Menanti Kebangkitan Generasi Emas Hindu
I W a y a n S u k a r m a
Generasi emas adalah manusia pembelajar, karena itu generasi emas Hindu adalah manusia pembelajar sepanjang hayat dalam kerangka agama Hindu. Inilah generasi susila, yaitu manusia yang berkeyakinan panca sraddha dan berkebiasaan panca yadnya. Menanti kebangkitannya tentu tidak bijak, bila hanya menunggu tanpa upaya: pendidikan. Selain melalui pendidikan formal dalam beragam jenis dan jenjang, juga dapat diupayakan melalui pendidikan sosial. Pendidikan sosial Hindu sekiranya, merupakan bidang yang sedang membutuhkan perhatian dan partisipasi banyak pihak termasuk Anda.
Emas, entah karena logam mulia atau standar keuangan dan moneter sehingga masyarakat dunia mengafirmasi emas sebagai ikon prestasi. Misalnya, piala emas untuk juara pertama dalam kejuaraan olahraga dan kaki emas untuk pemain sepak bola idola. Lebih daripada pencapaian, bahkan Bung Karno mengandaikan, “Kemerdekaan adalah jembatan emas”. Kemerdekaan sebagai semangat zaman, titik tolak melontarkan cita-cita bangsa, dan jalan lapang menuju masyarakat adil dan makmur. Seperti kondisi masyarakat yang pernah dicapai generasi masa lalu pada zaman kerajaan, sebagaimana sejarah melukiskan kejayaan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Masa kejayaan suatu pemerintahan itulah masa keemasan dan pemerintah beserta angkatan pendukungnya yang mencapai kejayaan disebut generasi emas.
Generasi emas memang pelaku sejarah yang mengantarkan bangsanya pada puncak pencapaian: kebenaran, kebaikan, dan kebahagiaan. Pelaku sejarah meliputi cendekiawan yang moralis dan seniman yang spiritualis, yaitu orang-orang yang cerdas, berkarakter, dan kompetitif. Mereka angkatan visioner yang optimis memandang masa depan bangsanya dengan penuh gairah: kreatif, inovatif, dan imajinatif. Mereka kaum terdidik yang rendah hati dengan tulus mengorbankan idolanya demi cita-cita bangsa. Kalau saja keberadaan mereka, seperti gambaran demografi Indonesia 2015-2035, tingginya tingkat populasi usia produktif, kita pun optimis akan kebangkitan Generasi Emas 2045. Artinya, anugerah usia produktif selalu menuntut tanggung jawab pendidikan. Tanpa tanggung jawab, barangkali anugerah dapat menjadi musibah.
Tanggung jawab itu sekaligus menunjukkan, menanti kebangkitan generasi emas Hindu tidak berarti menunggu kebangunan, mengharapkan keinsyafan, dan menyongsong kesadaran generasi emas Hindu secara pasif, seperti menunggu kedatangan penumpang di Terminal Bus. Melainkan seperti keuletan dan kesabaran Petani Bali menunggu musim panen. Petani hanya berharap dan menyongsong musim panen setelah menyelesaikan semua tahapan pekerjaan bertani. Setiap tahapan dikerjakan dengan serius dan sungguh-sungguh, bahkan memilih dewasa ayu, hari baik yang paling tepat mengerjakan. Sejak menyiapkan peralatan dan lahan, pembibitan dan penyemaian, perawatan dan pemeliharan hingga prosesi panen. Seperti pendidikan, bertani bukan sekadar menanam dan memanen, bahkan merefleksikan tanggung jawab tradisi dan agama.
Tradisi berisi simbol pencapaian generasi masa lalu yang melahirkan generasi masa kini, karena itu generasi masa kini memiliki tanggung jawab kepada generasi masa depan. Tanggung jawab tradisi mengalir terus-menerus dan berkesinambungan sepanjang masa sehingga tradisi menyediakan ruang untuk tumbuh, waktu untuk berkembang, dan tindakan untuk kebebasan. Pada prinsipnya pewarisan tradisi berlangsung melalui pendidikan, yaitu proses pembelajaran dan interaksi sosial. Keluarga misalnya, menyediakan lingkungan kondusif yang mendukung pertumbuhan anak, seperti kesehatan dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Keluarga memberikan kesempatan berkembang kepada anak melalui pendidikan dan pergaulan. Keluarga bertanggung jawab atas kebebasan anak melalui berbagai bentuk pembiasaan untuk mengembangkan kompetensi dan membangun karakternya.
Untuk mengemban tanggung jawab pendidikan tersebut keluarga perlu membangun jalinan kerja sama erat yang saling melengkapi antara tradisi dan agama. Apalagi tradisi merupakan bentuk ekspresif dari agama karena agama Hindu dipraktikkan melalui tradisi masyarakat pemeluknya. Umat Hindu Bali misalnya, tidak membedakan antara tradisi dan agamanya. Agama Hindu begitu larut dan luruh dalam tradisi Bali sehingga tidak mudah membedakan antara Hindu sebagai agama dan tradisi. Agama Hindu mengajarkan disiplin tindakan, sebagaimana tattwa, susila, dan acara membentuk kebiasaan hidup beragama. Beragama pun tidak hanya di tempat ibadah, tetapi setiap saat dan tempat. Inilah bentuk hubungan komplementer tradisi dan agama sebagai pendidikan sosial.
Upaya mempengaruhi dan mengembangkan sikap sosial itulah yang turut berperan membentuk generasi Hindu pada setiap masa, baik sebelum maupun setelah agama Hindu menjadi agama negara. Tradisi dan agama membekali setiap generasi dengan pengetahuan, sikap, dan keterampilan beserta beragam kecakapan. Kita pun mewarisi beragam ide, gagasan, dan ajaran yang sekiranya, berguna bagi kebangkitan generasi emas Hindu. Warisan itulah hutang budi terbesar generasi masa kini kepada generasi masa lalu yang harus dilunasi kepada generasi berikutnya. Misalnya, formulasi agama Hindu dan kalender Bali beserta sistem pengetahuan dan keterampilan tradisional lainnya yang sesungguhnya telah merangkum seluruh kemampuan dan kesanggupan manusia serta tujuan ideal dunia-kehidupan.
Aturan dan prosedur membayar hutang budi rupanya, memaksa generasi masa kini meneruskan warisan pencapaian generasi masa lalu kepada generasi berikutnya. Hanya begitulah cara yang dapat digunakan dan jalan yang dapat ditempuh ketika menanti kebangkitan generasi emas Hindu. Cara yang serius dan sungguh-sungguh itulah metode pembelajaran dan jalan yang hendak ditempuh itulah kurikulumnya, seperti pewarisan nilai budaya senantiasa melalui pembelajaran. Dalam rangka itulah masyarakat membutuhkan pendidikan: “Usaha sadar mewujudkan suana belajar dan proses pembelajaran; mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa; berkembangnya potensi peserta didik agar beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, demokrasi, mandiri, dan bertanggung jawab”.
Cukilan rumusan, fungsi, dan tujuan pendidikan menurut Sistem Pendidikan Nasional itu sekiranya, dapat menjadi pijakan bagi upaya mempengaruhi dan mengarahkan proses perubahan sosial masyarakat Hindu. Kalau mengacu tujuan pendidikan nasional, generasi emas Hindu yang kita nantikan adalah manusia beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, demokrasi, mandiri, dan bertanggung jawab. Sederhananya, generasi emas Hindu adalah generasi susila yang berkeyakinan panca sraddha dan berkebiasaan panca yadnya. Keyakinan adalah puncak berpikir menuntun dan mengembangkan potensi bawaan lahir. Kebiasaan adalah puncak bertindak membimbing dan membentuk kompetensi dasar. Barangkali perpaduan antara keyakinan dan kebiasaan itu dapat menjadi inti kurikulum pendidikan sosial Hindu.
Relevansi pengembangan pendidikan sosial berkenaan dengan perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung begitu cepat, bahkan mencakup banyak aspek dan unsurnya. Situasi pikiran dan suasana batin memang selalu berubah, bahkan bentuk dan arahnya tidak mudah ditebak. Begitulah perubahan menandai dunia-kehidupan, seperti putaran roda kendaraan yang sedang melaju di jalan raya. Dalam rangka menjaga stabilitas putarannya dan roda kehidupan tetap berputar pada porosnya, kita perlu mengembangkan wawasan sadar budaya. Wawasan ini semacam landasan dan cara pandang atas perubahan kehidupan yang mendorong munculnya kekuatan kolektif untuk mempertahankan poros kehidupan: inti kebudayaan. Inti kebudayaan itulah kehidupan rohani: rasagama buditepet sebagai penyangga berbagai bentuk perubahan.
Tanggung jawab pengembangannya dipikul bersama oleh lembaga-lembaga Hindu. Selain keluarga, institusi sosial tradisional, dan sekaa fungsional lainnya, juga organisasi mahasiswa, kepemudaan, dan wanita termasuk pasraman dan yayasan terutama parisada. Apalagi kenyatannya, lembaga-lembaga tersebut mempunyai peran dan fungsi pendidikan sosial, bahkan sudah menjalankannya dalam rangka memupuk dan mengembangkan kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berkenaan dengan itu, kita membutuhkan kerja sama harmonis, baik inter maupun antarlembaga untuk meningkatkan produktivitas. Majalah Wartam misalnya, berupaya meningkatkan keterampilan jurnalistik melalui beragam kegiatan, antara lain Worshop Jurnalistik Hindu, Klinik Jurnalistik Hindu, Wiwit (Wartam Winning Team Traning), Dimahi (Debat Intelektual Mahasiswa Hindu), dan Talksow Bintang Tiga.
Kegiatan tersebut merupakan wujud tanggung jawab Majalah Wartam mengenai pengembangan pendidikan sosial Hindu. Dalam proses pembelajarannya generasi muda didorong mengembangkan naluri jurnalistiknya, yaitu rasa ingin tahu (seperti melalui tema, “buka mata mengungkap makna dan buka mata menuntun jiwa”). Melihat, mendenar, bertanya, dan melakukan memang metode pembelajaran yang dikembangkan lembaga-lembaga pendidikan. Keempat metode tersebut, juga dikembangkan dalam Klinik Jurnalistik Hindu dalam rangka mengumpulkan, mengorganisir, dan menyebarkan informasi terutama untuk mengembangkan kepekaan sosial. Kepekaan yang melandasi pengembangan kesadaran sosial dalam rangka membutuk sikap dan tanggung jawab sosial. Harapan terbesarnya, generasi muda tetap kuat menjaga identitas dan jati dirinya dalam rimba pergaulan global.
Model pendidikan sosial semacam itu barangkali dapat dilaksanakan oleh lembaga-lembaga sosial Hindu lainnya, seperti Sekaa Teruna, Mahayowana, dan Peradah. Peradah pernah melaksanakan “Pendalaman Sraddha” dan “Pendidikan Kepemimpinan Hindu” – dikatakan pernah karena kegiatan tersebut tidak terdengar lagi. Padahal pendalaman sraddha, kegiatan yang melibatkan lembaga agama dan adat itu penting bagi kebangkitan generasi emas Hindu. Sraddha, baik sebagai keyakinan maupun kepercayaan adalah inti kepribadian. Bhagawadgita menegaskan, “Begitu sraddhamu, begitulah dirimu”. Untuk membentuk dan menguatkan integritas kepribadian itulah, kita membutuhkan pendidikan sosial, selain untuk melengkapi pendidikan formal. Upaya Banjar dan Desa Pakraman misalnya, membentuk kepribadian kramanya melalui ajaran Siwasidhanta dan Tri Hita Karana.
Ajaran Siwasidhanta disosialisasikan melalui Kahyangan Tiga dan Tri Hita Karana menjadi batang tubuh awig-awig. Kahyangan Tiga menyampaikan pesan tentang hubungan harmonis antara Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Pencipta, pemelihara, dan pelebur memang harus harmonis karena kelebihan dan kekurangan bukan tujuan hidup. Tri Hita Karana menyampaikan pesan tentang hubungan harmonis manusia dengan sesama, alam, dan Tuhan. Ketika salah satu mendominasi hubungan, kekacauan pun segera tampak ke permukaan dunia-kehidupan. Intinya kehidupan adalah hubungan dan tugas kita adalah memelihara hubungan itu tetap harmonis. Memelihara hubungan harmonis tidak melalu persoalan kuantitas, tetapi juga masalah kualitas hubungan, seperti kemesraan keluarga mempengaruhi ketertiban sosial.
“Keluarga Siwa” misalnya, dalam mitologi dikisahkan bahwa Dewa Siwa beristri Dewi Uma memiliki tiga putra, yaitu Ghana, Kala, dan Kumara. Ghana menguasai ruang, Kala menguasai waktu, dan Kumara menguasai tindakan. Begitulah ruang tercipta ketika badan dan jiwa bersatu, waktu tercipta setelah badan berpikir, dan tindakan muncul setelah badan dibatasi. Ketiganya adalah kekuatan yang mengikat keberadaan. Kekuatan ruang dapat dipahami melalui upacara mecaru misalnya, menggunakan bendera Putih, Merah, Kuning, dan Hitam. Itulah warna empat penjuru sebagai simbol kecerdasan, kreativitas, kewibawaan, dan kekuasan. Itu sebabnya, tradisi dan agama mengajarkan berpikir dengan pertimbangan penjuru, bukan hanya berharap pikiran baik datang dari segala penjuru.
Hubungan antara kekuatan waktu dan tindakan dapat ditelusuri dalam Kalatattwa, Kalapurana, dan dalam pewayangan melalui lakon Sapuleger. Dikisahkan, atas aturan dan prosedur makan dari Dewa Brahma dan atas perkenan Dewa Siwa, Sanghyang Kala pun mengejar Sanghyang Kumara hendak memakannya. Untuk menghindar dari kejaran Kala, Kumara berlari dan bersembunyi di berbagai tempat hingga Dewa Siwa mendamaikannya tepat pada siang hari. Begitulah waktu mendorong tindakan muncul, bahkan sesuai dengan kondisi tempatnya. Kerja sama waktu dan tindakan itulah hukum alam. “Walaupun untuk sesaat tidak seorangpun mampu untuk tidak berbuat, karena setiap manusia dibuat tidak berdaya oleh hukum alam yang memaksanya bertindak” (Bhagawadgita, III.5).
Hukum alam memang memaksa manusia bertindak, tetapi demi harmoni kehidupan kemudian, tindakan diatur kembali sesuai dengan situasi dan suasana tempat (Sanghyang Kumara bersembunyi). “Berlari” dan “tempat bersembunyi” melukiskan pembagian waktu menurut ruang dan tindakan beserta suasana nilai yang menyertainya. Pembagian waktu menurut ruang dan tindakan, bahkan menyebabkan prinsip-prinsip alam dan nilai budaya tampak bertentangan. Bukan hanya bertentangan, bahkan kelihatan saling meniadakan, seperti Sanghyang Kala hendak memangsa Sanghyang Kumara. Tampaklah Rta dan Dharma tidak mesti dipertentangkan, tetapi harus saling melengkapi. Upaya memadukan Rta dan Dharma inilah melahirkan wariga untuk menentukan ala-ayuning dewasa: menentukan kebenaran sebagai titik awal mulainya kebaikan menuju kebahagian.
Prinsip tersebut dapat diterapkan untuk mengarahkan proses perubahan sosial dan budaya sebagai upaya membentuk sikap dan tanggung jawab sosial. Setelah berkenalan dengan Ghana, Kala, dan Kumara selanjutnya, generasi susila dapat meneruskan langkah memasuki keheningan Dewi Uma untuk menerima anugerah-sabda Dewa Siwa. Kasih Siwa dilukiskan sebagai gejolak cinta: idealisme dan materialisme. Untuk memahaminya Bhagawadgita menyarankan melalui yadnya. “Tuhan setelah menciptakan manusia melalui yajna berkata: dengan ini engkau akan berkembang, sebagaimana sapi perah yang memenuhi keinginanmu”. Artinya, manusia berkembang karena keinginan dan keinginan yang paling mulia adalah memberi. Itulah yadnya, bahkan Bhagawadgita menegaskan, “dengan saling memberi engkau akan memperoleh kebajikan paling utama”.
Generasi susila itu kaum pemberi, bukan peminta. Memberi maaf, pertolongan, dan derma. Memaafkan merupakan cara indah bersyukur karena tidak berbuat salah dan dosa. Menolong menjadi cara mulia bersyukur karena tidak tertimpa penderitaaan, kesengsaraan, dan kemalangan lainnya. Berderma pun merupakan cara mulia beryukur karena tidak merasa papa dan miskin. Bersyukur memang cara berbagi, tanpa membagi. Itulah bentuk yadnya paling sederhana, yakni cara mulia mencapai kebajikan utama: Kemurnian Diri. Hanya orang-orang yang sudah murni tidak lagi mempunyai beban hidup yang mesti dipikul atau harus ditanggalkan. Mereka begitu mudah melupakan cita-cita pribadi demi cita-cita bangsanya. Mereka adalah orang-orang berjiwa besar, penyelamat, dan dermawan.
Membentuk generasi susila berkualitas sraddha dan yadnya memang bukan upaya mudah, seperti sudah dijelaskan membutuhkan kerja sama harmonis banyak pihak melalui pendidikan sosial. Struktur formalnya sebagai suatu sistem pendidikan yang komprehensip kita abaikan saja dahulu. Intinya pendidikan sosial Hindu mengembangkan keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, keselamatan Jiwa, akibat dari perbuatan, kelahiran kembali, dan terhentinya kelahiran. Selain itu, juga mengembangkan kebiasaan membangun interaksi hamonis dengan Tuhan Yang Maha Esa dan segala manifestasiNya, bhatara-bhatari leluhur, para guru bijaksana, alam dalam segala wujudnya, dan sesama manusia dan makhluk. Dari sini kita optimis menyongsong generasi yang berbudi luhur dan berakhlak mulia.
Pendidikan sosial memang mengutamakan pengembangan budi dan akhlak, selain kecerdasan dan keunggulan manusia yang lainnya. Kecerdasan dan keunggulan manusia, tanpa budi dan akhlak tidak banyak berguna bagi kehidupan. Kenyataannya, manusia cerdas dan unggul sudah banyak menciptakan kemajuan pada banyak bidang kehidupan. Hanya saja kemajuan itu cenderung membuat bidang-bidang kehidupan saling memperalat, memanfaatkan, dan mengintervensi. Misalnya, semakin kaburnya batas bidang kehidupan religius dan nonreligius. Agama misalnya, menjadi komoditas meriah untuk memperoleh keuntungan ekonomi, bahkan menjadi alat efektif untuk menangani kepentingan politik dan kekuasaan. Silang-sengkarut bidang-bidang kehidupan itu menunjukkan pentingnya kemampuan mengelola naluri. Apalagi manusia memang bukan kumpulan naluri saling memangsa sesama.
Untuk mengelola naluri, pendidikan sosial wajib mengembangkan kecerdasan dan keunggulan manusia. Bila naluri dikelola berdasarkan budi dan akhlak, generasi susila pun memiliki kecerdasan dan keunggulan yang holistik dan komprehensip meliputi intelektual, emosional, sosial, kinestetika, dan spiritual. Generasi susila yang cerdas ditandai dengan daya kritis, kreatif, inovatif, dan imajinatif; sensitif dan apresiatif; empatik dan simpatik; sehat dan terampil; serta beriman dan bertaqwa. Kecerdasan ini menjadi daya pendukung mewujudkan generasi susila yang berdaya saing ditandai dengan integritas kepribadian; berkarakter dan semangat; mandiri dan bertanggung jawab; membangun persabatan dan koneksi sosial; produktif dan sadar mutu; serta pembelajar. Manusia pembelajar itulah idola pendidikan sosial.
:
Bumi Rumah Kita
Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam I W a y a n S u k a r m a Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...
Cari Blog Ini
Arsip Blog
Popular Posts
-
SISTEM PENGOBATAN USADA BALI A.A. Ngr Anom Kumbara Pen gantar Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manu...
-
BRAHMAVIDYA DALAM BHUANA KOSA Oleh I Wayan Sukarma Abstrak Bhuana Kosa adalah lontar yang paling tua dalam kelompok lontar-lontar Siwaistik....
-
PERKEMBANGAN SHIWA-BUDDHA DI INDIA DAN INDONESIA (Pendekatan Ilmu Sejarah) Prof. D.Litt...
-
TATTWA JNÀNA: KAJIAN TERHADAP STRUKTUR I Wayan Suka Yasa 1. Pendahuluan “Candi pustaka” yang menjadi kepustakaan Hindu Bali...
-
REINKARNASI Wacana Surga-Bumi-Neraka I Wayan Suka Yasa Abstrak Keyakinan manusia pada reinkarnasi mungkin lebih tua dari se...
Tentang Penulis
Nama: I Wayan Sukarma
Email: putraghanes58@gmail.com