Pasraman

Lepas Landas Pasraman Berkelas

I  W a y a n  S u k a r m a

Pasraman berkelas karena menduduki ranking kualitas teratas, baik formal maupun informal. Kelas pasraman memang ditentukan berdasarkan akreditasi formal, berupa pengakuan pemerintah. Akan tetapi, yang lebih menentukan kebertahanan pasraman adalah akreditasi informal, berupa pengakuan dan dukungan masyarakat. Kelas itulah “harga diri pasraman” yang dipertaruhkan melalui suatu sistem pendidikan, baik administrasi, managemen, maupun kepemimpinan seiring dengan kebutuhan masyarakat yang semakin terbarukan. Untuk itu pasraman mesti tampil modern, tanpa harus meninggalkan watak tradisionalnya.  

“Pasraman”, bila dipakai kata kunci untuk membuka gerbang Rumah-Google kita akan dibawa berpetualang dalam beranekaragam ruang-jelajah, seperti kapling-kapling  arti dan makna; labirin pengertian dan pemahaman; serta lambo ingatan para pemakai dan model pemakaiannya. Rumah-Informasi itu memang tidak hanya menyediakan kawasan dan menyuguhkan wawasan, tetapi juga praktik-praktik yang turut serta membentuk kelas dan identitas. Identitas itu semakin jelas, bila memperhatikan penggunaan kata “pasraman” menjadi nama komunitas pendidikan dengan melekatkan kata lain dibelakangnya, seperti nama-nama dewa dan paham. Apalagi pasraman sebagai satuan pendidikan sekarang sudah diatur secara formal berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Hindu.  
Landasan hukum itu relatif baru (dua tahun), tetapi Parisada telah lama mempunyai hasrat hendak membangun dan menyelenggarakan pendidikan keagamaan Hindu, seperti disebutkan dalam Piagam Campuhan1961. Hasrat itu tidak pernah pudar, bahkan semakin cemerlang sehingga pendidikan selalu menjadi wacana hangat setiap Mahasabha Parisada. Dalam ketetapan Mahasabha 1968 dan 1973 misalnya, Parisada sudah merumuskan isi pendidikan keagamaan Hindu dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Tidak hanya pendidikan formal, tetapi juga Parisada berhasrat lebih menguatkan pendidikan nonformal, seperti pembinaan dan penyuluhan. Hasrat mulia membangun sumber daya manusia Hindu tentu semakin menyala-nyala seiring dengan semangat Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014.
Peraturan itu pun disambut gembira yang ditandai dengan semakin meningkatnya minat (umat Hindu) mendirikan pasraman dan gairah pengelolaannya. Minat dan gairah ini patut dijaga kesinambungannya karena pendidikan adalah suatu proses yang berlangsung lama, bahkan catur asrama menganjurkan sepanjang hayat. Proses inilah dimaksudkan dengan kata “menuju” karena tujuan pendidikan bersifat intermedier, yaitu bertingkat dan sementara (tercapainya satu tujuan menjadi titik tolak untuk mencapai tujuan-tujuan lain berikutnya). Apalagi tujuan pendidikan keagamaan memang tidak cukup memadai hanya bertujuan membentuk manusia dewasa dan matang. Selain mampu melihat masalah hidup dan sanggup memecahkannya, juga pendidikan keagamaan bertujuan membentuk manusia yang sanggup merealisasikan ketuhanan: Diri Sejati.  
Merealisasikan ketuhanan berarti menyatakan atau mengungkapkan ikatan kembali kepada Tuhan. Ikatan kerinduan semacam ini sekaligus menjadi pertanggungjawaban atas kelahiran sebagai manusia: hidup menjadi manusia dan mati pun tetap sebagai manusia (Siwattawa: “Mijil sakeng sira, lina ri sira muwah”). Kenyataannya, manusia berdasarkan kodrat dan harkatnya mengatur dirinya dan alam, bahkan dengan Tuhan. Dalam sekolah kehidupan ini kemanusiaan selalu mengimbau, agar peraturan pendidikan, baik formal maupun informal diterapkan dengan “sebenar-benarnya” dan “sebaik-baiknya”. Penerapan peraturan seperti itu merupakan upaya menempatkan peraturan menjadi landasan ideal dan operasional pendidikan sehingga pasraman sanggup terbang tinggi ke langit prestasi dan memetik bintang-bintang kemuliaan manusia menuju Pasraman Berkelas.
Terbang tinggi itu upaya meluaskan wawasan kependidikan dan mengembangkan kawasan pengelolaan beserta jangkauan jelajah penyelenggaraannya. Pasraman sebagai satuan pendidikan merupakan lembaga visioner, karena itu membutuhkan perangkat pembelajaran yang memadai. Apalagi satuan pendidikan memang tidak pernah sepi dari upaya memperkaya khazanah keilmuan, seperti kajian-kajian teoretis untuk menambah jumlah dan meningkatkan kualitas pengetahuan, baik sain, filsafat, maupun mistik. Visi dan misi memperkaya isi kebudayaan ini membutuhkan standar pengelolaan dan pelayanan yang produktif. Kualitas produksi inilah andalan pasraman dalam rangka mengembangkan eksistensinya seiring dengan perubahan-perubahan yang berlangsung dalam masyarakat. Pasraman pun tidak hanya fungsional bagi sekitarnya, tetapi juga bagi masyarakat yang lebih luas.
Semakin luas jangkauan penyelenggaraan pasraman berarti semakin tinggi tingkat kepuasan masyarakat, baik berkaitan dengan akses, pemerataan, demokrasi maupun mutu pendidikan. Dalam rangka menjaga tingkat kepuasan itulah pasraman tidak pernah berhenti membangun dan menata diri sedemikian rupa sehingga mampu memelihara kepercayaan masyarakat. “Sedemikian rupa” inilah yang dimaksudkan dengan menerapkan peraturan, baik yang formal maupun informal dengan “sebenar-benarnya” dan “sebaik-baiknya”. Kenyataannya pasraman secara formal mengatur keberadaannya dalam rangka menjaga eksistensinya berdasarkan hukum formal, sebagaimana peraturan dan perundang-undangan pemerintah. Selain peraturan formal, juga pasraman menata keberadaannya berdasarkan peraturan informal, berupa nilai-nilai yang dihayati dan dibagi bersama, baik dalam hidup beragama maupun hidup lainnya.
Menerapkan peraturan dengan “sebenar-benarnya” dimaksudkan bahwa pasraman mengatur keberadaannya secara formal-rasional dengan mengandalkan sistem administrasi, managemen, dan kepemimpinan sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern. Pengaturan pasraman secara formal-rasional saja tidak sanggup menjangkau dan memenuhi kebutuhan masyarakat (akan kualitas pendidikan) yang muncul dari pengalaman empiris sehari-hari. Untuk memenuhi kebutuhan ini pasraman perlu menerapkan peraturan dengan “sebaik-baiknya”, yaitu secara informal-etis melalui kebijakan-kebijakan strategis dan humanis. Sesunggunya kebijakan ini merupakan upaya kreatif pasraman dalam rangka membela kebutuhan, kepentingan, dan keperluan masyarakat akan pendidikan berkualitas. Kualitas kebijakan ini sekaligus mencerminkan identitas-kualitas atau kelas pasraman itu sendiri karena kebijakan berkenaan dengan kesadaran orang dewasa yang matang.
Upaya kreatif pasraman misalnya, catur asrama yang semula dipandang sebagai empat tahapan masa kehidupan kemudian, dapat dipahami sebagai integritas kepribadian. Dalam psikologi disebutkan bahwa setiap orang (termasuk anak-anak) memiliki karakter kanak-kanak, remaja, pemuda, dan orang tua. Selain tertawa riang gembira bersama teman-temannya (ciri khas kanak-kanak), juga seorang anak dapat menyelami perasaan temannya (ciri khas remaja), membela temannya (ciri khas pemuda), dan menasehati temannya (ciri khas orang tua). Serupa dengan pemahaman itu, juga dapat dikatakan bahwa setiap orang memiliki karakter catur asrama yang membangun integritas kepribadiannya. Ini berarti, setiap orang memiliki semangat belajar brahmacari, kedewasaan grahasta, kematangan wanaprasta, dan kebijaksanaan bhiksuka.
Menerima rumusan kepribadian itu, juga berarti kurikulum pasraman mengemas upaya pemenuhan kebutuhan akan pengembangan catur asrama sebagai hereditas, yaitu potensi bawaan lahir. Tugas pasraman adalah menciptakan lingkungan pendidikan yang dapat mengembangkan keempat potensi bawaan itu dalam rangka membangun sumber daya manusia yang “mumpuni” – manusia mumpuni adalah orang berkualitas sudha, yaitu jernih pikirannya, cerah perasaannya, dan murni kehendaknya. Kualitas kejiwaaan seperti ini merupakan modal dasar menjadi manusia pembelajar, pekerja, pelayan, dan pemuja yang andal, baik bagi dirinya sendiri maupun lingkungan. Komitmen membangun kualitas kejiwaaan semacam ini berarti bahwa pasraman tidak hanya menyelenggarakan pendidikan untuk anak-anak, tetapi juga pendidikan untuk manusia dewasa.
Pendidikan untuk manusia dewasa dalam rangka meningkatkan daya-guna orang-orang dewasa agar mereka lebih produktif bagi hidup dan kehidupan bukan sebaliknya, menciptakan keonaran dan kerusuhan dalam masyarakat. Kenyataannya untuk menangani kehidupan orang dewasa tidak hanya membutuhkan pengetahuan rasional-empiris dan filsafat, tetapi juga pengetahuan mistik, seperti pengetahuan keabadian yang diajarkan dalam kitab-kitab suci. Pengetahuan mistik berguna untuk memahami ajaran-ajaran agama yang secara nyata dan langsung mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Seperti betapa tidak rasionalnya Bhatara Siwa dapat bermanifestasi menjadi Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Namun alangkah logisnya Bhatara Siwa sebagai Yang Mahakuasa dapat mengubah diri-Nya menjadi apa saja sesuai dengan kebutuhan manusia.  
Bhatara Siwa yang abstrak-supra-rasional sebagai esensi agama Hindu memang merupakan objek pengetahuan mistik termasuk alam gaib lainnya, seperti dunia-dewa-dewi, eskatologi (kehidupan setelah kematian), kerawuhan (kemasukan roh dewata), leak, kebal, cetik, dan teluh. Pengetahuan mistik tidak diperoleh melalui indra dan akal rasional, tetapi melalui rasa dan latihan batin. Misalnya, kebenaran pengetahuan mistik tentang Bhatara Siwa diukur berdasarkan teks suci agama Hindu, seperti diajarkan Saivasidhanta. Selain teks suci agama dan pengalaman mistik, juga kebenaran pengetahuan mistik diukur berdasarkan kepercayaan. Kita mempercayai Tri Murti, karena itu pengetahuan tentang Bhatara Siwa menjadi Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa adalah pengetahuan valid dan benar.
Pengetahuan mistik tentang Bhatara Siwa menjadi Dewata Nawasanga, juga adalah pengetahuan benar karena kita mempercayainya. Pengetahuan semacam ini, bahkan secara langsung menampakkan kegunaan dan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat Hindu. Perhatikanlah semakin semaraknya sanggar yoga, kelompok meditasi, kelompok pamedek, perguruan kebatinan, aliran kepercayaan, balian usada, jro-jro dasaran, dan pusat-pusat pengembangan pengetahuan mistik lainnya. Artinya, tuntutan masyarakat modern tidak hanya pengembangan pengetahuan sain (rasional dan empiris) serta pengetahuan filsafat (rasional), tetapi juga pasraman dituntut mengembangkan pengetahuan mistik (rasa-batin). Panca Sraddha dan Panca Yadnya sebagai esensi dan eksistensi agama Hindu misalnya, tidak cukup memadai dipahami hanya melalui satu jenis pengetahuan tanpa pengetahuan mistik.
Melalui pengetahuan mistik sekiranya, pasraman dapat menjelaskan lebih tuntas tentang fenomena mistik yang terjadi dalam masyarakat Hindu – Istilah “mistik” berarti kegiatan spiritual tidak menggunakan rasio (yang keberadaannya dikukuhkan oleh aktivitas jiwa manusia yang serba ingin tahu tentang segala hal di luar dirinya). Misalnya, tirtha Hyang Guru berguna mengatasi penderitaan dan kesengsaraan misalnya, menyembuhkan penyakit. Fenomena keagamaan lainnya yang barangkali tergolong mistik, seperti guru piduka, pasupati, ngerehang, nebusan, mapenauran, mabayuh oton, melukat, ngelawang, meluasang, ngurek, dan kerawuhan. Kehidupan mistik termasuk jenis-jenis mistik yang mengandung kekuatan magis yang keberadaannya diakui oleh hampir seluruh masyarakat beragama di dunia memang perlu dijelaskan lebih logis.
Tidak hanya berguna untuk menjelaskan fenomena, tetapi juga pengetahuan mistik berguna untuk memahami dan menjelaskan teks suci yang memang mengandung makna esoterik, selain eksoterik. Makna esoterik agama tidak memadai dipahami hanya melalui pengetahuan sain dan pengetahuan filsafat yang hanya mengandalkan akal-rasional dan pengalaman empiris. Misalnya, rumusan Brahman dalam Upanisad bahwa “Brahman adalah Nirguna Brahman dan Saguna Brahman, (dan) Nirguna Brahman dan Saguna Brahman adalah bukan Brahman”. Begitu juga kesempurnaan Brahman mustahil dipahami secara rasional dan empiris saja, “Itu Sempurna, Ini Sempurna. Yang Sempurna itu timbul dari yang Sempurna. Dengan mengambil yang Sempurna dari yang Sempurna, yang Sempurna itu tetap Sempurna”.
Rumusan Upanisad itu tampak tidak rasional karena melanggar prinsip matematika dan prinsip-prinsip alam lainnya: azas kuantitatif. Inilah rumusan-umum bahwa proses kuantitatif tidak berpengaruh terhadap kualitas objek-objek (perubahan material tidak menyebabkan perubahan forma). Seperti sebuah patung kuda: entah terbuat dari besi ataupun kayu tidak terdapat perbedaan ide tentang kuda pada patung kuda. Begitu juga dengan mengurangi jumlah gram pada emas tidak dapat mengubah karat emas. Begitulah Upanisad dan teks-teks suci lainnya mengungkapkan terma kualitatif dengan pernyataan-pernyataan kuantitatif atau sebaliknya, mengungkapkan terma kuatitatif dengan pernyataan -pernyataan kualitatif. Untuk memahami dan menjelaskan dimensi esoterik agama seperti itulah tujuan pasraman mengembangkan pengetahuan mistik yang abstrak-supra-rasional.
Pasraman sebagai satuan pendidikan berkewajiban menjelaskan ajaran agama lebih eksplisit, agar lebih mudah dipahami dan dipraktikkan seiring dengan perubahan zaman. Kewajiban ini berkaitan masa depan agama Hindu karena tidak mungkin dihindari pengetahuan agama mengalami penyusutan sepanjang zaman, seperti degradasi pengetahuan yang dijelaskan dalam catur yuga. Serupa dengan itu, Agostino Steuco (1490-1548) mengatakan bahwa pengetahuan mengalami degradasi terus-menerus dalam sejarah manusia. Semula pengetahuan itu sempurna diturunkan langsung dari Tuhan kepada manusia kemudian, menjadi kabur dan terpecah-pecah, bahkan akhirnya hilang sehingga tampak seperti dongeng. Betapa pun mustahilnya, pengetahuan Brahman sebagai “prinsip tunggal dari segala sesuatu”, apalagi memisahkan Atman dari Maya, bukanlah dongeng.
Banyak bahasa yang dapat digunakan mengungkapkan Brahman, namun tidak satu pun bahasa dapat menjelaskannya. Banyak yang dapat dikatakan tentang Brahman, namun tidak satu pun kata dapat menyatakannya. Banyak suara yang dapat digunakan menyebut Brahman, namun tidak satu pun suara yang dapat memanggilnya. Untuk itu, barangkali pasraman dapat mengembangkan perenialisme, selain untuk mendukung mengembangkan pengetahuan mistik. Apalagi filsafat perenial sudah banyak dijadikan pendekatan dalam memahami asal-usul wahyu keagamaan termasuk aspek ontologis dan efistemologis agama. Wedanta misalnya, dapat dikembangkan sebagai filsafat perenial dalam memahami dan menjelaskan Brahman sebagai Realitas Tertinggi, Esensi Tunggal, Hakikat Absolut, antara lain melalui paham Dvaita, Wisistadvaita, dan Advaita.        
Pengetahuan keabadian agama itu barangkali dapat memudahkan upaya pasraman menjelaskan pengetahuan relatif agama, sebagaimana kebutuhkan praktis kehidupan beragama. Dikatakan pengetahuan praktis karena maksud umat agama belajar agama, agar memiliki pengetahuan agama dan tujuannya dipraktikkan dalam kehidupan beragama. Seperti siswa pasraman belajar pengetahuan, mendidik sikap, dan melatih keterampilan beragama, agar menjadi manusia Hindu mumpuni: dewasa dan matang. Dewasa berarti mampu bertanggung jawab dan matang berarti sanggup melaksanakan kewajiban. Mengerti tanggung jawab dan memahami kewajiban itulah inti dari seluruh interaksi pendidikan yang disajikan dalam berbagai macam proses pembelajaran. Memuliakan tanggung jawab dan kewajiban hidup itulah kebebasan, yaitu tujuan pasraman sebagai pergaulan mendidik.
Kebebasan, juga berarti terhentinya kelahiran: jiwa tidak hadir lagi di dunia-relatif. Tiadanya kelahiran berarti tujuan hidup sudah tercapai: jiwa kembali kepada sumbernya ke dunia-absolut. Seperti kutipan Siwatattwa di atas, “dari mana datangnya, ke sana pula kembalinya”, “segalanya keluar dari Bhatara Siwa dan ke dalam Bhatara Siwa pula segalanya masuk saat kembali”. Kembalinya jiwa kepada sumbernya disebut Moksa, yaitu bersatunya Atman dan Brahman (atmanah moksartham). Kebebasan jiwa sebagai sraddha, juga menjadi tujuan pendidikan pasraman, selain kebebasan moral, kebebasan psikologis, dan kebebasan pisik. Pendidikan membebaskan memang layak dipertimbangkan karena sesuai dengan kodrat dan harkat manusia sebagai makhluk bebas, berkehendak bebas, dan berkebebasan.
Kenyataannya manusia tidak dapat disebut bebas, bila bertindak liar, sewenang-wenang, dan semaunya, apalagi dalam kehidupan sosial. Tindakan semacam itu tidak dapat dipertanggungjawabkan dari segi hukum dan moral, apalagi berdasarkan akal, budi dan iman (sraddha). Akal, budi, dan iman barangkali dapat dijadikan landasan pengembangan pendidikan dalam rangka membina, memupuk, dan mengembangkan kehidupan beragama. Landasan dan tujuan pengembangan pendidikan semacam itu berdasarkan pertimbangan: manusia dengan akalnya membedakan aturan-aturan, norma-norma, dan nilai-nilai yang terus-menerus diciptakan masyarakat; dengan budinya memilih aturan, norma, dan nilai (yang kadangkala berlawanan, seperti rwabhinnedha) sesuai dengan kodrat dan harkatnya, kemanusiaan; dan dengan imannya manusia merealisasikan ketuhanan dan jati dirinya.
Apabila realisasi diri itu tujuan hidup, maka pasraman adalah sekolah kehidupan. Landasannya adalah Panca Sraddha, yaitu keyakinan karena keyakinan adalah hakikat manusia (Bhagawadgita: “apapun keyakinanmu, begitulah dirimu”). Tujuannya adalah Catur Purusa Artha, yaitu Dharma karena Dharma adalah tujuan agama Hindu: realisasi diri (atmanah moksartham arthani jagadhitaya iti dharma). Artinya, realisasi diri bersandar pada keyakinan. Keyakinan (Panca Sraddha) menyatakan, esensi manusia adalah Tuhan. Tuhan hadir dalam diri manusia sebagai jiwa. Jiwa bertahan dalam perbuatan. Perbuatan memiliki dua macam akibat, yaitu jiwa mengulangi kelahirannya dan kembali kepada Tuhan. Sederhananya, prinsip keyakinan adalah perbutan dan prinsip perbuatan adalah keinginan, peralatan, kebenaran, dan kebebasan.        
Komitmen pasraman mengembangkan sistem pendidikan kehidupan itu sekaligus merupakan upaya menyatukan lingkungan pendidikan dengan kehidupan atau lingkungan pasraman dengan lingkungan sosial. Kesatuan lingkungan inilah spirit kurikulum muatan lokal, agar peserta didik tidak terasing dalam lingkungannya sendiri. Kesatuan pasraman dan masyarakat inilah “kekuatan pasraman” yang mengidentifikasikan kelasnya. Semakin erat hubungan pasraman dengan masyarakat berarti semakin kuat pengakuan dan dukungan masyarakat kepada pasraman. Pengakuan dan dukungan ini sekaligus menentukan kelas pasraman, selain pengakuan dari pemerintah. Pengakuan dan dukungan ini pada gilirannya membuat pasraman menjadi “rebutan” (setiap tahun pelajaran baru). Jadi, cara terbaik membangun sumber daya manusia Hindu adalah berlomba-lomba menjadi “pasraman rebutan”.







BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...