Nyepi Meretas
Kritis
Oleh
I Wayan
Sukarma
Nyepi itu hari suci agama Hindu. Umat
Hindu merayakannya setiap Pananggal Ping Pisan, Sasih Kedasa (eka sukla paksa waisak) atau sehari
setelah Tilem Sasih Kesanga (panca dasi
krsna paksa caitra). Perayaan Nyepi merujuk pada buku Negara Kertagama, Lontar Sundarigama,
dan
Sanghyang Aji Swamandala. Disebutkan, pada Pananggal Ping Pisan,
Sasih Kedasa, Tahun 78 Masehi merupakan hari penobatan Raja Kaniskha I Dinasti Kuniskha, suku Saka. Pananggal penobatan ini menandai mulainya
Tahun Saka. Kemudian, pananggal penobatan
ini diperingati menjadi pergantian Tahun Saka. Dengan begitu, Tilem Kasanga
menjadi pertemuan antara akhir dan awal tahun baru Saka. Artinya, Tilem Sasih Kesanga,
20 Maret 2015 umat Hindu memperingati akhir Tahun Saka 1936, sedangkan Pananggal
Ping Pisan Sasih Kedasa, 21 Maret 2015 merayakan awal Tahun Saka 1937.
Pertemuan awal dengan akhir masa yang
menandai pergantian waktu adalah masa kritis. Pengalaman menunjukkan, masa
kritis cenderung menimbulkan masalah. Masa kritis dapat terjadi dalam kehidupan
individu dan masyarakat, bahkan bisa berlangsung dalam lingkungan, seperti parhyangan, pawongan, dan palemahan. Psikologi
perkembangan menjelaskan bahwa masa kritis dialami individu dalam pertumbuhan menjelang
masa kanak-kanak, anak-anak, remaja, dewasa, dan tua. Masa kritis tidak hanya
menandai perubahan fisikal saja, tetapi juga menyangkut kejiwaan. Ngeraja Singa
dan Sewala misalnya, upacara manusa
yadnya yang tidak hanya menandai perubahan remaja menjelang masa puber, adolesen, dan dewasa, tetapi juga
merupakan upaya mengatasi masalah pertumbuhan dan perkembangan yang mungkin ditimbulkan
pada masa kritis. Prinsip perubahan dan masa kritis yang dialami individu, juga
berlangsung dalam jagat raya yang membawa serta pengaruhnya terhadap kehidupan
manusia. Jagat raya mengalami perubahan dan masa kritis misalnya, ditandai dengan
perubahan posisi terbit dan terbenamnya Matahari dan Bulan.
Perubahan posisi terbit dan terbenamnya
Matahari dan Bulan misalnya, melahirkan Tahun Surya dan Tahun Candra. Tahun
Surya menggambarkan peredaran Bumi mengelilingi Matahari (selama 365/366 hari).
Tahun Candra menggambarkan peredaran Bulan mengelilingi Bumi (selama 354/355
hari). Tahun Candra terdiri atas dua belas Masa atau Sasih, yaitu Kasa, Karo,
Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kawolu, Kasanga, Kadasa, Desta, dan Sada.
Peredaran Bumi bersama Bulan mengelilingi Matahari menyebabkan munculnya
Purnama dan Tilem. Pertemuan antara Tilem dan Sasih Kasanga – saat Matahari,
Bulan, dan Bumi berada pada satu garis lurus di atas Katulistiwa – inilah akhir
Tahun Saka. Besoknya, Pananggal Ping Pisan mulailah tahun baru Saka. Perayaan
tahun baru Saka inilah disebut Nyepi. Perayaan yang dipahami menjadi upaya
meretas masalah karena masa kritis, yaitu membersihkan kehidupan-material dan
menyucikan hidup-rohaniah.
Perayaan Nyepi sebagai upaya meretas masalah
kehidupan karena masa kritis berdiri di atas tiga prinsip keyakinan. Pertama, bahwa dunia-kehidupan mengalami
perubahan yang dapat menimbulkan masa kritis. Kedua, bahwa masa kritis memiliki kecenderungan akan menimbulkan
masalah kehidupan. Ketiga, bahwa masalah
kehidupan yang timbul karena masa kritis dapat diretas dan dipecahkan melalui
Nyepi. Masa kritis, seperti disebutkan di atas terjadi pada setiap pergatian
masa. Memang tidak semua masa kritis menimbulkan masalah, tetapi sebagian besar
masalah kehidupan yang dialami manusia karena masa kritis. Misalnya, kepercayaan
tentang ila-ila dahat pada saat sandikala,
sandikaon, dan tengai tepet merupakan gambaran tentang bahaya masa kritis dalam keseharian
orang Bali. Pergantian wuku,
pergantian musim hujan dan kemarau, pergantian sasih, dan pergantian tahun merupakan masa kritis. Masalah kehidupan
yang mungkin timbul karena masa kritis yang dapat diretas melalui Nyepi, seperti
melunturnya sradha dan bhakti, merosotnya moralitas, pengabaian
kemanusiaan, dan ketakadilan kepada alam.
Perayaan Nyepi mengikuti rangkaian upacara yadnya berikut, yaitu Melasti,
Tawur, Nyepi, dan Ngembak Geni. Pertama,
Melasti juga sering disebut Melis dan Makiyis merupakan upacara pembersihan dan
penyucian parhyangan yang disimbolkan
dengan penyucian Pratima – perlambang Ida Bhatara-Bhatari Sasuhunan suatu pura biasanya disungsung oleh satu atau lebih keluarga, banjar, dan desa pakraman – di laut, danau, atau sungai. Dari
tempat melasti ini, juga menurunkan mendak tirtha dan nyegara-gunung, yaitu upacara
yang mengawali dan mengakhiri prosesi suatu upacara yadnya. Pemilihan tempat melasti ini, juga sejalan dengan ajuran Rig Veda (VIII:6.28), “Upahvare girinam samghate ca, Nadinam, dhiya vipro ajayata”, ‘Di tempat hening, di
gunung-gunung, pada pertemuan dua sungai, di sanalah para maharsi mendapatkan
pemikiran jernih’. Dalam heninglah pikiran
jernih, hati cerah, dan jiwa cemerlang berumah; tempat para dewa beserta dewi
bersemanyam; dan alamat kesucian parhyangan dipercayakan.
Kedua, Tawur juga
disebut Tawur Kasanga dan Tawur Agung Kasanga merupakan upacara pembersihan dan
penyucian palemahan keluarga, banjar, dan desa pakraman, bahkan kota/kabupaten. Tawur Kasanga mengandung
semangat pamarisuddha jagat atau ruwat jagat. Ruwat berarti membebaskan,
menyucikan, dan memurnikan. Jagat
berarti dunia, alam semesta. Kata “jagat” dikreasi menjadi Jagat Cilik berarti
jagat kecil, tubuh manusia, mikrokosmos. Jagat Gedhe dan Jagat Raya sama-sama berarti
jagat besar, alam semesta, makrokosmos. Jagat Karana berarti asal-muasal dunia.
Jagat Nata berarti penata dunia. Jagat Pratingkah berarti pengatur dunia. Jagat
Saksana berarti penjaga, pemimpin dunia. Jagat Pramudita
berarti kebahagiaan. Dari pengertian kamus ini dapat dipahami bahwa keberadaan
jagat merupakan tanggung jawab manusia. Kemudian, tawur kasanga merupakan bentuk
tanggung jawab itu, berupa upacara
macaru, maprani, dan ngerupuk
termasuk pawai ogoh-ogoh. Begitu kewajiban umat Hindu membersihkan dan menyucikan
palemahan.
Ketiga, Nyepi merupakan
upacara pembersihan dan penyucian diri dengan catur brata. Catur brata panyepian hendak membantu
manusia melepaskan diri dan keluar dari jeratan dunia kehidupan-sekala untuk melangkah ke dunia hidup-niskala. Amati geni, tidak menyalakan api. Amati geni adalah larangan
dalam dunia kehidupan-sekala, tetapi menjadi
perintah dalam dunia hidup-niskala. Perintah yang kira-kira berbunyi, “nyalakanlah kecemerlangan api
rohani”. Seperti saran Upanisad,
“hanya jiwa memahami jiwa, karena itu jiwa hanya dapat dipahami dengan jiwa”. Amati karya, tidak bekerja. Sebaliknya, amati karya menjadi perintah bekerjalah secara rahoniah, kerja yang menghasilkan kesejahteraan
dan kebahagiaan. Amati lelungaan,
tidak bepergian. Sebaliknya, amati lelungaan
merupakan perintah berpetualang, berkelana secara rohaniah menikmati kebenaran,
kesucian, dan keharmonisan. Amati
lelanguan, tidak bersenang-senang. Kenyataannya, kesenangan dalam dunia
kehidupan-sekala itu bersifat
relatif, karena itu bisa menjadi kesedihan. Amati
lelanguan adalah perintah, “tinggalkan kesenangan dan raihlah kebahagiaan”.
Kempat, Ngembak
Geni adalah upacara pembersihan dan penyucian lingkungan sosial lewat dharma santhi. Dharma berarti kebenaran, kewajiban, sedangkan santhi berarti damai. Kewajiban lahir dari ikatan, seperti
persaudaraan, kekeluargaan, kesukuan, kemasyarakatan, dan kebangsaan. Semakin
erat ikatan ini, semakin kuat kerjasama inter-antarlembaga, dan semakin
produktiflah suatu masyarakat. Dalam masyarakat produktif inilah orang percaya bahwa
kehidupan berlangsung aman dan nyaman, damai. Untuk itulah Ngembak Geni menyarankan
betapa pentingnya kebiasaan membangun jaringan dan pergaulan. Jaringan sosial
yang menjangkau, bahkan melampuai ruang-prasial dan waktu-temporal, bahkan
dimensional. Tempat dan kesempatan bukan penghalang berinteraksi dan berkomunikasi.
Pergaulan yang mengandung nilai pendidikan, seperti maprani, dharma wacana, dharma tula, dharma upadesa, dharma agama, dharma Negara, dan dharma sejenis
lainnya. Melalui dharma inilah semangat
pengagungan moralitas dan kemanusiaan dibagi bersama. Dari dharma ini lahir sikap suntuk pada pengabdian dan perilaku tunduk
pada dedikasi kepada sesama, upaya menyucikan pawongan.
Rangkaian perayaan Nyepi tersebut
menggambarkan upaya melepaskan belenggu penderitaan dan kesengsaraan untuk mewujudkan
kesejahteraan yang bersih dan kebahagiaan
yang suci. Bersih berarti bebas dari
kotoran dan suci berarti bebas dari dosa, murni, keramat, sakral. Dengan
begitu, Nyepi mengandung niat memelihara kebersihan dunia kehidupan-sekala untuk melepaskan diri dari lilitan
penderitaan material. Selan itu, juga Nyepi mengandung keyakinan menjaga kesucian
dunia hidup-niskala untuk melepaskan
diri dari belitan kesengsaraan-rohaniah. Niat dan keyakinan yang menjunjung
tinggi dan mengagungkan parhyangan, pawongan, dan palemahan. Pengagungan yang menjadi bentuk pemuliaan hidup dan penghormatan
kehidupan. Dengannya dunia-kehidupan bertahan dan berjalan tertib secara
teratur menjadi tempat aman, nyaman, dan damai (bagi semua makhluk). Di
dalamnya, manusia dihimbau, memuliakan sinar hidup-rohaniah dan menghormati cahaya
kehidupan-material. Sinar kemuliaan dan cahaya kehormatan yang menuntun kecerdasan,
melindungi moralitas, dan menguatkan spiritulitas untuk mencapai keselamatan
atau kesempurnaan. Kesempurnaan yang dapat diidentifikasi lewat, “moksartham jagadhitaya ca iti dharmah”.