Pola Asuh Hindu

Meretas Pola Asuh
Keluarga Hindu

I  W a y a n  S u k a r m a

Keluarga bermula dari perkawinan dan berakhir pada anak. Perkawinan dilandasi cinta dan ketuhanan, karena itu anak mewarisi siat-sifat cinta dan ketuhanan. Cinta memunculkan kehidupan dan ketuhanan membuatnya lebih hidup. Membantu pertumbuhan cinta dan perkembangan ketuhanan seorang anak itulah fungsi dan peran keluarga Hindu. Upaya ini dilakukan dalam pola asuh panca yadnya dengan tujuan suputra, seorang anak sejati, yaitu pelindung dan penyelamat keluarga.        

Keluarga itu pranata berwatak sosial sekaligus sakral. Watak sosial begitu kentara karena kestabilan masyarakat bersandar pada keluarga. Watak sakral tidak bisa dihindari karena keluarga terbentuk melalui perkawinan. Perhatikanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada Bab I dan Pasal 1 disebutkan, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tujuan perkawinan berdasarkan ketuhanan inilah menarik dibidik dari agama Hindu. Keluarga Hindu dalam fungsinya sebagai institusi pendidikan, setidaknya dalam peran mengasuh anak: pewarisan nilai-nilai dan regenerasi kemanusiaan Hindu.
Pewarisan dan regenerasi memang terikat pada pertalian cinta sepasang insan dan tergantung pada keluarga. Kenyataannya hanya cinta membuat orang saling mendekat dan melekat mengikatkan dirinya dalam jalinan hidup yang langgeng sepanjang hayat, seperti ikatan antara jiwa dan raga. Prinsip cinta memang kekuatan pengikat yang menyatukan dua hal bertentangan menjadi kesepasangan dan kesetimbangan misalnya, gagasan Sankhya tentang kesatuan purusa dan prakrti, azas rohani dan bendani. Kalau dari pasangan purusa dan prakrti lahir anak-anak alam, juga dari pasangan seorang pria dan wanita lahir anak-anak manusia. Cinta itulah ikatan-hidup yang mengubah pria menjadi suami dan wanita menjadi istri, bahkan menjadi ayah dan ibu.
Suami, istri, dan anak itulah keluarga. Disebut keluarga Hindu karena terbentuk dari perkawinan berdasarkan agama Hindu. Keluarga Hindu meliputi status dan peran suami/ayah, istri/ibu, dan anak-anak berdasarkan norma-norma agama Hindu. Perkawinan dalam agama Hindu tergolong manusa yadnya, karena itu tujuan keluarga tidak jauh dari tujuan manusa yadnya. Sederhananya, manusa yadnya merupakan upaya pemurnian kodrat dan harkat manusia sebagai makhluk Tuhan. Kemurnian kodrat dan harkat inilah prinsip cinta meliputi ikatan karma (Rta) dan kewajiban mulia (Dharma). Dari ikatan pria dengan wanita melalui perkawinan muncullah kewajiban suami dan istri. Setelah mempunyai anak muncullah kewajiban ayah dan ibu, bahkan kewajiban kakek dan nenek.
Ragam kewajiban itulah dharma keluarga. Swadharmaning suami melindungi istri dan swadharmaning istri melayani suami. Swadharmaning ayah memelihara anak dan swadharmaning ibu mengasuh anak. Swadharmaning kakek mengasihi nenek dan cucu, serta swadharmaning nenek menyayangi kekek dan cucu. Kakek dan nenek merupakan (sepasang) kekasih. “Kekasih adalah dia yang setia” (Nitisatakam), karena itu kakek dan nenek saling mengasihi dan menyayangi. Kalau kewajiban-kewajiban itu dibalik, maka tampaklah kewajiban anak dan cucu sebagai suputra. Begitulah cinta mengikat orang dan memberikannya kewajiban. Cinta dan kewajiban itu merupakan tiang utama menyangga keutuhan keluarga. Pada kemurnian dan kekokohannya bersandar komitmen dan tujuan mulia membentuk keluarga bahagia sepanjang hayat.
Komitmen dan tujuan itu merupakan landasan etis bagi kebebasan keluarga yang dengannya anggota keluarga dapat memahami kewajibannya. Kewajiban, baik berdasarkan prinsip kemestian maupun keharusan memang merumuskan tanggung jawab setiap anggota keluarga. Seperti kemestian ayah dan ibu mengharuskannya mengambil tanggung jawab memelihara dan mengasuh anak. Tanggung jawab inilah bentuk kebebasan etis seorang ayah dan ibu, yaitu hak memelihara dan mengasuh anak. Keseimbangan hak dan kewajiban itulah prinsip-prinsip yang menguatkan ikatan keluarga. Sebaliknya, apabila ayah dan ibu mengabaikan hak dan menghindari kewajibannya, maka ayah dan ibu tidak mempunyai kebebasan etis. Tanpa kebebasan etis tersebut keluarga hanyalah kumpulan individu yang mudah pecah: cerai-berai.
Melonggarnya ikatan keluarga, juga karena menurunnya kemampuan ayah dan ibu mengambil tanggung jawab seiring dengan tuntutan perkembangan dan perubahan zaman. Misalnya, zaman kebaruan memaksa orang berpikir linier dan totalitas sehingga menerima rasionalitas di atas moralitas dan/atau kebenaran mendahului kebaikan. Implikasinya, ilmu pengetahuan dan teknologi mendominasi kehidupan, bahkan membuat masyarakat mabuk teknologi. Misalnya, memenuhi kebutuhan secara instan, mengaburkan yang nyata dengan yang semu, menjalani kehidupan berjarak, bahkan kekerasan diterima sebagai kewajaran. Perhatikanlah ayah dan ibu terpaksa meninggalkan keluarga karena tuntutan pekerjaan. Jarak dan kesempatan memaksa mereka terhubung melalui kanal-kanal telekomunikasi. Tanpa disadari hubungan semacam ini membuat mereka semakin jauh dari rasa-keluarga.
Bayangkanlah jeritan hati seorang kakek dan nenek ketika menelepon anaknya, “Nak, kapan sekolah libur?” Pertanyaan kakek dan nenek tentang jadwal liburan cucunya merupakan bentuk kerinduan: gejala manusiawi, yakni rasa-diri yang telah lama ditelan zaman kemajuan dan pendidikan satu penandanya. Rasa-diri anak semakin pudar sejak ayah dan ibu menyerahkan pendidikan anak-anak kepada lembaga-lembaga formal. Sistem pendidikan yang menekankan pengembangan kecerdasan intelektual telah merengut rasa-diri sehingga anak-anak kehilangan kepekaan emosional dan spiritual. Apalagi kemajuan teknologi informasi meyediakan dan menjadi media pendidikan ‘tersendiri’ yang tanpa disadari membentuk anak-anak menjadi penyendiri dan mengabaikan pergaulan langsung. Padahal hakikat pendidikan adalah pergaulan, berupa pertemanan dan persahabatan.
“Persahabatan adalah kehidupan dan kurangnya persahabatan berarti kematian”, begitu Radhakrishnan merumuskan kebutuhan manusia akan pergaulan. Mewujudkan pergaulan menjadi lingkungan pendidikan seloka Sarasamuccaya 305 menyarankan, hendaknya memilih orang-orang berbudi luhur menjadi teman, saudara, lawan berdebat, dan sahabat. Alasannya, “Mustahil Anda tidak akan kelimpahan budi luhur itu, bila selalu berinteraksi dengan orang-orang yang berbudi luhur”. Berbudi luhur, selain berakhlak mulia, cerdas, berketuhanan, dan bertanggung jawab itulah tujuan pendidikan yang hendak dicapai melalui beragam interaksi, baik verbal maupun nonverbal. Untuk mengembangkan kemampuan berinteraksi, bahkan ibu telah memiliki pola naluriah misalnya, mendekatkan sendok makan ke mulut bayi sambil membuka mulutnya lebar-lebar seraya mengucapkan, “a-u-m”.
Begitulah gaya ibu memberikan makan kepada bayi. Ibu pun mengoceh mengikuti ocehan bayi, “a-o, a-o” sambil mengangguk-anggukkan kepala; “kuk-kuk-tag, nyen ento nah” sambil menutup dan membuka wajah; menyentuh badan bayi yang peka sambil melambaikan tangan mengajaknya tertawa; serta pujian-pujian lainnya kepada bayi untuk mengungkapkan perasaan senang. Perasaan ini pula menjadi kekuatan ibu sehingga tetap semangat merarapan kepada Kumara (sejenis Pelangkiran di kamar bayi). Melalui Kumara seorang ibu menjalin hubungan dengan bayinya secara niskala, baik dengan yang mehyang (inkarnasi) maupun leluhur lainnya. Kumara rupanya, menjadi sarana komunikasi antara anggota keluarga dan bayi, selain kebiasaan menghaturkan segehan kepada ari-ari bayi setiap hari.                        
Intensitas hubungan antara ibu dan anak, bahkan sudah tercipta sejak bayi dalam kandungan melalui beragam pantangan (ibu hamil) dan upacara Pagedong-gedongan ketika yanin berusia tujuh bulan. Intensitas hubungan semacam inilah merupakan pondasi kokoh bagi interaksi sosial-religius keluarga Hindu. Upaya membangun interaksi sosial-religius antaranggota keluarga untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan anak mencapai kedewasaan dan kematangannya inilah dimaksudkan dengan pola asuh keluarga Hindu. Artinya, selain upacara Pagedong-gedongan, juga pola asuh keluarga Hindu dapat dirunut melalui upacara manusa yadnya lainnya. Seperti Embas Rare (bayi lahir), Kepus Pungsed, Nyolong, Nyambutin (Nelubulanin), Otonan, Ngampugin (tumbuh gigi), Makupak (ketus gigi), Menek Kelih, Metatah, Pawiwahan, dan Mawinten.
Tampaklah manusa yadnya merupakan upacara yadnya bagi anak untuk membantu pertumbuhan dan perkembangannya mencapai kehormatan (kemanusiaan) dan kemuliaan (kedewataan). Upacara yadnya menyediakan beragam makanan bagi pertumbuhan pisik anak, agar badannya kuat dan tubuhnya sehat. Upacara yadnya meliputi beragam banten, seperti ayaban, aturan, dan pasucian bagi perkembangan jiwa anak, agar mentalnya sehat dan jiwanya selamat. Upacara yadnya dilaksanakan dengan melibatkan banyak orang dan kelompok, seperti keluarga besar, sekaa-sekaa, dan banjar, karena itu membutuhkan kerja sama erat melalui beragam interaksi. Upacara yadnya dilaksanakan pada waktu dan tempat suci; sarana dan alat-alat sakral; aturan, prosedur, dan tatacara sakral; serta dipimpin oleh orang suci.
Sakralitas dan kesucian upacara manusa yadnya itulah simbol cahaya kehormatan dan sinar kemuliaan yang dilekatkan pada anak. Sakralitas upacara manusa yadnya adalah kehormatan, cahaya kemanusiaan yang menjamin “harga diri” seluruh pengetahuan dan kebudayaan Hindu. Kesucian upacara manusa yadnya adalah kemuliaan, sinar kedewataan yang menjamin “harga diri” seluruh keyakinan dan kepercayaan agama Hindu. Harga diri itu memang merupakan hakikat dari manusia dewasa dan matang yang ditunjukkan melalui kehormatan dan kemuliaan. Untuk mengembangkan dan memupuk hakikat manusia inilah pola asuh keluarga Hindu ditujukan yang dalam kesusastraan dirumuskan sebagai suputra. Nitisastra misalnya, mengandaikan suputra bagaikan bunga dalam hutan dan bulan pada malam hari.
Nitisastra menyarankan, agar ayah dan ibu sabar dan tabah dalam mengasuh anak, seperti merawat sekuntum bunga hendak mekar. Kehormatan dan kemuliaan anak adalah pelindung dan kewibaan keluarga, seperti keharuman bunga pada sebatang pohon dapat mengharumkan seluruh hutan dan seperti cahaya Bulan pada malam hari di antara bintang-bintang menerangi semesta alam. Membersihkan warna kehormatan dan menyucikan harum kemuliaan anak-anak itulah landasan ideal pola asuh ayah dan ibu dalam keluarga. Untuk itu, seloka Sarasamuccaya, 232 menganjurkan, jauhkan anak dari orang yang malas, rakus, tercela, licik, menentang peraturan, tidak peduli keselamatan orang lain, tidak tahu kelayakan waktu dan tempat, dan berpakaian tidak senonoh.        
Orang-orang semacam itu sama sekali tidak disarankan diundang ke rumah, apalagi tinggal bersama dengan anak-anak. Sebaliknya, Sarasamuccaya memberikan tugas kepada ayah dan ibu mengasuh anak, agar anak rajin menyelesaikan pekerjaan tepat waktu tanpa diperintah. Tidak rakus menginginkan dan mengambil yang bukan miliknya. Tidak tercela senantiasa menjaga martabat, harkat, dan harga dirinya. Tidak licik dalam menggunakan pengetahuan dan keterampilannya sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, dan keperluan bersama. Mematuhi dan mentaati peraturan dan perundang-undangan berlaku. Peduli pada keselamatan orang lain senantiasa menjaga keamanan lingkungan. Memahami kelayakan waktu dan tempat senantiasa bertingkah laku sesuai dengan situasi dan kondisi. Kemudian, berpakaian sopan sesuai dengan peruntukannya.
Tugas mengasuh anak dalam Sarasamusccaya disebutkan berkaitan erat dengan kapasitas ayah dan ibu sebagai sumber kehidupan sekaligus sumber pengetahuan dalam keluarga. Kapasitas ini memaksa ayah dan ibu berperan sebagai guru mengajarkan hakikat hidup kepada anak. Peran guru pun memaksa ayah dan ibu bertindak sebagai pendidik, pembimbing, penuntun, pembina, dan pelatih. Ayah dan ibu mengupayakan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual anak-anak; menjadi cermin agar anak lebih mudah mengerti dan memahami diri dan lingkungannya; menjadi guru rohani yang menuntun jiwa anak agar tetap tenang dalam keselamatan; membina kesehatan dan keseimbangan mental anak; serta melatih keterampilan, menjaga pertumbuhan, dan memelihara kekuatan pisik anak.
Mengasuh anak menjadi suputra rupanya, memaksa ayah dan ibu berperan sebagai guru. Bukan hanya berfungsi sebagai guru rupaka, bahkan ayah dan ibu terpaksa berperan sebagai guru pengajian dan guru wisesa dalam rangka mendorong dan mendukung anak memahami ajaran guru swadyaya. Mulai dari menanamkan kebiasaan menghormati ayah dan ibu serta guru, menghargai saudara dan teman-teman hingga memuliakan ketuhanan pada setiap makhluk. Kesanggupan menghormati, menghargai, dan memuliakan harus ditanamkan kepada anak karena satu seloka Sarasamuccaya menyebutkan, “Anak yang hormat kepada ayah dan ibunya berkeadaan sama dengan seorang brahmana yang teguh dengan tapanya, kuat menjaga kesucian, dan berada pada jalan kebajikan dan kebenaran”.
Apalagi seloka Sarasamuccaya berikutnya nomor 240 menjelaskan, “Seorang ibu menanggung kewajiban yang lebih berat daripada bumi, sedangkan seorang ayah berpikir lebih tinggi dari langit, lebih cepat dari angin, dan lebih banyak dari rumput demi kesejahteraan dan keselamatan anak, istri, dan keluarganya. Menyadari itu seorang anak hendaknya menghormati dan bhakti secara bersungguh-sungguh kepada orang tuanya”. Begitulah kewajiban ibu menjaga kehormatan keluarga lebih berat daripada bumi dan kewajiban ayah memelihara kemuliaan keluarga lebih tinggi dari langit. Melindungi kehormatan ibu dan kemuliaan ayah itulah kewajiban utama seorang anak, suputra. Jadi, tugas utama ayah dan ibu mengasuh anak adalah mewariskan kehormatan dan kemuliaan keluarga.
Anak yang mewarisi kehormatan dan kemuliaan keluarga cenderung berkembang menjadi anak yang berbakti kepada ayah dan ibunya atau cucu yang tulus sujud kepada kekek dan neneknya. Ayah dan ibu pun menyadari bahwa cucu yang tulus sujud bakti kepada kakek dan neneknya memperoleh keberuntungan. Artinya, ayah dan ibu mengasuh anak dalam rangka menjamin keberuntungan anaknya. Apalagi arah jalan kehidupan tidak mudah ditebak sehingga masa depan anak tetap misterius. Bersyukur Sarasamuccaya seloka 250 menawarkan keberuntungan, “Seorang anak bakti tulus kepada orang tuannya, akan memperoleh empat macam pahala, berupa pujian; hidup bahagia dan panjang umur; teman yang setia dan kekuasaan; jasa dan pertolongan”.  
Pahala karena tulus bakti kepada ayah dan ibu itu merupakan jaminan masa depan anak. Seorang anak yang tuluh bakti kepada ayah dan ibunya memiliki semacam asuransi selama hidupnya. Pujian misalnya, merupakan satu alat pendidikan yang sudah berhasil dipraktikkan oleh lembaga-lembaga pendidikan formal untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan anak. Seperti menjadi motivasi untuk mengembangkan rasa bangga menjadi anak yang baik, sehat, berumur panjang, dan bahagia. Pola pergaulan menunjukkan anak yang baik bergaul dengan anak yang baik menjadi teman yang setia. Jalinan pertemanan itulah memunculkan jasa dan pertolongan dalam mengatasi kesulitan hidup. Kesanggupan mengatasi kesulitan hidup itulah kekuasaan dari teman yang setia.
Kekuasaan tersebut isyarat kepada ayah dan ibu hendaknya tidak mencela anaknya karena berbuat buruk. Ayah dan ibu dapat memberikan perbandingan antara perbuatan yang buruk dan kehidupan yang buruk. Misalnya, menunjukkan kenyataan banyak orang yang tidak beruntung, menderita, dan sengsara yang kehidupannya buruk. Seperti orang yang sedang sakit, orang yang sedang terhina, orang yang sedang dikucilkan, orang yang sedang ketakutan, orang yang sedang miskin, orang yang sedang kelaparan, orang yang sedang ditimpa bencana, dan masih banyak orang-orang yang bernasib malang. Mereka itu membutuhkan bantuan materi dan dukungan moral. Bila tidak mampu membantu mereka, sekurangnya anak tidak menambah penderitaan dengan berbuat buruk.
Apalagi dalam kitab-kitab suci disebutkan bahwa suputra adalah seorang putra sejati mempunyai kepedulian dan kesetiakawanan sosial serta semangat melindungi dan menolong orang-orang yang sedang menderita dan sengsara. Seperti ditegaskan dalam Sarasamuccaya seloka 228, “Seorang putra sejati adalah mereka yang melindungi orang-orang yang kesusahan, menyelamatkan orang-orang yang sengsara, dan bersedekah kepada orang miskin”. Seloka ini berpesan hendaknya ayah dan ibu menyediakan lingkungan keluarga yang dapat merangsang perkembangan kepekaan sosial anak melalui kebiasaan melindungi, menyelamatkan, dan bersedekah. Kepekaan sosial dapat menekan sifat egois dan sifat-sifat mau menang sendiri lainnya. Sebaliknya, kepekaan sosial dapat membantu anak membangkitkan semangat berbagi, yaitu landasan khas dunia-manusia.
Suputra, pelindung dan penyelamat keluarga sebagai tujuan akhir mengasuh anak, juga dilakukan ayah dan ibu dengan melindungi dan menyelamatkan anak. Melindungi badan dan tubuh serta menyelamatkan jiwa anak melalui pola asuh panca yadnya, sejak yanin dalam kandungan. Melalui pola asuh inilah nilai-nilai dan regenerasi kemanusiaan Hindu berlangsung hingga anak menjadi sumber kehidupan keluarga. Seperti ditegaskan dalam Sarasamuccaya seloka 229, “Seorang putra sejati adalah orang yang menjadi pelindung dari sanak saudaranya, ia hendaknya seperti Indra dewa hujan yang melindungi dan memelihara kelangsungan hidup di bumi, bagaikan pohon-pohon yang menjadi habitat burung-burung; demikianlah ia hendaknya menjadi sumber kehidupan dari orang-orang seisi rumahnya”.
Menjadi sumber kehidupan keluarga itulah tujuan akhir dari mengasuh anak dalam keluarga Hindu melalui manusa yadnya. Upacara manusa yadnya ditujukan kepada anak untuk membantu pertumbuhan dan perkembangannya hingga menjadi suputra. Artinya, mengasuh anak tidak hanya menjadi tanggung jawab ibu seorang, tetapi tanggung jawab semua anggota keluarga melalui interaksi dalam pola panca yadnya. Semula pola interaksi itu bersifat sakral, namun dirumuskan secara profan sebagai hubungan keluarga. Meskipun profan, tetapi hubungan anak dengan ayah, anak dengan ibu, serta anak dengan saudaranya tidak sepenuhnya meninggalkan kesan sakral. Misalnya, raka-rai, meme-bapa, aji-biyang, bahkan memesrakan hubungan ayah-ibu-anak, meme-bapa-raganta-jati memang menjadi landasan pola asuh keluarga Hindu.  






BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...