MITOS



MITOS GANGGA DAN SUNGAI AYUNG
Perspektif Teo-Ekologi Hindu

I Wayan Suka Yasa[1]

Abstract
From Hindu theo-ecological perspective, Ayung River is Dragon of Basukih which flow Amreta Gangga ‘holy water of life’. Its headwaters are Beratan and Batur Lake. From these lakes, Dewi Sri and Laksmi send the Amreta Gangga in the form of spring to all the creatures that thirst for water. Therefore, the people around the Ayung River use the spring as Taman Beji ‘sacred bathing sites’. The same goes for the campuan ‘confluence’, it is because the people believe it as the cosmic central point. Therefore, near to this sacred spot they build a temple to glorify God and all the manifestations. It makes the Balinese Hindu people has to bear their theo-ecological responsibility to realize their understanding about sad kertih ritual ‘six kinds of good deed’, in such ways as: (1) Changing the people understanding that a river is a nista mandala ‘a place for dumping garbage’ but a Biosphere park with religious-aesthetic matrix; (2) managing the watershed so that it can be beneficial; (3) growing various kinds of Balinese tanem tuwuh ‘medicinal plants’ along the watershed and the boundary of Ayung River. 

Keywords: Theo-ecology, myth, ecosystem, hydrology, Biosphere Park.

I. Pendahuluan
Dewa Yama mengajar muridnya: “Anakku Naciketa, sesungguhnya hanya ada dua jalan di dunia ini, yaitu jalan sreya ‘kebajikan’ dan jalan preya ‘kesenangan’. Keduanya menarik sang jiwa. Ia yang mengikuti jalan kebajikan sampai kepada kebahagian. Sedangkan yang mengikuti jalan kesenangan sampai pada penderitaan” (Katha Upaniûad, 2:1). Oleh karena jalan kedua sangat mudah dilalui, bersifat instan, dan penuh dengan nikmat sensual dunia maya, maka kebanyakan di antara kita lebih tertarik dan memilih jalan kesenangan. Itulah pangkal sebab yang menjadikan masyarakat terpesona nikmat duniawi sehingga menjadi penganut agama pasar yang taat. Hal itu terbukti dari semakin menggejala dan populernya pengaruh peradaban material-hedonis. Uang telah menjelma menjadi Tuhan dunia.
Agama pasar mengajar masyarakat untuk membalik pandangan dunia. Tidak ada apapun yang sakral selain uang. Bumi tidak perlu lagi dipandang sebagai Dewi Prethiwi ‘Ibu Ilahi’, tetapi ia semata-mata adalah benda material yang bernilai ekonomis. Bumi dan segala isinya bukan lagi hak Tuhan. Bahkan Nietzche dalam bukunya, Zarathustra (2001) mengatakan Tuhan telah mati. Katanya: “Kita sudah bunuh Dia”. Oleh karena itu, kini bumi dan isinya dengan sendirinya telah dipandang sebagai hak manusia sepenuhnya. Atas anggapan itu, maka seisi alam diekspoitasi secara berlebihan, terutama oleh pemilik modal dan tentu atas restu dan keterlibatan “oknum” penguasa untuk berbagai kepentingan duniawi, keakuannya. Demi hal itu, dengan tujuan untung besar, mereka berusaha keras mengeksploitasi alam dengan mengabaikan dan atau menyembunyikan dampak negatif dari usaha industri raksasanya. Oleh karena itu, munculah masalah besar yang semakin mengancam eksistensi alam dan sekaligus eksistensi manusia dan kehidupan lainnya, antara lain masalah ekonomi; masalah kesehatan; masalah intelektual; masalah yang tidak kalah pentingnya dan bahkan dapat dipandang sebagai masalah dasar dari masalah sebelumnya adalah masalah spiritual. Masyarakat zaman ini tidak lagi memiliki orientasi spiritual yang murni, akibatnya di mana-mana terjadi degradasi moral bahkan sampai pada pelecehan kultural (Jumsai, 1988:6; Geriya, 2000:3; Atmadja, 2010:1).
Khusus di bidang air, dengan munculnya berbagai permasalahan dunia, maka belakangan (di akhir abad 20), para intelektualis akhirnya sadar bahwa perkembangan dan lingkungan kehidupan ternyata tidak terpisah secara ekslusif, tetapi justru saling ketergantungan. Oleh karena itu, The United Nations Word Food Conference (WFC, 1974) berusaha mendorong masyarakat dunia untuk melakukan tindakan ekologis.  Keprihatianan dan imbauan mereka adalah dengan adanya krisis pangan dunia yang semakin menghawatirkan, maka perlu ada usaha investasi di bidang irigasi dan drainasi sebagai landasan pengembangan pertanian dengan tujuan jangka panjang berupa pengembangan sosial dan ekonomi.
Akan tetapi sampai sejauh ini, himbauan itu tampaknya belum sepenuhnya dapat menggugah hati masyarakat, khususnya masyarakat Bali. Sebagai contoh, mari kita cermati Sungai Ayung yang membentang di wilayah Kodya Denpasar, Kabupaten Badung, Gianyar, dan Bangli. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini, debit aliran airnya semakin menurun. Tingkat pencemaran dan perusakan DAS dan sempadannya pun semakin mengkhawatirkan. Terlebih-lebih perusakan dan pencemaran aliran air di bagian tengah sampai hilir sungai. Hal itu tentu diakibatkan oleh banyaknya alih fungsi lahan dan perilaku jorok masyarakat yang tinggal di sebelah-menyebelah sungai. Mereka membuang limbah ternak, sampah, limbah industri rumah tangga, dan limbah diri ke sungai tanpa perasaan berdosa. Tidak hanya itu, yang lebih parah lagi adalah bahwa di beberapa titik terdapat pembuangan limbah industri ke Sungai Ayung. Dampaknya, tentu saja merusak dan meracuni ekosisitem dan biota sungai Ayung. Jadi, limbah beracun dan sampah juga menjadikan sungai semakin disfungsi untuk kemanusiaan.
Melihat kenyataan yang semakin memprihatinkan itu, maka muncullah tulisan reflektif ilustratif ini dengan mengupas makna mitos Gangga dan fungsi Sungai Ayung. Tujuannya adalah untuk memahami keberadaan sungai dalam rangka mendukung arah dan bentuk pembangunan Bali ke depan, utamanya yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya air sebagai sistem lingkungan kehidupan yang berkelanjutan dengan memperhatikan empat asas: (1) efisiensi, (2) kecukupan, (3) konsistensi, dan (4) pencegahan terhadap kerusakan (Pusposutardjo dalam Windia, 2006: xxi-xxiii).
Asumsi teoretisnya bertumpu pada pandangan dunia teo-ekologis Hindu, yaitu melihat dunia sebagai sebuah sistem dari komponen-komponen tak terpisah, saling berintegrasi, dan selalu bergerak, bersama manusia sebagai satu bagian yang intergral dari putaran kosmos. Artinya, kosmos dipandang sebagai suatu realitas yang tidak terpisahkan: selamanya berada dalam gerak, hidup, organik; bersifat spiritual dan material pada waktu yang bersamaan (Capra, 2001:13-14).

II.      Teologi dan Mitos Air
Sungai Gangga mengalir dari gelung rambut Dewa Siwa ‘Tuhan dalam paham Hindu Siwais’ yang duduk kontemplatif di puncak Gunung Kailasa. Ikon Siwais ini tidak hanya mengandung makna pandangan teologis, tetapi juga mengimbaukan kearifan ekologis Hindu yang memuliakan wredhi ‘kelestarian alam, kemakmuran’, swasti ‘kesehatan’, santhi ‘kedamaian atau keharmonisan’, dan moksa ‘kebahagiaan’. Jagaddhita ‘kebahagiaan duniawi’ diyakini bersumber dari Tri Hita Karana ‘tiga penyebab’: palemahan ‘kelestarian alam’, pawongan ‘hubungan yang harmoni dengan sesama’, dan parhyangan ‘cinta kasih Tuhan’.
Menurut paham wisisthadwaita ‘monisme terbatas’, palemahan adalah wujud Tuhan  yang sthula ‘terkasar’ yang disebut Siwa Bhumi ‘Tuhan sebagai bumi’. Lalu secara teologis dualis, Ia diyakini sebagai Pribadi Agung, Dewa Siwa’ didampingi oleh Permanisurinya, Dewi Uma, bertahta di puncak Gunung Kailasa. Oleh karena itu, orang-orang bijak Hindu mengajak umatnya untuk menyampaikan rasa hormat yang tinggi kepada Siwa, Sang Penguasa gunung yang disebut Sanghyang Girinatha dan Permaisurinya, Uma dengan gelar Giriputri ‘dewi gunung’ dengan mengucapkan mantra (Siwa Stawa: 11).
Namaste dewa dewese, Isana waradacyuta,
mama siddhim paryaccha twam, sarwa karyesu Sangkara.
‘Hormat kepada-Mu, o Siwa, Dewa para dewa. Engkau Sang Mahapemurah. Anugerahilah kami keberhasilan dalam semua kerja, o Sangkara ‘Penguasa tumbuh-tumbuhan’.

Om Giriputri dewa dewi, lokasraya mahadewi,
Uma Gangga Saraswati, Gayatri Waisnawi dewi.
‘Om, hormat kepada Giriputri, dewinya para dewi. Ibu pelindung kami. Engkau diagungkan dengan berbagai nama: Uma, Gangga, Saraswati, Gayatri, dan Laksmi.

Kepala Dewa Siwa dengan gelung rambut yang tebal dan ikal itu merepresentasikan hutan lebat di gunung atau pegunungan. Kepala Siwa mengimbaukan Gunung Kailasa atau Himalaya. Dari lelehen es Gunung Kailasa yang berselimut salju dan berhutan lebat itulah mengalir Sungai Gangga yang jernih, dingin, dan suci sepanjang zaman. Air jernih tentu adalah amrita ‘madu segar pemuas dahaga’ bagi semua makhluk. Tidak hanya amrita, tetapi air juga adalah pencuci dan bahkan sebagai pelebur penyakit atau peruwat hal yang menyebabkan orang menderita. Keyakinan itu ternyata benar secara ilmiah. Masaru Emoto seperti yang dilaporkan dalam bukunya The Secret Life of Water (2006) membuktikan bahwa air yang diperlakukan dengan penuh hormat memberi berkah rasa segar dalam bentuk kristal padma. Begitu pula sebaliknya, jika air diperlakukan secara kasar ia berubah menjadi racun dalam bentuk kristal yang rusak. Maka, orang suci Hindu memuja air dengan mantra:
Apsudewa pawitrani Gangga Dewi namostute,
sarwa kleúa winasanam, toyena parisudyati.
‘Oh Dewi Gangga, dewi penguasa air kami hormat kepada-Mu,
semua noda menjadi lenyap dibersihkan oleh air’.

Sarwa papa winasini sarwa rogha wimocane,
sarwa klesa ninasanam sarwa bhogam awapnuyat.
‘Engkau pelenyap semua papa, pembebas semua penyakit,
semua noda menjadi hilang, maka atas anugerah-Mu semua makhluk mendapat kenikmatan’.

Mitos Sungai Gangga dikisahkan dalam kitab Siwa Purana. Disebutkan bahwa Negeri Astina mengalami kekeringan hebat. Tidak ada hujan setitik pun yang jatuh sepanjang tahun di negeri itu sehingga semua jenis tumbuhan mati kekeringan. Tanah ladang pun pada kering kerontang. Sungai-sungai tidak lagi mengalirkan air sebagaimana biasanya. Rakyat pada kebingungan dan banyak yang mati kelaparan. Kerajaan sudah kehabisan persediaan air dan pangan. Tanpa air seluruh penduduk Hastina kehilangan gairah hidup. Oleh karena itu, Raja Bhagiratha melakukan tapa keras memuja Dewi Gangga agar berkenan turun ke bumi mengalirkan airnya. Dewi Gangga berkenan, tetapi sebelum air Gangga diturunkan, Bhagiratha dititahkan untuk memohon perkenan Dewa Siwa yang sedang tapa di Gunung Kailasa agar berkenan menyangga jatuhnya air Gangga yang deras dari sorga. Singkat cerita, berkat keutamaan bakti Bhagiratha, Dewa Siwa pun berkenan. Dewi Gangga dititahkan oleh Dewa Siwa untuk menjatuhkan airnya pada gelung rambut-Nya. Maka, Dewi Gangga menumpahkan air sucinya ke gelung rambut Siwa. Lalu dari gelung rambut Siwa yang ikal dan tebal itu mengalirlah air Sungai Gangga ke bumi. Alhasil, berkat aliran air sungai Gangga, Negeri Hastina kembali berseri.
Mitos yang menjadi latar kesakralan Sungai Gangga itu mengandung makna didaktis teo-ekologis tentang makna dan fungsi gunung, hutan, dan air. Gunung dan hutan jelas adalah penyangga dan sumber air. Air yang jatuh dari langit tanpa disangga oleh gunung yang berhutan lebat sudah tentu mengakibatkan banjir bah. Air dalam bentuk banjir bandang jelas tidak berguna bagi kehidupan. Justru sebaliknya, air bah adalah petaka bagi semua makhluk. Lihatlah dan renungkanlah mala-petaka akibat banjir badang di Papua Barat yang terjadi 4 Oktober 2010. Dengan menyadari arti bakti dan kelestarian alam itu, maka dari sejak zaman purba (3000 tahun SM) umat Hindu sudah diajar untuk hormat kepada alam melalui kisah-kisah suci semacam itu. 
 Gunung (tidak hanya gunung Kailasa) adalah lingga ‘kejantanan Siwa’ yang purba. Oleh karena itu, gunung disebut lingga acalalingga dalam wujud gunung’. Lingga selalu dilawanpasangkan dengan yoni ‘kewanitaan Siwa’. Jika gunung adalah kejantanan-Nya, maka laut atau danau adalah kewanitaan-Nya. Secara hidrologis, lautlah sumber air terbesar bumi ini. Air laut menguap lalu dijadikan mendung oleh hutan gunung dan pada gilirannya titik-titik air mendung itu jatuh menjadi hujan.  Artinya, hutan gunung itulah yang mengatur pendistribusian air melalui sungai-sungainya secara teratur ke daerah dataran. Maka, tanpa laut dan danau, gunung tiada berarti, demikian pula sebaliknya. Keduanya saling mengadakan, saling tergantung secara sistemik untuk kajagaddhitan ‘kelestarian dan kesejahtraan’ alam beserta isinya. Oleh karena itu, orang suci Hindu mencatat pesannya dalam lontar Siwa Tattwa Purana: panghuluning bhuwana [....] tan waneh segara, danu, ukir agung ‘hulunya bumi adalah gunung (hutan), danau, dan laut’.
Atas wawasan kealaman seperti itu, maka gunung, danau, dan laut dipelihara dengan sikap dan perilaku suci. Tradisi Hindu sangat meyakini bahwa gunung-laut (danau) adalah sumber kelestarian dan kesejahteraan jagat. Oleh sebab itu, ada berbagai ritual yang berkenaan dengan gunung dan laut. Efek positif sikap dan perilaku seperti itu menjadikan umat Hindu yang sadar tidak berani bersikap dan berperilaku angkuh kepada alam: gunung, hutan, tanah, sungai, danau, dan laut. Hal itu diperkokoh oleh tradisi spiritual para mistikus Hindu yang suka melakukan tirtayatra ‘perjalanan suci untuk menemukan dan mandi air suci’ di pusat-pusat patirtan yang ada di gunung, sungai, danau, dan di (tepi) laut. Di situ, di gua-gua atau di bawah pohon terpilih yang rindang mereka melakukan yoga untuk mendapatkan hal yang paling mereka rindukan: rahmat Ilahi. Kisah-kisah perjuangan mereka untuk mendapatkan anugerah Dewa Siwa lalu dilisankan dari zaman ke zaman. Lama kemudian, kisah itu menjadi mitos keangkeran dan misteri gunung, hutan, sungai, danau, dan laut. Seorang antropolog, Robert Otto (dalam Koentjaraningrat, 1987:65) yang giat melakukan penelitian pada bidang gejala religi seperti itu sampai pada kesimpulan bahwa yang dialami para mistikus tentang, misalnya, penampakan Tuhan dan rahmatnya adalah hal yang ada di luar nalar ilmiah. Oleh karena itu, pengalaman esoterik tentang hal yang gaib yang bersifat mysterium-tremendum ‘misteri yang mempesona, menggetarkan’, dan sekaligus sacred ‘keramat’ itu diwacanakan oleh tradisi dalam bentuk mitos.
Atas penghayatan terhadap makna dan fungsi gunung sebagai linggacala, stana Dewa Siwa (Mahadewa) seperti itu maka, umat Hindu mendirikan tempat suci di puncak atau di lereng gunung, di tepi sungai, di danau, dan di tepi pantai.  Kelestarian pura berkaitan erat dengan hutan, sungai, danau, dan laut. Bahkan pura dengan mitosnya merupakan wujud kearifan lokal yang ternyata berfungsi efektif untuk menjaga kelestarian lingkungannya. Hal itu tidak hanya terjadi di India, terutama pada zaman dahulu, tetapi juga di Nusantara. Pura, terutama yang ada di daerah pengunungan, antara lain yang masih dapat ditemukan di Jawa dan Bali memiliki alas angker atau alas kekeran ‘hutan keramat’, seperti Candi Ceto, Pura di Alas Purwo, Pura Batukaru, Pura Makori, Pura Pucak Rangda, Pura Pucak Tedung. Karena hutan dipandang angker, milik Tuhan, maka masyarakat tidak berani menebang pohon atau berbuat tidak senonoh di wilayah kekeran ‘di tempat-tempat yang dipandang angker’ seperti itu. Pura tidak hanya memiliki alas angker, tetapi juga beji atau patirtan ‘tempat pemandian suci’ baik berupa yeh telebutan ‘mata air’, campuhan ‘pertemuan mata air atau aliran sungai’, bulakan ‘kubangan air suci’, danu ‘danau’. Di samping itu, pura juga memiliki binatang suci yang disebut due, baik yang bersifat gaib seperti macan, harimau, buaya, ular, ikan, dan makhluk halus yang lainnya; maupun binatang suci yang nyata, seperti kera, anjing, angsa, kerbau, dan yang lain-lainnya. Aspek ini juga menunjukkan sebuah kearifan ekologis yang bagaimanapun juga jelas berfungsi positif terhadap kelestarian alam Bali.
Alam yang lestari adalah alam yang ideal bagi kehidupan. Oleh karena itu, orang-orang suci Hindu membangun asrama di tepi atau di dairah ketinggian dekat sungai. Kejernihan, ketenangan, aliran, dan gemercik air adalah sarana kontemplasi mereka. Bekas-bekas perilaku suci yang memakai aliran air sebagai sarana kontemplasi dapat dilihat pada ceruk-ceruk cadas atau gua pertapaan di sepanjang Sungai Pakerisan (Bagus, 2008: 62-88). Air bagi mereka yang suci tidak hanya sarana meditasi, tetapi juga merupakan sumber hidupnya. Kotornya air, berarti hilangnya kesucian dan kehidupan. Oleh karena itu, dalam lontar Catur Lokaphala dicatat kisah sebagai berikut.
Ketika Dewa Iswara dinobatkan menjadi guru dewa menggantikan kedudukan Dewa Wisnu menjadi guru suci di Asrama Sukayadnya, datanglah seorang brahmana yang sombong karena merasa sakti. Danghyang Tengen Wungwung namanya. Setibanya di wilayah hulu Sukayadnya, ia berak dan kencing semaunya di sungai yang mengalir dekat asrama Dewa Iswara. Kotoran itu tentu saja mengambang mengikuti aliran air. Hal itu dilihat oleh Dewa Iswara. Betapa jengkelnya Beliau atas kelancangan orang yang mengotori sungai, tempatnya menyucikan diri sehari-hari. Oleh karena itu, Beliau mengutuk agar aliran air sungai berbalik ke atas membawa kotoran yang hanyut dan mengotori pemiliknya. Kutukan dewa pastilah terjadi. Karuan saja sekujur tubuh Danghyang Teken Wungwung belepotan kotoran, kebusukannya sendiri. Akhirnya, ia menyadari kekeliruannya, betapa buruk akibatnya jika orang sombong, jika orang mengotori sungai.
Kisah tersebut tentu mengandung nilai kearifan tentang arti penting dari air yang mengalir bersih, jernih, dan suci. Mengotori air dengan berbagai jenis limbah adalah petaka bagi masyarakat. Maharsi Manu (Manawa Dharmaúàstra, IV:52) mengingatkan:
‘Hendaknya jangan berludah, membuang air kencing, dan tinja ke air sungai.  Juga tidak boleh melempar kata-kata kotor ke sungai, tidak juga darah, racun, dan kotoran yang lainnya.

III. Fungsi Air Sungai Bagi Masyarakat Bali Agraris
Air adalah salah satu unsur alam. Unsur yang lain pertiwi, api, udara, dan ether. Kelima unsur alam itu dalam khasanah Hindu disebut Panca Mahabhuta: prethiwi, apah, teja, bayu, akasa. Alam yang unsur-unsurnya dalam keadaan harmoni disebut bhutahita. Ketidakharmonisan unsur-unsur itu disebut bhutamurti. Misalnya, salah satu wujud prethiwi murti adalah tanah longsor akibat ketidaklestarian hutan. Efeknya lanjutannya adalah apahmurti atau Wisnumurti, yaitu apabila hujan lebat turun di daerah pengunungan yang gundul karena hutannya telah dibalak habis, maka timbulah banjir badang. Demikian selanjutnya, terjadilah Agnimurti: panas bumi dan matahari semakin menyengat. Berbagai penyakit pun bermunculan. Efek berikutnya adalah Bayumurti: terjadi puting beliung dan sejenis itu. Jadi, bentuk-bentuk murti itulah dipahami sebagai wujud pralaya ‘kiamat tingkat lokal’.
Bagi masyarakat Bali agraris, kelima unsur alam itu dihayati sebagai yang bersifat Ilahi, sebagai perwujudan Tuhan “Purusa-Prakreti’ yang paling riil (baca Samkhya-Yoga) dan satu dengan yang lainnya saling berhubungan, sebagai berikut. Prethiwi adalah Ibu, disebut Ibu Prethiwi. Ia menjadi palemahan ‘mandala’ tempat masyarakat beraktivitas untuk mendapatkan pangupajiwa ‘harta, sandang-pangan-papan’; Akasa adalah Bapa, disebut Bapa Akasa. Rupanya adalah matahari, bulan, dan bintang. Ia adalah prana ‘sumber energi’. Dalam lingkup kuasa dan berkah Siwa-Uma ‘Ibu-Bapa’ itulah apah ‘air’, teja ‘api’, dan bayu ‘udara’ memainkan peran rta ‘hukum’ evolusi-inevolusi kehidupan yang ada di bumi. Oleh karena itu, secara teologis, spirit air dipuja sebagai Dewa Wisnu, spirit api dipuja sebagai Dewa Brahma, dan spirit udara dipuja sebagai Dewa Iswara. Tiga Dewa ini diyakini sebagai tiga personifikasi Tuhan dalam memainkan siklus trikona, yaitu sebagai utpati ‘pencipta, evolusi’ –sthiti ‘pemelihara, harmoni’ –dan prelina ‘pelebur, inevolusi’ alam beserta isinya.
Ketiga dewa itu dimitoskan menjadi tiga naga: Brahma menjadi Naga Anantabhoga representasi dari bumi dengan hutannya, sumber sandang-pangan-papan’; Wisnu menjadi Naga Basuki representasi dari sungai. Ekornya di gunung mulutnya di laut; dan Iswara menjadi Naga Taksaka representasi dari udara. Dikisahkan bahwa apabila ketiga naga itu dalam keadaan harmoni mereka menjadi sumber kemakmuran dunia. Sebaliknya, apabila mereka dalam keadaan disharmoni, mereka pula yang menghadiahkan malapetaka kepada seluruh penghuni dunia. Dalam lontar Budha Kacapi dinyatakan bahwa, Sanghyang Tiga Wisesa, lwirnya Brahma, Wisnu, Iswara pinaka hala-hayuning jagat kabeh ‘Sanghyang Tiga Wisesa: Brahma, Wisnu, dan Iswara itulah yang berkuasa atas baik-buruknya semua alam beserta semua isinya’.    
Air sungai dan kemakmuran masyarakat pengguna air sungai, terlebih-lebih masyarakat agraris jelas sangat tergantung kepada kelestarian hutan yang menjadi DAS-nya, terutama hutan yang ada di hulu dan daerah aliran sungai itu. Di Bali, kesadaran masyarakat akan fungsi kelestarian hutan tampaknya telah ada sejak zaman Bali Kuno. Jejaknya dapat dilihat pada ritual hutan yang disebut Wana Kertih. Wana artinya hutan, dan kertih berasal dari kata kirti yang artinya dewi kemakmuran, kemasyhuran, tindakan yang patut dipuji (Zoetmulder, 1995:506). Wana kertih berarti tindakan terpuji terkait dengan hutan, yaitu berusaha melestarikan hutan dengan kesadaran sri wana ‘tindakan memelihara hutan adalah hal yang berpahala kemakmuran. Di samping sri wana, hutan juga berfungsi sebagai tapa wana ‘tempat wisata spiritual’, yaitu tempat bagi peminat spiritual untuk mendapatkan kesegaran fisik dan rohani akibat menghirup prana ‘udara segar’ dan berkontemplasi di tengah hutan. Dengan menyadari hubungan hutan dengan air, mengertilah kita makna himbauan didaktis mantra Rig Weda (IX, 5:10) berikut ini.
‘O Dewa, segarkanlah tumbuh-tumbuhan ini dengan seribu aliran anak sungai. Hijaukan dan terangilah dengan kecemerlangan kiliauan emas yang penuh keharuman madu-Mu yang menetes’.

Mantra tersebut setidak-tidaknya mengajarkan para penghayatnya akan hubungan tak terpisahkan antara air, tumbuh-tumbuhan (hutan), matahari yang bersinar berkilauan emas, dan tentu juga bumi dengan segala yang tumbuh darinya. Oleh karena itu, ada kertih yang lainnya, yaitu danu kertih ‘usaha nyata untuk menjaga kesucian danau, samudra kertih ‘usah nyata untuk menjaga kesucian samudra, jagat kertih ‘usaha nyata untuk menjaga kesucian bumi, dan jana kertih ‘usaha nyata untuk membina sumber daya manusia dan keharmonisannya dengan sesama dan makhluk lainnya’.
Kesadaran akan kesalinghubungan antar unsur alam itu tidak lain adalah kesadaran ekosistem. Dan khusus untuk air disebut kesadaran siklus hidrologis bahwa matahari adalah salah satu unsur penentu utama dalam siklus hidrologi: rute perputaran air atau perjalanan air yang terdapat di permukaan bumi. Air dapat berubah bentuk, ia mengalir ke berbagai tempat sehingga akhirnya bermuara kembali ke sumbernya yang terbesar: laut. Siklus hidrologis itu lebih diterangkan lagi oleh mantra Yajur Weda (I:12):
Disucikan oleh matahari yang suci, sebagaimana halnya air yang jernih dan indah mengalir menuju samudera, dan kembali terbang naik ke angkasa, lalu menjadi hujan memelihara tanaman obat. Semua itu disucikan oleh sinar matahari.

Dijelaskan pula bahwa hutan-hutan yang tumbuh dipegunungan itulah yang menahan awan dan menjadikan awan itu menurunkan hujan. Jadi, di samping matahari, hutan jelas memiliki peranan yang besar bagi sebuah proses hidrologis. Hal ini diajarkan oleh kitab Yajur Weda (I:14): ‘Awan-awan mendapatkan kelembaban dari hutan, hutan menempati ruang yang luas dan mendapatkan air dari udara’. Pelajaran yang dapat dipetik dari terjemahan mantra itu adalah bahwa jika ingin hidup makmur, kita wajib memelihara hutan agar tetap lestari dalam wilayah yang luas, karena hutan yang lebat dan luas jelas berfungsi untuk mengubah awan menjadi mendung dan pada gilirannya akan turun menjadi hujan. Di samping itu, hutan juga berfungsi sebagai peresap air hujan agar tidak mengalir langsung dan deras menjadi banjir bandang menuju laut.
Di Bali ada dua tipe sungai. (1) Ada yang disebut tukad, yaitu sungai yang memiliki sumber air tetap berupa air tlebutan ‘mata air’. Sungai ini memiliki air yang relatif tetap sepanjang tahun. (2) Ada yang disebut pangkung, yaitu sungai tadah hujan. Sungai jenis ini akan sedikit-demi sedikit mengering seiring dengan semakin jarangnya turun hujan, terlebih-lebih di musim kemarau. Bahkan ia akan cepat kering bilamana DAS-nya gundul. Lalu alur tadah hujan yang lebih kecil dari pangkung disebut paudan.
Dalam tradisi agraris di Bali, kedua air sungai itu memiliki fungsi agraris. Sungai-sungai dibuatkan empelan ‘bendungan’. Airnya dialirkan dengan sistem irigasi menurut genius Bali yang disebut subak untuk mengairi sawah (bahkan di waktu-waktu tertentu juga digunakan untuk mengairi ladang). Subak sebagaimana telah dibicarakan panjang lebar oleh Windia (2006) memperlihatkan ciri sosio-religius. Di samping fungsi irigasi, fungsi sungai lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah fungsi religius, fungsi estetik, fungsi kebersihan, fungsi konsumtif, fungsi pengendali banjir, dan yang lainnya. Lalu belakangan, dengan berkembangnya industri air dan pariwisata budaya di Bali, maka sungai juga memiliki fungsi ekonomis dan pariwisata.

III. Sungai Ayung
Sungai Ayung adalah Naga Basuki yang menghadiahkan air suci Gangga, utamanya kepada masyarakat Bangli, Gianyar, Badung, dan Denpasar. Airnya mengalir sepanjang tahun memenuhi kebutuhan masyarakat untuk berbagai kepentingan. Ayung tergolong sungai yang produktif, karena memiliki banyak sumber mata air dan fungsional bagi kemanusiaan. Sumber utamanya adalah mata air hulu, yang ada di wilayah Desa Pelaga. Mata air itu konon bersumber dari Danau Beratan dan Batur. Ada cerita yang menyatakan bahwa di bagian Selatan Danau Beratan, di kedalaman tertentu ada “empelan ‘bendungan’ emas gaib”. Di musim kemarau, di saat-saat tertentu, ketika air danau surut pada tingkat tertentu pula, sejumlah masyarakat sering mendengar suara air jatuh. Suaranya seperti suara air tersedot mencrucut atau suara air terjun yang jatuh dari ketinggian. Apakah hal ini betul? Entahlah (wawancara dengan mangku Pura Beratan, Mangku Alit Arista, 11 Oktober 2010). Akan tetapi, tradisi agraris di wilayah Denpasar dan Badung melakukan ritual menjemput air yang disebut Upacara Mapag Toya ke kedua danau itu. Hal itu mengandung makna kebenaran keyakinan bahwa sumber air yang muncul di sepanjang Sungai Ayung, utamanya berasal dari kedua danau itu. Sumber air lainnya yang tidak kalah pentingnya tentu adalah air resapan yang berasal dari berbagai jenis tumbuhan yang tumbuh subur di sepanjang tepi sungai itu.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, secara spiritual diyakini bahwa hulu Sungai Ayung adalah Danau Beratan dan Batur. Danau Beratan adalah salah satu dari tri-danau di wilayah Bedugul. Diketahui bahwa selama kurun waktu 30 tahun dari tahun 80-an, telah terjadi perubahan penggunaan lahan secara tidak terkendali, yaitu bertambah luasnya pemukiman, tegalan, dan semak, serta berkurangnya luas kebun kopi, kebun campuran, dan hutan di kawasan itu. Akibatnya, terjadilah erosi, menurunnya kualitas air, sidementasi, dan rusaknya fungsi kawasan danau sebagai daerah resapan air. Melihat kondisi tersebut tidaklah mengherankan bilamana air menjadi sorotan banyak pihak.
Menyadari hal itu, maka dalam simposium analisis daya dukung dan daya tampung sumber daya air di kawasan Tri-danau: Beratan, Buyan, dan Tamblingan yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2005 (Hehanussa [ed], 2005:vii) diperoleh kesepakatan bahwa model pengelolaan kawasan berbentuk cagar biosfer, yaitu perpaduan konsep konservasi keanekaragaman lanskap, ekosistem, hayati, dan genetik tanpa melupakan pembangunan ekonomi masyarakat sekaligus mempertahankan kearifan budaya setempat. Cagar biosfer juga mempunyai fungsi untuk mendukung logistik penelitian, pemantauan, proyek percontohan, serta pendidikan dan pelatihan. Dengan demikian, cagar biosfir bukanlah sekedar pelestarian, tetapi hakikatnya adalah upaya untuk mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan. Orientasi pembangunan berwawasan lingkungan bergeser menjadi berwawasan berkelanjutan.
Atas dasar konsep cagar biosfir tersebut terdapat dua sasaran besar yang hendak dicapai, yaitu (1) melindungi badan air (danau dan air tanah) dari sumber-sumber pencemaran, dan (2) perlindungan ekosistem agar daya dukung alam dan kemampuan rehabilitasi dirinya untuk terus menyediakan air (daur hidrologi) agar tidak terlampaui. Hasil kesepakatan yang tampak menjanjikan itu tentu tidak hanya diberlakukan untuk tri-danau itu saja, tetapi mestinya juga dijadikan pijakan dalam mengambil kebijakan untuk memelihara kelestarian dan pengelolaan fungsi sungai. Dalam konteks ini adalah Sungai Ayung mengingat fungsinya sangat vital, utamanya bagi Kabupaten Bangli, Gianyar, Badung, dan Kodya Denpasar. Fungsi dimaksud antara lain sebagai berikut.



IV Fungsi Sungai Ayung
4.1 Fungsi Religius-estetik
Apabila kita bertumpu pada konsep nyegara-gunung ‘pergi ke laut lalu ke gunung’ mencari tirta ‘air suci’ untuk menyucikan diri dan jagat, maka fungsi religius Sungai Ayung dapat dipahami sebagai berikut. Hilir Sungai Ayung nyampuh ‘menyatu’ dengan laut Selatan Pulau Bali (Samudra Indonesia) di daerah Padang Galak, Sanur. Di situ, di tepi Barat muara berdiri Pura Campuan Windu Segara. Campuan Padang Galak adalah wilayah sakral yang secara mentradisi difungsikan oleh sebagaian besar umat Hindu Kota Denpasar Timur untuk melakukan ritual penyucian dengan memuja Bhatara Baruna ‘Dewa penguasa lautan’. Antara lain, untuk melaksanakan ritual Melis (Melasti). Di situ masyarakat adat mohon kesucian dan Tirta Segara ‘air suci dari laut’ untuk kepentingan ritual Nyepi dan Odalan (Patirtan) yang dilaksanakan oleh masing-masing desa adat (pakraman) setempat. Di samping itu, campuan itu sering pula digunakan sebagai tempat ritual Malukat ‘ruwatan peribadi’ oleh umat yang diyakini mengalami gangguan niskala ‘sakit karena faktor gaib’. Sayang, kekhidmatan ritual itu sering kali terasa terganggu, terutama oleh bau busuk bangkai ternak dan unggas yang dihanyutkan oleh masyarakat. Tidak hanya itu, terutama pada musim penghujan, sampah sisa pembalakan dan sampah dapur pun menebar berserakan di seputar muara Ayung itu. Selain dipakai sebagai tempat ritual, pantai Padang Galak juga adalah tempat rekreasi laut yang digemari masyarakat. Saban hari, terutama sore dan malam hari, pantai itu selalu ramai dinikmati orang, terlebih-lebih di hari-hari libur.
Tiga kilometer ke arah utara dari laut Padang Galak, yaitu di Desa Kehen, Desa Adat Kesiman, kita kembali bertemu dengan wilayah sakral yang disebut Campuan Tembau yang kramat, yaitu pertemuan antara Sungai Ayung dan anak sungai di ujung Selatan Desa Tembau. Di sebelah Timur sungai dekat campuan itu berdirilah pura Kahyangan yang megah. Sementara di bagian Utaranya berdiri pula Pura Puseh Tembau. Manakala ada upacara Piodalan di pura tersebut, maka Campuan itu difungsikan oleh masyarakat setempat untuk melaksanakan ritual Bhatara tedun ka beji ‘ritual penyucian’. Selain itu, campuan itu sering pula difungsikan sebagai tempat ritual Malukat ‘ruwatan’, terutama oleh anggota masyarakat setempat. Tidak jauh dari situ, di sebelah Selatan di bagian Barat Sungai Ayung ada pancuran mata air yang saban hari difungsikan oleh masyarakat setempat untuk air minum dan mandi. Alur Sungai Ayung di wilayah ini cukup eksotik dengan tebing-tebing yang curam mengapit tibu ‘palung sungai’ yang memanjang dan dalam. Di pinggir-pinggirnya tumbuh pohon jenis beringin yang rindang diselang-selingi oleh berbagai jenis pohon lainya. Oleh karena itu, masyarakat setempat menjadikan tempat itu sebagai tempat rekreasi yang alami. Itu dulu. Tetapi kini, keindahan itu kini semakin surut seiring dengan semakin tercemarnya air dan alur sungai.
Kurang lebih 4 kilometer ke arah utara sungai, tepatnya di sebelah Barat Banjar Ambengan Desa Peninjoan ada mata air yang disebut Taman Beji oleh masyarakat setempat. Sebagaimana umumnya Taman Beji, maka tempat itupun digunakan oleh masyarakat adat untuk ritual Pabresihan dan Panglukatan ‘mandi suci’. Taman Beji yang tidak kalah menariknya adalah mata air yang debit airnya cukup besar yang ada di ujung Desa Kedua, desa di sebelah Utara Desa Peninjoan. Alam di seputar taman religi itu memancarkan daya estetik-religius-magis yang mempesona. Betapa tidak, tepian sungai masih asri lagi sepi. Lebar sungai dengan gemercik air mengalir di sela-sela batu cadas yang mencuat, meliuk, dan membentang cukup eksotik. Di sebelah Selatan Pura Taman Beji ada setra ‘kuburan’ yang dinaungi pohon pule dan teep yang menjulang tinggi di apit oleh pohon nyiur di sana-sini. Tetapi sayang, sampah plastik yang hanyut dari hulu tersangkut dan terhampar di pinggir-pinggir sungai. Hal itu sangat mengganggu kelestarian alam.
Demikian seterusnya, banyak titik yang dipandang bernilai sakral di sepanjang aliran Sungai Ayung. Titik-titik sakral itu dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melakukan berbagai jenis ritual Hindu Bali. Antara lain, di sebelah Timur jembatan lama di Desa Mambal, ada sebuah batu besar yang permukaannya datar. Di situ sering dilakukan ritual Nganyut ‘salah satu bagian ritual kematian yang disebut Pitra Yadnya’. Sementara itu, di bagian hulunya lagi, yaitu di sebuah tanah datar yang disebut Gumasih (gumi asih), di pinggir Sungai Ayung, masyarakat Desa Adat Abian Semal sering melakukan ritual Melis (rangkaian upacara Dewa Yadnya).
Tingginya penghargaan masyarakat Hindu Bali atas nilai sakral air berkaitan erat dengan fungsi air dalam kehidupan, terutama kehidupan agraris. Bagi mereka, air adalah penentu mahapenting kehidupan pertanian. Oleh karena itu, sebelum mengolah sawah untuk menanam padi, pertama-tama mereka melakukan upacara Mapag Toya, yaitu ritual menjemput air di ulun empelan ‘bendungan’ sumber air sawah mereka. Upacara Mapag Toya yang paling utama dilakukan di dua danau, yaitu Danau Beratan dan Batur.  Di dua danau itulah, yaitu di Pura Ulun Danu Batur dan Ulun Danu Beratan, masyarakat adat se-Kabupaten Badung dan Kota Madya Denpasar melakukan upacara itu. Inti puja ditujukan kepada Dewi Laksmi ‘Dewi Kemakmuran’ dan Dewi Sri ‘Dewi Padi’ untuk mohon anugerah kemakmuran dan keselamatan.

4.3 Fungsi Irigasi      
Anugerah Dewi Sri-Laksmi itu diterima masyarakat melalui saluran irigasi yang disebut empelan. Ada sejumlah empelan yang airnya dipakai untuk mengairi beberapa subak di Kabupaten Gianyar: Bendungan Banteh Sengkulung dan Kedewatan; di Kabupaten Badung: Bendungan Mambal; dan Kodya Denpasar: Bendungan Oongan. Secara religius, waduk empelan dipandang sabagai danu ‘danau’. Bagi krama subak yang sawahnya bersumber dari empelan bersangkutan, ke situlah, yaitu di Pura Ulun Empelan mereka melakukan upacara Mapag Toya sebelum mereka menggarap sawah.

4.4 Fungsi Ekonomis
Seiring dengan fungsi irigasi, air Sungai Ayung menjadi berfungsi ekonomis. Semisal, perusahan air minum, yaitu PT Tirtaartha Buana Mulia yang ada di Desa Peraupan, Peguyangan Kangin menjadikan air Ayung yang diambil dari aliran Bendungan Peraupan sebagai bahan industri air minum yang disalurkan ke rumah-rumah penduduk dan perusahan yang memerlukan air Pam di wilayah Kodya Denpasar.
Selain air, di beberapa titik Sungai Ayung sejumlah masyarakat setempat memanfaatkan pasir, krikil, batu, dan cadas sebagai sumber hidupnya. Demikian pula tanem tuwuh yang tumbuh di pinggir sungai yang memiliki nilai ekonomis sudah pada dijual oleh yang merasa memilikinya. Hal ini cukup memprihatinkan.

4.6 Fungsi Konsumtif
Sungai Ayung yang kaya sumber mata air sangat menguntungkan masyarakat setempat. Mereka umumnya mengambil air minum di sumber mata air itu. Misalnya, sebagian masyarakat di Desa Kehen mengambil air minum di sumber mata air yang ada di sempadan Ayung yang membentang di sebelah Timur desanya. Demikian pula, sebagian masyarakat Desa Kedua memanfaatkan air yang muncul di sempadan Ayung di sebelah Barat desanya. Akan tetapi, karena kelestarian tanem tuwuh di sekelilingnya tidak lagi lestari, maka ada beberapa Taman Beji yang kehilangan mata airnya. Misalnya, Taman Beji yang ada di sebelah Barat Setra Tembau.

4.5 Fungsi Ekologis
Sepanjang daerah aliran Sungai Ayung terdapat beraneka-ragam tanem tuwuh, yaitu tumbuh-tumbuhan yang pada mulanya bersifat liar dan tumbuh subur, seperti pohon kepuh, kepah, bingin, kroyo, pule, ancak, teep, timbul, sentul, boni, kuanditan, kutat, tibah, nangka, bayur, pulet, gempinis, piling, leci, kepohpoh, awar-awar, gatep, berbagai jenis mangga (poh eni, poh pakel, poh amplem, poh gedang, poh golet, poh sanih, poh kedis, dan yang lainnya), duren, manggis, croring, langsat, juet, kedongdong, santen, kecemcem, dadap, kopi, enau, pinang, kelapa, salak, peji, rotan, ibus, berbagai jenis bambu (tiing ampel,ori, petung, santong, buluh, jajang, tamblang, kedampal, suat, gading) dan masih banyak yang lainnya.
Kesemua tanem tuwuh tersebut, ditambah lagi berbagai jenis tanaman rambat, belukar, dan perdu tentu juga berfungsi sebagai peresap air, penahan erosi, terutama di tebing-tebing curam dan kemiringan tanah bebukitan. Fungsi utama lainnya adalah sebagai paru-paru, utamanya bagi Kabupaten Bangli, Gianyar, Badung, dan Kodya Denpasar. Dengan tumbuh suburnya tumbuh-tumbuhan tersebut berkembang pula berbagai jenis hewan liar, seperti biawak, trenggiling, kucing hutan, luwak, kera, landak, ular, dan hewan yang lainnya. Demikian pula berbagai jenis burung Bali. Akan tetapi kini, tumbuh-tumbuhan hutan yang bernilai ekonomis telah ditebangi. Hewan dan burung-burungnya diburu. Efeknya, keberadaan mereka pun memunah. Di sana-sini terjadi erosi, terlebih-lebih dengan ditambangnya cadas, batu, dan pasir sungai. Debit dan kualitas air yang mengalir di Sungai Ayung pun menurun. Keindahan sungai memudar. Hal itu tentu diperparah lagi oleh kebiasaan buruk masyarakat yang suka membuang limbah dan sampah rumah tangga ke sungai.

4.4 Fungsi Usada
Berbagai jenis tumbuhan Bali yang unsur-unsurnya dapat dijadikan bahan ramuan usada ‘obat herbal’ disebut taru premana. Berbagai jenis kayu seperti yang telah disebutkan di atas sebagian besar tergolong taru premana. Demikian juga tanaman belukar, pohon rambat, berbagai jenis temu, dan rumput yang tumbuh di pinggir aliran Sungai Ayung sangat potensial sebagai bahan obat herbal. Kini, kaum medis semakin sadar bahwa tanaman khas Bali yang disebut taru premana itu sangat potensial untuk pemeliharaan kesehatan. Namun, karena ketidak-tahuan masyarakat akan fungsi potensial tanem tuwuh itu, maka mereka dibabat, dibuang percuma, diganti dengan tanaman yang dipandangnya lebih berfungsi ekonomis.
Di samping itu, air Sungai Ayung yang mengalir deras, jernih (di musim kemarau), dan sejuk itu juga berfungsi sebagai terapi air. Sadar atau tidak, masyarakat yang berdomisili dekat sungai suka meluangkan waktu siang atau sore hari untuk mememan ‘berendam’ melepas penat, rekreasi, dan beramai-ramai mandi di Sungai Ayung. Bahkan di titik-titik tertentu, yakni di tempat yang dipandang memancarkan nilai sakral, pada hari-hari suci, banyak anggota masyarakat yang melakukan ritual Malukat ‘ruwatan; terapi air secara sakral’.

4.8 Fungsi Pariwisata
Bagi mereka yang memiliki kepekaan rasa dan cinta kepada alam yang lestari, tentu merasa bahagia dengan memandang air terjun, liukan alur, dan aliran air sungai yang deras di ceruk-ceruk tertentu, lalu di tempat tertentu ada tibu ‘palung sungai’ yang dalam dengan air membiru diapit tebing cadas yang mencolok elok dan di atasnya tumbuh aneka ragam hayati dengan aneka ragam bunga. Di bagian-bagian tertentu ada curam yang dinaungi pohon jenis beringin dengan aura udara sejuk dingin mendesir. Dengan menikmati pemandangan itu, mereka akan mendapatkan rasa takjub: betapa indah dan dinamisnya Sungai Ayung. Ia menyimpan misteri alam keangungan alam Bali: keangkeran, kesejukan, kejernihan, ketenangan, dan kedinamisan. Gemercik musik aliran air Ayung itu diperindah oleh kicauan burung dan sinar mata hari memancar di sela-sela daun pepohonan. Dan terus terang, nuansa rasa indah alami itu sungguh tak mampu penulis lukiskan dengan kata-kata.
Di banyak tepiannya ada tempat-tempat yang lestari untuk melakukan kontemplasi, rekreasi, dan terapi air, misalnya di Taman Beji. Rasa segar dan pikiran jernih akan segera dapat dirasakan di situ. Akan tetapi sayang, seiring dengan berjalannya waktu, terutama wajah sungai di bagian hilir Ayung tampak semakin tua, keriput, dan kotor. Tempat-tempat rekreasi yang dulunya banyak dikunjungi masyarakat, kini sudah menjadi tempat yang kumal karena limbah dan sampah, terutama sampah plastik. Bau apek dan warna keruh biru ungu air sungai sudah cukup menjijikkan. Walaupun demikian, jika masyarakat pemilik tanah di tepi-tepi Sungai Ayung tidak berlanjut rakus merusak DAS-nya, maka di bagian tengah sungai masih cukup menjanjikan. Salah satunya adalah untuk wisata alam: rafting seperti yang kini telah ada sebelah Timur Desa Sangeh, Carangsari, dan Bongkasa.


4.9 Fungsi Pembuangan, Penyalur Limbah, dan Sampah
Sungai Ayung sebagaimana juga sungai-sungai yang lain, di sepanjang alurnya ada banyak pangkung, paudan, dan jelinjingan ‘parit’ yang bermuara ke dalamnya. Pangkung dan paudan, selama belum tercemar adalah pemasok air yang potensial untuk memperbesar debit air sungai.
Adapun yang sering kali bersifat kontra-produktif adalah limbah cair beracun yang disalurkan secara sengaja lewat jelinjingan atau pipa pembuangan yang dimuarakan ke Sungai Ayung. Alur Sungai Ayung yang mengalir membelah desa, terlebih-lebih desa-kota. Apalagi di dekat sungai ada pabrik industri. Perusahan itu kemungkinan besar mengalirkan limbahnya (secara sembunyi-sembunyi) ke sungai, seperti, limbah kain celup Pabrik Pemintalan Benang Tohpati di Tohpati; limbah Perusahan Air Minum di Desa Peraupan Denpasar; limbah produksi tahu di sebelah Barat Banjar Ambengan Peninjoan. Kenyataan itu tentu tidak dapat disangkal lagi, limbah usaha itu pasti sangat mencemari sungai. Sementara itu, limbah lain yang tidak kalah mencemari Ayung adalah limbah kotoran manusia, limbah dapur, ternak ayam, babi, dan sapi. Selain limbah, kebiasaan masyarakat yang berdomisili dekat Sungai Ayung membuang sampah rumah tangganya ke tengah dan atau pingir sungai juga cukup memperparah kualitas sempadan dan air Sungai Ayung. 
Ketika musim hujan, limbah dan sampah yang menggenang di palung-palung dan di pinggir sungai yang tidak hanyut di musim kemarau, dihanyutkan oleh banjir sungai ke laut Padang Galak. Maka, berserakanlah berbagai jenis sampah di pantai Padang Galak. Di antara sampah-sampah itu banyak sekali bergelimpangan potongan kayu sisa kayu tebangan. Hal itu dapat dijadikan indikasi bahwa banyak pohon yang ada di sepanjang sempadan Ayung yang ditebang oleh anggota masyarakat “pemiliknya”. Dengan demikian, kecenderungan sempadan Ayung menjadi semakin gundul menjadi semakin nyata terlebih-lebih bila tidak ada usaha rehabilitasi. Efeknya, bila terjadi hujan lebat di bagian hulu dan tengah Bali Selatan, banjir bandang boleh jadi melanda daerah pesisirnya.

4.10 Fungsi Pengendali Banjir.
Topografi Sungai Ayung yang cukup curam dengan aliran air yang cukup deras menjadikannya sangat potensial sebagai pengendali banjir. Sampai sejauh ini, betapa pun banyaknya curah hujan yang jatuh di Bali Selatan, Sungai Ayung belum pernah meluap melampaui batas sempadannya. Kecuali bila di belakang hari DAS Ayung hancur.

VII Penutup
Dari sudut pandang teo-ekologis, Sungai Ayung adalah Naga Basukih yang menganugerahkan amreta Gangga ‘air kehidupan’, utamanya kepada masyarakat pengguna airnya. Tradisi Bali (Bangli, Gianyar, Badung, dan Kodya Denpasar) memandang bahwa hulu Ayung adalah Danau Beratan dan Batur. Diyakini bahwa dari sanalah Dewi Sri dan Laksmi menganugerahkan amerta dalam rupa mata air untuk kesuburan alam, kesucian, kesejahtraan, dan kebahagiaan semua makhluk di wilayah itu. Oleh karena itu, masyarakat setempat menjadikan mata air sebagai Taman Beji yang sakral.
Di samping Taman Beji, campuan ‘titik pertemuan’ Sungai Ayung dengan anak sungainya juga dipandang sakral. Karena, titik pertemuan dianggap menandai pusat kosmis. Secara ontologis, pusat kosmis itu diyakini Tunggal. Yang Tunggal itulah yang sakral. Lalu secara didaktis, kemanunggalan dari segala yang serbaneka ini dimetaforakan oleh nyampuh ‘bertemunya’ dua atau lebih aliran air sungai. Orientasinya, segala sesuatu ini sesungguhnya adalah gerak menuju Yang Tunggal. Menyatu dengan Kesemestaan adalah inti kerinduan dan tujuan perjalanan hidup. Bagaikan kerinduan air sungai untuk dapat segera bertemu dengan induknya: samudra yang mahaluas itu. Maka, muara sungai juga adalah campuhan, yaitu mandala religi Hindu Bali.
Atas dasar pemahaman itu, umat Hindu Bali sesungguhnya memiliki kewajiban teo-ekologis dengan mewujudnyatakan makna ritual sad kertih ‘enam perbuatan bajik’ dalam kehidupan sehari-hari. Mengabaikan pesan sad kertih berarti kita siap menerima Kalakuta ‘racun’ yang mematikan yang menyembur dari mulut Naga Basukih. Berbagai bencana yang menelan banyak korban belakangan ini, boleh jadi sebagai akibat masyarakat lalai mengamalkan pesan sad kertih. Untuk itu, mari kita wujud-nyatakan kesadaran sad kertih, antara lain dengan cara, antara lain seperti berikut.
(1)   Pembalikan kesadaran kolektif masyarakat bahwa sungai bukanlah nista mandala, tempat untuk membuang kotoran, tetapi adalah urat nadi alam yang bersifat suci, tempat mengalirnya amerta, dan cagar biosfir yang bermatriks religius-estetik. Oleh karena itu, masyarakat wajib membina kesakralannya dengan meningkatkan kualitas perilaku berupa tindakan nyata menjaga kebersihan, kesucian, dan kelestarian lingkungan pada kawasan DAS, khususnya dalam lingkungan sempadan sungai.
(2)   Dalam rangka menata kawasan DAS agar mendapat manfaat yang maksimal dari sungai, maka masyarakat wajib memperhatikan wilayah kekeran ‘sakral’ sebagaimana yang diamatkan oleh Bhisama PHDIP tahun 1994.
(3)   Untuk itu, fungsi lindung sumber daya alam dapat ditingkatkan dengan membudidayakan kembali berbagai tanem tuwuh khas Bali yang memiliki fungsi ganda di sepanjang DAS, utamanya di sempadan sungai.

Daftar Kepustakaan
Adnyana, Gede Agus Budi. 2009. Air Menurut Veda. Denpasar: Pustaka Bali Post.

Anonim. tt. Kusuma Dewa. Salinan lontar. Denpasar: Koleksi Pribadi.

Atmadja, I Wayan Bawa. 2010. Ajeg Bali. Gerakan, Identitas Kultural, dan Globalisasi. Yogyakarta: LKiS.

Bagus, A.A. Gde. 2008. “Pelestarian Daerah Aliran Sungai Pakerisan: Perspektif Lingkungan” Dalam Forum Arkeologi No. III Oktober 2008.

Capra, Fritjof. 2001. Tao of Physics. Yogyakarta: Jalasutra. 

Emoto, Masaru. 2006. Menguak Rahasia Mengapa Air Dapat Menyembuhkan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Geriya, I Wayan. 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.

Hehanussa dkk. 2005. Prosiding Simposium Analisis Daya Dukung dan Daya Tampung Sumber Daya Air di Kawasan Tri-danau Beratan, Buyan, dan Tamblingan. Candikuning Tabanan: UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI.

Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Universitas Indonesia.

Mimbeng, I Gede, dkk. 1997. Kakawin Nitisastra dan Putra Sasana. Mataram: Pesantian Sanatana Gita.

Mittal, Mahendra. 2006. Intisari Veda. Surabaya: Paramita.

Nala, I Gusti Ngurah. 1991. Usada Bali. Denpasar: Upada Sastra.

Nietzsher, Friedich. 2001. Zarathustra. Terj. H.B. Jasin. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Pudja, I Gede. 1992. Theologi Hindu. Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi.

Radhakrishnan, S. 1953. The Principal Upanisads. London: Ruskin House, Museum ST.

Suarbawa, I Gusti Made. 2008. “Situs Tamblingan, Potensi dan Pemanfaatannya”. Dalam Forum Arkeologi No II Juli 2008. Denpasar: Depertemen Kebudayaan dan pariwisata.

Tim Penyusun. 2009. Peningkatan Penataan Kawasan DAS Tukad Yeh Ho di Kabupaten Tabanan. Denpasar: Narada Karya.

Windya, Wayan. 2006. Transformasi Sistem Irigasi Subak yang Berlandaskan Konsep Tri Hita Karana. Denpasar: PT Offset BP Denpasar.

Yasa, I Wayan Suka. 2004. “Catur Lokaphala (Kajian Nilai, Teks dan Terjemahan)”. Laporan penelitian. Denpasar: Universitas Hindu Indonesia.



[1] Dosen Sastra Agama Hindu di Fakultas Ilmu Agama Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...