KEKUASAAN



RAWANA
Kekuasaan, Harta, dan Wanita

I Wayan Suka Yasa

‘There are three gates to enter the hell: excessive worldly desire, anger, and greed. They drive the soul to undergo disastrous misery. That is why the wise men never give them a place in their mind.’

Kata kunci: Kàma, krodha, lobha, nìti, dan karma-phala.

Rawana Menjadi Dasamuka
Rawana muda bukanlah demonis sebagai yang umum dilukiskan dalam pewayangan. Rawana adalah pemuda yang gagah, pemberani, cerdas, tekun belajar, kreatif, lincah, punya cita-cita membangun bangsa yang megah, dan punya cita rasa yang halus. Melalui bimbingan ayah yang sekaligus gurunya, Bhagawan Waisrawa, Rawana berhasil menguasai isi Weda. Kecerdasan intelektualnya menjadi unggul. Berkat ketekunan tapanya, ia bahkan memperoleh kharisma dewata. Dengan berkat ilmu dan kharisma ideal itulah Rawana merintis cita-cita.
Naluri kesatria atau politiknya dibina oleh ibu dan pamannya, Dewi Sukesi dan Sumali. Di puncak renungannya Rawana berkesimpulan: “Kekuasaan, kekayaan, dan alat transfortasi yang canggih adalah modal dasar untuk meraih cita-cita”. Ketiga hal itu dimiliki oleh kakak tirinya, Kubera, raja Alengka. Rahwana iri dan memandang Kubera sebagai raja yang lemah. Ia kembali berpikir: “Di tangan Kubera, Alengka tidak akan pernah menjadi negara adidaya”. Oleh karena itu, ia merebut tahta Alengka. Lalu, didampingi oleh permaisurinya yang cantik, Mandodari, dibangunlah Alengka sehingga menjadi negeri yang megah. Setelah keberhasilan itu, beginilah Rawana membanggakan keindahan Alengka:
Ika kadatwanku samìpaning tasik, gahan ri Lengka kadi kantining wulan, I Ratnapàràyaóa nàma tan kalen, ri denya kweh maói yojwala (VI:1). ‘Itu lihatlah, istanaku di tepi pantai. Negeri Alengka, indahnya bagaikan bulan. Istanaku bernama Ratnapàràyaóa, tiada tandingannya. Karena, berlimpah hiasan mutu manikam, berkialuan’.

Alengka yang megah dan berwibawa sebagai negeri adikuasa itu tentulah dibangun dengan menundukkan negeri-negeri lain. Bahkan Indra, raja Sorga yang terkenal jaya itu pun bertekuk lutut di bawah kedigjayaannya. Menundukkan negeri lain dalam kisah Rawana berarti melakukan tindak politik yang keras. Dalam perjalanan menuju puncak kejayaan Alengka inilah Rawana berubah menjadi raksasa: diktator. Dasamukanya dibiarkannya berkembang mabuk segala nikmat duniawi bersama para pembesar kerajaan. Saking terlenanya dalam nikmat duniawi, Surpanaka, adik perempuannya yang genit, mengecamnya:
Kita mamangan magosti manginum saha bhretya wijah, wisaya kasàkta tat angên-angên ngawasana pijêr, kita wêgig ing musuh dangu-dangu magêlö mangawit, hana paribhùta satru tamatan pamales pwa mêne (V:8).
‘Engkau kini hanya berpesta pora penuh candaria bersama para pejabat. Ah, Engkau mabuk duniawi, tidak memikirkan akibatnya kelak. Engkau amat suka bersenda gurau, bernostalgia bagaimana Engkau memperlolok-olok dan memperdaya musuh di masa lalu. Karena mabuk, walau kini ada musuh berani bertindak sewenang wenang, Engkau diam saja tak peduli’.

Walau ditegur keras demikian Rawana tetap saja ria terbahak-bahak menikmati gurauannya sambil menenggak minuman keras dilayani babu-babu cantik kerajaan. Tetapi, ketika Surpanaka mengisahkan kecantikan Sita, kekasih Rama, pertapa di hutan Dandaka yang aduhai seksinya bahkan mengalahkan kecantikan Mandodari dan para bidadari Sorga, perhatiannya tiba-tiba terpancing keras. Ia terperangah dan bangkit penuh gairah. Pikirnya: “Ah benarkah? Masak orang hutan punya istri secantik itu?” Tanpa berpikir panjang, terbanglah ia ke hutan Dandaka. Benarlah kata Surpanaka, Sita ternyata memang sangat seksi. Hasrat cinta Rahwana bangkit. Sita yang lagi sendirian di pondoknya disanjung rayu:
Kita mrêdu komalàtiúaya konêng-unêng ri hati, kadi ta bhinùûaóan nikang alas ri hananta riya, sang apa ngaran niràta sira sang siniwinta kuneng, atiúaya göng ni dharma rasikàn pamawe ri kita.
‘Aduhai cantiknya, Anda lembut halus menggiurkan hatiku. Hutan ini menjadi berseri seperti dihiasi oleh dirimu sejak di sini. Siapakah gerangan nama suamimu yang beruntung itu? Tentulah sangat besar kebajikannya, maka ia beruntung memilikimu’.

Hasrat Rawana untuk memiliki dan menikmati Sita semakin berlipat tak tertahankan. Singkat cerita, Sita dirayu, dibopong paksa, dan di terbangkan ke Alengka.
Demikianlah kisah singkat Rahwana menuju tiga puncak hasrat yang menjadikannya raja raksasa: kekuasaan diperolehnya dengan mengkudeta kakak tirinya, kekayaan diperolehnya dengan menjarah kekayaan raja-raja taklukan, dan wanita cantik diperolehnya dengan mencuri permaisuri Rama. Kàma yang dilipat itulah yang menjadikan Rawana bernama Dasamuka dan itulah pangkal krisis psikologis, sosial politik, dan spiritual di negeri Alengka. Bagaimanakah krisis itu diwacanakan secara estetik oleh “Mpu Yogiswara” dalam Kakawin Ràmàyana?

Kàma
Kàma ‘hasrat’, seperti yang dikatakan dalam buku Dunia yang Dilipat (Piliang, 2004: 29-35), terbentuk dari rasa kurang, Ia terbentuk dari dua dorongan dasar yang membuat manusia menginginkan sesuatu, yaitu karnal dan libidinal. Karnal adalah hasrat tubuh kepada sesuatu yang sifatnya material: makanan, harta benda, lawan jenis. Sementara libidinal adalah hasrat tubuh kepada sesuatu yang sifatnya imaterial: citra, harga diri, kekaguman orang lain, kepandaian. Dalam pembentukannya, libidinal lebih terarah pada dirinya sendiri, kepada dorongan dan kepentingannya akan pemuasan ego.
Karena hasrat tercipta dari rasa kurang, imajinasi, dan dorongan yang senantiasa menginginkan sesuatu yang paling atau yang lebih, maka seperti halnya Rawana, ia tumbuh agresif menjadi Dasamuka, menjadi seorang raksasa modern yang hedonis pada zamannya. Kekuasaan, kelimpahan harta, satu perempuan tidak cukup untuk memuaskan keinginan sepuluh indranya: Dasamuka. Manusia modern model Rawana ingin selalu menjadi yang paling progresif, paling di depan, paling di atas. Muzir (Noris, 2003:8) mengatakan bahwa secara konseptual ini adalah hal yang ideal dan luhur, karena modernitas berusaha memanusiakan manusia dengan segala kemajuan, rasio, dan kebebasan. Akan tetapi sesampainya di lapangan, yang acapkali terjadi malah penindasan sesama manusia dan perkosaan alam. Artinya, dampak negatif modernitas adalah eksploitasi, saintisme, imperialisme politik dan budaya.
Dalam memenuhi hasratnya, Rawana menjadi hedonis, tidak memerlukan landasan nilai. Karena ia merasa dirinya sendirilah perwujudan keunggulan itu. Anggapannya, ialah satu-satunya makhluk super yang pantas dipertuhan. Katanya mengagungkan diri dihadapan adiknya, Surpanaka:
Takarin ike Sang Rahwana ngaranya jayeng buwana. Syapa karika tinonta kinabhaktyaning Indra kuneng, kulisa ta sirna bajra ri dadangku taman pangêne, hana ta liman Hyang Indra sinikepku taman pangapa, dukut upamanya tan paguna dengku tinimpalakên. Nda tanga-tanga prabhawani Si Rawana tan papada, satata marang wulan umêtu purnama tar wiluma, mamawa wungan tahun sahananing hyang alah matakut, saisi nikang Suralaya aneka kahênti kabeh  (V:17-19)

 ‘Bukankah ini yang bernama Sang Rawana, makhluk yang tersuper di dunia? Siapa lagikah raja yang kamu lihat dihormati oleh Dewa Indra selain aku? Kapak saktinya hancur ketika mengkapak dadaku, tiada luka. Gajah Indra yang terkenal kuat itu pun tak mampu berkutik di tanganku. Ia tak ubahnya rumput, tak berdaya aku lemparkan. Maka, bayangkanlah betapa berjayanya Sang Rawana yang tak tertandingi ini. Kakakmu ini bagaikan bulan purnama yang tidak pernah terbit paro gelap. Seluruh dewa membawa upeti tahunan, karena amat takut kepadaku. Bahkan berbagai jenis kekayaan Sorga telah aku sikat habis’.

Efek keegoisan seperti itu menjadikan Rawana suka meremehkan orang lain, apa lagi orang yang miskin, terlebih-lebih kepada ia yang dipandangnya sebagai lawan politik. Kepada Sita yang sedang dihasratinya ia berkata: Wruh aku rika Si Raghawa ngaranya taman paguna, apa ta dumeh kitàhyun iriya ri kanista dahat (V:85) ‘Aku tahu tentang ia yang bernama Si Rama, laki-laki nista, tak berguna itu. Heran aku, apa sebabnya Dinda mencintai orang yang sangat miskin itu?’ Ndya ta ya kawismayanta ri Si Ragawa hinaguna (V:86) ‘Apa yang Dinda banggakan pada diri Si Rama yang tak berdaya itu?’ Rawana sangat bangga akan kekayaan dan kedigjayaannya. Baginya, harta kekayaan dan kesaktian adalah dua sumber daya mahapenting yang menjadikan orang berjaya. Katanya sambil menepuk dada: Aku ta jayeng Suralaya manusya caràcara len,... pada mawênês kagoman asamun sahananya maruk (V:88-89) ‘Akulah raja yang berjaya terhadap para dewa, manusia, binatang dan makhluk lain. Mereka pada pucat pasi, sedih ketakutan kepadaku’. Sebaliknya, orang yang miskin harta, bagi Rawana adalah orang yang taman paguna atau hinaguna ‘tanpa berdayaguna, hina-dina’.
Dasamuka, walaupun sudah punya mantu, cucu, dan ubanan, di hadapan perempuan cantik, ia selalu merasa diri masih perjaka. Katanya merayu memelas kasih Sita:
Sayogya sampattika lingku kasiha, nghulun sêdêng yowana, awakta sàsri yuwati sêdêng hayu, Si Ràma tàtar pagunàri taryyakên (VI:3).‘Sudah sepantasnya permintaanku Dinda penuhi, kasihanilah aku. Aku masih perjaka, dirimu masih muda, sintal, dan ayu. Si Rama itu tidak berdaya Dindaku, tinggalkanlah.’

Dengan bangganya ia menawarkan harta kemewahan berlimpah kepada Sita sambil menistakan Rama demi mendapatkan cinta Sita. Katanya: Asing sakahyunta hanàta yerika, kawìta kêmbang hadhangên samenaka (VI:3) ‘Segala kemewahan yang Dinda kehendaki tersedia di Alengka. Aneka ragam kembang dapat dinikmati sekehendakmu’. Walau dirayu dengan guna-guna demikian menggiurkan, Sita tetap menolak. Ia malahan merasa semakin jijik melihat Rawana mengemis cinta. Cinta ditolak, Rawana pun jengkel. Maka, dengan jalan kasar Sita dibopong paksa dengan harapan sesampainya di Alengka Sita berubah pendirian. Tetapi kenyataannya tidak. Rawana habis akal dan uring-uringan, sakit asmara. Batapa banyak korban demi cintanya itu. Sementara itu, Rama telah berhasil menyeberang ke Alengka dan menantang perang. Rawana pun gentar. Ia tak menyangka, saingan politiknya yang tampak lemah itu ternyata kini membawa masalah besar bagi kejayaan Alengka. Laut yang dikiranya menjadi benteng telah dijembatani. Musuhnya telah di depan mata. Maka, dipanggillah para pembesar kerajaan untuk bersidang akbar.

Saran Politik Bijak Wibhisana
            Di hadapan para pembesar kerajaan Rawana mengemukakan permasalahan negara bahwa kini Alengka telah kedatangan musuh. Katanya: “Rama, musuh kita itu telah banyak menimbun dosa. Ia telah membunuh sejumlah perwira andalan kaum raksasa. Juga sahabatku, raja Bali yang terkenal sakti itu pun telah dibunuhnya tanpa perasaan bersalah. Untuk dosa-dosanya itu,  Rama pantas dienyahkan dari muka bumi. Hai Paman, mengapa engkau diam. Mana kesaktianmu?” Maka, gegap gempitalah dukungan perang tanpa banyak pertimbangan. Prahasta, mahaperwira Alengka berkata: “Ya Tuanku, daulatmu gampang bagi hamba. Apa manfaatnya merundingkan hal yang remeh-temeh ini. Musuh Tuanku itu orang hutan berprajuritkan kera dungu, tanpa senjata canggih, mana mungkin mengalahkan Alengka yang telah berjaya, bahkan penguasa Sorga pun tunduk kepada Tuan”.
Akan tetapi di tengah arus masa pendukung hasrat Rawana, Wibhisana berani berkata beda. Ia justru memberi pertimbangan damai demi keselamatan Alengka. Ia telah mempelajari dengan cermat kekuatan politik Rama. Katanya mengkritik pedas Prahasata dan perwira yang lainnya: “Hai Paman, benar, memang paman sekalian adalah andalan sang raja untuk mengalahkan musuh. Tetapi perilaku Paman memalukan. Kok dalam sidang paman pada bersorak sorai sambil mengacung-ngacungkan senjata, irasional. Ini bukanlah prilaku kesatria. Memalukan”. Lanjut kritiknya membungkam kesombongan para perwira raksasa:
Doning mahöm buddhi wiweka yenayu, tatan kaúuran pangayàya ring naya, asing mahàprajna ri sojaring aji, nahan kinon majara màjareng naya.
Sakingkingên Sang Raghuputra yar têka, apan nika dùta niràti úakti ya, ngùni panunwi syapa ràksasànglawan, ta úùra merag ya kabeh têlas hilang
 Janànuragottama bhùmining naya, sahàyaning sadguna hetuning jaya, yapwan tayekang anuràga sang prabhu, wyarthekanang sadguna nirgunàn hana (XIII:42-43,50).

‘Bukankah tujuan bermusiawarah untuk menyusun strategi perang yang tepat? Bukan sorak kesombongan yang pantas diajukan dalam sidang. Orang yang berpengetahuan luas, terutama dalam hal politik itulah yang patut Paman harapkan untuk angkat bicara untuk menyusun siasat perang’.
Kedatangan Sang Rama wajar kita risaukan. Karena, Sang Hanoman, utusannya saja sudah terbukti amat sakti. Bukankah belum lama ini ia sendirian telah membumihanguskan kota Alengka? Lalu, siapakah di antara Paman ada yang mampu melawannya? Ketika itu, semua perajurit Alengka pada lari ketakutan, menyelamatkan diri. Ah, sungguh memalukan”.
‘Camkanlah ini! Cinta kasih masyarakat adalah dasar utama politik. Cinta kasih itulah penyangga sadguna [enam unsur politik] yang mengantarkan kemenangan. Manakala raja tidak dicintai oleh rakyatnya, tak bergunalah sadguna itu.

Sadguna yang dimaksudkan oleh Wibhisana adalah (1) sandhi ‘menjalin persekutuan dengan negara sahabat’, (2) wigraha ‘mengusahakan pertengkaran dalam persekutuan musuh’, (3) yàna ‘gerak strategis prajurit dalam perang’, (4) sàsana ‘benteng’, (5) dwesa ‘memecah belah kekuatan musuh’, dan (6) sahaya ‘menarik di antara mereka untuk dijadikan sekutu (VIII:49). Demikianlah nasehat Wibhisana sembari menoleh kakaknya, raja Rawana dan berkata:
Kàmàdi sadwarga musuh tatan madoh, nahan dumeh tang anuràga tan hana, matangnya sadwarga kayatna sang prabhu, dinolahakên tan hinanàkêning hati.

Yan tan biúeng satru anung haneng awak, mwang tan prayatneng anuràga len naya, pira ta koúànira len balànira, musuh tike kàla nikang ranàn têka (VIII:52-53).

Kàma (nafsu birahi, hasrat) adalah unsur utama di antara enam persekutuan  musuh. Mereka ini tidak jauh dari diri kita. Musuh ini pulalah sebagai penyebab utama hilangnya bakti masyarakat. Oleh karena itu, Kanda harus mewaspadai kàma-mu. Kendalikanlah diri, jangan mau diperbudak oleh kàma dan sekutu-sekutunya.

‘Apabila belum mampu mengalahkan musuh dalam diri, terlebih-lebih tidak memperhatikan cinta bakti masyarakat dan tidak memiliki nìti, daya upaya baik, betapapun banyaknya perbekalan dan prajurit yang dikira melindungi dirimu, nanti pada waktu perang tiba mereka akan membelot, balik  memusuhi Kanda’.

Sadwarga ‘enam warga’ atau sadripu ‘enam musuh’ diri dimaksud adalah unsur ego, yaitu kàma ‘sifat ambisius, nafsu seksual’, lobha ‘kerakusan’, krodha ‘kemarahan’, mada ‘kemabukan’, irsiya ‘sifat iri hati’, dan moha ‘kebingungan, irasional’. Secara psikologis, enam unsur ego yang dibiarkan berkembang secara tak terkendali dalam diri inilah dikatakan sebagai sebab utama berbagai masalah diri dan sosial. Bagi Wibhisana, Rawana sedang dikuasai dan mabuk kàma ‘ambisi, nafsu birahi’. Oleh karena itu, kini Alengka tengah dibawanya masuk pintu neraka, menuju jurang kehancuran. Khawatir akan keselamatan sang kakak, rakyat, dan negara, maka Wibhisana merasa berkewajiban untuk mengingatkan rajanya agar mengendalikan diri, tidak melakukan tindak kekerasan, dan kembali ke jalan anuràga ‘kasih sayang’.
Saran politik bijak Wibhisana itu didukung penuh oleh sesepuh Alengka, Sang Sumali, yang wruh ring wiweka ‘ahli politik’ itu.  Tegas katanya:
He Rawanàtisaya yogya wuwus nyarinta, tat sangúaya  pituhun haywa wihang hatinta, apan sêdeng kita mituhwa lanà hayunta, yawat wihang niyata yan pralayà sa Lengka (XIV:2).

‘Tepat sekali kata adikmu itu Rawana. Jangan enggan dan ragu-ragu menurutinya. Karena itu benar, maka pantas engkau mengikutinya demi keselamatan Alengka. Sebaliknya, jika kebenaran itu ditolak, niscaya kejayaan Alengka akan hancur’.

Melihat peringai Rawana yang semakin angkuh menahan amarah itu, Sang Sumali merasa kecewa. Walaupun demikian, dengan nada sedih ia terpaksa menyampaikan simpulan kelemahan daya politik cucunya:
Làwan hidêpku kita arddha masor titih ta, apan pramàda rikang naya nirwiweka, ekànta wigraha anung ginêgö ya denta, sadguna yogya ya gêgön tuwi tad gêgö ya.

Mwang tat hidêp guna nikang anuràga ring ràt, solah ta sàhasa sasar tan anùti yukti, sang arya sàdhu sasiwin sira satru denta, maryàda sang sujana sajjana tad gaweya (XIV:16-17).

‘Dan menurut hematku, pertahananmu sangat lemah. Karena, engkau meremehkan arti penting daya logika dalam berpolitik. Hanya kesaktian, hanya kekerasan itu saja satu-satunya yang engkau bangga-banggakan. Sadguna [enam unsur ilmu politik] yang pantas diterapkan justru engkau abaikan’.

‘Selain itu, engkau suka mengabaikan arti penting anuraga ‘cinta kasih’ masyarakat. Perilakumu selalu menyimpang, tidak mengikuti kebenaran. Negarawan yang patut dijadikan sekutu justru engkau musuhi. Pendek kata, engkau sangat suka menentang kearifan orang pandai dan baik budi’.

Kumbakarna yang sejak sidang digelar tampak tidur pulas membuka matanya, lalu memandang tajam kakaknya yang menunjukkan wibawa keangkuhan, menunjukkan tanda-tanda menolak saran. Maka, ia pun  berkata keras mengandai: 
Bhaskarogra tuwi dadya sira matis, hyang úaúàngka tuwi dadya mapanasa, ndan kitàn winuwusan pisakapisan, tan hanàta gamananta mamatiha.
Mwang digdagdha kita ring rahayu dangu, yukti tekana ujar nira ri kita, ndan mêne mari gunajna kita wihang, tan rêsep rasa nikang ujar i kita.
Pàmbêkta karêngö lagi inupêt, sàhaseng sakaharêp taya katakut, sakta ring pangan inum jênêking inak, gràmya bhoga ya manamtami ri tamah.
Jatining prabhu puwih hana ri kita, dhìra tàtan aharêp wara-warahên...(XIV: 24, 27, 29, 25).

‘Terik matahari saja dapat menjadi sejuk. Sejuk bulan saja dapat menjadi panas membara. Tetapi ini aneh, Kanda telah dinasehati silih berganti oleh para arif istana, kok kaku amat, kenapa sih?’

‘Setahuku dari dahulu, Kanda tahu benar tentang apa itu rahayu. Aku yakin pula, dalam hati Kanda tentu membenarkan kearifan yang mereka katakan itu. Tetapi kini, Kanda kehilangan rasa arif. Karena itu, Kanda menolaknya. Sungguh mengherankan, Kanda kok sepertinya tidak memahami rasa kearifan yang ditujukan kepadamu itu?’

Perilaku Kanda semakin terdengar memuakkanku. Apa sih yang Kanda harapkan dengan mengembangkan kekasaran dan ketakutan? Apa pula manfaatnya selalu berpesta ria mabuk-mabukan mengikuti kesenangan para pemalas?

‘Ah, jangan-jangan ini karena gengsimu semata. Merasa diri sebagai raja diraja, merasa super, maka merasa tidak perlu nasehat lagi. Kanda kelewat kaku, kelewat angkuh....’

Ditubipojokkan demikian, Rawana bangkit geger dari singasananya. Matanya membelalak merah membara, badannya gemetar menahan amarah. Ia bergegas menuju Wibhisana. Lalu menampar mukanya sambil berkata kasar mengusir:
E Wibhisana milag pwa yulaku mur, durnimitta sawuwusmu ya mahala,
Ràghawàmênanga  Rawana alaha, ahasambhawa  dahat puliha tuwi.
Ron ikang kayu making  ya kumêlêma, ring tasik watu kumambanga maliha, pwa ya manunwana apwy ya mamadêmana, yan kadi pwa ya rika aku nalaha (XIV:50-51).

‘Hai bangsat, penghianat kamu Wibhisana, enyahlah, pergi dari sini. Kata-katamu busuk, hai pembawa sial. Si Rama itu menang? Rawana Kalah? Ah, mustahil, mana mungkin cecunguk itu mengalahkanku’.
‘Kapan itu daun kayu kering tenggelam di air, kapan batu-batu mengapung di laut, kapan itu air membakar, dan kapan api menyiram, ketika itu yang terjadi, barulah mungkin Rawana kalah, ah’.

Sambil menahan rasa sakit dan menenangkan diri, Wibhisana kembali berkata mengajukan peringatan terakhir:
Sakrodha pwa hatinta yat inujaran tad wruh ri doning wuwus, weting göng abhimàna sang prabhu ike sojar nikang wwang waneh, ngwang tan satya maràn manohara kunang yànung sinangguh kêna, ndak tontona wasàna sang prabhu hêlêm mamwìta  mùra nghulun (XIV:67).

‘Kanda, hatimu penuh kemarahan, maka Engkau alpa, tidak memahami lagi arti kearifan. Kini Kanda tidak peduli lagi kepada nasehat orang arif. Tetapi sebaliknya, Kanda sangat bangga kepada abdi penjilat yang suka manggut-manggut bermulut manis itu. Akan saya buktikan akibat perbuatan burukmu di kemudian hari. Baiklah, saya mohon diri untuk pergi’.


Jatuhnya Rawana
Kepergian Wibhisana beserta para pengikutnya untuk bersekutu dengan Rama, musuh bebuyutan Rawana, adalah tanda petaka besar di pihak Alengka. Rahasia kekuatan dan titik-titik lemah Alengka kini telah diketahui Rama. Singkat cerita, perang besar pun meledak. Satu persatu perwira sakti yang menjadi kebanggaan Rawana berguguran di medan perang. Mahapatih Prahasta pun gugur. Rawana terhenyak. Badannya gemetar, kalut ketakutan. Kini hanya tinggal beberapa putra Alengka dan Kumbakarna yang membungkam diri dengan ngorok panjang diperaduannya. Kumbakarna  dipaksa untuk bangun tidur dan berperang. Kata Rawana: “Dinda, banyak gagah perwira kita telah gugur. Paman patih Prahasta pun telah gugur. Kini tinggal Dinda tempatku menggantungkan diri. Bunuhlah, bunuhlah Rama, Laksmana, dan Sugriwa yang bodoh itu. Tunjukkanlah janji setiamu kepada negeri Alengka!”
Sambil menguap dengan perasaan muak dan murung, Kumbakarna menumpahkan unek-uneknya:
Ngùni dwinarah  ring rahayu, kàlanta mahöm moha kita, sakweh sang atangguh winahil, sang  màjar-ajar nìti pinid.
Tapwan pituhu ngwang matuhà, tar bhakti ri sang yogya siwin, sojar nikanang murka tinùt, ndah bhukti phalanyeki datêng.
Haywàta makingking pêjaha, àpan kita mùla nya têmên, wyàmoha manahtàn katêmu, sadwarga ya màwrêgnya ri hati.
Yàwat kahanan moha mada, yaksàsura dewàta tuwi, tàwat niyatà yan pralayà, dening mada yan tìbra murub (XXII: 22,28, 39-40).

‘Ah, bukankah dulu, ketika rapat besar itu Kanda telah dinasehati kebajikan? Sombongmu bukan main. Mereka yang menangguhkan, yang menyarankan langkah politis dan moral, Kanda ejek sebagai manusia nista’.
‘Sedikit pun Kanda tidak punya rasa hormat kepada tetua Alengka. Kanda tidak suka berbakti kepada orang yang patut diteladani. Sebaliknya, justru mempercayai kata-kata para penjilat yang jahat. Kini pahalanya telah tiba, nikmatilah’.
Janganlah sedih menyambut ajal. Kandalah pangkal semua ini, maka, nikmatilah buah kesombonganmu. Dan inilah akibat karena Kanda suka mengumbar ego.
Kendati pun itu yaksa, raksasa, dan dewa yang mahasakti sekalipun, bila sudah dikuasai kebingungan dan kesombongan, ia pasti akan binasa dibakar oleh api kemabukannya sendiri’.

Rawana yang lagi kalut dicerca demikian menjadi semakin naik pitam. Ia menghardik keras: “Bedebah, bila ingin selamat jangan berkotbah. Pergilah dari hadapanku pengecut! Seorang perwira hanya berbicara dengan keperkasaan, bukan besar mulut seperti kamu. Pergi sana”.
Akan tetapi, Kumbakarna bukanlah pengecut. Walaupun ia melihat tanda-tanda buruk, ia tetap setia kepada janji ksatrianya: Wruh ingulun lara têka....nyànghulun pêjaha ring rana dadaha (XIV:31) ‘Aku tahu bencana telah tiba. Biarlah aku mati menjadi korban perang’. Maka, dengan jiwa besar Kumbakarna gemuruh bak guntur menyebar petaka. Pasukan Rama kocar-kacir. Wibhisana pun khawatir dan segera mendesak Rama untuk segera menghabisi kakaknya. Tragedi Kumbakarna pun berlangsung. Anggota badannya dipanah satu persatu. Jerit pekik Kumbakarna menahan sakit dan darahnya muncrat berhamburan mendirikan bulu roma. Akhirnya ia gugur terpotong-potong, mengenaskan.
Rawana kembali terpukul berat. Wibawa kebengisannya mengkerut ciut. Ia terisak menangis putus asa. Indrajit, sang putra mahkota yang tersohor sakti membesarkan hati ayah rajanya. Katanya besar: Wenang aku manglawana Ràma sewu ramesenkwa sìrna huwusên (XXIII:21) ‘Jangan sedih ayah, aku mampu menghadapi seribu Rama sekalipun. Mereka akan aku remas-remukkan sampai lumat’. Maka, dengan kebanggaan kejayaan masa lalu, Indrajit berangkat ke medan perang memimpin pasukan. Dengan daya sihirnya, dalam sekajap pasukan kera terbius pingsan. Hanya Wibhisana saja yang luput. Ia segera membangunkan Rama dan perwira lainnya lalu memberi arahan strategis. Laksmana menandingi kedigjayaan Indrajit. Maka, kemalangan pun kembali menghujam Rawana. Bulu romanya merinding. Hatinya remuk redam penuh dendam. Tidak ada lagi kebanggaannya yang tersisa melihat putra kesayangannya yang gagah perwira itu gugur dengan kepala terpenggal. Katanya terbata-bata penuh penyesalan:
Ah-ah aparan prayojana nikang sukan inangên-angên, apa pakênà nikang wibhawa bhangga wirasa rinasan, tuhu-tuhu màwasàna wiûa tang wisaya mangawaúa, si pati sipat-sipat ning ahurip syapa luput irikà (XXIII).

‘Oh, oh, oh, bila dikenang apa sih tujuanku menikmati segala suka pesta canda-ria? Apa pula yang pantas dibanggakan sebagai penguasa? Bangga menikmati segala nikmat duniawikah?  Ah betul sekali, sungguh-sungguh berakibat keracunan berat orang yang kecanduan rasa nikmat. Kematian adalah kodrat hidup. Siapakah yang dapat luput dari kematian?’

Setelah cukup lama merenungi makna hidup, Rawana tertatih-tatih bangkit dengan geram keputusasaan. Dengan tujuan agar segera dapat mengakhiri perang, ia berkata membulatkan tekad perang:.. màtyana màtya mo tar apilih denya (XXIV:12) ‘Tidak ada pilihan lain lagi bagiku, membunuh atau dibunuh’. Ia pun siaga dengan kebesarannya yang angkuh di medan perang. Bagaimana pun juga, ia adalah raja sakti. Kedigjayaannya luar biasa, senjatanya supercanggih, hanya saja kurang kearifan. Melihat itu raja Sorga, Indra khawatir. Maka, ia turun tangan membantu Rama dengan senjata dan kereta sorgawi agar pertarungan menjadi berimbang. Akhir kisah, dalam perang tanding yang tegang dan melelahkan Rawana sidikit lengah, panah Guhyawijaya menghujam dasamukanya. Ia pun rubuh tanpa kepala. Kematian Rawana ditangisi Wibhisana:
Kakangku kita hàh Daúanana nihan ngulun tinghali, ksamàkêna taman kênà ta ring upadrawànginggati, apak para ri sang paràrtha paramàrtha don inghulun, mahàhuluna sang mahàrddhika mahàt sireng ràt kabeh.
Nihan mahala yang panginggati anung mareng durjjana, tan ora yaúa donaning wiraha kewala drohaka, nghulun pwa maka kàryya kàrunika ràksaka ning saràt, matangnyan apagêh hatingku kapasàha làwan kita.
Kunang pwa kalarangku denta mati de nikang durnaya, ujarkwahayu ngùni tat pituhu ring sabhàpad wihang, ujar nikana Sang Prahasta kêna teki mangke têka, patinta sahamùla yeki ta phalanya sàksàt katon (XXIV: 32-34).

‘Oh Kanda Prabu Rawana, ini lihatlah Adikmu. Maafkanlah, semoga aku tidak kena kutuk karena membelot. Tujuanku meninggalkanmu semata-mata menuju orang yang mengasihi dunia, Kebenaran adalah tujuan hidupku. Karena itu, aku mengabdi dengan sepenuh hati kepada Rama, orang yang arif bijaksana, orang yang benar-benar mengayomi dunia’.
‘Pastilah aku dituduh sebagai penghianat, karena rela mengabdi kepada orang yang Kanda dan mereka pandang sebagai penjahat. Aku tak peduli, biarlah mereka mengatakan aku ini pembelot, orang yang tak berbudi, dan pendurhaka. Tak apalah, tetapi aku minggat untuk berbuat kebajikan, untuk menyelamatkan rakyat dan negara dari kediktatoranmu. Atas alasan itu, dengan keyakinan yang teguh aku meninggalkanmu’.
‘Adapun yang menyebabkanku sedih, karena Kanda gugur akibat kurang bijaksana. Kandalah yang sesungguhnya pembangkang, karena tidak mau menerima saran politik yang baik dan rasional pada waktu rapat besar tempo hari. Tetapi justru bertindak sebaliknya, saran politik Sang Prahasta, si patih penjilat itu Kanda anggap benar dan baik. Maka, beginilah akibatnya sekarang. Sungguh telah menjadi kenyataan, seperti bercocok tanam buahnya pun Kanda petik sendiri, terimalah’.


Refleksi
Adyatmikaduhka, adalah penderitaan karena faktor psikologis, yaitu karena terlalu egois. Penderitaan karena hasrat duniawi yang berlebihan dan pikiran yang irasional inilah yang dipersonifikasikan sebagai tokoh Rawana. Ia gemar memanjakan sepuluh indranya sehinga disebut dasamuka. Karena hasratnya yang hiperduniawi itu, maka ia menjadi sumber masalah sosial-politik dan spiritual: biang penderitaan, bahkan penderitan di tiga dunia. Ada tiga ambisi duniawi Rawana yang menjadikannya demonis (ambisius, pemarah, rakus, pemabuk, suka iri, dan irasional): (1) kekuasaan. Rawana ingin menjadi raja-diraja. Untuk itu ia menghalalkan segala cara untuk menundukkan raja-raja lain dengan cara kasar, bahkan para dewa pun ditundukkan untuk memenuhi segala hasratnya; (2) harta. Rawana ingin menjadi raja yang bergelimang kemewahan. Untuk itu ia memeras raja-raja taklukan dan masyarakat; dan (3) wanita. Walaupun Rawana telah memiliki permaisuri yang cantik dan banyak selir, ketika melihat kemolekan permaisuri Rama, iapun tergiur berat, nafsu birahinya bangkit, dan iri kepada Rama. Tanpa pertimbangan moral, Sita dirayu lalu diculik. Itulah tiga puncak ambisi Rawana yang menjadikan epos Ràmàyana bertemakan penderitaan, masalah manusia sepanjang zaman.
Maka, yang dapat kita jadikan bahan renungan utama kali ini adalah bahwa sesuai dengan hukum postulat, karma-phala, ia yang menyebabkan penderitaan orang atau makhluk lain, tidak bisa tidak, cepat atau lambat juga mengalami penderitaan setimpal perbuatan jahatnya. Perbuatan pasti berpahala. Perbuatan buruk berpahala penderitaan. Oleh karena itu, Krsna dalam kitab Bhagawadgita (XVI: 21) menyimpulkan:
Trividhaý narakasy’dam
dvàraý nàúanam àtmanaá,
kàmad krodhas tatha lobhà,
tasmàd etat trayaý tyajet
‘Ada tiga pintu gerbang neraka:
hasrat duniawi yang berlebihan, kemarahan, dan kerakusan.
Ketiga itu menuntun jiwa menuju kehancuran.
Karena itu, orang bijaksana meninggalkan ketiganya’.

Daftar Bacaan
Baba, Sri Satya Sai. 2006. Hikayat Sri Ràma I, II, III. Jakarta: Yayasan Sri Satya Sai Indonesia

Mantra, I. B.  tt. Bhagawadgita Alih Bahasa dan terjemahan. ....:...

Norris, Christopher. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Joagjakarta: Ar-Ruzz.

Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat. Yogyakarta: Jalasutra.

Subramaniam, Kamala. 2001. Ràmàyana. Surabaya: Paramita.

Warna, I Wayan. dkk. 2001. Kakawin Ràmàyana I & II. Denpasar: Departemen Agama RI Kantor Depertemen Agama Propinsi Bali.

Yasa, I Wayan Suka. 2010. Rasa: Daya Estetik-Religius Geguritan Sucita. Denpasar: Sari Kahyangan Indonesia.

Zoetmulder, P.J. 1995. Kamus Jawa Kuna- Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...