Dharma Agama dan Negara

Kembali ke Poros
Dharma Agama dan Dharma Negara

I  W a y a n  S u k a r m a

Agama adalah organisasi religius dan negara adalah organisasi masyarakat. Inti organisai adalah hububungan. Setiap hubungan menimbulkan kewajiban, seperti kepada agama dan negara. Agama Hindu menerima kedua kewajiban ini sebagai dharma: dharma agama dan dharma negara. Dharma (dari dan bagi) agama dan negara yang tidak boleh diabaikan, apalagi dilanggar karena dharma adalah sumber kebahagiaan. Kembali ke poros dharma adalah upaya mengembangkan kesadaran bahwa agama Hindu tetap dan selalu memberikan makna, menunjukkan arah, dan menguatkan harapan hidup.

Agama dan Negara merupakan kekuatan besar dan efektif menciptakan perubahan sosial dan politik. Bila hubungan keduanya dishamonis dapat menimbulkan tirani dan malapetaka kemanusiaan. Sejarah agama-agama menggambarkan, kadangkala keduanya berhadap-hadapan saling menundukkan dan menaklukkan: agama menguasai negara atau agama dikuasai negara. Kadang-kadang keduanya saling memunggungi dan menempuh jalannya masing-masing. Padahal keduanya bisa bergandengan tangan menangani masalah kehidupan. Keduanya mungkin saja menjadi pasangan serasi memesrakan persahabatan manusia membangun tatanan kehidupan yang damai, adil, dan makmur, bahkan sejatera dan bahagia. Apalagi keduanya, baik agama maupun negara sama-sama membenamkan pondasi ideologi pada kemuliaan Tuhan dan mengembangkan tindakan pada kehormatan manusia demi keselamatan dunia kehidupan.

Inti Agama
Dunia kehidupan merupakan jejaring mahaagung yang sarat dengan aneka relasi dan ragam interaksi. Suatu tatanan kehidupan yang terikat pada komunikasi dan tergantung pada kerja sama harmonis: persahabatan manusia dengan sesama, alam, dan Tuhan. Persahabatan manusia dengan sesamanya bermula, sejak manusia menyadari kelompok memberikannya kekuatan yang melebihi kemampuannya sendiri. Kerja sama antarkelompok menyebabkan manusia menyadari dirinya lebih produktif, bahkan melampuai kemampuan produksinya sendiri. Kesadaran ini seiring dengan naluri sosialnya mendorong manusia memperluas kerja sama melalui beragam bentuk organisasi. Akhirnya, tatanan kehidupan berkembang semakin kompleks, seperti dari keluarga dan kelompok kecil hingga negara. Manusia pun mulai menyadari kemelekatannya pada hak dan kewajiban.
Hak dan kewajiban manusia tidak hanya muncul dari hubungannya dengan sesama, tetapi juga dari persahabatannya dengan alam. Persahabatan manusia dengan alam terjalin, sejak manusia menyadari alam ikut serta membentuk wataknya. Tiba-tiba saja manusia menyadari dirinya berada di tengah-tengah alam dan melangsungkan kehidupan bersama alam. Selain tempat, juga alam menyediakan makanan sehingga manusia bertahan hidup. Bukan hanya bertahan, bahkan manusia mengembangkan kehidupannya berdasarkan pengalaman bersama alam. Misalnya, pengalaman memenuhi kebutuhan hidup mendorong manusia mengamati lingkungan dan siklus musim. Pengetahuan ini menginspirasinya menciptakan peralatan hidup untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan bersama. Dari upaya ini muncul kebudayaan yang mendorong peradaban manusia semakin kompleks.
Perkembangan kebudayaan selanjutnya, mendorong persahabatan manusia dengan alam semakin karib yang membuat manusia lebih intens memperhatikan peristiwa alam. Manusia mulai mempertanyakan hakikat alam, mengurai elemen-elemennya, dan mencari kegunaannya bagi kehidupan. Bukannya berhenti sampai di sini, bahkan manusia bernafsu menyingkap prinsip-prinsip ketertiban alam. Misalnya, prinsip yang menjaga kedisiplinan Jeruk selalu berbuah Jeruk atau Mangga selalu berasa Mangga. Lebih luas lagi, manusia mengamati pergerakan benda-benda langit beserta pengaruhnya terhadap kehidupan. Dari sini muncullah hasratnya mengungkap hubungan peristiwa alam antara yang satu dan yang lainnya, seperti hujan dan gerhana. Kemudian, manusia bertanya, “Siapa membuat hukum alam?” dan “Mengapa dia membuat hukum alam itu?”
Jawaban pengetahuan sain dan filsafat termasuk pengetahuan etis dan estetis atas pertanyaan itu tidak memuaskan sehingga manusia menyerahkan dirinya ke dalam pelukan ‘kepercayaan’. Manusia percaya ada Sesuatu dengan ‘kekuatan luar biasa’ membuat hukum alam beserta maksud dan tujuannya. Manusia percaya Sesuatu itu mempunyai ‘niat baik’ demi keselamatan kehidupan. Sesuatu itu diyakini, bukan alam dan makhluk. Dialah roh atau jiwa. Roh ataupun jiwa merupakan konsepsi pikiran dibatasi bahasa dan tradisi, baik sain maupun filsafat. Manusia ‘hanya’ percaya. Penghayatan terhadap kepercayaannya menimbulkan kerinduan untuk mengikatkan diri kembali kepada asal-mula jiwa. Manusia ‘rindu sahabat sejati’. Kerinduan inilah dimensi religius manusia: menjadi inti agama.  

Dharma Agama
Dimensi religius membuat manusia menjadi serba religius: menguatnya keinginan mengikatkan diri kembali kepada asal-muasal yang pernah dilupakannya. Manusia pernah melupakan, Dialah sumber alam dan makhluk mempunyai kekuatan luar biasa: mahakuasa dan mahamutlak. Dialah penguasa alam dan makhluk. Dialah prinsip alam dan hukum pada makhluk. Padanya terikat dan tergantung, baik ketertiban maupun keteraturan tatanan kehidupan. Dialah kekuatan alam sebagai dewa-dewa penguasa elemen alam, planet-planet, dan penjuru. Dialah hidup sebagai jiwa makhluk. Kekuasaan dan kemutlakanNya menyebabkan, Dia dipercaya dan dihayati manusia sebagai Pencipta. Dari penghayatan bersama-sama terhadap kepercayaan kepadaNya muncullah agama. Artinya, agama adalah pelembagaan religiusitas. Kemudian, mengajarkan Sang Pencipta adalah Tuhan.
Tuhan itulah esensi agama. Tuhan merupakan pusat orientasi kerinduan dan poros proyeksi perjuangan pemeluk agama. Dari orisentasi kerinduan muncullah bentuk-bentuk pemujaan. Dari proyeksi perjuangan muncullah spirit pengabdian. Pemujaan dan pengabdian ini menyebabkan pemeluk agama memperoleh pengalaman keagamaan. Selengkapnya para ahli studi agama-agama mengidentifikasi agama terdiri atas konsep tentang yang suci (Tuhan dan sistem ketuhanan); pernyataan tentang suci (orang suci, tempat suci, dan kitab suci); konsep tentang manusia (kedudukan dan hubungan manusia dengan sesama, alam, dan Tuhan); konsep tentang dunia (kosmologi, kosmogoni, dan eskatologi); ungkapan beragama (jalan keselamatan, komunitas umat, ritual, upacara, dan etiknya); dan mistik (realitas tertinggi, roh, dan kebatinan).
Komponen agama itu sesungguhnya sudah menggambarkan ikatan pemeluk dengan agama yang memberikannya kewajiban kepada agama. Umat Hindu menerima kewajiban agama sebagai Dharma Agama. Menerima dharma agama berarti menyetujui ajaran agama Hindu dan menyepakati melaksanakannya. Persetujuan dan kesepakatan ini sekaligus mengimplikasikan tanggung jawab umat Hindu, baik perseorangan maupun golongan dan kelompok. Tanggung jawab itulah bentuk pengejawantahan sraddha dan bhakti dalam kehidupan bersama. Sraddha membangun budi luhur dan bhakti menata akhlak mulia. Kerja sama keduanya membentuk integritas kepribadian, seperti dijelaskan dalam Bhagawadgita, “Begitu sraddhamu, begitulah kepribadianmu”. Artinya, dharma agama memberikan dan menjadi identitas umat Hindu dalam kehidupan bersama dengan umat agama lainnya.
Identitas sebagai ciri-ciri spesifik merupakan pusat perhatian pada setiap kehadiran dan keberadaan. Identitas sebagai jati diri, juga merupakan tanda yang dipertanyakan dan dipertukarkan dalam kebersamaan. Begitulah identitas Hindu sebagai pusat tanda adalah poros dharma agama. “Om Swastyastu” dan “Om Santih Santih Santih Om” misalnya, merupakan identitas salam umat Hindu. Penganjali ini mencerminkan keheningan tattwa, pencerahan susila, dan kebeningan acara. Di dalamnya mencakup ajaran ketuhanan, ajaran moral, ajaran bermasyarakat, dan tradisi keagamaan Hindu. Guru Upanisad mengajarkan, Om adalah aksara Tuhan, Om adalah Sabda Tuhan, dan Om adalah Tuhan. Mengupayakan keselamatan dan kedamaian dalam perlindunganNya merupakan kewajiban, baik moral, sosial, maupun tradisi.
Menjaga, memelihara, dan menguatkan identitas Hindu dalam pikiran, ucapan, dan tindakan merupakan upaya kembali ke poros dharma agama. Dikatakan “kembali” karena kewajiban agama nyaris terlupakan akibat dari sumirnya peran agama dalam masyarakat. Semula agama menyediakan aturan dan prosedur bagi pemeluknya untuk menyadari ‘alam kekal’ kemudian, lebih banyak untuk melegitimasi ‘pembiaran indrawi’. Awalnya agama untuk menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan rohani kemudian, lebih banyak untuk mengembangkan kesadaran akan keinginan materi. Agama dibuat bernafsu menaklukkan sumber-sumber kekuasaan dan dikemas rapi dalam peti ekonomi sehingga agama nyaris kehilangan identitas. Untuk menghindari semakin pudarnya pesona identitas agama Hindu merupakan spirit kembali ke poros dharma agama.
Selain dalam sastra Jawa Kuna, juga dharma agama dapat ditelusuri dalam sastra Sanskerta, antara lain Weda, Purana, Itihasa, Tantra, dan Darsana. Dalam Atharwaweda, seloka XII.1.) misalnya, disebutkan dharma agama terdiri atas satya (kebenaran), rta (hukum alam), diksa (penyucian diri), tapa (pengendalian diri), brahma (doa), dan yadnya (pengorbanan). Kewajiban umat Hindu yang pertama, menegakkan kebenaran agamanya. Kedua, tunduk kepada hukum alam dan tidak mengeksploitasinya demi kesenangan dunia. Ketiga, menyucikan diri, menghidari berbuat dosa dan tidak merugikan orang lain. Keempat, mengendalian diri dan mengatur tindakan demi kedamaian. Kelima, mendoakan keselamatan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Keenam, melaksanakan kurban suci berdasarkan panca yadnya.        
Dalam dharma agama tersebut terkandung spirit menumbuhkan sifat kedewataan dan mengembangkannya untuk mendorong semakin mekarnya kemanusiaan. Apalagi kini dunia sedang mengalami kesulitan membendung ekspresi dehumanisasi karena pesatnya perkembangan materi. Perkembangan ini, bahkan memicu munculnya tindakan kekerasan dalam berbagai dimensi dan skalanya. Seperti diungkapkan Mahatma Gandhi bahwa “Akar kekerasan terbenam dalam: kekayaan tanpa bekerja, kesenangan tanpa nurani, pengetahuan tanpa karater, pandangan tanpa moralitas, ilmu tanpa kemanusiaan, dan politik tanpa prinsip”. Bukan hanya tindakan kekerasan, bahkan kerapkali terjadi tindakan menakutkan yang mengancam keamanan dan mencekam kenyamanan bermasyarakat dan bernegara. Ini berarti, kesadaran dharma negara sama perlu dan pentingnya dengan kesadaran dharma agama.  

Dharma Negara
Meningkatkan kesadaran akan kewajiban kepada negara merupakan misi utama dari wacana kembali ke poros dharma negara. Kewajiban kepada negara muncul, ketika individu ataupun kelompok dan golongan mengikatkan diri menjadi bagian dalam masyarakat negara. Untuk memahami kewajiban itu dapat ditelusuri melalui gagasan-gagasan tentang kekuasaan dan kedaulatan negara, seperti dijelaskan dalam kitab-kitab Brahmana, Smerti, dan Purana. Misalnya, Manusmerti menggambarkan prinsip kausa prima bahwa negara mendapatkan kekuasaan dari Tuhan sehingga kedaulatannya mutlak dan suci. Kekuasaan dari Tuhan diterima tokoh-tokoh negara yang secara kodrati mewakili Tuhan di dunia. Pemimpin melaksanakan kekuasaan negara atas nama dan untuk kemuliaan Tuhan, karena itu kewajiban rakyat hanya mematuhinya.
Dalam perkembangan selanjutnya, kedaulatan Tuhan berubah menjadi kedaulatan raja karena pemimpin mempunyai tugas melaksanakan dandaniti, menjamin tegaknya dharma. Dalam Manusmerti diterangkan tugas Manu melalui negara adalah menegakkan dharma, bukan meniadakan dosa rakyatnya. Pandangan kuasa prima yang menjadi pondasi sistem monarki mengalami perubahan: dari kedaulatan Tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan negara hingga kedaulatan hukum. Selain itu, juga dalam Aittereya Brahmana dijelaskan sistem demokrasi berdasarkan kontrak sosial serupa dengan pandangan John Locke (1632-1704) bahwa “Kekuasaan negara berasal dari rakyat, bukan dari raja”. Kesepakatan sosial menghasilkan penyerahan hak rakyat kepada pemerintah dan pemerintah mengembalikan hak dan kewajiban azasi kepada rakyat melalui peraturan dan perundang-undangan.
Artinya, kedaulatan negara tidak berasal dari Tuhan ataupun raja, tetapi perwujudan kehendak umum suatu bangsa merdeka yang mengadakan perjanjian masyarakat. Dari kesepakatan sosial ini muncullah sistem politik demokrasi yang diidentifikasi oleh Meriam Budiardjo (1983) meliputi negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijaksanaan, dan pembagian atau alokasi. Di dalamnya bekerja prinsip pemerintahan berdasarkan kostitusi. Pengakuan atas identitas partikular. Pemilihan umum yang demokratis. Undang-undang dan peraturan yang mengikat semua elemen masyarakat dan negara. Sistem peradilan yang independen bebas intervensi. Kekuasaan lembaga kepresidenan yang mandiri. Peran media yang bebas dan bermoral. Peran golongan dan kelompok kepentingan. Hak masyarakat mengetahui ketatanegaraan termasuk kontrol sipil atas militer.
Sistem pemerintahan seperti itu menurut Gunadha (2012) sejalan dengan Kautilya Arthasastra tentang negara sebagai kumpulan dari bermacam-macam masyarakat yang diwujudkan atas dasar prinsip-prinsip militer dan dharma. Negara melambangkan dharma universal yang mengandung kebebasan individu, sosial, dan moral. Dharma adalah konsep etis tampak dalam beragam tindakan. Dharma adalah swadharma atau kewajiban individu. Dharma adalah solidaritas sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Dharma adalah realisasi diri dalam kehidupan keberagamaan. Dharma adalah keadilan dalam hubungannya dengan vyavahara (kesaksian), charitra (tradisi), dan peraturan. Kautilya Arthasatra menyarankan negara dibangun berdasarkan empat kaki hukum, yaitu dharmasastra (hukum suci), vyavahava (kesaksian), carittara (sejarah atau tradisi), dan sasana (maklumat raja).  
Kautilya Arthasastra mengidealkan negara berporoskan dharma dengan tujuan mewujudkan jagaddhita. Negara yang dibangun dengan poros dharma harus dipimpin oleh orang yang berkepriabdian dharma. Dia adalah seorang svami, yaitu raja berkualitas rsi, rajarsi. Hubungan antara svami dan negara, seperti kesatuan jiwa dan raga. Svami adalah grahastin, yaitu ayah (atau ibu) bagi rakyatnya. Tujuan dharma-svami sesuai dengan catur purusa artha mengusahakan kemakmuran dan kesejahteraan untuk mendorong rakyatnya memperoleh dharma dan mengamalkannya dalam bermasyarakat dan bernegara. Dalam konteks negara, dharma adalah hakikat demokrasi. Artinya, dharma adalah roh demokrasi dalam suatu negara. Kautilya Arthasastra memanifestasikan roh demokrasi ke dalam sapta angga, tujuh unsur negara.
Dalam Kautilya Arthasastra setidaknya terdapat tiga hubungan yang membentuk negara beserta kewajiban yang dimunculkannya. Pertama, hubungan raja dengan rakyat. Hubungan raja dengan rakyat dibangun melalui konsensus, berupa persetujuan atas pertimbangan rasional misalnya, kesehatan, kepandaian, kecakapan, dan kharisma. Kedua, hubungan rakyat dengan negara. Hubungan rakyat dengan negaranya ditandai dengan munculnya kewajiban rakyat kepada negara misalnya, menyerahkan hasil pertanian (upeti, pembayaran pajak), membela negara, dan mematuhi hukum negara. Ketiga, hubungan negara dengan alam. Hubungan negara dengan alam, selain membangun kesatuan wilayah, juga alam menjadi sumber pendapatan negara. Begitulah hubungan antarunsur negara, yaitu pemimpin, rakyat, dan wilayah yang selanjutnya, melahirkan kewajiban kepada negara.

Dharma: Poros Agama dan Negara
Kewajiban kepada negara yang diterangkan dalam kitab-kitab Hindu klasik tegasnya, berdasarkan sistem kedaulatan negara, seperti kedaulatan Tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan negara, dan kedaulatan hukum. Bentuk kedaulatan negara mengambarkan hubungan antara negara, pemerintahan, dan rakyat yang darinya muncul kewajiban, dharma negara. Selain itu, juga agama Hindu mengajarkan dharma negara melalui hubungan guru-murid. Seperti catur guru mengajarkan, umat Hindu adalah murid dan orang tua, pendidik, pemerintah, dan Tuhan adalah guru. Upanisad menyarankan, agar murid ‘duduk dekat guru’. Saran ini mengimplikasikan kewajiban murid: kesediaan menerima dan kesetiaan melaksanakan ajaran guru. Dalam proses menerima dan melaksanakan itulah dharma agama dan dharma negara semakin hidup.      
Ajaran catur guru memang penting dan relevan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara karena keberadaan agama Hindu melampaui batas negara dan sekat bangsa. Bukan karena sifatnya yang universal, melainkan juga karena agama Hindu menemukan manfaatnya dalam masyarakat pemeluknya di negara mana pun agama Hindu dipraktikkan. Agama Hindu hanya hidup: tumbuh dan mekar dengan indah dalam kebersamaannya dengan bahasa, budaya, dan tradisi masyarakat pemeluknya. Akibatnya, masyarakat yang mengaku memeluk agama Hindu membedakan dirinya berdasarkan identitas suku atau negara, seperti Hindu Bali dan Hindu India. Begitu fleksibelitas agama Hindu, karena itu umat Hindu tidak membedakan secara mutlak antara dharma agama dan dharma negara.
Kelenturan agama Hindu sesungguhnya merupakan pancaran sifat dharma. Dharma adalah agama sekaligus dharma adalah negara. Jika agama dan negara adalah dharma, dan dharma adalah sumber kebahagian, maka umat Hindu tidak mempunyai alasan mengabaikan satu, apalagi dua dharma itu. Dharma sebagai tujuan agama Hindu adalah kama, hasrat menikmati kesenangan; artha, hasrat menikmati kekayaan, hidup makmur, sejahtera, dan moksa, hasrat mencapai kebebasan dan terhentinya kelahiran. Dharma sebagai tugas, fungsi, dan tujuan negara adalah regulasi demi kedamaian; pemberdayaan demi kemandirian; pelayanan demi keadilan; dan pembangunan demi kesejahteraan. Begitulah Dharma sebagai poros dharma agama dan dharma negara. Kepadanya kita kembali untuk mengembangkan kesadaran Dharma.      

(Majalah Wartam edisi 28/2017)  
   





BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...