Antara Banten dan Gincu
I Nyoman
Dayuh
Wanita
dalam ajaran agama Hindu, seperti Manawadharmasastra
(III.56) menjelaskan, “yatra naryastu
pujante, ramante tatra devatah, yatraitastu na pujyante, sarvas tatraphalah
kriyah”, ‘di mana wanita dihormati, di sanalah para dewa merasa senang,
tetapi di mana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun yang akan
berpahala’. Kehormatan wanita tidak saja diakui dalam kehidupan sosial, tetapi
juga dalam kehidupan religius. Keluarga, bahkan desa yang menghormati kaum
wanita akan memperoleh anugerah kesenangan karena di sana dewa merasa senang. Rupanya,
kesenangan merupakan prinsip dalam kehidupan keagamaan sehingga umat beragama
disarankan membuat para dewa merasa senang dengan menghormati wanita.
Seloka
Manawadharmasastra tersebut sekurang-kurangnya
menguraikan lima tema yang saling berkaitan, yaitu wanita, dewa, kehormatan, upacara,
pahala, dan senang. Sederhananya,
upacara agama akan berpahala (kesenangan), bila dewa merasa senang. Dewa merasa
senang, bila wanita merasa senang. Wanita merasa senang, bila wanita dihormati.
Jadi, menghormati dan menjaga kehormatan wanita adalah kewajiban utama umat
Hindu, bila hendak meraih anugerah kesenangan. Kewajiban tentu saja akan
memberikan rasa senang dan lega setelah melakukannya, seperti perasaan senang
dan lega setelah melaksanakan kewajiban upacara
yadnya. Dari rasa senang dan lega ini akan menghadirkan kepuasan dan
kebahagiaan, jagadhita dan moksartham. Jauhkanlah diri dari kejengkelan,
kekecewaan, dan kesusahan dengan selalu belajar menghormati wanita.
Wanita
dalam keberagamaan umat Hindu di Bali memang memiliki posisi sentral, bahkan
hampir tidak ada upacara ayadnya
berlangsung sempurna tanpa partisipasi wanita. Wanita sudah aktif secara
religius sejak menentukan waktu dan tempat hingga tindakan upacara yadnya. Wanita begitu menikmati kegiatan keagamaan, seperti
menyiapkan, menghaturkan, dan nyurud banten,
utpethi, stithi, dan pralina. Dalam rangka merayakan hari
suci Galungan misalnya, sejak beberapa hari sebelumnya, wanita sudah memadati
pasar berburu sarana upakara, seperti
daun, busung, bunga, dan buah.
Selanjutnya, wanita melanjutkan aktivitasnya, antara lain majajahitan dan matanding
serta pada saatnya menghaturkannya di Pura, baik keluarga maupun desa, bahkan Pura
Gumi, Dang Kahyangan atau Kahyangan Jagat.
Pada
saat menghaturkan banten itulah wanita
seringkali berpenampilan berlehihan, bila tidak boleh dibilang perlente, seperti selebritis. Penampilan
selebritis umat Hindu dalam upacara persembahyangan di Pura Jagatnatha Denpasar
misalnya, ditengarai oleh I Gusti Ketut Widana (2010) menjadi fenomena keagamaan
umat Hindu di Kota Denpasar. Dalam tesis Program Magister (S2) Ilmu Agama dan
Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia ini terungkap bahwa umat Hindu
berpenampilan selebritis, seperti mengenakan kebaya, hiasan wajah,
barang-barang perhiasan, dan perlengkapan persembahyangan yang serba mahal. Perlengkapan
lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan persembahyangan,
seperti kacamata hitam, kamera, dan handpone
menjadi asesoris special para wanita. Ditegaskannya, hampir tidak ada bedanya
penampilan wanita ketika hendak ke Pura dengan ke tempat rekreasi. Penampilan
ke Pura menjadi lebih penting daripada kegiatan persembahyangan di Pura.
Mapayas,
berhias barangkali memang tidak lepas dari kebiasaan wanita, entah di rumah, di
tempat umum, bahkan di Pura. Naluri menarik perhatian rupanya, tidak memudar,
bahkan ketika wanita melaksanakan kegiatan keagamaan. Sekurang-kurangnya Gincu,
pemerah bibir merupakan cara khas wanita menghias wajah, agar tetap menarik
perhatian. Barangkali menarik perhatian adalah satu cara wanita hadir di
tengah-tengah kehidupan sosial termasuk kehidupan sosial keagamaan. “Agar wajah
tampak segar, tidak pucat pasi”, ungkap seorang wanita yang sedang mabanten di suatu Pura. Kesukaan wanita
mengenakan Gincu barangkali paralel (seiring dan sejalan) dengan kesenangannya mabanten. Semangat membuat dan
menghaturkan banten tidak jauh
berbeda semangat mengenakan Gincu. Mengingat wanita tidak akan mabanten tanpa mapayas, apalagi tanpa Gincu. Banten
dalam hal ini dapat menjadi motivasi kuat bagi wanita untuk berhias karena kurang
percaya diri, bila mabanten dengan
“wajah pucat pasi”.
Rupanya, wanita memiliki keinginan yang
disimpannya sendiri, yaitu ingin tampil segar dan bugar. Malahan lewat
kesegaran dan kebugaran, wanita dapat mengantisipasi ketidaktahuan, keangkuhan,
keterikatan, kemarahan, dan ketakutan. Kesegaran dan kebugaran adalah modal
dasar mengikuti pembelajaran agar memahami kekurangan dan kelebihan diri
sendiri untuk menyesuaikan diri. Menyesuaikan diri penting dalam kehidupan
bersama untuk menekan rasa angkuh dan marah yang memang tidak diperlukan dalam
rangka menjaga keseimbangan sosial. Dari sinilah wanita mampu menyadari betapa
ruginya terikat pada peristiwa material sehingga memiliki keberanian menghadapi
kehidupan yang tidak seluruhnya menyenangkan. Begitulah nyatanya, wanita yang tampil
segar dan bugar memang umum lebih disukai kaum pria, bahkan barangkali disenangi
para dewa. Bukankah kesukaan wanita adalah kesenangan para dewa?