Mahardika

Merawat Mahardika
I  W a y a n  S u k a r m a
Mahardika itu sifat utama, keutamaan manusia. Orang mahardika memiliki karakter intelek, moralis, bijak, dan bebas, karena itu berwibawa. Bukan hanya individu, bahkan mahardika dapat dikenakan pada masyarakat dan berbagai peristiwa yang menyertainya. Yadnya mahardika misalnya, kurban untuk menyatakan tanggung jawab kepada sesama, guru, leluhur, alam, dan Tuhan. Tanggung jawab ini sekaligus mencerminkan tuntasnya pelaksanaan kewajiban hidup dalam membangun dan merawat mahardika.      
Mahardika berarti berilmu, berbudi, dan bersifat bangsawan. Selain arti menurut kamus itu, juga mahardika bermakna bijaksana, merdeka, dan bebas. Sifat utama itu penting dirawat dengan menghidupkannya kembali secara berulang-ulang seiring dengan hak-hak dasar dan tujuan hidup manusia. Menggelorakannya secara berkala melalui suatu peringatan atau perayaan, entah bulanan ataupun tahunan merupakan upaya membatinkan kembali bahwa manusia adalah makhluk bebas. Manusia bebas menjadi dirinya dan merdeka membentuk masyarakatnya sendiri. Merayakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia misalnya, merupakan upaya mengenangkan kemerdekaan dan menghormati perjuangan mewujudkannya. Rerahinan dan upacara yadnya berkala lainnya dalam keberagamaan umat Hindu, juga menjadi upaya memuliakan kebebasan untuk kerahayuan makhluk dan alam.

Tuah Agustus
Perayaan Hari Kemerdekaan setiap Agustus menyebabkan bulan ini begitu keramat bagi bangsa Indonesia. Biasanya masyarakat merayakannya dengan berbagai kegiatan dari tingkat desa hingga pusat. Perayaan yang paling menonjol, berupa pengibaran bendera Merah Putih di seluruh pelosok tanah air. Tidak hanya sepanjang jalan raya dan taman-taman kota, tetapi juga masyarakat mengibarkan Merah Putih di puncak Gunung dan dasar Laut. Selain bendera, juga masyarakat menghias gapura dan tembok tempat tinggalnya dengan ornamen Merah dan Putih. Lalu-lalang kendaraan berbendera Merah Putih di jalan raya, bahkan menambah semaraknya bulan Agustus yang membuat situasi lalu-lintas berbeda dari bulan-bulan lainnya. Intinya, Agustus adalah bulan Merah Putih.
Penjor Galungan di Bali, juga tidak luput dari Merah Putih ketika umat Hindu merayakan hari suci Galungan dan Kuningan pada bulan Agustus. Penjor Merah Putih berjajar sepanjang jalan raya, baik di perdesaan maupun perkotaan. Penjor hari suci ini begitu serasi dengan hiasan Merah Putih pada Bale Banjar dan Bale Subak, Warung dan Toko, serta Poskamling. Pada bulan Agustus, Bali menjadi ‘Pulau Merah Putih’. Masyarakat Hindu Bali memahami Merah adalah warna Dewa Brahma bersaktikan Dewi Saraswati, berwahanakan Angsa, dan bersenjatakan Gada menguasai arah Selatan. Putih adalah warna Dewa Iswara bersaktikan Dewi Uma, berwahanakan Gajah Putih, dan bersenjatakan Bajra menguasai arah Timur.
Merah dan Putih dalam kosmologi Hindu, juga dipahami sebagai warna dua elemen hakiki awal penciptaan manusia: Kama Bang dan Kama Petak. Pertemuan kedua kama ini menimbulkan guncangan, perubahan, dan terjadilah penciptaan. Malahan Sukarno dalam Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat menegaskan, “Warna Merah dan Putih berasal dari awal penciptaan manusia. Darah seorang wanita berwarna Merah dan sperma laki-laki berwarna Putih. Tanah Nusantara berwarna Merah dan getah tumbuhan berwarna Putih. Merah adalah lambang keberanian dan Putih adalah lambang kesucian”. Keberanian Merah dan kesucian Putih rupanya, tuah yang hendak ditanamkan dalam jiwa rakyat. Daya-sakti yang membuat rakyat Indonesia berkesanggupan menjaga kebebasan dan kemerdekaan negarannya.
Tampaklah merayakan Proklamasi Kemerdakaan dengan mengibarkan Merah Putih tidak hanya berarti memeriahkan hari kemerdekaan, tetapi juga bermakna menguatkan kembali semangat kemerdekaan itu sendiri. Semangat itulah Tuah Agustus, daya-sakti yang mengelorakan jiwa rakyat tetap tegak melangkah menuju kejayaan Indonesia. Jaya berarti menang dan besar. Indonesia menang, bila mampu mengatasi masalah kehidupan sehingga sanggup mewujudkan kemakmuran, kemandirian, kedamaian, dan keadilan. Indonesia besar, bila mampu menundukkan kolonialisme peradaban modern yang menciptakan aneka penindasan dan ketergantungan. Semangat mengatasi penindasan dan ketergantungan sehingga hidup sederajat bersama dengan bangsa-bangsa lain itulah prinsip kemerdekaan suatu bangsa pada zaman modern. Kemerdekaan inilah mahardika: kebebasan menjadi bangsa yang jaya.  

Mantra Mahardika
Kebebasan dengan aneka sebutan dan formasi, seperti moksa, kebahagiaan, kesempurnaan, kelepasan, dan keselamatan merupakan kerangka mantra mahardika. Formasi kebebasan sebagai tujuan agama Hindu: “Atmanah moksartham arthani jagadhitaya ca iti dharma”. Kebebasan disebut Moksa adalah dharmaning lahir, agar jiwa tidak lahir kembali. Kebebasan disebut Kama adalah dharmaning keinginan menikmati kesenangan, agar hati tidak bersedih kembali. Kebebasan disebut Artha adalah dharmaning usaha mengumpulkan dan menggunakan kekayaan, agar hidup tidak miskin kembali. Kebebasan disebut Dharma adalah dharmaning berpikir benar dan berbuat bajik, agar karma tidak mengikat kembali. Begitulah mantra mahardika menguraikan empat macam kerangka Dharma sebagai Kebenaran. Kebenaran catur purusa artha yang membebaskan.  
Sarasamuccaya, juga menuturkan kesempurnaan caturwarga ketika menjelaskan panitisan dan tujuan hidup. ”Anaku kamung Janamejaya, salwirning warawarah, yawat makapadarthang caturwarga, sawataranya, sakopanyasanya, hana juga ya ngke, sangksepanya, ikang hana ngke, ya ika hana ing len sangkeriki, ikang tan hana ngke, tan hana ika ring len sangkeriki”. ‘Ananda Janamejaya, segala ajaran tentang caturwarga (yaitu dharma, kebajikan; artha, kekayaan; kama, kesenangan; dan moksa, kebebasan), baik sumber maupun uraian tafsirnya ada di sini; segala yang terdapat di sini akan terdapat dalam sastra lain; yang tidak terdapat di sini tidak akan terdapat pada sastra lain’. Inilah “himpunan saripati isi sastra bharatakatha yang lengkap dan sempurna”.
Sarasamuccaya menyarankan, manusia menggunakan masa penjelmaannya mengupayakan Mahardika dengan memetik saripati bharatakatha: mengapresiasi hakikat kebenaran kama, artha, dharma, dan moksa. Manusia mahardika mampu menguasai pikirannya, memimpin raganya, dan menjadi raja bagi dirinya sendiri. Apalagi disebutkan, “Kelahiran sebagai manusia sangat pendek dan cepat, bagaikan pijaran cahaya petir, lagi pula kesempatan seperti ini sungguh sulit didapatkan. Karena itu pergunakanlah kesempatan ini dengan sebaik-baiknya, lakukanlah perbuatan bajik yang akan memutus lingkaran dan putaran kesengsaraan lahir dan mati, dengannya kebebasan abadi bisa diperoleh”. Hanya kebajikanlah menjadi teman guna mencapai kebahagiaan dan kebebasan. Untuk mengupayakan dan menikmatinya tersedia empat kurikulum: jnanayoga, karmayoga, bhaktiyoga, dan rajayoga.
Keempat kerangka mantra mahardika itu, baik pengetahuan, perbuatan, pelayanan, maupun pengasingan mengajarkan prosedur-prosedur menikmati kebebasan melalui ‘penyatuan kembali’. Keempatnya tersebar dalam banyak kitab sesuai dengan versi dan porsinya. Misalnya, Weda mengutamakan mantra-mantra pemujaan, Upanisad mengutamakan pikiran teknis, dan Aranyaka mengutamakan sistem tindakan. Pendeta Weda, seperti Hoti melantunkan Rig Weda, menyanyikan lagu-lagu Tuhan untuk menghadirkan para dewa dalam pemujaan. Udgata melantunkan Sama Weda, menyanyikan pujian-pujian dalam musik yang manis untuk menghibur Tuhan. Adhvaryu melantunkan Yajur Weda, menampilkan keserasian yadnya dalam kode ritualistik yang tepat dan memberikan persembahan kepada Tuhan. Brahmana melantunkan Atharwa Weda, yang secara umum mengetahui dengan baik isi Weda.
Zaman Brahmana ditandai dengan munculnya beragam penafsiran atas Weda, antara lain berdasarkan karmakanda, upasanakanda, dan jnanakanda. Karmakanda menyatakan bahwa moksa dapat dicapai melalui upacara yadnya, seperti aturan-aturan upacara yadnya yang diuraikan dalam kitab-kitab Brahmana. Upasanakanda menyatakan bahwa moksa dapat dicapai melalui tapa, brata, yoga, dan samadhi, seperti prosedur pendengaran, pemikiran, dan meditasi yang diuraikan dalam kitab-kitab Aranyaka. Jnanakanda menyatakan bahwa moksa dapat dicapai melalui pengetahuan Brahman, seperti didiskusikan dalam kitab-kitab Upanisad. Zaman Upanisad kiranya, merupakan puncak perkembangan pemikiran Weda seiring dengan munculnya pemisahan yang tegas antara pengetahuan dan kebijaksanaan. Kebijaksanaan Upanisad menjaga nyala pengetahuan, agar tetap mengilhami manusia dan kehidupannya.    
Berbeda dengan lantunan Pendeta Weda, Mahaguru Upanisad yang mengutamakan filsafat teknis beranggapan bahwa proses berpikir lebih utama daripada simpulan. Upanisad mendiskusikan mantra-mantra mahardika melalui tiga pendekatan: dwaita, wisistadwaita, dan adwaita. Ketiganya berorientasi pada upaya membuka selubung Kebenaran atau Realitas Tertinggi. Diskusi tentang Kebebasan berlangsung dalam banyak kitab yang menurut Maharsi Panini terdapat 900 Upanisad. Zaman Upanisad memang merupakan priode penyelidikan yang bebas tentang Brahman sebagai Realitas Tertinggi dan Atman sebagai Diri Individu. Hubungan Guru dengan Murid berlangsung saling pengertian dan ramah, bahkan Murid memperoleh kebebasan berpikir dan berekspresi. Tujuan akhir Murid Upanisad adalah Kebebasan: “Aham Brahman Asmi”, ‘Aku adalah Brahman’.                        

Yadnya Mahardika
Kebebasan, ‘Aku adalah Brahman’, memang tujuan puncak dari diskusi mistik Upanisad. Malahan Rohit Mehta dalam Bertemu Tuhan dalam Diri mengatakan, “Sedang terjadi perubahan pemikiran religius dan filosofis tentang dunia mengarah dan mencari basis ilmu mistik (kebatinan). Ilmu mistik memberikan kedalaman pada pemahaman manusia dan menjadi kekuatan memperbarui peradaban”. Hanya saja tidak banyak orang berpikiran dewasa dan sanggup berdiskusi, seperti Guru dan Murid Upanisad. Ilmu mistik pun tidak melulu terdapat dalam diskusi eksklusif dan kontemplatif, tetapi juga pada persembahan menghadirkan dewa-dewi dalam tindakan sehingga menjadi perbuatan terpuji. Seperti Brhadarayanyaka mengumandangkan, “Punye vai punyena karmana bhawati papah papeneti”, ‘yang dipuji adalah karma’.  
‘Sesungguhnya yang menjadikan orang itu baik adalah perbuatannya yang baik sebaliknya, yang menjadikan orang itu berkeadaan buruk adalah perbuatannya yang buruk’. Searas dengan itu, juga Mimamsa mengajarkan dharma adalah upacara keagamaan Weda, kebajikan keagamaan, dan tuntunan kesusilaan. Dharma bagi karmakanda merupakan jalan Kebebasan yang sama nyamannya dengan jnanakanda dan upasanakanda. Apalagi Bhagawadgita menegaskan, “Jalan mana pun kau tempuh akan sampai padaKu”. Karmakanda mengapresiasi Dharma melalui upacara keagamaan, karena itu upacara yadnya menjadi Kewajiban yang membebaskan. Upacara yadnya adalah jalan ramai menuju sepi: Kemurnian, asal-muasal segalanya. Upacara yadnya melibatkan begitu banyak tempat, tindakan, sarana, alat, bunyi, dan suara berserta tata caranya.
Upacara yadnya tidak sempurna dilaksanakan sendirian. Ngotonin misalnya, sekurangnya melibatkan dua orang: yang satu memimpin upacara dan yang lainnya diupacarai. Keterlibatan semacam itu menyebabkan upacara yadnya mempunyai dimensi sosiologis. Dimensi ini semakin jelas pada upacara berskala besar melibatkan komunitas dan kelompok, seperti desa pakraman, banjar, dan sekaa-sekaa lainnya. Keterlibatan banyak orang pada upacara yadnya menampakkan beragama begitu sibuk, meriah, megah, dan mahal. Perhatikanlah kemegahan busana, kemeriahan upakara, keagungan kidung dan kekawin, gemuruh tetabuhan, dan gemulai wali mengiringi kemuliaan lantunan mantra pemujaan sulinggih. Semua itu adalah kewajiban yang memancarkan kegembiraan mistik dari cahaya tanggung jawab kepada alam dewata dan batin manusia.
Cahaya pengetahuan mistik semakin terang seiring dengan keterbatasan pengetahuan sain menuntaskan masalah kehidupan zaman modern. Berbeda dengan ketenangan berfilsafat, beragama begitu sibuk dalam pengabdian untuk mencapai ketenangan batin: pengetahuan mistik. Berfilsafat hanya membutuhkan pikiran dewasa, sedangkan beragama membutuhkan banyak sarana dan alat-alat demi ketertiban ibadah. Tingginya kebutuhan akan sarana dan alat-alat upacara yadnya disertai dengan kepadatan jadwal profesi telah menyebabkan rendahnya kemampuan memenuhi sendiri. Membeli rupanya, menjadi ‘jalan damai’ bagi orang-orang modern, karena itu upacara yadnya pun mempunyai dimensi ekonomis. Bukan hanya saat rehinan dan perayaan hari suci lainnya, bahkan distribusi sarana dan alat-alat upacara yadnya berlangsung besar-besaran setiap hari.
Media lokal, bahkan melaporkan data statistik tentang pengeluaran paling besar keluarga Hindu di Bali untuk kebutuhan upacara yadnya daripada kebutuhan lainnya. Ditegaskan, upacara yadnya menjadi penyumbang terbesar atas peningkatan angka kemiskinan di Bali. Saya pun sering jengkel bolak-balik dalam perjalanan karena dihadang Pecalang dengan papan bertuliskan: “Hati-hati Ada Upacara Agama”. Barangkali upacara yadnya, juga menjadi penyumbang cukup berarti atas peningkatan angka kemacetan lalu-lintas di Bali. Di balik kejengkelan itu, saya merasa bangga dan bersyukur. Bangga karena orang Bali melaksanakan kewajiban agama untuk mewujudkan tanggung jawab sradha-bhaktinya. Bersyukur karena orang Bali masih mengutamakan upacara yadnya untuk memenuhi kebutuhan rohani daripada materi.
Apalagi dalam dunia global manusia mengalami ketidakseimbangan perkembangan antara spiritual dan material. Malahan Radhakrishnan dalam Agama-Agama Timur dan Pemikiran Barat mengatakan, manusia mengalami perkembangan material yang menakjubkan bersamaan dengan penurunan kesadaran sosial, antara lain perkembangan terbatas dalam pengertian etika dan estetika. Untuk mendorong perkembangan etika dan estetika demi keseimbangan moral dan material itulah pentingnya membangun, mengembangkan, memberdayakan, dan melestarikan upacara yadnya. Bukan karena mempunyai peran transformatif dan motivatif bagi proses sosial, politik, ekomoni, dan kultural, bahkan karena upacara yadnya mempunyai peran utama mengejawantahkan dharma. Kewajiban agama yang memberikan kebebasan agama, karena itu yadnya mahardika merupakan suatu bentuk tanggung jawab agama.                

Membatinkan Mahardika
Agama memang mempunyai tanggung jawab menjaga keseimbangan rohani dan materi. Keseimbangan, bahkan merupakan pusat kekuatan, kesehatan, dan keselamatan. Kekuatan badan dirawat dengan memelihara keseimbangan unsur api, air, dan angin dalam badan. Kesehatan mental dirawat dengan menjaga keseimbangan pikiran, perasaan, dan kehendak dalam tubuh. Keselamatan jiwa dirawat dengan menjaga keseimbangan antara kekuatan badan dan kesehatan mental dalam kehidupan. Keseimbangan hidup inilah inti keadilan, kesatuan-seimbang antara pengetahuan, tindakan, pengabdian, dan penyangkalan. Keadilan berkarakter mahardika sehingga orang mahardika merasakan sama pada suka dan duka. Walaupun mempunyai pengetahuan Kebenaran, namun tetap melakukan perbuatan tanpa pamrih, bahkan menolak dunia, namun tetap melakukan pengabdian dan dedikasi.
Mengembangkan pengabdian kepada sesama manusia dan makhluk merupakan kewajiban dalam lingkup Manusa Yadnya. Menguatkan dedikasi dan rasa hormat kepada guru merupakan kewajiban dalam lingkup Rsi Yadnya. Menerima dan meneruskan tanggung jawab para leluhur merupakan kewajiban dalam lingkup Pitra Yadnya. Berlaku arif dan adil kepada alam merupakan kewajiban dalam lingkup Bhuta Yadnya. Mewarisi kekuatan dan sifat-sifat dewata merupakan kewajiban dalam lingkup Dewa Yadnya. Yadnya adalah kurban dan menjadi kewajiban karena yadnya hanya berkaitan dengan tanggung jawab (rna), bukan hasil. Tidak mengharapkan hasil, baik kini maupun nanti sehingga yadnya mewujudkan kebebasan. Keseimbangan kelima macam kewajiban ini diterangkan lebih mendalam dalam Panca Yadnya.
Keseimbangan kewajiban itulah yang menentukan dan membangun karakter mahardika. Pembangunan karakter lazim berlangsung secara berkesinambungan melalui pergaulan mendidik. Upaya ini mencerminkan usaha serius penuh kesungguhan secara tertib, teratur, dan berulangkali selama kehidupan. Pengulangan ini seiring dengan perubahan kewajiban yang melekat pada perkembangan tradisi masyarakat. Tradisi mengalami perubahan sepanjang masa melalui proses penciptaan dan penghancuran tatanan nilai hingga memunculkan kewajiban baru. Penyesuaian kewajiban sekaligus berarti adaptasi tanggung jawab karena karakter mahardika mengapresiasi kebebasan individu dan kemerdekaan sosial. Penyesuaian dan adaptasi semacam ini berlangsung terus-menerus sebagai proses penyempurnaan tatanan kehidupan untuk menjaga ketahanan tradisi itu sendiri. Begitulah tradisi membangun dan merawat mahardika.      

(Majalah Wartam edisi 29/2017)







BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...