang disebut Brahmana, dan akhirnya, bagian Weda yang disebut Upanisad. Kitab Weda Samhita terdiri atas Rg. Weda, Yayur Weda, Sama Weda, dan Atharwa Weda merupakan kumpulan mantera yang berbentuk syair yang digunakan untuk melakukan pemujaan dan persembahan. Di dalamnya juga berisi tenung, sihir, dan segala yang berhubungan dengan magi. Kitab Brahmana berbentuk prosa berisi peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban keagamaan terutama keterangan mengenai kurban, yadnya. Kitab Upanisad berbentuk prosa berisi keterangan mendalam mengenai asal mula dan tujuan alam semesta dan isinya terutama mengenai manusia dan keselamatannya. Inilah garis-garis besar kitab-kitab sumber utama dalam agama Hindu, lebih luas lagi Hinduisme.
Hinduisme menaungi berbagai agama dan sub-agama yang berbeda-beda. Di India ada beragam agama dan sub-agama yang berkembang yang memiliki akar tradisi dan dasar religiusitas yang sama . Kebanyakan agama dan sub-agama itu memiliki kepercayaan pada dewa-dewa yang jumlahnya sangat banyak, tetapi Zaehner (1992) melihat bahwa panteon para dewa di dalam Weda secara kasar dapat dibagi dalam tiga kelas, yaitu kelompok dewa dari surga, dari angkasa, dan dari bumi. Hal ini sejalan dan disejajarkan dengan tiga kelas besar pembagian masyarakat India, yaitu brahmana (pepimpin upacara agama), ksatriya (tentara dan raja), dan waisya (petani dan pekerja). Ketiga kelompok kelas ini identik dengan Dewa Agni (api), Dewa Indra (dewa perang), dan Visva Deva (dewa semesta). Walaupun demikian, kesemua dewa itu hanya merupakan manifestasi dari satu dewa Tertinggi, Brahman. Ini membuktikan bahwa pada dasarnya Hinduisme merupakan suatu kepercayaan monoteistik, percaya hanya pada satu Tuhan. Hinduisme, juga dikenal sebagai Sanatana Dharma, “kebajikan abadi”.
“Sanatana dharma”, lagi-lagi tidak bisa dihindari untuk disalahpahami karena terbatasnya kata untuk merangkum makna definitif yang terkandung di dalamnya. Rupanya ide-ide dan nilai-nilai pada setiap zaman harus dibatasi oleh penciptaan bahasa yang tersedia; jumlah dan skup kata-kata, baik kata benda, kata kerja, kata sifat, kata sambung, kata keadaan, dan metapora. Semua ini dalam filsafat India disebut naman atau nama, yakni substansi di mana dengannya akal bekerja karena berpikir berisikan konsep-konsep nama, bahkan tanpa batas. Nama adalah realitas internal dari konsep-konsep yang berkaitan dengan realitas eksternal, yakni bentuk-bentuk yang ditangkap keadaan dan warna (rupa). Rupa adalah bagian luar dari nama; dan nama adalah bagian dalam dari rupa. Oleh karena itu nama-rupa bermakna manusia, pengalaman, dan individu yang berpikir, dan juga bermakna semua alat dan objek dari pikiran dan persepsi . Nama-rupa adalah keseluruhan dunia, baik objektif maupun subjektif, sebagaimana yang diamati dan diketahui . Di atas nama-rupa tersebut segala pemikiran filosofis India melakukan pergumulan dan pergulatan yang tiada henti-hentinya.
Walaupun demikian, semua aliran filsafat India sepakat bahwa objek puncak dari pikiran dan tujuan akhir pengetahuan terletak di luar rentang nama-rupa. Puncak pengetahuan tertinggi terletak di balik kebodohan (avidya) yang menutupi kesadaran atas Realitas Diri, yang merupakan satu-satunya Ada. Filsafat dengan demikian adalah salah satu dari banyak kearifan atau pengetahuan (vidya), yang mengarahkan pada satu tujuan praktis, yaitu pada pencapaian keadaan suci di dunia dan akhirat. Keadaan suci sebagaimana dikatakan oleh Pythagoras merupakan satu-satunya syarat untuk membebaskan jiwa dari belenggunya, yaitu materi atau badan. Seorang filosof-yogi adalah yang menguasai pikiran dan tubuh, nafsu, reaksi, dan meditasinya sendiri. Dia adalah orang yang telah mentransendensikan ilusi (maya) dan semua pemikiran manusia normal lainnya. Dia tidak terganggu oleh kemalangan. Dia melampaui nasibnya .
Mentransendensikan ilusi (maya) merupakan ajaran pertama dan utama bagi murid filsafat, setelah ia menunjukkan sikap susrusa dan sradha kepada guru. Hanya sebagai inspirasi dalam medan perbandingan kualifikasi “para pembelajar” dari masa ke masa perlu diketahui suasana belajar dan proses pembelajaran pada zaman India kuno. Pada zaman India kuno setiap pengetahuan diasosiasikan dengan sebuah keterampilan yang sangat khusus dan pandangan hidup yang baik. Pengetahuan dikuasai melalui pembelajaran dari seorang guru yang mumpuni, yakni seorang guru yang pintar, pandai, arif, dan sakti. Penyerahan diri secara total berupa kepatuhan (susrusa) dan keyakinan yang implisit (sradha) seorang murid kepada otoritas guru merupakan ciri-ciri yang mendominasi pendidikan masa itu . Susrusa adalah keinginan yang kuat untuk mendengar, patuh, dan mengedepankan apa yang masuk ke telinganya; sikap patuh ini mengimplikasikan ketundukan, takzim, dan pelayanan. Sebagaimana juga ditegaskan oleh Mehta (2005:137) bahwa proses belajar menuntut kemampuan total untuk bisa mendengarkan dan melihat. Mendengarkan tanpa melakukan interpretasi dan melihat tanpa melakukan evaluasi – ini sajalah yang berlaku sebagai latar belakang mencari Kesejatian.
Sradha adalah sikap percaya dan ketenangan pikiran; sradha ini menuntut dibuangnya sikap pikiran yang independen dan kritik dari seorang murid; dan di sini lagi-lagi dibutuhkan sikap takzim, keinginan yang kuat dan berapi-api. Dengan cara ini, filsafat India (Hindu) dibarengi dan didukung dengan mempraktekkan sebuah pandangan hidup – pengasingan monastik, asketisme, meditasi, berdoa, amalan yoga, dan sembahyang dalam waktu yang lama setiap harinya. Fungsi persembahyangan adalah untuk mengalirkan esensi kebenaran suci kepada pelakunya. Kebenaran ini mewujudkan dalam bentuk-bentuk simbolik yang suci dan mengarahkan pikiran, atau figur-figur manusia yang luar biasa serta dalam diri guru yang merupakan inkarnasi dari kebenaran dan mengungkap kebenaran secara terus-menerus melalui pengajaran dan jalan hidup kesehariannya. Dalam hal ini filsafat India sangat terkait dengan agama, sakramen, upacara, tapa brata, dan upakara yadnya, sebagaimana filsafat Barat modern sangat terkait dengan sains-sains alam dan metode-metode penelitiannya .
Seorang murid filsafat, setelah menunjukkan sikap susrusa dan sradha kepada gurunya kemudian, diajarkan cara-cara memahami dan mengatasi realitas. Cara untuk mentransendensikan ilusi (maya) yang harus dikuasasi oleh seorang murid yang mampu dan matang (adhikarin) ada beberapa jalan atau ajaran . Pertama adalah “membedakan antara benda yang permanen dan benda yang bersifat sementara” (nitya-anitya-vastu-viveka)”. “Brahman sendiri”, yang diketahui, “adalah substansi yang permanen; semua, selain Dia, bersifat sementara”. Semua objek di dunia ini yang dapat dirasakan oleh panca indera, semua benda dan sifat-sifatnya adalah hasil dari perilaku (karma). Akan tetapi kegembiraan di dunia mendatang, juga tidak bersifat abadi dan hanyalah hasil perilaku (purva karma). Kedua, adalah menampik segala ilusi semacam itu harus dilakukan oleh murid filsafat yang telah menyelami keempat kitab Weda. Dia harus sungguh-sungguh dan pasti menolak setiap buah dari perilakunya dalam segala predikat. Ini penolakan yang benar: “ihamutrarthaphalabhogaviragah”; “ketidakacuhan (viragah) terhadap kesenangan (bhoga) dari buah (phala) perilaku (artha), baik di dunia ini (iha) maupun di akhirat kelak (amutra).
Ketiga adalah konsentrasi sebagai upaya pengendalian diri, yaitu terdiri atas sama, dama, dan uparati. Sama, “kesunyian mental, ketenangan nafsu”. Sama adalah sikap atau mode perilaku, yang menjaga pikiran dari persoalan yang ditimbulkan oleh objek-objek inderawi – hanya kegiatan merasakan yang mengizinkan murid filsafat bisa mendengar kata-kata gurunya dengan sungguh-sungguh. Dama adalah “menaklukkan indera”, yang menurut pengetahuan klasik Hindu manusia memiliki lima fakultas untuk memahami, yaitu mendengar, meraba, melihat, merasa, dan membau, panca-budhindrya; dan lima fakultas untuk bertindak, yaitu berbicara, memegang, bergerak, mengosongkan, dan berketurunan, panca-karmendrya; serta sebuah organ batiniah yang berfungsi mengendalikan (antah karana), yang berupa ego (ahankara), ingatan (cittam), pemahaman (buddhi), dan perenungan (manas). Dama merujuk pada tindakan memalingkan seluruh sistem ini secara pasti dari dunia luar. Kemudian, urapati adalah “berhenti sepenuhnya dari perilaku fakultas memahami dan bertindak inderawi”.
Keempat adalah titiksa, “ketabahan, kesabaran”, menggambarkan kekuatan untuk bertahan tanpa terganggu sedikit pun oleh panas dan dingin, kebahagiaan dan kesengsaraan, kehormatan dan kehinaan, kehilangan dan pemerolehan, dari semua pasangan positi-negatif lainnya (dvandva), yang oleh Pythagoras dikatakan berjumlah sepuluh pasang . Murid siap untuk membawa pikirannya mengatasi gangguan-gangguan di dunia ini. Kelima, samadhana, “konsentrasi pikiran yang konstan”. Keenam, sekarang ia mampu menjaga perhatian tetap tertuju pada ajaran-ajaran gurunya, dan dapat membaca teks-teks suci atau simbol-simbol dan karangan-karangan meditasinya yang intensif tanpa jeda. Sam-a-dha berarti “menggabungkan, menyatukan, menyusun, mengumpulkan”; dan berkonsentrasi, memastikan, mengerahkan secara intensif (mata atau pikiran)”. Samadhana adalah suatu kondisi yang dicapai serta kegiatan diri. Samadhana adalah pemusatan pikiran pada sesuatu tanpa terganggu sama sekali dan kontemplasi yang juga tidak bisa diganggu: “meditasi khusus, kemantapan, ketenangan, kedamaian pikiran, penyerapan sempurna semua pikiran pada suatu objek”. Setelah ajaran keenam itu dapat dicapai maka sempurnalah keyakinannya. Oleh karena itu Pippalada, Sang Guru Agung Upanisad, mengatakan kepada keenam muridnya, “Tinggal di sini satu tahun dan kembangkan Tapa, Brahmacarya, dan Sradha. Setelah itu ajukan pertanyaan sesuai dengan keinginanmu, dan apabila kebetulan aku mengetahuinya, aku akan jawab apa pun yang ingin kalian ketahui” (Mehta, 2005:103). Jadi, untuk memiliki kemampuan bertanya saja, seorang murid harus menunggu selama satu tahun dengan syarat harus mengembangkan Tapa, Brahmacarya, dan Sradha. Sebagaimana umumnya dalam berfilsafat senantiasa ditandai dengan kemampuan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendalam tentang hakikat realitas.
Setelah mengetahui persyaratan bagi seorang murid filsafat maka sebelum masuk ke wilayah pemirkiran filsafat Hindu, mungkin ada baiknya memperoleh sepintas gambaran mengenai tujuan hidup dan model klasifikasi masyarakat India (pada masa kuno) sebagai landasan analisis untuk memahami perkembangan pemikiran spekulatif filsafat Hindu pada zamannya masing-masing, sebagaimana dijelaskan oleh Zimmer (2003) berikut. Tujuan hidup manusia yang terpenting diklasifikasi menjadi empat, yaitu artha, kama, dharma, dan moksa.
(1) Artha sebagai tujuan pertama adalah kepemilikan material. Ilmu pengetahuan yang melatari tujuan ini adalah ilmu ekonomi dan politik, teknik bertahan hidup untuk melawan sifat iri hati, terjun dalam persaingan, menentang fitnah dan pemerasan, tirani raja-raja lalim yang mengganggu, dan kekerasan para tetangga yang sembrono. Secara literer, kata “artha” berarti benda, objek, substansi, dan meliputi seluruh objek nyata yang dapat dimiliki, dinikmati dan hilang, dan yang kita butuhkan dalam kehidupan sehari-hari, yakni untuk memenuhi kebutuhan hidup yang benar, seperti antara lain untuk menghidupi rumah tangga, keluarga, dan membayar kewajiban agama. Objek ini, juga memberi kontribusi pada kesenangan inderawi, kenikmatan perasaan, dan kepuasan manusiawi yang alami, seperti cinta, karya seni yang indah, bunga, emas, pakaian yang bagus, rumah yang nyaman, kesenangan di meja makan.
Kata artha berkonotasi sebagai “memperoleh kekayaan dan kesejahteraan duniawi, kemajuan, keuntungan, harta-benda”, juga “hasil”; dalam dunia perdagangan: ”keluhan, aksi, dan petisi”. Kalau mengacu pada dunia eksternal, artha dalam konotasi yang paling luas, berarti bahwa “yang dapat dipahami, yakni objek inderawi”; kalau mengacu dunia jiwa batiniah, berarti “akhir dan tujuan, objek harapan, nafsu, motif, penyebab, alasan, kepentingan, manfaat, keinginan, dan kepedulian”; dan sebagai suku kata majemuk – artha berarti demi kepentingan, atas nama, dengan maksud”. Istilah ini juga meliputi semua makna (a) objek pencarian manusia, (b) alat untuk mencari, dan (c) kebutuhan dan nafsu yang mendorong pencarian ini.
Di India ada sebuah literatur khusus tentang pengetahuan yang cakupannya dipersempit pada wilayah politik, baik politik individu dalam kehidupan sehari-hari, maupun politik untuk mendapatkan, menguji, dan melanggengkan kekuasaan dan kekayaan sebagai raja. Ilmu pengetahuan ini diilustrasikan dalam fabel sebagai alat yang paling penting untuk menyampaikan filsafat kehidupan yang nyata. Buku teks itu kering, lucu, kasar, dan sinikal yang merefleksikan hukum rimba yang keras dalam kehidupan manusia. Manusia yang saling memangsa, menyerang, dan membunuh mengilhami pola berpikir seperti itu. Prinsip-prinsip dasarnya terbenam di bawah laut; sehingga ajarannya dinamakan Mastya-nyaya, “Prinsip atau Hukum (nyaya) Ikan (matsya)” – yang katakanlah “ikan-ikan besar memakan sesamanya yang kecil”. Ajaran ini, juga disebut Arthasastra, “Pedoman (sastra) tentang Pengetahuan Kekayaan (artha)”, yang di dalamnya bisa dijumpai semua hukum, politik, ekonomi, diplomasi, dan perang yang abadi.
Dua fabel yang paling terkenal adalah Pancatantra, “Lima (panca) Tenunan (tantra)”, yakni “Lima Risalah”, dan Hitopadesa, “Perintah (upadesa) di dalam Apa yang Disebut Faedah dan Keuntungan (hita)”. Salah satu risalah sistematis yang paling penting adalah sebuah karya ensiklopedik yang dikenal dengan Kautiliya Arthasastra, yang namanya dilekatkan setelah, dan secara tradisonal diatribusikan kepada, Canakya Kautilya, Ketua Candragupta Maurya, yang legendaris dan hidup akhir abad ke-4 SM. Sebuah risalah yang lebih pendek, yang kemudian disebut Barshapatya Arthasastra, adalah kumpulan pendek aforisme yang dianggap sebagai karya Brhaspati yang suci, seorang ketua mitos, pendeta istana, dan ketua penasihat politik Indra, raja dari dewa-dewa. Risalah pendek lain adalah karya Kamandaki, Nitisastra, “Sari, Buah atau Esensi (sastra) Perintah, atau Perilaku yang Benar (niti)”. Pelajaran-pelajaran yang bernilai, juga tampak dalam banyak dialog, kisah, dan fabel didaktik pada epos besar, Mahabharata – fragmen-fragmen dari risalah-risalah yang kini hilang itu berasal dari zaman feodal India abad ke-8 dan 9 SM.
(2) Kama adalah kesenangan dan cinta. Di dalam mitologi India, Kama adalah bagian dari Dewa Asmara. Dia adalah dewa cinta Hindu, yang dengan selembar bunga dan lima anak panah, mengirim hasrat yang menggetarkan hati. Kama adalah hasrat untuk berinkarnasi, dan tuan serta guru bumi, juga penguasa wilayah langit bagian bawah. Karya klasik Kama India yang masih bertahan adalah Kamasutra, ditulis oleh Vatsyayana. Karya ini menyebabkan India terkenal dengan reputasinya yang ambisius tentang sensualitas yang menyesatkan, karena masalah ini dihadirkan pada tingkat yang sepenuhnya sekular dan teknis, sebuah buku teks untuk para pecinta dan pelacur. Sikap Hidu yang utama sebenarnya adalah teliti, suci, dan sangat tenang, yang ditandai dengan penekanannya pada pencarian yang sepenuhnya spiritual dan kekhusukan pengalaman religius serta mistis. Ajaran Kama muncul untuk mengoreksi dan mencegah frustasi dalam kehidupan suami-istri yang pasti selalu terjadi di mana pernikahan itu mewadahinya dan percintaan menjadi tidak terkecualikan. Selama berabad-abad, pernikahan semakin sarat dengan masalah-masalah keluarga. Persetujuan kepala keluarga, yang didasarkan pada horoskop yang dibuat oleh para astrolog dan didasarkan pada pertimbangan ekonomi dan sosial, menentukan nasib pasangan pengantin muda. Tidak diragukan lagi ada banyak rumah tangga yang membosankan dan menyiksa yang bisa diatasi dengan studi kecil tentang pengetahuan pelacuran. Studi ini ditujukan untuk sebuah masyarakat yang dingin, tidak jangak; dan studi ini berisikan ikhtisar tentang teknik-teknik pemanasan dan perangsangan seks.
Walaupun terlalu teknis, beberapa pandangannya yang mendasar tentang sikap terhadap lawan jenis masih dapat diambil darinya – suatu konsep tentang psikologi cinta Hindu, analisis perasaan, dan ungkapan emosional, serta pandangan tentang tugas dan wilayah cinta. Oleh karena itu Kamasutra sebenarnya tidak jauh dari ajaran tantra, yang tiada lain adalah ajaran tentang penguasaan terhadap rasa dalam berbagai wujudnya, bahkan pada puncaknya mengarah pada hakikat sifatnya yang religius-spritual, teologis. Selain kitab tersebut, Natyasastra merupakan salah satu buku yang sejenis, mengenai teknik menari, berpantomim, bernyanyi, dan drama bagi para profesional.
(3) Dharma berisi seluruh kewajiban agama dan moral. Dharma itu, juga dipersonifikasikan sebagai dewa, tetapi dia merupakan pribadi yang relatif abstrak. Buku yang membahas tentang dharma adalah Dharmasastra dan Dharmasutra, atau buku-buku tentang Hukum. Sebagian buku ini diatribusikan pada tokoh-tokoh khayal terkemuka, seperti Manu, nenek moyang manusia, dan sebagian buku lainnya diatribusikan pada santa-santa dan guru-guru Brahman yang terkenal pada zaman dahulu. Karya-karya awal berisi petunjuk-petunjuk sosial, ritual, dan agama yang kemudian menjadi aliran-aliran Vedic. Akan tetapi buku-buku hukum terkemudian – dan yang paling terkenal adalah ikhtisar besar yang disusun oleh Manu – berisi seluruh konteks kehidupan Hindu ortodoks. Ritual-ritual dan tata cara sosial dari tiga kasta tinggi ini, Brahmana (pendeta), Ksatriya (bangsawan), dan Vaisya (pedagang dan petani) diformulasikan secara teliti berdasarkan praktek-praktek pribadi yang diduga berasal dari ajaran Sang Pencipta sendiri. Bukan raja atau milyuner, tetapi orang bijak, santa, Mahatma (yang secara literer berarti “murah hati”: “Diri atau Jiwa (atman) yang besar (mahat)” yang mendapat tempat atau penghormatan tertinggi dalam sistem ini. Sebagai tukang ramal, lidah atau juru bicara kebenaran abadi, dia merupakan orang yang menciptakan seluruh tatanan masyarakat. Sementara itu, raja, lebih tepatnya, menjadi pengelola tatanan tersebut; para petani dan pedagang berperan menyediakan bahan-bahan untuk membentuk tatanan itu; dan para pekerja (sudra) adalah orang-orang yang menyumbangkan tenaga fisiknya. Semua kasta ini diselaraskan dengan wahyu, pemeliharaan, dan pengalaman Yang Maha Agung sebagai imaji suci. Dengan demikian dharma adalah ajaran tentang kewajiban dan hak setiap manusia dalam sebuah masyarakat ideal, dan hukum atau cermin seluruh perilaku moral.
(4) Moksa, apavarga, nirvrtti, atau nivrtti adalah penebusan dosa, atau pembebasan spiritual. Pembebasan spiritual dianggap sebagai tujuan puncak, kebaikan manusia yang tertinggi, dan mengatasi tiga tujuan sebelumnya. Artha, Kama, dan Dharma yang dikenal sebagai trivarga, kelompok tiga, adalah pencarian dunia; masing-masing mengimplikasikan orientasi atau filsafat hidupnya sendiri-sendiri, dan memiliki sebuah literatur khusus. Tujuan tertinggi dalam pemikiran, penelitian, ajaran, dan tulisan India ini menyangkut tema pembebasan spiritual terbesar dari kebodohan dan nafsu ilusif duniawi pada umumnya, yaitu moksa. Moksa berasal dari kata muc, “melepaskan, membebaskan, mengeluarkan, mengirim; meninggalkan, lari, keluar”, berarti “pembebasan, pelarian, kebebasan, pelepasan; penyelamatan, pengiriman; pembebasan jiwa terakhir”. Apavarga, dari kata kerja apavrj, “mencegah, menghancurkan, menghilang; melepaskan, mencabut, mengeluarkan”, berarti “pelemparan, penembakan (peluru), pembebasan; penyempurnaan, pencapaian, pembebasan dari eksistensi, kepuasan, kebahagiaan, penyudahan, pelenyapan; pantangan dari kegiatan atau kerja; pemberhentian, pengunduran diri; berhenti dari perilaku atau emosi duniawi; diam, pelepasan dari dunia; istirahat, tidur, kebahagiaan yang luar biasa”. Semua istilah tersebut berarti suatu tujuan tertinggi manusia yang dipahami oleh orang suci India.
Paramartha – “objek (artha) yang terpenting (parama)” – tidak lain kecuali realitas dasar yang melatari realitas fenomenal. Realitas dasar ini bisa ditangkap ketika kesan-kesan indera fisik yang masuk ke saraf otak untuk menyalurkan nafsu dan emosi ego tidak lagi menipu. Maka realitas dasar ini tidak bersifat ilusif. Paramartha-vid, “dia yang mengatahui (vid) objek terpenting (paramartha), adalah kata dalam bahasa Sanskerta yang diterjemahkan secara kasar oleh kamus sebagai “filosof-filosof”.
Dengan demikian moksa harus dipahami, bukan sebagai penolakan terhadap segala sesuatu, tetapi sebagai sebuah terakhir dari keberhasilan manusia. Singkatnya, bagian terbesar dalam filsafat India terfokus pada upaya untuk membimbing individu dalam kehidupannya yang kedua, bukan yang pertama. Bukannya sebelum, tetapi sesudah manusia mencapai tujuan karier individunya yang bersifat duniawi, setelah kewajiban-kewajiban manusia sebagai anggota dan pendukung keluarga dan masyarakat yang bermoral dipenuhi, manusia beralih pada tugas-tugas petualangan kemanusiaan yang terakhir. Menurut dharma Hindu, kehidupan seorang manusia harus dibagi menjadi empat fase (asrama) yang berbeda. Fase pertama adalah menjadi murid, “orang yang diajar”, brahmacari (sisya), “orang yang menghadiri, menunggu, dan melayani gurunya” (antevasin). Fase kedua adalah menjadi kepala rumah tangga (grhastha), yang merupakan priode kematangan manusia yang sangat penting dan pemenuhan perannya di dunia. Fase ketiga adalah pertapaan di hutan untuk bermeditasi (vanaprastha). Selanjutnya, pase keempat adalah mejadi orang suci (bhiksu) yang berkelana dan minta-minta. Moksa terletak pada dua fase terakhir, bukan fase pertama dan kedua.
Grama, “desa”, merupakan lawan dari vana, “hutan”. Bagi grama, manusia telah diberi “kelompok tiga” (trivarga), dan pedoman-pedoman tentang maksud dan tujuan kehidupan dunia; tetapi bagi vana – hutan, pertapaan, usaha untuk membuang beban objek, nafsu, kewajiban dan semua yang bersifat duniawi – seorang manusia membutuhkan disiplin-disiplin lain, cara lain, ideal, teknik, dan pengalaman pelepasan lain yang berlawanan. Bisnis, keluarga, kehidupan sakular, sebagaimana kecantikan dan harapan manusia muda dan keberhasilan manusia dewasa, kini saatnya ditinggalkan; maka kemudian yang tersisa hanyalah keabadian. Di sinilah pikiran dibalik – bukan kewajiban dan kesusahan hidup, yang telah sirna, yang datang dan berlalu seperti mimpi. Moksa itu melampaui bintang-bintang, bukan berkelana di jalan desa. Moksa adalah disiplin metafisik yang praktis. Maksudnya adalah untuk membentuk dasar-dasar ilmu pengetahuan, menyusun metode-metode pendekatan ilmiah menjadi alat untuk mengamati alam semesta atau dokumen-dokumen sejarah manusia, yang berarti menguak tirai kenyataan. Moksa adalah teknik untuk mentransendensikan perasaan dalam rangka menemukan, mengetahui, memahami, dan tinggal di sebuah realitas abadi yang melatari mimpi kehidupan dunia. Alam dan manusia, karena dapat dilihat, nyata, dan terbuka terhadap pengalaman, dikenal dan ditafsirkan oleh orang suci sehingga sampai pada kebaikan metafisik yang paling tinggi.
Dengan memahami persoalan mendasar tersebut, kita telah siap masuk ke suatu wilayah studi filsafat yang selanjutnya disebut Filsafat Hindu. Untuk itu, zaman Weda Samhita digunakan sebagai pintu masuk untuk memahami puncak zamannya pada pemikiran filosofis spekulatif transendental, sebagaimana akan diperoleh pada zaman Upanisad. Di samping itu keenam jalan atau ajaran bagi murid filsafat seperti dijelaskan di atas, juga merupakan landasan untuk memahami rentangan sejarah pemikiran filsofis India yang diawali dan diakhiri dengan memahami realitas Diri sebagai satu-satunya Ada, yang oleh Sankara disebut Realitas Tertinggi, Brahman. Inilah puncak petualangan intelektual dalam studi filsafat Hindu sesuai dengan peta sejarah filsafat India, yang diawali dari zaman Weda, yang meliputi pemikiran kolosal zaman Weda Samhita, zaman Brahmana, dan zaman Upanisad. Selanjutnya, wilayah pemikiran zaman Wiracarita, yang terdiri atas filsafat Buddha dan Bhagawadgita. Kemudian, dilanjutkan ke dalam kancah pemikiran filosofis zaman Sutra-sutra, antara lain meliputi sistem filsafat Sankhya, Yoga, Nyaya, Waisiseka, Mimamsa, dan Wedanta. Penyelidikan pemikiran filsafat Hindu, juga diteruskan memasuki zaman Skolastik, yang antara lain memahami sistem pemikiran Adwaita, Wisistadwaita, dan Dwaita. Akhirnya, seluruh penyelidikan ditutup setelah selesai melakukan penyelaman ke dalam Filasafat India Pada Abad-abad Terakhir (zaman Modern).
Untuk itu, perlu dikenali peta penyelidikan pemikiran Filsafat Hindu dalam petualangan sejarah filsafat India sebagai berikut .
(1) Zaman Weda (1500 SM – 600 SM), antara lain meliputi kedatangan bangsa Arya dan penyebarannya di India; azas-azas pemikiran filsafat terdapat dalam mantera (puji-pujian, nyanyian keagamaan), Weda Samhita, Brahmana, dan Upanisad; idealisme India dimulai; zaman ini belum dapat disebut zaman filsafat dalam arti teknis.
(2) Zaman Wiracarita (600 SM – 200 M), antara lain meliputi perkembangan Upanisad dan Sistem-sistem Filsafat (Darsana); Mahabharata dan Ramayana sebagai penyebaran cita-cita baru (kepahlawanan dan kedewataan dalam hubungannya dengan insani); Sistem-sistem agama Buddha, Jainisme, agama Siwa, dan agama Wisnu; Mulai timbulnya sutra-sutra.
(3) Zaman Sutra-sutra (200 M), antara lain meliputi awal perkembangan sikap kritis dalam filsafat India; ditandai dengan munculnya sistem filsafat Sankhya, Yoga, Nyaya, Waisiseka, Mimamsa, dan Wedanta.
(4) Zaman Skolastik (sejak abad ke dua), yang antara lain meliputi muncul tokoh-tokoh besar, seperti Sankara, Ramanuja, Madhwa, dll; diwarnai oleh pertentangan-pertentangan dan perdebatan-perdebatan pemikiran filsafat yang berbelit-belit.
(5) Filsafat India Pada Abad-abad Terakhir meliputi, antara lain setelah abad keempat belas filsafat India mulai mundur disebabkan oleh masuknya kebudayaan Barat. Hal ini menimbulkan reaksi dari ahli pikir India, seperti berikut.
• Kabir (1440-1518), yang bergumul dengan Islam.
• Nanak (1469-1538), yang mengatakan “Tidak ada orang Hindu atau Islam”, keduanya palsu, hanya ada satu Tuhan, kelepasan terdiri atas persekutuan dengan Tuhan di dalam kasih.
• Ram Mohan Roy (1772-1833), yang beragama Hindu, yang ahli agama Buddha dan Kristen. Gerakannya disebut Brahma Samaj, yaitu “Masyarakat Brahman”.
• Debendranath Tagore (1841), ayah dari Rabindranath Tagore, yang menganggap Weda satu-satunya dasar sradha. Menurutnya Tuhan adalah Zat yang berpribadi memiliki kesusilaan tertinggi; tidak pernah menjelma atau menitis; Bapa segala manusia, sehingga segala manusia adalah saudara; menyembah Tuhan secara rohani; pertobatan adalah jalan keselamatan; dan sumber pengetahuan tentang Tuhan adalah alam dan intuisi.
• Keshab Chandra Sen (1838-1884), yang di bawah pimpinannya Brahma Samaj pecah menjadi banyak aliran; di antaranya ada dipengaruhi Kristen; Tuhan yang satu sebagai Bapa, Anak, dan Roh Kudus; Tuhan dapat disebut “Aku ada”, Aku kasih”, Aku menyelamatkan”; Tuhan disebut Trilogi: Tuhan yang berdiam, Tuhan yang bepergian, dan Tuhan yang kembali” atau “Kekuatan, Kebijaksanaan, dan Kesucian” atau “Yang benar, Yang baik, dan Yang indah” atau “Sat”, “Cit”, dan “Ananda”, yaitu kebenaran, intelegensi, dan kegirangan”; dan jiwa manusia tidak dapat mati dan memiliki perkembangan yang kekal.
• Gerakan Arya Samaj (1875), yang dipengaruhi politik, didirikan oleh Swami Dayananda Saraswati (1824-1884). Gerakan ini memperbaharui Hindu dengan sintesa antara yang kuna dan yang baru, antara Timur dan Barat; ajarannya: Weda adalah wahyu Tuhan (persesuaian dengan alam semesta), Weda adalah satu-satunya wahyu Tuhan (tiada kitab lain yang sepadan dengan Weda), Weda adalah sumber pokok bagi ilmu agama segala manusia.
• Sri Ramakrisna (1834-1886), yang memperdalam agama Islam dan Kristen; kesimpulannya bahwa kepercayaan yang bermacam-macam itu tidak lain adalah jalan yang bermacam-macam yang menuju kepada satu tujuan, yaitu perealisasian Tuhan. Svami Vivekananda penerus ajarannya.
• Mahatma Gandi (1869-1948), yang baginya hanya ada satu Roh yang tidak terbagi-bagi, tiada awal dan akhir; Tuhan adalah “Kebenaran” menjadi azas segala ada dan tujuan hidup. “Kebenaran” dapat dicapai melalui ahimsa, yaitu tanpa kekerasan dan kesalahan dalam pikiran, kata-kata, dan tindakan, serta menerima alam semesta di dalam kasih
• Sri Aurobindo (1872-1950), yang berusaha mengubah dunia menjadi kerajaan surga melalui yoga yang sempurna. Menurutnya kenyataan tertinggi adalah Brahman, yaitu nirguna (tanpa sifat) dan saguna (bersifat).
• Sri Ramana Maharsi (1879-1950), yang filsafatnya sama dengan Adwaita Wedanta; tujuan terakhir pengrealisasian diri; ajarannya berpusat pada Pribadi; manusia memiliki dua “aku”, yang palsu dan yang benar.
Patut diketahui bahwa mustahil melakukan kontruksi pemikiran (India) zaman kuno secara sempurna, baik melalui pendekatan ruang dan waktu maupun peristiwa. Oleh karena itu satu hal yang harus dimengerti bahwa peta petualangan tersebut bukanlah keseluruhan wilayah jelajah dalam filsafat Hindu, bahkan juga bukan sebagian terkecil dari yang tersempit dalam khazanah pemikiran Hinduisme, yang sesungguhnya tanpa batas. Sebagaimana dikatakan oleh Zimmer (2003) di atas bahwa tidak ada satu mata kuliah pun yang mampu mengungkap dan menuntaskan tantangan pemikiran dan kesadaran, kebijaksanaan, kebenaran, kebebasan, kesempurnaan, Realitas Diri sebagai satu-satunya Ada, yang menjadi puncak pengetahuan dan pemikiran filsafat India. Mengingat kemampuan akal dalam merasionalisasi fakta, memikirkan dan mengatakan data-data, sepenuhnya bertumpu pada kemampuan bahasa yang sangat terbatas. Dengan demikian seluruh petualangan intelektual manusia, juga terbatas terhadap hal-hal yang terpikirkan dan yang terkatakan (yang dapat dipikirkan dan yang dapat dibicarakan). Sementara itu, pengetahuan tentang yang tidak diketahui dan/atau ketidaktahuan, jika boleh mengandaikan, mungkin sama atau lebih banyak dan lebih luas – kuantitas dan kualitas – dari pengetahuan yang dapat diketahui. Sebagaimana ‘kebijaksanaan’ yang dikatakan oleh Socrates, “hanya satu yang saya ketahui bahwa saya tak tahu apa-apa”. Artinya, baik para widya maupun apara widya, yang nirguna maupun saguna, sama-sama terbatas, dikungkung oleh kemampuan bahasa.
Akhirnya, saya yang akan menemani Anda dalam petualangan intelektual ini, khususnya dalam menjelajah pemikiran filosofis Hindu, yang rencananya penyelidikan ini dilaksanakan selama satu semester, lebih-kurang dalam dua belas kali pertemuan, atau selama tiga puluh jam efektif, berharap dapat mengantarkan pemahaman dan pengertian kita bahwa sesungguhnya adalah filsafat yang memikirkan, agama yang mengucapkan, dan ilmu yang melakukan; Hinduisme mengajarkan semuanya; dan kita di sini sedang asyik dan belajar memberi arti dan memaknainya. Itulah citra pertemuan kita, yang sepenuhnya ditandai oleh suasana belajar dan proses pembelajaran, sebagaimana diisyaratkan dalam dunia pendidikan formal. Pendidikan yang diartikan sebagai usaha sadar dalam rangka mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang diarahkan sebesar-besarnya bagi mengembangkan potensi dan kompetensi peserta didik secara optimal agar dapat berguna bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Sesuai dengan kewajiban terhadap program studi ini, pelayanan yang harus saya lakukan terhadap Anda bahwa loyalitas saya diminta secara khusus menemani Anda dalam penyelidikan pemikiran filosofis Hindu dalam belantara sistem-sistem filsafat India terutama pada zaman sutra-sutra. Zaman ini, seperti telah dijelaskan di atas pada prinsipnya diwarnai oleh sejumlah pemikiran spekulatif yang tergabung ke dalam sistem filsafat Nawa Darsana, yang meliputi Nastika dan Astika. Nastika merupakan sekelompok pemikiran filosofis yang menolak otoritas Weda, antara lain terdiri atas sistem filsafat Carwaka, Jaina, dan Buddha. Sebaliknya, Astika merupakan kelompok pemikiran filosofis yang menerima otoritas Weda, antara lain terdiri atas sistem filsafat Sanhkya, Yoga, Nyaya, Waisiseka, Mimamsa, dan Wedanta. Enam sistem filsafat yang tergabung ke dalam Astika ini disebut Sad Darsana; dan di dalamnya, penyelidikan “mata kuliah filsafat Hindu” ini akan dipusatkan, karena bagian lain dari sejarah pemikiran filosofis India akan menjadi mata kuliah yang lainnya pula misalnya, mata kuliah Weda dan mata kuliah Siwa-Buddha Tattwa. Keenam sistem filsafat yang disebut Sad Darsana itu berguna untuk memahami pemikiran para filosof-yogi pada zaman skolastik, yaitu untuk merajut pemikiran mahaguru Sankara, Ramanuja, dan Madhwa dalam sistem pemikiran spekulatif Adwaita, Wisistadwaita, dan Dwaita.
Semoga tiada aral melintang, sesuai dengan kewajiban yang harus saya penuhi, saya yang hanya berbekal kesenangan, secara khusus akan mencoba menemani Anda dalam membangun pengertian filosofis mengenai pemahaman para pemikir India dalam sistem filsafat Sad Darsana. Akan tetapi, mengingat akhir zaman sutra-sutra tidak mudah membedakannya dengan zaman skolastik maka puncak penyelidikan dalam studi filsafat Hindu ini akan diakhiri pada pemahaman pemikiran spekulatif Adwaita, Wisistadwaita, dan Dwaita, yakni ajaran dari mahaguru Sankara, Ramanuja, dan Madhwa. Sementara itu, untuk memahami dan mengapresiasi pemikiran filosofis yang berkembang dalam Nastika, yakni Carwaka, Jaina, dan Buddha, serta posisi dialogis antara pemikiran Timur (baca: Hindu) dan Barat akan menjadi satu pertimbangan dan pembahasan khusus.
Pada akhir perkuliahan filsafat Hindu ini, Anda diharapkan telah menyempurnakan kesenangan saya, yakni dengan menguasai modus-modus pemikiran filosofis yang berkembang dalam Sad Darsana dan Tri Darsana. Antara lain dinamika dan dialektika pemikiran spekulatif sesuai dengan sistematika dan kategori-kategori pemikiran Sankhya, Yoga, Nyaya, Waisiseka, Mimamsa, dan Wedanda; serta Carvaka, Jainna, dan Buddha, yang pada puncaknya, Anda menguasai sistem pemikiran Dwaita, Wisistadwaita, dan Adwaita. Anda dengan begitu telah mampu menentukan gerak-gerak pemikiran filosofis Anda, sedang berada di Barat atau di Timur, atau malahan telah “diam” dalam kesejatian sang diri. Walaupun demikian, bukan berarti penyelidikan mengenai pemikiran filosofis India pada abad-abad terakhir (modern) sama sekali akan terabaikan. Melainkan kita akan memasukinya melalui ilustrasi-ilustrasi dalam penyelidikan dan penjelajahan ketika hendak mengetahui dan memahami pemikiran filosofis pada zaman Sutra-sutra. Hal itu dimungkinkan, sebab pada kenyataannya, tidak pernah ada pemikiran yang stagnan atau melompat dalam jarak yang terlampau jauh antara satu generasi dan generasi berikutnya. Setiap pemikiran dalam suatu bangsa senantiasa mengalir inheren dalam kebudayaan dan peradaban bangsa tersebut. Setiap dekade memiliki ciri-ciri sebagai tanda, bahkan menjadi simbol generasi bersangkutan. Generasi pemikir berikutnya, yang terkemudian, senantiasa mengalirkan esensi pemikiran sebelumnya, karena itu tidak ada pemahaman yang terputus-putus dan terpisah-pisah secara tegas dalam kepastian ruang dan waktu. Mengingat segala tindakan terikat di dalam ruang dan tergantung pada waktu, yakni semesteranlah yang membatasi segala upaya penyelidikan dan petualangan yang semestinya kita lakukan.
Sekian, sampai di sini pertemuan pendahuluan ini. Mudah-mudahan ada guna dan makna edukatifnya. Jikalau maksud harapan tersebut belum terpenuhi, tugas Anda-lah menyempurnakan atas ketidaksempurnaan kehadiran saya bersama Anda mengatasi ilusi inderawi yang bersifat duniawi. Apabila tidak, saya ucapkan selamat, dan itu berarti kita masih duduk-bengong di dalam dunia yang kemarin, dunia yang seharusnya telah berlalu, karena yang akan datang, juga pasti berlalu. Demikianlah tindakan dan segala aktivitas yang tidak kekal, terjadi bersama ruang yang tak terbatas dan waktu yang berlimpah sebagai saksi bisu. Ruang senantiasa menyediakan alam yang senantiasa datang dan pergi dalam waktu yang tiada batas, silih berganti melalui berbagai musim, yang kekal dan abadi dalam perubahannya. Pagi hari merupakan kebangkitan segala sesuatu, pengetahuan dan kehidupan disempurnakan, dan pada malam hari segala sesuatu itu ditidurkan untuk disempurnakan kembali pada pagi hari berikutnya. Begitu berlangsung terus-menerus hingga akibatnya, tindakan melupakan diri karena berlimpahnya waktu, sang diri lupa akan jati dirinya, dan manusia menikmatinya sebagai karma, yang membawanya pada kebingungan, ketersesatan, dan kelahiran berulang-ulang, punarbhawa, samsara.
Pertemuan berikutnya, seperti yang kita telah coba rencanakan ini, diharapkan dapat menuntun segenap pengertian dan pemahaman kita kepada suatu Kualitas, yaitu apa yang oleh Upanisad-Upanisad disebut sat-cit-ananda, Kebenaran-Kebijaksanaan-Kebahagiaan; sathyam-siwam-sundaram, Kebenaran-Kebajikan-Keindahan; atau dalam lontar-lontar disebut tattwa-agama-rasa; dan akhirnya, semoga Anda bersedia tiba pada kesejatian, Sang Diri Sejati.


Salam saya:
“Selamat datang di dunia manusia,
majulah dan raih mimpi-mimpi,
pergilah dan lupakan kenangan,
segeralah tinggalkan,
di sini-sekarang”.

Denpasar, 24 Maret 2005
I Wayan Sukarma

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...