Ibu, Kelembutan yang Perkasa
I Wayan Sukarma
“Wanita”,
kata paling indah di antara kata-kata. Apalagi bagi kaum pria, wanita adalah
pujaan hati. Bukan hanya kaum perkasa, bahkan karena wanita memang mudah menarik
perhatian sehingga banyak mata menatapnya, seperti seni, filsafat, ilmu, bahkan
agama. Seniman begitu “liar” (baca: melampuai batas akal-budi) menggambarkan
wanita, baik dalam wilayah kenormalan maupun ketidaknormalan sehingga melahirkan
karya-karya hiper-realistis, fantastis, dan imajiner. Filosof melukiskan wanita
dengan beraneka argumentasi dalam upayanya memperdebatkan kemapanan keberadaan,
pengetahuan, dan nilai wanita – baik etis maupun estetis. Ilmuwan mendeskripsikan
wanita dalam beragam sudut pandang, seperti status, gender, feminisme, dan emansipasi.
Kemudian, agamawan memperlakukan wanita dengan penuh hikmat dan hormat, seperti
upacara yadnya di Bali barangkali tak
sempurna tanpa kehadiran wanita, bahkan wanita lebih banyak menemukan dimensi kesucian
dan kemuliaannya dalam agama. Agama Hindu misalnya, memahami wanita adalah
dewi, sisi aktif dewa disebut Shakti. Shakti
sebagai aspek feminin yang aktif adalah istri, karena itu dewi adalah ibu.
“Ibu”, lagu
paling merdu di antara lagu-lagu. Apalagi bagi ayah terutama anak, ibu adalah belahan
jiwa. Entah dipanggil ataupun memanggil, kata “ibu” selalu kedengaran merdu, sesyahdu
lantunan doa-doa rahayu. Kerahayuan keluarga, masyarakat, dan bangsa, seperti disimbolkan
kata “ibu jari”, “ibu rumah tangga”, “ibu suri”, “ibu negara”, “ibu kota”, “ibu
pertiwi”, dan “ibu alam”. Kata bentukan dari kata “ibu” ini jelas menyiratkan kelembutan
sekaligus kekuatan ibu. Selembut kodrat keperempuanan dan sekuat harkat kewanitaan,
bahkan kekeluargaan. Seperti kelembutan peran ibu rumah tangga dalam keluarga dan
kekuatan fungsi ibu kota sebagai pusat pemerintahan. Kekuatan ibu alam memeluk erat
semua makhluk sehingga kepadanya semua makhluk mengikatkan hidup. Kelembutan ibu
pertiwi, tanah, palemahan mewadahi kebutuhan
dan keperluan hidup sehingga kepadanya semua makhluk menggantungkan kehidupan. Hakikat
keterikatan dan kodrat ketergantungan ini barangkali menyebabkan ibu tidak mudah
melepaskan diri dari anak. Selain mempererat ikatannya dengan doa-doa rahayu dan
melindunginya dengan cita-cita mulia, agar anak berbahagia.
Ikatan ibu
alam dengan makhluk misalnya, diceritakan dalam Sankhya bahwa ibu disebut
Prakerti dan ayah dipanggil Purusa. Ibu begitu tenang ketika kekuatan ketiga sifat
hakikinya seimbang, ketiga guna-ibu
sama kuatnya. Kodrat ibu, seperti umumnya wanita mempunyai kekuatan mempesona pria,
ibu pun mempunyai kekuatan mempesona ayah. Pesona yang dapat memancarkan seberkas
cahaya cinta. Ketika ayah menyambut pesona cinta ibu, sebagaimana hakikat cinta
adalah ikatan dan kesatuan, mereka pun bertemu dan terikat menjadi satu. Penyatuan
inilah yang menyebabkan ketenangan ibu terganggu dan goyah karena kekuatan ketiga
sifatnya tidak lagi seimbang. Mula-mula sifat terangnya yang dominan daripada
sifat gerak dan gelapnya. Perubahan kekuatan sifat hakiki ibu ini menandai ikatannya
dengan ayah semakin erat. Ikatan yang menjerat ayah menjadi jiwa individu sekaligus
mendorong ibu mengubah diri. Mulailah ibu melahirkan ide-ide hingga nama-rupa, seperti
kesadaran, keakuan, pikiran, lima indra, lima alat berbuat, lima unsur bendani
hingga terjadilah alam semesta beserta isinya termasuk makhluk.
Makhluk yang
dilahirkan ibu alam selanjutnya, dijaga dan dirawat keberadaannya dalam
rangkulan ibu pertiwi. Ibu pertiwi sebagai tanah melahirkan tanah air, tanah
tumpah darah – kota, negeri tempat kelahiran. Ibu pertiwi sebagai palemahan melahirkan ruang, baik fisikal,
sosial maupun kultural. Ruang yang dilokalisir menjadi ruangan dan/atau
lingkungan mewadahi gagasan, wawasan, dan tindakan. Kenyataannya, tanah mewadahi
kebutuhan hidup dan keperluan kehidupan semua makhluk dalam rangka pertumbuhan
dan perkembangannya. Kebutuhan, berupa makanan misalnya, turut serta membentuk watak
dan sifat makhluk, bahkan mempengaruhi pembangunan karakternya. Ini sebabnya, jargon
yang mengatakan, “dirimu adalah makananmu”, bukanlah ungkapan kosong. Jenis tanah
tertentu pun hanya cocok untuk tanaman tertentu, seperti pemanfaatan sawah,
ladang, dan perkebunan. Malahan tanah tertentu membentuk manusia dengan watak
dan sifat tertentu, seperti tanah Jawa melahirkan manusia Jawa menjadi suku
Jawa dan tanah Bali melahirkan manusia Bali menjadi suku Bali. Begitulah penggolongan
manusia berdasarkan geografis sesungguhnya tidak lepas dari aspek makanan.
Makanan,
baik langsung maupun tidak dari tanah kualitasnya tergantung pada ibu. Dalam kesehariannya,
seorang ibu hanya didukung dua tangan. Dua tangan ibu mampu menyiapkan bermacam-macam
makanan untuk keluarga, bahkan masyarakat. Kemampuan ibu ini barangkali menginspirasi
munculnya studi khusus tentang upaya memuaskan nafsu dan selera makan. Nafsu-selera
yang telah mendorong kemunculan rumah makan dengan beranekaragam menu-masakan. Padahal
ibu menyiapkan makanan karena senang melihat anaknya tumbuh kuat dan berkembang
sehat, yaitu satu syarat menjadi keluarga sejahtera. Suatu keluarga yang
diidolakan dan dicita-citakan lewat Program Keluarga Berencana. Anggapannya, keluarga
sejahtera adalah pilar masyarakat bahagia. Barangkali anggapan serupa menginspirasi
ibu rumah tangga di Bali menasehati putrinya, “geg, malajah malu ngae titisan,
mara nyen dadi nganten”. Nasehat ini berkaitan dengan kebiasaan mereka menyediakan
makanan kepada tamu dan masyarakat. Kebiasaan, “maweh mangan ring wong len” ini adalah inti dari manusa yadnya, pelayanan kepada sesama.
Selain
mampu menyiapkan makanan, juga dua tangan ibu sanggup menjaga banyak anak,
bahkan saat bersamaan. Bersyukurlah setiap orang lahir dari satu orang ibu
sehingga tidak mempunyai banyak ibu karena kenyataannya sejumlah anak belum
tentu mampu menjaga satu orang ibu. Padahal dengan mengacungkan kedua ibu jari
tangannya pun tidak cukup untuk memuji kehebatan ibu menjaga anak, apalagi doa-doa
dan cita-cita seorang ibu bagi anak. Doa-doa rahayu dan cita-cita mulia ibu merupakan
anugerah kenyamanan dan keselamatan. Kenyamanan bertahan dalam kehidupan – yang
belum tentu semuanya menyenangkan – karena belaian dua tangan ibu dapat menyembuhkan
luka dan sakit hati. Keselamatan menjalakan kehidupan – yang belum tentu semuanya
membanggakan – karena pelukan dua tangan
ibu dapat membangkitkan dari keterpurukan. Sakit hati dan keterpurukan adalah
dua macam pederitaan yang tidak mudah dientaskan, bahkan dapat menimbulkan keputusasaan
dan menyebabkan kegagalan. Bersyukur dua tangan ibu dapat melindungi, bahkan dengan
dua tangannya, ibu melindungi dirinya sendiri.
Ibu adalah
wanita yang begitu lembut, tetapi sanggup mengatasi banyak hal luar biasa. Mahabharata misalnya, epos yang begitu cemerlang
menceritakan kelembutan dan keluarbiasaan seorang ibu, Dewi Kunti. Dengan
kesucian kewanitaannya, Kunti sanggup mempesona anugerah dewata sehingga mampu
mengembangkan diri melebihi suaminya, Pandu. Anugerah dewata yang memberikannya
kesanggupan mengembangkan diri melalui tiga orang putra, yaitu Yudistira, Bima,
dan Arjuna. Kunti adalah ibu yang rendah hati karena merasa tidak sempurna, tidak mementingkan diri sendiri, dan
bukan wanita egois. Kemurahan hatinya membagikan anugerah dewata kepada Dewi Madri memberikannya
dua orang putra, Nakula dan Sahadewa. Bersama kelima putranya, Panca Pandawa, Kunti
digambarkan sebagai ibu yang mampu mengatasi beban, bahkan melebihi kemampuan suaminya,
Raja Hastinapura. Kunti tidak hanya mampu berpikir tentang kebenaran, tetapi
juga sanggup bernegosiasi mengenai kebaikan, bahkan dengan senang hati menerima
kebaikan yang lebih baik. Kunti sanggup melawan ketidakadilan, bahkan tidak
menolak bila menemukan keadilan yang lebih adil.
Kesanggupan
tersebut menunjukkan bahwa Kunti adalah wanita lembut dan kuat. Kelembutan yang
memberikannya ketenangan dan kekuatan memberikannya keberanian. Ketenangan-Yudistira
tidak pernah goyah dari kebenaran dan senantiasa tegak di puncak kebaikan.
Kekuatan-Bima tidak pernah lelah mengagumi dan menjunjung kehormatan.
Keberanian-Arjuna tidak pernah takut mengarungi keluasan dan kedalaman samudera
kecerdasan. Ketenangan, kekuatan, dan keberanian ini mengantarkan ibu Kunti meraih
Keindahan-Nakula dan Kebijaksanaan-Sahadewa. Lima permata dewata asuhan ibu
Kunti lebih lanjut, diasah dengan kelembutan dan ketulusan Drupadi, Putri Raja Pancala.
Lima bersaudara asuhan-cinta seorang ibu dan asahan-cinta seorang istri ini dengan
penuh heroik sanggup melawan ketidakadilan. Panca Pandawa berhasil memenangkan
Bharatayudha dengan mengalahkan Seratus Kurawa, putra-putri Gandari. Inilah kemenangan
dharma dalam bentuk dharma-putra (kewajiban anak kepada ibu)
dan dharma-suami (kewajiban suami
kepada istri). Kewajiban anak adalah memelihara kemuliaan ibu dan kewajiban
suami adalah menjaga kehormatan istri. Kehormatan dan kemuliaan yang kelak mengantarkan
Drupadi menjadi Ratu dan Ibu Suri Hastinapura.
Kunti adalah
gambaran seorang ibu yang mampu menyimpan kesedihan sekaligus kegembiraan untuk
dirinya sendiri. Kehidupan yang tidak semuanya mudah dan sederhana membuatnya semakin
sabar. Dia sanggup tersenyum saat hatinya menjerit ketika kelima putra berserta
menantunya diusir keluar istana, hidup di hutan, dan dalam persembunyian. Dia sanggup
bergembira saat menangis ketika putranya difitnah, ditipu, dan diperdaya. Dia menangis
saat terharu ketika putranya meraih prestasi, pujian, dan kebanggaan. Dia pun sanggup
tertawa saat ketakutan ketika putra dan cucunya bertempur di medan pertempuran.
Pengalamanan ini, bahkan diperolehnya bersama kelima putranya dalam pengasingan
dan persembunyian dari ketakadilan kehidupan. Dia rela mengorbankan diri demi suami
yang dicintai dan tulus menerjunkan diri untuk keluarga, bahkan saat istana
menolaknya. Cinta Kunti tanpa syarat, karena itu ketika meneteskan dia air mata,
bukan karena dia rapuh dan kelelahan. Air matanya adalah cara ibu Kunti mengekspresikan
kegembiraan, kebanggaan, kekaguman, keharuan, dan kecintaan termasuk kegalauan
dan kesepian. Kunti menangis ketika kelima putranya berhasil menjadi pemenang.
Teladan lain
tentang ketangguhan dan kegigihan wanita pelaku sejarah diceritakan Mary L.
Davis dalam buku Lima Tokoh Wanita Yang
Mengubah Sejarah (1984). Davis menceritakan kehebatan Eleanor Aquitaine (1122—1204),
Ratu Perancis dan Ratu Inggris adalah kekuatan di belakang singgasana mempengaruhi
pemerintahan empat orang raja serta dua orang suami dan dua orang anaknya. Ketangguhan
Isabella Spanyol (1451—1504), Ratu Katolik dijuluki “Ratu Perang” adalah wanita
religius sekaligus pejuang gigih yang berhasil menyatukan Spanyol. Kegigihan Elizabeth
I (1533—1603), Ratu Inggris, di bawah pemerintahannya Inggris menjadi negara
paling kaya dan bangsa paling kuat di dunia. Ketahanan Marie Antoinette
(1755—1793), Ratu Perancis yang dijuluki “Madame Deficit”, hidup glamour, menjadi “gadis desa”, Revolusi
Perancis mengirimnya ke penjara dan mesin guillotine.
Kebijaksanaan Catherine Yang Agung (1729—1796), putri Jerman terkenal di Eropa;
menjadi maharatu penguasa seluruh Rusia; menyerukan kemerdekaan, keadilan, dan
persamaan; pemerintah teladan; dan seorang ibu yang penuh kebajikan bagi
rakyatnya.
Begitulah
kelembutan dan kekuatan wanita yang dipanggil ibu. Kelembutan yang memancar
dari kemuliaannya dan kekuatan yang memendar dari kehormatannya. Cahaya yang mencerahi
kebiasaannya sehari-hari. Kebiasaan yang membentuk kepekaaan berbagi empati
sehingga ibu bersorak riang saat kawan-kawannya tertawa. Ibu begitu berbahagia
mendengar kelahiran, yakni pengalaman yang membuatnya menjerit kesakitan. Hatinya
sedih saat mendengar kabar sakit dan kematian karena darinya benih kehidupan dimulai.
Ibu selalu mempunyai kekuatan lebih untuk mengatasi masalah kehidupan karena
dia suka menyimpan pendapat untuk dirinya sendiri. Ciuman-kasih dan pelukan-sayangnya
mujarab menyembuhkan luka dan sakit hati keluarga. Ibu ikhlas melepaskan satu tradisi
dan tulus terikat pada tradisi lainnya. Sisi keras kehidupan telah membentuknya
menjadi lembut dan begitu kuat. Namun ibu tetaplah seorang wanita, seperti
umumnya manusia mempunyai kelemahan. Satu kelemahan ibu adalah melupakan betapa
berharganya dirinya, baik bagi keluarga, masyarakat, maupun bangsa. Ibu lupa karena
ingatan mengenai dirinya seringkali hanyut bersama arus perubahan sosial dan dilibas
transformasi budaya. Ini sebabnya, ibu perlu diingatkan dan ingatkanlah dia, setidaknya
setiap 22 Desember pada hari Ibu.