Empu Tantular

Menularkan Tantular

I  W a y a n  S u k a r m a

Tantular, seorang mahakawi berkesadaran semesta kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Mpu yang termasyur sejak zaman Majapahit hingga kini gagasannya tentang “Binneka Tunggal Ika” masih dalam cengkeraman Garuda Pancasila. Tugas kita hanya mendukung Burung Garuda terbang melayang-layang menjelajahi seluruh penjuru tanah air Indonesia. Dengan harapan, segenap rakyat Indonesia mewarisi sifatnya, seperti kekuatan, keberanian, kesetiaan, dan kesediaan berkorban untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.        

Tantular itu seorang mpu, cerdik pandai, cendekiawan, dan seniman bijaksana. Dia sudah biasa berselancar dan menyelami samudera satyam; bersemangat moral menjelajahi terjal dan liku-laku jalan siwam; dan bergembira ria berkelana memasuki rimba sundaram. Dialah ‘sang tidak tertular’, ‘sang tidak tergoda’, ‘sang tidak ternoda’, dan ‘sang teguh’. Orang yang teguh pada satyam-siwam-sundaram tidak tergoda, terpengaruh, dan ternoda. Mpu Tantular konon sudah termasyur sejak zaman Majapahit melalui karya sastranya, seperti Kekawin Arjuna Wijaya dan Sutasoma. Kedua kekawin ini masih diwarisi dalam tradisi nyastra di Bali. Satu frase Kekawin Sutasoma, “Bhinneka Tunggal Ika”, bahkan menjadi inspirasi dan tetap hidup menjiwai peradaban bangsa Indonesia.
Frase yang menjadi semboyan bangsa itu terlukis pada Pita dicengkeram Garuda Pancasila, Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip negara kesatuan dan beraneka satu itu memang seiring dan sejalan, baik dalam arti maupun makna. Kesatuan merupakan prinsip persetujuan perbedaan adalah keberadaan. Beraneka satu itu merupakan prinsip penerimaan perbedaan sebagai kenyataan. Keberadaan dan kenyataan adalah kebenaran. Beda itu benar. Aneka perbedaan pun kebenaran. Guru Upanisad mengajarkan, Tuhan berbeda dengan Jiwa dan Alam. Jiwa berbeda dengan Jiwa, Tuhan, dan Alam. Alam berbeda dengan Alam, Tuhan, dan Jiwa. Semua perbedaan itu, baik pada dirinya sendiri maupun dalam kesatuannya membangun kebenaran yang berbeda-beda tetap kebenaran.
Kebenaran dualitas Sankhya-Yoga, juga menyatakan manusia adalah kesatuan dua unsur berbeda: jiwa dan raga. Raga yang membelenggu jiwa terdiri atas lima elemen dasar alami. Setiap elemen meliputi substansi, kualitas, sifat umum, sifat khusus, kemelekatan, dan tindakan. Individualitas elemen adalah pribadi tanpa kepribadian. Hubungan kualitas dengan substansi misalnya, berada sendiri-sendiri, tetapi tidak pernah hadir sendiri-sendiri. Seperti substansi Orang dan kualitas Baik pada Orang Baik berada sendiri-sendiri, tetapi tidak pernah hadir sendiri-sendiri. Keberadaan secara sendiri-sendiri adalah kebenaran dan kehadiran bersama-sama pun adalah kebenaran. Selain berdasarkan kebenaran prinsipnya sendiri, juga setiap elemen bertindak berdasarkan kebenaran aturan Iswara bersama-sama membangun struktur dan fungsi ragawi.                
Kebenaran semacam itu, juga bekerja dalam masyarakat manusia. Kebenaran yang beraneka ragam sesungguhnya hanya satu. “Tan hana dharma mangrwa”, ‘tidak ada kebenaran mendua’, ‘tidak ada kerancuan dalam kebenaran’. ‘Kebenaran Tantular’ itu pun menjiwai perjuangan bangsa demi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kebenaran yang menjadi semangat persatuan dan kesatuan bangsa dengan mengapresiasi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam ras, suku, bahasa daerah, budaya, agama, dan kepercayaan. Keanekaragaman itu anugerah kodrati: Takdir Bangsa Indonesia. Takdir yang memberikan tugas kepada kelompok yang berbeda untuk menemukan jalan hidup nasibnya sendiri dan menciptakan tatanan kehidupan yang damai demi kehormatan dan kemuliaan martabatnya sendiri.
Untuk itu “Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial” (Pembukaan UUD 1945). Semangat melindungi itulah inti semboyan bangsa Indonesia seturut dengan karakter Garuda (wahana yang mewarisi sifat-sifat Wisnu sebagai dewa pelindung, penjaga, dan pemelihara) melambangkan disiplin, pengetahuan, kekuatan, keberanian, kesetiaan, dan kebajikan. Artinya, Garuda Pancasila mengimbau, agar “yang besar” melindungi “yang kecil”, “yang kuat” menjaga “yang lemah, dan “yang sehat” memelihara “yang sakit”. Masalah muncul, ketika “yang besar” dan “yang kuat” terganggu kesehatannya menjadi “yang sakit”.  
Gejala sakit-sakitan itu tampak pada awal tahun ini ditandai dengan terguncangnya stabilitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Cahaya kesadaran terhadap keanekaragaman kian meredup seiring dengan kesulitan mengurai serat-serat ketuhanan, kemanusiaan, dan persatuan Indonesia. Entah karena suara parau agama, gumaman hukum, kegalauan politik, ataupun permainan dadu ekonomi lewat lempar batu sembunyi tangan. Carut-marut aras keperluan agama dengan arus kebutuhan ekonomi dan arah kepentingan politik memang mengganggu kesentosaan suasana budaya dan ketenteraman situasi sosial. Forum Sesepuh Bangsa (media.online, 26/5/2017) menggambarkan situasi sosial dipenuhi “Ujaran kebencian, ajakan melakukan kekerasan, kekawatiran dan kecemasan akan masa depan, rasa tidak aman terasa di berbagai penjuru Indonesia”.
Keprihatinan nasional itu pula telah mendorong kemunculan Lima Seruan Sesepuh Bangsa. Pertama, “Semua elemen bangsa khususnya pemerintah harus melakukan penyadaran bagi semua pihak tentang pentingnya persatuan dalam Indonesia yang berbhinneka dan mendudukkan Pancasila sebagai kepribadian bangsa untuk semua generasi”. Membangun generasi Pancasila memang menutut kesadaran akan persatuan dan kesatuan dengan sungguh-sungguh mengapresiasi keanekaragaman sebagai takdir bangsa Indonesia. Bukan hanya karena diperintah Pancasila, bahkan fakta bahwa NKRI meliputi banyak pulau dan suku bangsa dengan beragam bahasa dan budaya. Sejarah kebangsaan menerangkan, keberagaman itu pernah dipersatukan melalui samangat Sumpah Pemuda, satu keputusan Kongres Pemuda Kedua berlangsung pada 27-28 Oktober 1928 di Batavia.  
Pemuda, pejuang, dan pendiri NKRI rupanya, sejak awal sudah menyadari dan mengapreasiasi anugerah keanekaragaman sebagai kekuatan bangsa Indonesia. Kalau pada masa kini terjadi penolakan-penolakan atas anugerah itu, keanekaragaman pun kehilangan kekuatan. Tanpa kekuatan, negara pun tak berdaya melindungi karena “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Untuk menanggapi situasi itu muncullah seruan kedua, “Pemerintah harus bersikap tegas dan bijaksana dalam menanggapi situasi yang menjurus pada keretakan persatuan dan segera bertindak mengutamakan keselamatan bangsa dan Negara. Ketiga, pemerintah harus memiliki sikap dan bahasa yang sama dalam menghadapi berbagai tantangan hidup berbangsa dan bernegara”. Seruan ini pun undangan menularkan kebenaran dan kesadaran tantular.
Mengembangkan kebenaran akan perbedaan dan kesadaran atas keanekaragaman lazim ditempuh melalui jalur pendidikan, baik politik maupun sejarah kebangsaan, seperti seruan berikutnya. Keempat, “Pendidikan politik dan sejarah kebangsaaan perlu dikuatkan kembali, baik kepada politisi maupun semua elemen bangsa demi keselamatan dan masa depan bangsa”. Panggung politik pada masa kini memang dijejali drama (kalau tidak boleh dibilang tragedi) yang memalukan dan memilukan. Kekalutan mental dan moral politisi, baik ucapan yang simpang-siur dan ngawur maupun tindakan yang kalang-kabut dapat menggerogoti sendi-sendi berbangsa dan bernegara. Bila pada satu kegiatan memanipulasi anggaran hingga dua belas digit, betapa sulitnya membayangkan pada banyak kegiatan selama lima tahun.
Kebiasaan memanipulasi angka-anggka sesungguhnya bermula dari dan berakhir pada kebiasaan memanipulasi huruf dan aksara. Bahasa sebagai satuan kebudayaan pada hakikatnya menggambarkan situasi pikiran dan suasana batin. Kebiasaan mempermainkan situasi dan suasana itu tidak dapat dihindari menimbulkan ‘penyimpangan mental’, bahkan ‘sakit jiwa’. Orang munafik misalnya, tidak merasa berdosa mempermainkan kata-kata dan fakta demi kepuasan berdusta dan berbohong. Mengerikan membayangkan nasib bangsa, bila lembaga-lembaga negara didominasi penguasa dan pengusaha yang sakit jiwa. Apalagi sakitnya akut hingga berurusan dengan sejumlah operasi, seperti tangkap tangan dan badan narkoba. ‘Orang besar dan kuat kena operasi’ dalam Sarasamuccaya disebut manusia jahat dianggap sampah sekaligus penyakit dunia.
Orang besar dan kuat yang rakus dan serakah (makan) dalam mitologi disebut raksasa, karena itu, tidak layak menjejali dunia manusia. Sepantasnya dibuang, seperti membuang sampah di tempat sampah. Kenyataannya, manusia membangun dunianya membutuhkan pengendalian diri untuk mengatur tingkah lakunya. Apalagi dalam perihal ‘makan’, manusia bukanlah pemangsa, seperti binatang liar. Kemanusiaan yang menjadi kekhasan manusia memang sepatutnya dipelihara, seperti seruan kelima, “Perlu dibangun persaudaraan sejati dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab demi terjaganya persatuan dan kesatuan bangsa. Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan kepada semua makhluk ciptaan Tuhan, bahkan semua agama mewajibkan penerimaan dan penghormatan kepada orang lain”.
‘Kemanusiaan Indonesia’, bukan paham yang mempertentangkan antara nilai-nilai kemanusiaan, ketuhanan, dan kealaman. Melainkan perpaduan komprehensip dan holistik, seperti Rantai Emas pada lambang negara. Kemanusiaan yang adil dan beradab, seperti umat Hindu mengapresiasinya melalui pemahaman tri hita karana. Kemanusiaan yang menjadi sumber kesejahteraan dan kebahagiaan. Kemanusiaan yang hanya mungkin diraih melalui jalinan harmonis antarelemen kehidupan dan manusia menjadi pusatnya. Jalinan harmonis yang dibangun melalui persaudaraan dan kekeluargaan sejati. Dalam jalinan itu manusia wajib bertindak adil dan beradab kepada sesama dan alam berdasarkan ajaran kitab suci agama. Agama mengajarkan manusia tidak semena-mena kepada alam dan tidak sewenang-wenang kepada sesama: ‘manusia makhluk bersaudara’.
Agama Hindu tidak mengajarkan menerima Tuhan dengan menolak manusia dan menyisihkan alam. Tidak menganjurkan menyembah Tuhan dengan sewenang-wenang menghina manusia dan semena-mena mengeksploitasi alam. Tidak mengangungkan kebenaran agama sendiri dengan mengecilkan atau meniadakan kebenaran agama lain. Ketaatan beragama tidak terletak pada kuat-lemahnya kebencian kepada agama lain. Bukan hanya mengajarkan bersaudara dan berkeluarga dengan sesama manusia, bahkan agama Hindu mengajarkan mengasihi semua makhluk, “advestyam sarvam bhutanam”. Catur Sanak, Catur Guru, dan Catur Paramita misalnya, membantu manusia menemukan jalan hidup dalam persaudaraan dan kekeluargaan. Jelaslah kehormatan harkat dan kemuliaan martabat manusia tidak terletak pada ujaran kebencian, sikap menang sendiri, dan tindakan kekerasan.
Kebencian, penghinaan, dan kekerasan lainnya, bahkan atas nama agama memang sempat meresahkan kehidupan sosial. Kemunculan situasi yang mengkhawatirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena agama mencoba ikut campur mengurus bidang kehidupan yang tidak menjadi tanggung jawabnya. Agama terut serta menentukan batas-batas kepantasan dalam perpolitikan dan penegakan hukum, bahkan perebutan kekuasan. Akibatnya, terjadi tindakan lapor-melapor, penangkapan atas tuduhan makar, penghinaan atas simbol negara, dan tindakan memilukan lainnya. Kejadian ini tentu terlalu jauh dari maksud persaudaraan dan tujuan kekeluargaan dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Apalagi berkembangnya wacana membangun negara dan menyeragamkan tatanan kehidupan berbangsa berdasarkan agama sungguh ancaman serius terhadap NKRI.
Meskipun sejarah peradaban manusia menerangkan, setiap upaya menyeragamkan tatanan kehidupan manusia senantiasa mengalami kegagalan. Penyeragaman tidak hanya melawan takdir, tetapi juga menentang kenyataan kehidupan. Setiap suku bangsa sudah mempunyai nasibnya sendiri, seperti dasar, cara, dan tujuan hidup berbeda-beda. Apalagi dalam urusan keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan yang banyak diajarkan agama lebih menekankan iman daripada akal. Agama sebagai refrensi transendental kadangkala memang mencerahi kehidupan imanen, tetapi juga tidak jarang menimbulkan kegelapan. Masalahnya tidak terletak pada agama, tetapi lebih pada penafsiran akal. Kenyataannya, manusia mengatur dirinya bersama alam berdasarkan prinsip-prinsip akal. Kalau iman melengkapinya, maka agama bukanlah instrumen untuk mengoyak ikatan persaudaraan.  
Bersyukur pemerintah segera menyadarinya bersama masyarakat dengan bijaksana meresponsnya melalui beragam ‘gerakan damai’. Misalnya, Nyala Sejuta Lilin dan Seruan Sesepuh Bangsa; Peringatan Hari Lahir Pancasila dan Pekan Pancasila: “Saya Indonesia, Saya Pancasila”. Kemendagri, bahkan lewat SMS berpesan, “Sebagai Wujud Pengamalan Pancasila, Mari Kita Tingkatkan Semangat Persaudaraan dan Toleransi Demi Tegak dan Utuhnya NKRI”. Presiden pun menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) dan Dewan Kerukunan Nasional. Gerakan damai melibatkan semua elemen bangsa itu untuk menjaga keselamatan kehindupan berbangsa dan bernegara: Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Binneka Tunggal Ika.
Selama Pekan Pancasila Presiden Joko Widodo lewat poto dan video menyerukan: “Saya Indonesia”, “Saya Pancasila”. Seruan ini begitu cepat menular dan menjadi teladan. Peselancar media sosial misalnya, mengubah poto profilnya dengan poto seruan presiden itu. Baik disadari maupun tidak seruan itu begitu kuat ‘menggugat’ keindonesiaan dan kepancasilaan warga negara. Gugatan ini menjadi cara simpatik dan rendah hati mengajak warga negara, kelompok/golongan, dan elemen bangsa lainnya mempertanyakan kembali dan memeriksa ‘komitmen pribadinya’ sebagai warga NKRI. ‘Komitmen Pribadi’ (yang hanya “Saya” dapat berkomitmen dan tidak dapat mengatasnamakan orang lain) dalam rangka menegaskan identitas dan jati diri sebagai warga NKRI yang berdasarkan Pancasila.
Jelaslah “Saya Indonesia” tidak sama dengan “Sayalah Indonesia”, karena itu tidak berarti “saya adalah negara”. “Saya Pancasila” berbeda dengan “Sayalah Pancasila, karena itu tidak berarti “saya adalah dasar negara”. Apalagi Indonesia, bukan sekadar negara dan Pancasila bukan sekadar dasar negara. Kalau ada yang mengartikan dan menilainya begitu, itu hanya bentuk kesombongan dan keangkuhan. Orang seperti itu kehilangan kewarasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kewarasan berbangsa dan bernegara rupanya, tidak pernah selesai secara sempurna. Untuk itu semua elemen bangsa harus memberikan semangat dan kekuatan kepada Burung Garuda, agar terus terbang dan melayang-layang menjelajah seluruh penjuru tanah air menyebarluaskan semboyan yang dicengkeramnya.
Semangat dan kekuatan yang bersumber pada Garuda Pancasila. Semangat bersatu-padu dalam: ‘lindungan cahaya Bintang Emas, Ketuhanan Yang Maha Esa; untaian ikatan Rantai Emas, Kemanusiaan Yang Adil Beradab; kesejukan rindangnya Pohon Beringin, Persatuan Indonesia; musyawarah Kepala Banteng, Kerakyatan Yang Dimpimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan keadilan Padi dan Kapas, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’. Semangat ini menjadi kekuatan ‘pribadi’ dalam mendukung Garuda Pancasila sehingga ikhlas berkorban untuk Pancasila sebagai dasar negara dan kepribadian bangsa. Seperti lirik Garuda Pancasila ciptaan Sudharnoto berikut, “Garuda Pancasila, Akulah pendukungmu, Patriot proklamasi, Sedia berkorban untukmu, Pancasila dasar negara, Rakyat adil makmur sentosa, Pribadi bangsaku”.
“Ayo maju maju, Ayo maju maju, Ayo maju maju”. Begitulah bait penutup lirik Garuda Pancasila gubahan Sudharnoto sengaja saya kutip seutuhnya. Mars Pancasila ini inspirasi bagi kesetiaan segenap rakyat Indonesia kepada Pancasila. Kesetiaan, keberanian, dan kekuatan untuk maju bersama seluruh rakyat dan elemen bangsa Indonesia. Terbukti kesetiaan serasi antargenerasi: “Akulah Pendukungmu” dan “Sedia Berkorban Untukmu” karena “Saya Indonesia” dan “Saya Pancasila”. Pengulangan kutipan ini pun sengaja saya lakukan untuk menularkan: menyebarluaskan pesan dan menguatkan kesannya hingga mempribadi. Kenyataannya, hanya orang Indonesia berkepribadian Pancasila mempunyai kesetiaan dan kesediaan berkorban untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesetiaan dan kesediaan inilah spirit ‘menularkan tantular’.                  





BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...