The Niragni Code
I W a y a n S u k a r m a
Niragni itu kode ketiadaan Dewa Agni di Surga. Dewa Agni adalah Daya-Hidup: Surya di Langit, Brahma di Bumi, dan Api di Tangan (manusia). Dialah bertugas melepaskan energi laten pada setiap makhluk sehingga tercipta kehidupan. Dialah daya intelek pada pikiran (manusia) yang menjadi sumber hukum dunia kehidupan. Akan tetapi, brata panyepian mengimbau amati geni, tidak menyalakan api. Tanpa api muncullah kegelapan, ketidaknormalan, dan diskontinuitas. Tanpa api intelek pikiran pun tidak berdaya, tidak bekerja, tidak mengembara, dan tidak bersenang-senang. Tanpa Agni lalu, bagaimana pikiran melanjutkan kehidupan?
Code (Ingris) atau kode (Indonesia) biasanya dipahami sebagai sandi, kombinasi, isyarat, tanda, kumpulan prinsip, dan kumpulan aturan. Kode itulah yang memungkinkan kita mengenal suatu wujud (entitas) bermakna sebagai tanda. Misalnya, Roland Bharthes melalui semiologinya mengemukakan lima macam kode: hermeneutik, simbolik, semik, proairetik, dan kultural. Ahli lainnya merumuskan sistem tanda yang disebutnya semiotika dengan tiga formula utama: sintaksis, semantik, dan pragmatik. Dalam aplikasinya tanda dapat menjadi ikon, indeks, simbol, dan simtom. Barangkali nama-nama ahli berikut dapat membantu menemukan ragam formula tersebut, seperti Charles Sanders Pierce, Ferdinand De Saussure, Charles Kay Ogden, Ivon Amstrong Richards, Jean Baudrillard, Jacques Derrida, dan Umberto Eco.
Beragamnya sistem tanda menunjukkan bahwa tanda memang menyimpan rahasia dan menyembunyikan makna kehidupan: kebenaran. Apalagi rahasia dan makna kehidupan selalu “mengganggu” keingintahuan dan kesadaran manusia, bahkan dapat membuatnya “penasaran”. Perhatikanlah alam melalui berbagai peristiwa memberikan banyak tanda, bahkan membuat ahli-ahli penasaran mengurai hakikatnya dan menjelajah angkasa. Tuhan melalui kitab-kitab suci agama menyuguhkan aneka tanda sehingga bermunculan beragam tafsir. Manusia sendiri dalam masyarakatnya menciptakan berbagai tanda melalui interaksi sosial dan kebudayaannya. Tidak bisa dihindari manusia menjalani kehidupan dari tanda ke tanda demi tanda. Inilah bahasa kehidupan. Artinya, sukses adalah berhasil menyingkap rahasia dan mengungkap makna kehidupan demi kesempurnaan kehidupan itu sendiri.
“Sukses dan berguna bagi kehidupan” itulah dharma, mantra ajaib agama Hindu. Dharma adalah hukum-hukum hubungan antara sesama manusia, bahkan sesama makhluk. Dharma membicarakan kebenaran dalam bingkai kebaikan bukan sebaliknya, kebaikan dalam kebenaran. Kebenaran sekalipun bila dinyatakan dengan cara tidak baik, bukanlah kebenaran. Kebenaran tidak baik memang tidak pernah menyenangkan karena saling cela-mencela. Dharma lebih mudah dikenali dalam masyarakat sebagai norma, aturan, kode moral, dan sopan santun. Hubungan dalam masyarakat memang melibatkan sikap hormat kepada orang-orang yang lebih tua, sikap bersahabat kepada teman-teman sejawat, dan sikap tulus-ikhlas menolong orang-orang yang belum mandiri. Kebenaran dipraktikkan dalam batas-batas hukum moral inilah kebenaran bermanfaat.
Kebenaran yang sungguh-sungguh bermanfaat bagi kehidupan itulah sukses yang berguna. Sukses tidak hanya berarti sebatas berhasil mengambil sebanyak-banyaknya dari kehidupan, tetapi juga paling banyak memberikan kepada kehidupan. Misalnya, dharma seorang pekerja adalah melakukan pekerjaan dan hasilnya berguna untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Seperti kesuksesan kaum pekerja, juga kaum terpelajar tidak henti-hentinya memperluas pandangan untuk menciptakan kecerdasan masyarakat. Kaum pelayan dengan kerendahan hati melayani masyarakat untuk menciptakan keharmonisan dalam kehidupan. Kaum penyendiri dengan sabar menyerahkan kebebasan dirinya kepada masyarakat untuk menciptakan kebahagiaan dalam kehidupan. Untuk merenungi arti kehadiran (bagian-yang-diambil) dan makna keberadaan (bagian-yang-diberikan) manusia sebagai insan utama dalam kehidupan itulah inti Nyepi.
Nyepi dari kata “sepi” berarti sunyi, lengang, tidak ramai, tidak ada orang, tidak ada kegiatan, tidak ada apa-apa; dan “menyepi” berarti mengasingkan diri ke tempat sepi, pergi ke tempat yang sepi, mencari suasana sepi, menyendiri (KBBI). Serupa dengan arti itu, juga umat Hindu memaknai Nyepi sebagai catur brata panyepian, yaitu amati geni, amati karya, amati lalungan, dan amati lelanguan. Amati geni artinya tidak menyalakan api; amati karya artinya tidak bekerja; amati lalungan artinya tidak bepergian; dan amati lelanguan artinya tidak bersenang-senang. Sebelum brata ini rangkaian perayaan Nyepi berlangsung sejak Melis, Tawur Agung Kesanga, Meprani, Ngerupuk hingga Ngembak Geni keesokan harinya.
Ngembak Geni saatnya mulai menyalakan api, bebas menggunakan api. Ini berarti, Ngembak Geni berlawanan dengan Amati Geni. Keduanya datang susul-menyusul. Nyepi berarti waktu tanpa api, Niragni; dan disusul Ngembak Geni berarti waktu dengan api, Beragni. Tibanya waktu Beragni menandakan ketiadaan waktu Niragni. Seperti keberadaan terang Matahari pagi hari berarti ketiadaan gelap malam. Niragni dan Beragni sebagai pasangan berlawanan adalah produk pikiran, karena itu mudah dipahami. Namun betapa mustahilnya membayangkan tanda-tanda Kehidupan ketika Niragni tampil sebagai kode bahwa Surga tanpa Agni; Langit tanpa Surya; Bumi tanpa Brahma; dan Tangan tanpa Api. Meskipun sebagai kode sebaliknya, Kehidupan akan tampil dan tampak normal.
Normalnya Agni bertugas melepaskan api intelek, berupa kecerdasan-kecerdasan untuk mendorong pikiran tetap dan selalu bergerak dalam Surga-Pikiran, Kerajaan Indra. Pikiran bergerak mengikuti bias-bias waktu yang berjangka dengan satuan-satuan ukuran. Melalui waktu yang terbagi-bagi, juga pikiran membagi ruang dengan memasukkan objek-objek ke dalamnya. Implikasinya kehadiran objek-objek ke dalam ruang tampak sebagai peristiwa susul-menyusul. Seperti habis terang muncul gelap, habis kerja muncul istirahat, dan habis suka muncul duka. Kinerja pikiran memang membagi dan membedakan realitas menjadi fakta, seperti terang dan gelap, kerja dan istirahat, serta suka dan duka. Fakta yang berlawanan itulah hasil kerja pikiran karena pikiran bekerja berdasarkan prinsip dualitas, Rwabhineda.
Rwabhineda memang merupakan cara kerja dan hasil kerja pikiran dalam mencapai kebenaran sehingga hasilnya adalah kebenaran paradoks. Kebenaran ini manifestasi yang terikat dalam ruang-ruang parsial dan tergantung pada waktu temporal. Pikiran memahami kebenaran paradoks sebagai yang saling meniadakan sehingga hasilnya adalah ketiadaan. Meskipun berusaha mendamaikannya pikiran hanya mampu menempuh tiga macam relasi konvensional: apabila-maka, karena-sehingga, dan kompromi. Relasi pertama dan kedua meletakkan fakta-fakta paradoks secara berdampingan dalam hubungan saling mendahului. Kedua relasi ini tidak memuaskan karena lebih banyak menyisakan penjelasan daripada yang diterangkan. Relasi ketiga membangun kompromi melalui integrasi dan sintesis, namun keduanya hanya menghasilkan sesuatu yang sama sekali baru.
Ketiga macam relasi tersebut hanya membuat pikiran bingung karena membawanya kepada kebuntuan: Ketiadaan. Kehampaan tentulah bukan kebijaksanaan karena kehidupan adalah jejaring agung yang dinamis meliputi komunikasi-komunikasi bahasa kehidupan. Apalagi tujuan akhir berpikir adalah memperoleh kebijaksanaan, bahkan jiwanmukta atau moksa dalam pandangan Hindu. Untuk itu pikiran mesti bersedia memahami Kekosongan dan karenanya mesti tunduk dan harus takluk kepada catur brata panyepian. Pikiran mesti menyerahkan kekuatan dan harus mengembalikan fungsinya kepada Agni melalui amati geni hingga pikiran Niragni. Kalau tanpa Agni, tanpa energi intelek berarti, pikiran tidak dapat bekerja (amati karya), tidak dapat mengembara (amati lalungan), dan tidak dapat bersenang-senang (amati lelanguan).
Tampaklah amati geni merupakan inti dari catur brata panyepian, yaitu upaya mengkondisikan pikiran-niragni. Meniadakan kerja pikiran berdasarkan konvensinya, juga menjadi perhatian Sistem Yoga yang dinyatakan melalui rumusan, “Citta vritti nirodha”, mengendalikan dan menghentikan modifikasi-modifikasi pikiran. Rumusan ini dilengkapi dengan metode abhyasa (pembiasaan) dan vairagya (netralitas). Dalam Isa Upanisad, bahkan diterangkan Brahman sebagai Yang Melihat (Kawi), Yang Berpikir (Manishi), dan Yang Melingkupi (Paribhu). Sarannya, melihat dengan penuh vitalitas dari intensitas Emosi dan berpikir dengan kejernihan Intelektual hingga mengalami yang Orisinal (Swayambhu), Brahman. Ini berarti, pikiran merupakan elemen sentral dalam diri manusia sehingga menjadi perbincangan serius dalam agama Hindu, apalagi filsafat Hindu.
Pikiran memang menjadi pusat perbincangan, baik dalam filsafat dan ilmu maupun kebudayaan. Filsafat membicarakan pikiran dalam beragam argumen melalui metafisika khusus, seperti kosmologi, psikologi, dan teologi. Kompetensi pikiran, aturan dan proses berpikir, serta pemikiran dipandang sebagai penghubung antara roh dan materi sehingga disebut Logos. Dari kata “logos” menjadi “logis” (masuk akal) dan “logi” (ilmu), seperti antropologi (ilmu tentang manusia) dan sosiologi (ilmu tentang masyarakat). Semua pemikiran itulah isi kebudayaan. Pemikiran karena memenuhi kehidupan sehingga pikiran dipandang sebagai subjek (subjek-rasio pengganti subjek-diri manusia). Misalnya, Auguste Comte (1798-1857) menyarankan memahami perkembangan masyarakat melalui evolusi kecerdasan pikiran individu manusia (teologis, metafisik, dan positif).
Berbeda dengan itu agama dan filsafat Hindu memperbincangkan pikiran dalam rangka mengisolasi pikiran dari kebiasaannya dan efek yang ditimbulkannya. Agama dan filsafat Hindu mendorong pikiran keluar dari tatanan normal menuju tatanan tidak-normal hingga tanpa-daya. Pikiran tanpa daya intelek, bukanlah pikiran yang tidak berkerja, melainkan pikiran berkerja dengan metode tidak-normal: “berpikir dengan tidak berpikir”. Dalam prosesnya pikiran melepaskan tanda-tanda dari objeknya kemudian, membiarkan kode membuka dirinya hingga rahasia datang sendiri kepada subjek. Cara kerja tidak-normal ini mengimplikasikan pikiran bersama Kawi dan Manishi sehingga mengetahui segalanya. Pengetahuan tentang segalanya meliputi (Apa) yang dipikirkan sama dengan (Apa) yang dilakukan: kesatuan pikiran dan tindakan.
Kesatuan pikiran dan tindakan tidak mungkin terjadi dalam pengalaman normal. Pikiran normal hanya menangkap tanda secara berurutan bahwa orang melakukan sesuatu berdasarkan pengetahuan tertentu sehingga pengetahuan mendahului tindakan. Selama pikiran beranggapan bahwa tindakan mesti mengikuti pengetahuan, selama itu pula pikiran tidak mampu menyatukan antara yang-tetap dan yang-relatif. Pengetahuan tentang suatu ide bersifat tetap dan pengalaman mengenai tindakan tertentu bersifat relatif tidak mungkin dilarutkan sebagai kesatuan. Ini sebabnya orang yang sudah mengetahui tentang keabadian hidup tetap merasa takut mati. Untuk mengatasinya pikiran harus menghindari kenormalan konvensinya, seperti disarankan Upanisad, “Baliklah arah proses supaya tindakan datang lebih dahulu dan pemikiran menyusul sesudahnya”.
Tindakan yang mendahului pemikiran itulah tindakan yang total. Seperti kematian, berakhirnya manifestasi tanda adalah fenomena ketidaksinambungan makna mengharuskan totalitas tindakan. Ketika makna tidak tersisa lagi pemikiran tidak dapat menyela tindakan. Sebaliknya, tindakan yang tidak total menyebabkan kegelapan, seperti dijelaskan seloka Isa Upanisad berikut. “Ke dalam kegelapan yang dalam jatuh orang-orang yang mengikuti tindakan (karma). Ke dalam kegelapan yang lebih dalam jatuh orang-orang yang mengikuti pengetahuan (jnana)”. Tindakan saja adalah kepalsuan dan kepalsuan lebih palsu adalah pengetahuan saja karena pengetahuan hanya hidup dalam tindakan. Pengetahuan dan tindakan memang saling memberikan makna, tetapi makna yang paling sempurna datang dari tindakan yang total.
Totalitas tindakan tidak berarti meniadakan peran pikiran, tetapi tindakan hanya mengizinkan pikiran mendeskripsikan pengalamannya. Deskripsi pengalaman itu timbul alami dan simultan karena pengalaman dan ekspresi tidak berjarak lagi. Seperti “kijapan mata” bagi orang Bali, ketika membuka mata dan datangnya terang atau menutup mata dan datangnya gelap timbul alami dan simultan. Artinya, ketika menemukan tanda yang timbul langsung dari pengalaman, maka datanglah makna secara alami dan simultan. Pemikiran tidak dapat menyela pengalaman-tindakan dan ekspresi-pikiran sebagai peristiwa yang susul-menyusul atau fakta berdampingan, apalagi berlawanan. Kecuali mempersepsinya sebagai Ketunggalan. Begitulah fenomena terpadunya Kawi dengan Manishi yang darinya akan datang Paribhu, yaitu Kesadaran Murni.
Kesadaran Murni berarti pikiran telah keluar dari wilayah konvensinya dan dengan tenang masuk ke dalam wilayah Orisinal, Niragni, yaitu suatu wilayah yang tanpa tatanan. Tiadanya hukum dan aturan menyebabkan pikiran mengakhiri kebiasaannya mengukur dan menghitung objek-objek manifestasi yang relatif. Dapat dikatakan, brata amati geni dan amati karya telah selesai menunaikan tugasnya. Ketika pikiran tanpa kecerdasan dan menghindari kegiatannya, maka pikiran tidak berpetualang lagi menemui objek-objeknya. Pikiran hanya berkelana dari pembaringannya menjelajahi Kegelapan Malam: Keheningan. Ini pun berarti, amati lelanguan telah berhasil melaksanakan tugasnya. Dalam Keheningan pikiran tidak bisa menikmati kesenangan karena menyadari kesenangan selalu bersama kesusahan yang hanya menimbulkan penderitaan.
Dua sifat berlawanan: senang dan susah, bagaikan dua sisi mata uang. Kedua sisi melekat satu sama lainnya. Keduanya saling melengkapi dan saling mengisi. Ini sebabnya penting mentaati dan mematuhi amati lelanguan karena jalan kesenangan tidak pernah mengantarkan pikiran kepada tujuan terakhir. Sebaliknya, pikiran berputar-putar dalam penderitaan karena kesusahan yang tidak berkesudahan – akibat dari permainan-permainan rwabhineda. Dua sifat berlawanan tidak pernah menyudahi permainannya sehingga amati lelanguan mengajak pikiran semakin bijak melepaskan kesenangan, kama. Hanya pikiran yang bijak merasa ringan tanpa beban kepemilikan sehingga dengan mudah melintasi liku-tanjakan jalan kehidupan. Tidak ada kepemilikan yang dapat menambah atau mengurangi perhatian pikiran menuju Keselamatan.
Ketika menuju Keselamatan, pikiran hanya diam, sama sekali tidak bergerak, tanpa kerja. Pikiran terpusat pada tujuan terakhir dengan menghapus batas-batas kemampuan dan kesanggupannya sendiri. Ketika pikiran tanpa kemampuan dan kesanggupan muncullah ke-Diam-an teramat sepi, kesunyian mendalam. Guru Katha Upanisad mengatakan, “Dalam keadaan sepi dan kesunyian mendalam saja orang dapat mengalami penunggalan dengan Brahman; keberadaannya bersumber dari suatu kondisi yang mangatasi Waktu”. Dalam sepi tanpa waktu tentu tidak ada suara, karena itu bahasa pun sirna bersamaan dengan terputusnya komunikasi. Sepi itu Penungalan Abadi dalam alam niskala, karena itu tidak ada jarak yang menuntut dikomunikasikan, sebagaimana kebutuhan dalam alam sakala yang terbagi-bagi.
Perjalanan menuju alam niskala menurut penjelasan Guru Katha Upanisad, pikiran hanya membutuhkan Arah: aksara suci OM. Dari huruf A-U-M dikatakan OM (mewakili dan merangkum seluruh bunyi Nada yang bisa disuarakan) adalah simbol daya penciptaan, daya pemeliharaan, dan daya penghancuran. Rahasia alam niskala dikatakan tidak terdapat pada yang terucapkan, tetapi pada yang tidak terucapkan. Mengingat yang terucapkan terikat dan tergantung pada yang tidak terucapkan, seperti keterikatan dan ketergantungan Yang Saguna pada Yang Nirguna. Perhatikanlah seloka Katha Upanisad berikut, “Aksara OM itu sebenarnya Brahman. Aksara ini merupakan puncak tertinggi. Siapa pun yang mengetahui kebenaran aksara ini akan mendapat semua yang diinginkan olehnya”.
Aksara artinya tidak termusnahkan dan OM adalah aksara Brahman, maka Dia itu yang tidak termusnahkan. Dia adalah bunyi suara yang tidak terucapkan karena hanya bunyi suara yang tidak terucapkan yang tidak termusnahkan. Dia sebagai bunyi suara yang tidak terucapkan, bunyi suara yang kekal, memberikan hidup kepada bunyi suara yang terucapkan. Jadi, OM adalah pertemuan bunyi suara yang terucapkan dengan bunyi suara yang tidak terucapkan. Pertemuan ini hanya diketahui Kesadaran Murni, Atman, getaran harmonis antara Subjek dan Objek. Harmoni ini timbul ketika kesadaran kembali ke asal muasalnya, Brahman. Artinya, Brahman hanya dapat diketahui dengan mengetahui Yang Mengetahui, yaitu Kesadaran Murni, Atman.
Begitulah objek hanya mungkin diketahui melalui pengetahuan tentang subjek, seperti ajaran hanya mungkin diketahui melalui pengetahuan guru. Artinya, apabila hanya Atman yang mengetahui alam niskala, maka rahasia alam niskala hanya terdapat dalam pengetahuan Atman. Dalam Katha Upanisad diterangkan, “Atman lebih halus daripada yang terhalus dan lebih besar daripada yang terbesar”. Atman lebih halus dan lebih besar daripada yang terhalus dan yang terbesar karena Dia sendirilah yang memberikan dan mengambil sifat tersebut. Pikiran dapat menyadari kemuliaan Atman itu, bila seutuhnya jiwa tenteram dan indra istirahat. Jiwa akan tenteram ketika pikiran tidak sibuk membuat putusan: menerima yang disetujui dan menolak yang tidak-disetujui.
Pengetahuan Atman memang tidak sesederhana itu. Namun penelusuran buta itu sekurangnya menunjukkan, Atman tidak ditemukan pada sepanjang jalan penerimaan dan penolakan. Kalau tidak terdapat pada kedua jalan itu berarti, Atman terdapat pada jalan ketiga, Jalan Tengah. Apalagi Upanisad menerangkan, Atman mengatasi dua jalan yang bertentangan. Mengatasi lewat Jalan Tengah berarti Atman menikmati objek indrawi (yang diterima dan ditolak pikiran), namun segera meninggalkannya. Sebaiknya memang tidak berpihak, peliharalah kesanggupan melihat objek indrawi, tetapi jagalah kebijakan tidak mengikatkan diri padanya. Intinya catur brata panyepian tidak menyarankan meniadakan keinginan menikmati objek indrawi, tetapi mencegah keinginan melekat padanya. Inilah Agni-Niragni: nikmatilah dan segera lupakan!
Bumi Rumah Kita
Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam I W a y a n S u k a r m a Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...
Cari Blog Ini
Arsip Blog
Popular Posts
-
SISTEM PENGOBATAN USADA BALI A.A. Ngr Anom Kumbara Pen gantar Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manu...
-
BRAHMAVIDYA DALAM BHUANA KOSA Oleh I Wayan Sukarma Abstrak Bhuana Kosa adalah lontar yang paling tua dalam kelompok lontar-lontar Siwaistik....
-
PERKEMBANGAN SHIWA-BUDDHA DI INDIA DAN INDONESIA (Pendekatan Ilmu Sejarah) Prof. D.Litt...
-
TATTWA JNÀNA: KAJIAN TERHADAP STRUKTUR I Wayan Suka Yasa 1. Pendahuluan “Candi pustaka” yang menjadi kepustakaan Hindu Bali...
-
REINKARNASI Wacana Surga-Bumi-Neraka I Wayan Suka Yasa Abstrak Keyakinan manusia pada reinkarnasi mungkin lebih tua dari se...
Tentang Penulis
Nama: I Wayan Sukarma
Email: putraghanes58@gmail.com