MEME-BAPA

MEME-BAPA DALAM TRADISI HINDU:
KASIH YANG TERLUPAKAN


I WAYAN SUKARMA

Abstrak
Setiap orang pasti terlahir dari seorang ibu dan memiliki ayah, yaitu meme-bapa. Meme-bapa, seperti halnya purusa dan prakrti merupakan dua azas asasi yang berbeda dan saling bertentangan, tetapi perpaduan antara keduanya melahirkan segala sesuatu. Sebagaimana dijelaskan dalam Sankhya bahwa hubungan antara purusa dan prakrti yang tergetarkan oleh ketakseimbangan kekuatan triguna menyebabkan prakrti mentransformasikan diri ke dalam berbagai manifestasi, nama-rupa. Empedokles, juga menggambarkan penjadian segala sesuatu bermula dari kekuatan cinta yang melakukan penggabungan terhadap empat anasir asasi, yakni air, api, hawa, dan tanah. Siwatattwa, juga menjelaskan bahwa Widhi berarti yang menetapkan, yang menentukan, dan yang menakdirkan. Apabila benar demikian maka meme-bapa adalah Widhi yang paling dekat yang dapat dikenal. Kenyataannya, tidak banyak meme-bapa menerima perlakuan sebagaimana perlakuan terhadap yang menakdirkan, seperti perlakuan terhadap leluhur misalnya. Meme-bapa akhirnya, merupakan kasih abadi yang terpinggirkan dan segera terlupakan, bahkan apabila mungkin dinihilkan. Untuk itu diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang seimbang antara dunia relatif (sekala) dan dunia mutlak (niskala), dharma.

Kata kunci: Meme-bapa dan Kasih.

I PENDAHULUAN
Lupa itu penyakit atau kodrat? Lupa dalam bahasa kamus yang berarti tidak ingat; tidak ada dalam ingatan; khilaf; tidak sadar; lalai; dan tidak acuh (Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanpa tahun:503) dialami oleh setiap orang. Pengalaman ini ada (begitu saja) sejak dahulu, sekarang, dan nanti, karena itu ia ada tidak pernah diminta dan tidak ada kuasa yang bisa menolaknya. Dalam terminologi Upanisad lupa disebut avidya, yaitu kebodohan dan kegelapan yang menyebabkan sang diri secara salah mengidentifikasi diri sebagai upadhi-upadhi (nama dan bentuk yang menandai eksistensi jiwa). Pengalaman lain mengenai lupa yang dialami oleh setiap orang dapat diberikan contoh bahwa setiap orang lupa (begitu saja) tentang kehidupan yang pernah dialaminya di dalam kandungan ibunya. Selama beberapa bulan mejalani kehidupan di dalam kandungan merupakan pengalaman pertama bagi setiap orang. Pengalaman pertama secara psikologis merupakan sesuatu yang berkesan sehingga tidak mudah dilupakan. Akan tetapi setelah dewasa tidak ada sesuatu (apapun) yang dapat diingat tentang pengalaman di dalam kandungan. Semua pengalaman tersebut seperti tidak pernah ada, tidak pernah dialami, tidak pernah nyata, kecuali setelah menyaksikan kelahiran (baca: setelah menjadi ibu atau ayah). Ini membuktikan bahwa setiap orang mengetahui dan memahami bagimana rasanya menjadi anak setelah yang bersangkutan menjadi ibu atau ayah. Walaupun demikian pengetahuan dan pengalaman itu segera akan dilupakan kembali. Apabila kehidupan dalam kandungan, yaitu pengalaman pertama yang paling berkesan bisa dilupakan maka pengalaman yang lain dan pengalaman berikutnya sangatlah mungkin dilupakan, bahkan termasuk yang memberikan dan memungkinankan pengalaman tersebut, yaitu meme-bapa (ibu-ayah).
Meme-bapa (ibu-ayah) adalah pilar keluarga. Dalam perspektif sosiologi sebuah keluarga adalah suatu unsur dalam struktur sosial (Goode, 2004:1) sehingga keluarga memiliki status dan peranan tersendiri dalam masyarakat. Keluarga dalam hal ini berfungsi sebagai penerus kebudayaan, berupa nilai-nilai dan norma-norma; sistem sosial; dan berbagai benda budaya dalam suatu masyarakat. Di dalam keluarga setiap individu belajar bertahan untuk tetap hidup dalam kehidupan yang sarat dengan kontradiksi norma-norma dan nilai-nilai. Sistem bertahan hidup secara alamiah diterima dan diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, berupa tradisi keluarga. Integrasi dan integritas tradisi keluarga dalam tatanannya yang lebih luas menjadi tradisi suatu masyarakat. Oleh karena itu perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat, baik langsung maupun tidak akan berakibat pada perubahan kehidupan suatu keluarga. Akan tetapi perubahan dan pembaharuan yang terjadi di dalam suatu masyarakat, baik disebabkan oleh inovasi maupun enkulturasi kebudayaan dan terutama yang disebabkan oleh pembangunan sering mengabaikan faktor keluarga. Dalam hal ini peranan meme-bapa sering dilupakan dan terpinggirkan untuk ditiadakan (apabila tidak dapat dikatakan dinihilkan). Meme-bapa adalah gambaran buram dari sebuah hegemoni yang diciptakan oleh berbagai kebijakan pemerintah, yang tergeletak di sudut sebuah gudang yang bernama negara.
Dalam dunia pendidikan misalnya, keluarga dipandang sebagai lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Sejak zaman Ki Hajar Dewantara melalui konsep tri pusat pendidikan menempatkan keluarga sebagai salah satu komponennya. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional keluarga, juga diposisikan sebagai salah satu lembaga yang mengemban tanggung jawab pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya, di samping pemerintah dan masyarakat. Akan tetapi pembangunan dalam bidang pendidikan sering mengabaikan, bahkan meniadakan faktor keluarga yang sarat dengan berbagai peranan yang dibebankan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Akhirnya, meme-bapa sebagai inti keluarga dalam berbagai kesempatan hanya bisa tercengang dan mengurut dada karena miris melayani sikap dan perilaku pianak (si anak) yang terlalu jauh menyimpang dari angan dan inginnya. Padahal sastra-sastra agama mengajarkan bahwa keinginan meme-bapa terhadap pianak (si anak) adalah norma dan nilai keluarga yang paling ideal sehingga permintaan meme-bapa adalah perintah bagi pianak (si anak). Akan tetapi tata krama pergaulan dalam berbagai lingkungan menyebabkan meme-bapa kehilangan pianak setiap saat dan kesempatan. Lingkungan yang diciptakan oleh kelimpahan waktu yang tak produktif dan hasil dari keanekaragaman aktivitas yang tidak seluruhnya dalam kontrol kesadaran moral. Lingkungan tanpa bingkai moral inilah yang telah menyudutkan peranan meme-bapa pada posisi yang tak terelakkan dari yang disalahkan dan serba salah.
Tenggelamnya peranan meme-bapa terhadap anak sebagian, juga disebabkan oleh sebuah pandangan bahwa perlakuannya terhadap anak adalah sebuah kewajiban. Secara moral kewajiban memang harus dilakukan tanpa adanya motivasi pamrih atas hasil tindakan sehingga dalam pandangan anak itu adalah kebiasaan. Sebagaimana sebuah kebiasaan pada akhirnya menjadi sesuatu yang tidak menarik perhatian sehingga peranan meme-bapa benar-benar luput dari perhatian. Dengannya meme-bapa telah kehilangan hak untuk sekadar menerima ucapan terima kasih, setidak-tidak berupa sikap dan perilaku dari anak yang tidak membuatnya sakit hati. Apabila karena statusnya maka peranan meme-bapa terhadap anak dipandang sebagai suatu kewajiban kemudian, mengapa sangat jarang ditemukan anak yang bersedia dan sanggup menerima pandangan yang sebaliknya. Sebagaimana perhatian dan pelayanan serta bhakti yang dilakukan dan dipersembahkan kepada leluhur, pitra. Dialektika pemikiran meme-bapa (tesis dan antitesis) dan anak (sintesis) telah meneguhkan suatu pemikiran bahwa sintesis selalu menjadi tesis berikutnya sehingga tesis-antitesis (meme-bapa) layak dilupakan. Rupanya kesadaran relatif telah menciptakan pemikiran sepihak sehingga meme-bapa senantiasa berada pada posisi yang terpinggirkan untuk segera dilupakan, bahkan bila mungkin ditiadakan.
Meme-bapa dalam konteks sistem keyakinan purba masyarakat Hindu di Bali telah pula menempatkan sanggah atau marajan sebagai sentral pemujaan, baik kepada Hyang Widhi maupun leluhur. Meme sebagai penguasa keluarga dalam mengawasi dan mengontrol keamanan dan kenyamanan keluarga telah pula menerima posisi yang medominasi karena kenyataannya ia memang lebih menguasai urusan domestik dibandingkan dengan bapa. Di samping itu meme menurut sastra-sastra agama adalah penerus dan pelestari tradisi manusia dan kemanusiaan, karena itu pada setiap sanggah atau marajan maka meme dipuja dan disthanakan di sebuah palinggih yang disebut palinggih Ibu. Sejalan dengan hal itu dalam Bhagavadgita dijelaskan bahwa seluruh tatanan tradisi manusia akan tetap utuh dalam roda perputarannya, apabila wanita ditempatkan pada posisinya yang benar. Penempatan wanita pada posisi terhormat bisa dilakukan dengan menegakkan varnasrama-dharma, apabila tidak maka sama artinya dengan merendahkan leluhur ke dalam neraka yang paling dalam. Inilah salah satu alasan bagi Arjuna menolak berperang pada saat berada di tengah medan kuruksetra[1]. Dalam perkembangannya meme yang semula ditempatkan sebagai sentral dalam pemujaan yang diwujudkan dalam bentuk palinggih Ibu itu telah mengalami pergeseran arti dan maknanya. Ini merupakan akibat dari perubahan sistem kepercayaan terutama setelah menerima pengaruh dari Hinduisme sebagai tradisi besar yang beraksara. Pengaruh ini telah memarginalkan pengertian dan pemahaman meme-bapa menjadi aji-biang sejalan dengan konsepsi purusa-prakrti atau purusa-pradana dalam ajaran Sankhya.
Fenomena ini, yakni sikap dan perilaku saling lempar-melempar tanggung jawab terhadap pembinaan generasi manusia antarlembaga terutama lembaga yang merasa paling mengetahui hakikat kebenaran pendidikan merupakan momen yang menantang kekuatan akal kemampuan nalar. Di samping itu meme-bapa yang dalam teks-teks agama Hindu dipahami sebagai diri sejati dan wujud dari kasih abadi (meme-bapa raganta jati), namun dalam pengalaman empiris eksistensinya tidaklah demikian. Ini juga merupakan tantangan lain bagi kekuatan logos terutama dalam menelusuri kebenarannya melalui dialektika pemikiran Sankhya dalam ilustrasi pemikiran Barat. Meme-bapa dalam konteks mistis-religius merupakan tradisi purba yang masih ajeg sampai kini, juga merupakan fenomena menantang untuk diungkap kepermukaan. Mengingat dimensi ini merupakan persoalan pingit (rahasia), tetapi dibicarakan dalam arena terbuka secara tertutup sebab tidak sedikit pembahasnya datang dari kalangan akademis yang secara profesional menisbikan eksistensi segala sesuatu yang beraroma mistik dan gaib. Oleh karena itu pendekatan tekstual dalam kancah studi kepustakaan mendominasi kajian ini. Walaupun demikian bukan berarti pendekatan konteks diabaikan sama sekali, melainkan ditampilkan sebagai ilustrasi atau sebagai upaya mempertajam interpretasi. Akhirnya, seluruh penyelidikan ini akan diselesaikan setelah diperoleh gambaran buram tentang upaya penaklukan diri dalam merengkuh kasih abadi meme-bapa, yang tiada lain adalah upaya mengenal diri sendiri, sang diri yang sejati.

II Pembahasan
2.1 Meme-Bapa dalam Tradisi Bali
Tradisi Bali purba pada prinsipnya lebih mengembangkan sistem berpikir, bersikap, dan berperilaku dalam simbol pola kesatuan tiga, walaupun implementasinya sering dimodifikasi menjadi pola kesatuan lima dan pola kesatuan dua untuk mencapai Yang Satu, Hyang Tunggal. Bermula dari sistem keyakinan bahwa Bhatara Siwa dipuja dalam tiga manifestasi-Nya melalui kahyangan tiga sebagai sthana Bhatara Brahma, Bhatara Wisnu, dan Bhatara Iswara/Rudra (Bhuana Kosa, 1994)). Manifesitasi Bhatara Siwa seperti ini sesuai dengan kodrat segala sesuatu yang bereksistensi melalui proses penciptaan, pemeliharaan, dan peleburan – lahir, hidup, dan mati. Sistem keyakinan ini selanjutnya, menata sistem dan struktur kehidupan yang lebih luas, baik dalam beragama maupun sosial-budaya. Konsep ini telah pula menempatkan sistem tri hita karana sebagai sumber inspirasi dalam menata tradisi Bali dan hampir melingkupi seluruh dimensi kehidupan.
Dalam kehidupan beragama misalnya, tattwa, susila, dan acara agama Hindu dimaknai dan sekaligus diaplikasikan dalam aneka wujud upacara yadnya. Yadnya yang pada pokoknya terdiri atas lima jenis – (dewa, pitra, bhuta, resi, dan manusa) itu memerlukan kesatuan ruang, waktu, dan tindakan dalam sistem keyakinan yang ketat. Sistem keyakinan itu disebut panca sradha, antara lain percaya akan adanya brahman, atman, karmaphala, punarbhawa, dan moksa. Yadnya yang dijiwai sradha dan berbagai jenis upacara keagamaan lainnya lebih lanjut, merupakan penampakan yang kasat mata bagi eksistensi agama Hindu di Bali. Yadnya dan upacara keagamaan tersebut dalam pelaksanaannya tidak dapat meniadakan peranan pura dan sanggah karena keduanya merupakan tempat suci penting dalam melaksanakan upacara keagamaan.
Sehubungan dengan hal itu kahyangan tiga pada tingkat desa pakraman ditranformasikan menjadi Kamulan Rong Tiga di dalam sanggah/marajan pada tingkat keluarga. Penempatan sanggah/marajan, juga tidak lepas dari konsepsi tri hita karana yang membagi dan menjiwai tata ruang (Bali) menjadi parhayangan, pawongan, dan palemahan. Hal ini sesuai dengan tata letak dan tata guna berdasarkan utama mandala, madya mandala, dan nista mandala. Pemikiran ini pada dasarnya mengacu pada prinsip rwa-bhineda bahwa luan menempati arah gunung dan matahari terbit, sebaliknya teben menempati arah laut dan matahari tenggelam. Perpaduan antara arah terbitnya matahari dan arah gunung merupakan arah luan yang dipandang suci (Pemerintah Propinsi Bali, 2000:77), karena itu dipandang baik sebagai tempat sanggah atau marajan.
Palinggih yang utama di sanggah/marajan (Ngurah, dkk, 1999:184) terdiri atas tiga jenis, yaitu (1) Kemulan Rong Tiga sebagai linggih Hyang Guru Kemulan, Tri Murti, Leluhur; (2) linggih Sedahan Panglurah; dan (3) linggih Gedong Taksu. Ini berarti sanggah/marajan sebagai tempat suci dalam setiap keluarga terindentifikasi melalui tiga jenis palinggih tersebut. Akan tetapi yang menjadi pusat aktivitas pemujaan adalah Kemulan Rong Tiga sebagai linggih Tri Murti yang telah mengalami tranformasi manifestasi pemujaan menjadi meme-bapa raganta jati, yaitu di sebelah kanan bapanta (bapa, ayah), di sebelah kiri ibunta (meme, ibu), dan di tengah raganta jati (Siwa). Malahan penghormatan terhadap peranan meme sebagai istrinya (saktinya) bapa dan penerus garis leluhur dalam tradisi purba meme disthanakan di sebuah palinggih yang disebut palinggih Ibu. Ini berarti pemujaan terhadap meme sejalan dengan konsepsi dewa dan saktinya. Dalam hal ini sakti dari dewa tertentu merupakan aspek feminis yang memiliki aktivitas murni, sedangkan dewa merupakan aspek maskulin yang apatis. Oleh karena itu pemujaan terhadap Bhatara Siwa di pura Dalem misalnya, lebih menekankan pemujaan terhadap saktinya, yaitu Durga. Dengan demikian konsep tentang pemujaan meme di sanggah/marajan sama dan sejalan dengan konsep pemujaan terhadap Durga di Pura Dalem.
Dalam bahasa lontar terutama dalam kaitannya dengan laku kadhyatmikan prinsip meme-bapa raganta jati menjadi sumber inspirasi utama dari keseluruhan ajarannya. Bapanta yang disebelah kanan dipahami sebagai bapa akasa di bagian atas dan ibunta yang di sebelah kiri dipahami sebagai ibu pertiwi di bagian bawah dan penyatuan antara keduanya dipahami sebagai raganta jati (Siwa) di tengah. Pemahaman ini di dalam mantra-mantra hadir sebagai ucapan, “Om nama swaha”[2]. Pemutaran pemahaman dalam pola kesatuan tiga ini melahirkan konsep pola kesatuan lima dari Panca Siwa (Panca Brahma), Panca Asi, Panca Ratu, Panca Mahabhuta, Panca Pasu hingga Kiblat sebagai posisi semetrisnya (Suka Yasa dalam Dharmasmrti, 2004:151). Walaupun demikian, dalam pemikiran ini manusia digambarkan ada dalam arus gelombang antara asal dan tujuannya, seraya terus-menerus mengalami proses menjadi. Manusia berada dalam antara dua titik, yaitu titik terbit dan terbenam, titik kelahiran dan kematian. Kedua titik tersebut, berupa sangkan dan paran, asal dan tujuan segala sesuatu di dunia ini, sangkan paraning dumadi. Seperti dijelaskan oleh Ki Fudyartanto (2003:71) bahwa sangkan-paran dimengerti sebagai sesuatu yang tidak personal, impersonal, yang disebut rat, dunia atau dumadi. Itulah yang disebut zat kosmis atau jiwa alam, yang juga dinamakan sunyi, suwung atau ketiadaan, kehampaan. Boleh jadi ini pula yang mendasari prinsip ajaran dalam berbagai gerakan kebatinan yang memandang dan mengandaikan adanya tiga bidang trikotomi dalam diri manusia. Menurut Ki Fudyartanto (2003:68) trikotomi tersebut, seperti badan-jiwa-sukma; jaba-jro-kodim; naluri-roh-batin; tubuh-jiwa-atman; alam-budi-gaib, dan sebagainya.
Kesepahaman antara tradisi Bali purba (yang terwariskan sampai kini melalui pemujaan di Kamulan Rong Tiga) dan gerakan kebatian ini telah menempatkan tradisi purba ini pada suatu pemikiran yang panteisme. Pusat pemikiran dalam tipe panteisme menurut Ki Fudyartanto (2003:73) bukan Tuhan, tetapi manusia itu sendiri. Panteisme tidak mempunyai metode pemikiran yang tegas. Panteisme mempunyai sifat antroposentris dan manusia menyadari sebagai bagian yang harus menempatkan diri dalam keseluruhan asali. Manusia dianggap tidak otonom dan harus menyatukan diri dengan Dia yang otonom. Manusia harus beralih dari keadaan kawula kepada kesatuan dengan gusti (Tuhan). Ungkapannya menjadi Jumbuhing Kawula Gusti, Pamor Kawula Gusti, Manunggaling Kawula Gusti. Ungkapan-ungkapan itu menunjukkan kesatuan, dan tidak mendua antara manusia dan Tuhan. Ini berarti manusia senantiasa berada dalam menjadi, yaitu melalui penyucian diri untuk merubah statusnya dari Kawula menjadi Gusti. Penyucian diri dapat dilakukan hanya melalui restu meme-bapa sebagai unsur asasi segala eksistensi yang sekaligus merupakan asal dan tujuan, sangkan-paran.
Untuk itu bisa dipahami meme sebagai aspek feminis merupakan modus yang sanggup menahan gejolak dan getaran emosional bapa yang bertindak sebagai aspek maskulin. Meme adalah badan kasih semesta yang memiliki kemampuan alami untuk menahan rangsangan tersebut dan menangkapnya sebagai benih segala sesuatu. Kemudian, darinya mengalir beraneka manisfestasi, nama dan bentuk sebagai belenggu abadi bagi emosional maskulin yang secara alamiah hanya mampu menyebarkan aroma sensualitas kosmis. Dia yang mampu menangkap perkenan meme-bapa menjadi raganta jati, ia memperoleh restu bertindak atas namanya. Dia berada dalam kesadaran penuh dan mengetahui moral semesta karena meme-bapa adalah dharma-nya dharma. Sebagaimana diungkapkan oleh Swami Vivekananda (1991), apabila laki-laki dan perempuan di atas dunia tidak ada yang menikah maka di dunia ini tidak akan pernah ada kewajiban suami-istri. Dengan kata lain, apabila di atas dunia ini tidak ada kewajiban suami-istri maka di atas dunia ini tidak akan pernah ada kewajiban meme-bapa (ibu-ayah). Dengan tiadanya kewajiban mema-bapa, juga berarti tidak ada dharma meme-bapa. Begitulah dharma muncul dalam setiap ikatan dan sekaligus mengikat setiap eksistensi sehingga setiap eksistensi larut dalam ikatannya dan dengannya setiap eksistensi mengalami suka-duka yang sesungguhnya mengalir dari ikatan meme-bapa.
Uraian tersebut telah mengantarkan pengertian kepada pemahaman bahwa tradisi Bali purba yang telah diwarisi secara turun-temurun ternyata memiliki makna luhur dalam keluhuran budi di atas pemujaan leluhur. Leluhur yang dipahami sebatas sebagai orang tua yang telah meninggal merupakan bagian tak terpisahkan dari pembinaan budi luhur manusia Bali. Bukan sekadar kepercayaan mistis-magis tanpa makna riil, tetapi sebuah keyakinan yang sarat makna. Setidak-tidaknya kepercayaan dan pemujaan kepada leluhur telah memberikan pengalaman tentang adanya kehidupan setelah kematian, yaitu dunia lain (paraloka). Pengalaman yang hanya bisa diperoleh melalui spirit persembahan, sebagaimana argumentasi Mimamsa tentang dharma sebagai persembahan berdasarkan kitab suci Veda, hukum moral semesta, dan sumber aktivitas kosmis. Dengannya alam semesta berkembang dan mempertahankan eksistensi dalam berlimpahnya waktu yang dilalui dalam berbagai musim. Pengalaman tersebut akan tercerap lebih sempurna, apabila dunia relatif yang dualis telah terlampaui sebagaimana diajarkan dalam Sankhya.

2.2 Meme-Bapa dan Aku: Perspektif Sankhya
Meme dalam kehidupan empiris merupakan panggilan bagi ibu dan bapa panggilan untuk ayah (dari anak-anaknya) dalam keluarga masyarakat Hindu di Bali. Dalam konteks dan pemahaman yang sama, namun berbeda dalam cita rasa bahasa, sopan santun, dan tata krama pergaulan keluarga untuk sebutan meme digunakan biang dan bapa digunakan aji (dalam Kamus Indonesia – Bali, 1996:27 dan 172). Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (tanpa tahun: 33) dijelaskan bahwa aku berarti saya, diri ini, diri sendiri. Akan tetapi eksistensi aku terikat dan tergantung pada ibu dan ayah karena aku adalah anak, keturunan dan bagian tak terpisahkan dari ibu dan ayah. Itu sebabnya ibu-ayah-anak merupakan satu-kesatuan holistik tak terpisahkan (meme-bapa raganta jati). Walaupun secara kodrati ibu dan ayah merupakan dua unsur dalam pertentangan alami, tetapi berkat anugerah kasih abadi keduanya disatukan dalam manifestasinya, aku. Sebagaimana diajarkan oleh Kapila dalam Sankhya bahwa ada dua realitas asasi yang berdiri sendiri, yang satu lepas daripada yang lain, yang saling bertentangan, akan tetapi segala manifestasi dinyatakan hadir dari kedua unsur asasi tersebut yang disebut purusa dan prakrti. Purusa dan prakrti, roh dan benda, atau azas rohani dan bendani bersama-sama membentuk realitas dunia ini.
Purusa tidak dapat diamati, tetapi ada dengan nyata[3]. Dunia dikatakan berada bukan demi kepentingan dunia sendiri, melainkan untuk keperluan yang bukan dunia, yang bukan benda, yaitu roh, purusa. Manusia berusaha mendapatkan kelepasan. Ini berarti tentu ada sesuatu yang dapat mendapat kelepasan itu. Yang dapat mendapat kelepasan itu tentu bukan yang bendani, itulah purusa. Tiap hal yang ada, berada secara sendiri-sendiri, artinya, dilahirkan sendiri, mati sendiri, memiliki organisme sendiri, melakukan tindakan sendiri, dan seterusnya. Berdasarkan kenyataan yang demikian itu harus disimpulkan bahwa ada banyak sekali individu, ada banyak sekali purusa. Sebaliknya, mengenai prakrti dijelaskan sebagai sebab pertama alam semesta yang terdiri atas unsur-unsur kebendaan dan kejiwaan[4]. Prakrti tidak dapat diamati, namum ada dengan nyata dengan pertimbangan sebagai berikut. Tiap hal yang ada di dunia bersifat terbatas, apa yang bersifat terbatas bergantung kepada sesuatu yang tak terbatas, yang bersifat tak terbatas itu adalah prakrti. Tiap hal memiliki sifat-sifat tertentu yang juga dimiliki oleh segala sesuatu yang lain. Sifat-sifat itu misalnya, suka dan duka. Hal ini menunjukkan bahwa ada sumber bersama yang mengalirkan sifat-sifat itu. Sumber itu adalah prakrti. Segala akibat timbul dari aktivitas suatu sebab. Aktivitas yang menyebabkan perkembangan dunia ini tentu berasal dari suatu sebab pertama, yaitu prakrti. Suatu akibat tidak mungkin menjadi sebabnya sendiri. Oleh karena itu tentu ada sebab asasi, yang menyebabkan adanya segala akibat itu. Sebab asasi itu tidak lain adalah prakrti. Alam semesta mewujudkan suatu kesatuan. Adanya suatu kesatuan menunjukkan adanya satu sebab yang menyatukan, yaitu prakrti.
Prakrti dikatakan memiliki tiga guna, triguna, yaitu sattva, rajas, dan tamas. Sattva adalah hakikat segala sesuatu yang memiliki sifat-sifat terang dan menerangi, tenang dan kebajikan. Rajas pada hakikat adalah sumber aktivitas dan pengluasan, karena itu juga yang menjadi sumber suka dan duka. Tamas adalah kekuatan yang menentang segala aktivitas sehingga menimbulkan segala keadaan yang apatis (dingin dan kelembaban) atau acuh tak acuh, kemalasan dan ketidaktahuan. Ketiga guna tersebut berbeda satu sama lain, tetapi melakukan kerjasama yang sangat erat yang digambarkan seperti nyala api, minyak, dan sumbu pada sebuah pelita. Ketiga guna itu semula dalam keseimbangan kekuatannya, karena itu prakrti berada dalam keadaan tenang dan tidak terjadi apa-apa. Ketika kekuatan-kekuatan di dalam prakrti itu terganggu maka terjadilah gerak dan berkembanglah prakrti. Gangguan keseimbangan itu terjadi ketika purusa berhubungan dengan prakrti sebab dari purusa itu dengan sendirinya keluarlah perangsang, seperti halnya dengan besi berani (magnet) terhadap besi yang ditariknya. Kerjasama antara purusa dan prakrti ini menimbulkan perkembangan alam semesta dengan segala isinya yang keluar dari prakrti. Akan tetapi sebaliknya, karena hubungan ini maka prakrti mengubah bentuk purusa yang banyak itu mejadi jiwa perorangan di dalam dunia. Prakrti menahan purusa dan membelenggunya di dalam tubuh dan segala manifestasi[5].
Perkembangan prakrti dari yang satu menjadi yang banyak itu adalah prakrti memberikan bentuk, suatu transformasi, bukan suatu perubahan tempat. Prakrti dalam Bhagavadgita, VII:4 dijelaskan terdiri atas tanah, air, api, udara, ether, pikiran, bhudi, dan ego merupakan delapan unsur alam-Ku yang terpisah. Dalam Bhagavagita, VII:5 dijelaskan bahwa inilah prakrti-Ku yang lebih rendah, tetapi berbeda dengannya ketahuilah prakrti-Ku yang lebih tinggi. Unsur hidup, yaitu jiwa yang mendukung alam semesta ini. Selanjutnya, dalam Bhagavadgita, VII:6 dijelaskan bahwa ketahuilah bahwa keduanya ini merupakan kandungan dari semua makhluk; dan Aku adalah asal mula dan leburnya alam semesta ini. Dari tiga sloka ini dapat diketahui bahwa prakrti adalah alam semesta itu sendiri yang berkesadaran penuh yang bertindak atas nama karma kosmis dan manusia menerimannya sebagai takdir atau nasib.
Demikian juga perubahan itu tidak hanya terjadi dalam satu jurusan saja, melainkan dalam banyak jurusan[6]. Perkembangan prakrti terjadi secara berkala, yakni ada masa perkembangan dan masa peleburan. Pada masa peleburan itu seluruh keanekaragamanan alam semesta ini menjadi terpendam atau ditidurkan di dalam prakrti. Perputaran ini, perkembangan dan peleburan, tidak ada batasnya. Oleh karena itu manusia melupakan waktu, lupa kepada meme-bapa, lupa akan hakikat dirinya yang sejati, dan hanya mendapatkan dirinya berputar dalam roda kelahiran terus-menerus dan berulang-ulang, punarbhawa dan samsara.
Sejalan dengan pemikiran Sankhya, Parmenides dan Empedokles (Hadiwijono, 2001; dan Tjahjadi, 2005) berpendapat bahwa di dalam alam semesta tiada sesuatu pun yang dilahirkan sebagai hal yang baru dan dapat dibinasakan sehingga tiada lagi. Pemikiran ini sejalan dengan pemikiran yang berkembang dalam Mimamsa bahwa tindakan tidak dapat menciptakan realitas, tetapi hanya memodifikasinya menjadi segala keberadaan. Dengan prinsip aktivitas ini alam berkembang dan mempertahakan eksistensinya melalui berbagai persembahan (yadnya), kerja, dan dharma. Empedokles menyatakan bahwa bentuk kenyataan yang bermacam-macam itu hanya disebabkan karena penggabungan dan pemisahan keempat anasir (air, api, udara, dan tanah) yang disebut rizomata. Perbedaan-perbedaan yang ada di antara segala realitas disebabkan karena campuran atau penggabungan keempat anasir tadi yang berbeda-beda. Proses penggabungan dan pemisahan anasir-anasir itu diatur oleh dua kekuatan yang saling berlawanan, cinta (filotes) dan benci (neikos). Cinta mempunyai sifat menggabungkan, sedangkan benci menceraikan. Ia memandang keduanya sebagai cairan yang halus yang meresapi semua benda. Dengan demikian segala sesuatu dipandang sebagai bersifat bendani.
Pemikiran ini, juga sejalan dengan argumentasi Herakleitos (Hadiwijono, 2001; dan Tjahjadi, 2005) tentang filsafat “menjadi”. Dikatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang betul-betul berada sebab semuanya “menjadi”. Yang ada adalah “menjadi”. Segala sesuatu yang ada bergerak secara terus-menerus, bergerak secara abadi. Perubahan yang terjadi tiada henti. Seluruh kenyataan adalah arus sungai dan orang tidak mungkin turun dua kali dalam arus sungai yang sama. Dikatakan bahwa hal yang menjadi ini terjadi dalam pertentangan atau perlawanan sehingga tiap benda terdiri atas hal-hal yang saling bertentangan dan perlawan, tetapi segala sesuatu mewujudkan kesatuan. Dunia adalah sesuatu harmoni yang besar dalam ketegangan dan perlawanan. Segala sesuatu adalah sintesa dari hal-hal yang saling bertentangan. Perlawanan dan petentangan itulah justru keadilan. Yang satu itu adalah banyak, sedangkan yang banyak itu adalah satu. Hukum keseimbangan akan mengembalikan pertentangan dalam keselarasan. Dengan demikian yang sama adalah perlawanan. Yang hidup setelah berubah menjadi mati sebaliknya, yang mati setelah berubah menjadi hidup.
Sementara itu, dalam Sang Hyang Tattwa Jnana (dalam Suka Yasa, 2004:49-51) dijelaskan sebagai berikut.
(1) Cetana dan Acetana adalah dua asas purba. Adanya sama halus, sama sukma, dan abadi. Cetana adalah Siwa Tattwa. Ia adalah jnana, yaitu asas yang tahu dan sadar abadi. Sebaliknya Acetana adalah Maya Tattwa. Asas yang bersifat lupa dan berwujud hampa (2).
(2) Siwa Tattwa dibedakan menjadi tiga, yaitu Paramasiwa Tattwa, Sadasiwa Tattwa, dan Atmika Tattwa. Paramasiwa Tattwa adalah keberadaan bhatara Siwa di niskala. Ia adalah kesadaran yang langgeng, sempurna, tak ternoda, bebas dari ruang dan waktu, bebas nilai, tak terpikirkan, dan tak terlukiskan. Sadasiwa Tattwa adalah bhatara Siwa yang wyapara, yaitu kesadaran Siwa yang aktif, serba tahu, dan serba kerja. Ia berstana pada Padmasana yang tiada lain adalah Cadusakti-Nya, antara lain Jnanasakti (Mahatahu), Kriyasakti (Mahakarya), Wibhusakti (Mahasempurna), dan Prabhusakti (Mahakuasa); (3) sedangkan Atmika Tattwa adalah bhatara Siwa yang uta-prota, yaitu kesadaran yang laksananya menyusup-menguntai, memancar memberi kesadaran kepada Maya Tattwa. Ia yang laksananya menjadi jiwa segala ciptaan. Dalam hal ini Ia dan laksananya dianalogkan sebagai matahari dan sinarnya. Matahari diam abadi, langgeng tak ternoda, tetapi sinar yang memancar memberi sinar dan energi, baur menyusup dalam segala rupa-warna ciptaan. Adanya pada ciptaan sebagai adanya api dalam kayu (3--5, 24, 29--30,34--36).
(3) Bhathara Mahulun yang tidak lain adalah Bhathara Sadasiwa berkehendak menyaksikan segala ciptaan. Oleh karena itu, Ia mempertemukan Sang Hyang Atma dengan Pradhana Tattwa, anaknya Maya Tattwa. Sang Hyang Atma adalah Purusa, yaitu perwujudan dari asas yang sadar (tutur) dipertemukan dengan Pradhana Tattwa, yaitu perwujudan dari asas yang alpa (lupa). Dari perkawinan kosmis Purusa-Pradhana tersebut lahirlah citta dan guna (6, 25-26, 28-29).
(4) Citta adalah wujud kasar dari Purusa, sedangkan guna adalah wujud kasar dari Pradhana Tattwa. Ada tiga jenis guna, yaiu sattwa, rajah, dan tamah. Ketiga guna inilah dijadikan sifat oleh citta. Oleh karena itu ada yang disebut citta sattwa, citta rajah, dan citta tamah. (a) Ciri-ciri citta sattwa, antara lain pandai, bijaksana, susila, setia, bakti, jujur, penuh kasih sayang, tidak sedih bila ditimpa penderitaan, tidak senang bila mendapat kesukaan; (b) Ciri-ciri citta rajah antara lain aktif, egois, cepat bangga, irihati, cepat tersinggung, gampang marah, suka memaksa, usil, suka mengagung-agungkan diri, loba, licik, bengis; (c) Ciri-ciri citta tamah antara lain malas, kumal, senang makan, penidur, bodoh, pengkhayal, nafsu besar, suka irihati. Kelekatan citta pada guna inilah yang menyebabkan Atma mengalami tumimbal lahir (7—9,26).
(5) Dari kelekatan pertemuan citta dengan guna lahirlah buddhi, yaitu wujud kasar dari triguna yang diberi kesadaran oleh citta. Sifat buddhi, antara lain tidak tetap pendirian, berkepribadian mendua: sadar tak sadar, tahu tidak tahu, baik tidak baik (10).
(6) Dari buddhi lahirlah ahangkara, yaitu wujud kasar buddhi akibat buddhi berkesadaran aku. Ia adalah kesadaran yang menyatakan sesuatu itu ada atau tidak ada, kesadaran yang melaksanakan aktivitas baik-buruk, dan kesadaran yang mengaku serba milik. Ada tiga ahangkara, yaitu ahangkara si waikreta, si taijasa, dan si bhutadi (11, 26).
(7) Aktivitas ahangkara si taijasa adalah menciptakan manah (pikiran); panca buddhindriya (lima indra persepsi), yaitu indra pada mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit; dan panca karmendriya (lima indra pekerja), yaitu indra pada mulut, tangan, kaki, alat kelamin, dan anus. Ahangkara si bhutadi adalah menciptakan panca tanmatra dan paaca mahabhuta. Panca tanmatra, yaitu lima unsur halus (matra) dari suara, udara, teja, rasa, dan bau. Akan tetapi panca mahabhuta, yaitu lima unsur besar alam semesta: ether, yang berembus, yang panas, yang cair, dan yang padat. Ahangkara si taijasa berfungsi membantu kerja si waikreta dan si bhutadi (12).
(8) Bhatara Mahulun dengan daya saktinya mengolah Panca Mahabhuta, yaitu prethiwi, apah, teja bayu, akasa dipadu dengan guna. Dari perpaduan itu terciptalah andabhuwana (alam semesta). Ada empat belas lapis alam. Adanya seperti sarang tawon berlapis-lapis. Tujuh bagian alam atas disebut saptaloka, yaitu Satyaloka, Mahaloka, Janaloka, Tapaloka, Swarggaloka, Bhuwarloka, dan Bhurloka; sedangkan tujuh bagian alam bawah disebut sapta patala, yaitu Patala, Waitala, Nitala, Mahatala, Sutala, Talatala, dan Rasatala. Di bagian bawah sapta patala adalah Mahanaraka stana Sang Hyang Kalagnirudra, api yang menjadi dasar alam semesta yang senantiasa berkobar (13—14).
(9) Evolusi selanjutnya, atas kehendak Bhatara Mahulun, laksana kesadarannya yang pada tahap ini disebut Sang Hyang Pramana atau Sang Hyang Atma dirangsang untuk berkembang biak menjadi segala jenis mahluk. Buddhi dan manah menjadi alat berpikir, sedangkan ahangkara sebagai sarana untuk mengaku dan melaksanakan perbuatan baik-buruk (15)
(10) Perkembangan Sang Hyang Pramana menjadi beranekaragam makhluk penghuni alam semesta mengalami tumimbal lahir. Hal itu disebabkan oleh pengaruh triguna, yaitu sattwa, rajah, dan tamas. Tiap-tiap makhluk menjadi berbeda kualitasnya menurut dominan tidaknya pengaruh karakter dasar yang disebut yoni. Ada tiga kelompok yoni. yaitu yoni buddhi sattwa, yoni buddhi rajah, dan yoni buddhi tamas.
Demikianlah aku, pianak dari meme-bapa, yakni manifestasi sebagai akibat dari cinta kasih yang menggetarkan hubungan antara meme-bapa, purusa-prakrti. Akan tetapi sejauh kemampuan akal menalarkan esensi ini hanya melahirkan suatu keyakinan dan kepercaryaan bahwa eksistensi aku disebabkan oleh sesuatu yang disebut nenek-moyang, yakni leluhur. Kemudian, kepercayaan ini melahirkan apa yang disebut dengan atman sradha selanjutnya, yang mengalirkan pitra yadnya.
2.3 Meme-Bapa dan Pitra Yadnya
Pitra yadnya adalah suatu upacara kurban tulus ikhlas yang dilandasi dengan hati suci sebagai pengabdian kepada roh lehuhur. Di samping itu, juga disertai doa-doa agar leluhur mendapat kesucian dan status yang lebih tinggi di paraloka sehingga dapat kembali ke asalnya, Brahman. Dengan kata lain bahwa pitra yadnya merupakan pemujaan, persembahan, dan kurban suci yang ditujukan kepada leluhur atau roh nenek moyang. Seperti dijelaskan oleh Sudharta dan Oka Puniatmaja (2001) dalam Upadesa bahwa pitra yadnya adalah kurban atau persembahan yang tulus kepada leluhur atau roh nenek moyang yang sudah meninggal dunia. Putra (1992:29), juga menjelaskan bahwa pitra yadnya adalah kurban suci yang ditujukan kepada leluhur atau pitra.
Purwita (1992:5) menjelaskan bahwa ada empat tahapan dalam rangkaian upacara pitra yadnya, yaitu tahap pertama disebut atiwa-tiwa merupakan tata cara merawat jenazah, seperti memandikan, menggulung, memberikan ramu-ramuan, dan maringkes. Kegiatan ini dikatakan sudah selesai, apabila sudah sampai dengan penguburan jenasah, mangkingsan. Upacara ini dilakukan karena upacara ngaben belum dilaksanakan. Apabila dilanjutkan dengan upacara ngaben maka upacara ini disebut atiwa-tiwa karena hanya sampai dengan jenazah dinaikkan ke bale. Tiwah berarti sama dengan tiwa merupakan upacara penguburan jenazah dari zaman pra-sejarah Indonesia. Tahapan kedua, yaitu ngaben merupakan upacara penyucian roh pase pertama dan peleburan jenazah untuk dikembalikan kepada bentuk asalnya, yaitu panca mahabhuta. Pada upacara ini terjadi pemisahan antara purusa dan prakrti dari orang yang diaben dan dikembalikan ke asalnya masing-masing. Tahapan ketiga, yaitu mamukur yang berasal dari kata bukur. Kata bukur akronim dari kata bu (bhu) yang artinya alam dan kata ur (akar kata dari kata urdhah) yang artinya atas. Jadi, kata bukur berarti menuju alam atas (swarga loka). Mamukur adalah upacara pensucian roh fase kedua yang dapat dilaksanakan, apabila proses upacara pitra yadnya fase pertama (ngaben) itu sudah dilaksanakan. Upacara ini dimaksudkan untuk meningkat kesucian arwah menjadi dewa pitara. Ngalinggihang dewa pitara merupakan upacara atmapratistha, yaitu ngalinggihang roh suci yang disebut dewa pitara di palinggih kamulan di marajan. Upacara ini, juga disebut upacara nilapati.
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa pitra yadnya merupakan wujud persembahan dan cinta kasih generasi manusia yang berkedudukan di alam fana (dunia relatif) kepada leluhur yang berkedudukan di alam niskala (dunia mutlak). Ini menunjukkan bahwa dua alam yang berbeda dapat disatukan dalam persembahan dan cinta kasih berdasarkan keyakinan dan kepercayaan mendalam. Cinta kasih kepada leluhur dalam hal ini dipandang sebagai Rna (Pitra Rna), yaitu hutang kepada leluhur, yang tiada lain adalah kewajiban kepada leluhur, orang tua. Secara moral suatu kewajiban harus dipenuhi karena merupakan sebuah ikatan, yakni ikatan yang sama sekali tidak tampak karena berupa hukum, dharma. Di atasnya alam semesta mendasarkan diri, sanatana dharma, yaitu prinsip yang menyatukan dan menyelaraskan. Dharma kepada leluhur rupanya dapat dipahami dengan baik, walaupun kedua-duanya, baik dharma maupun leluhur merupakan sesuatu yang sangat abstrak. Dikatakan demikian karena eksistensinya dibatasi berdasarkan keyakinan dan kepercayaan yang secara akal tak mungkin terpikirkan. Berdasarkan keyakinan dan kepercayaan ini seharusnya tidak pernah ada dan tidak akan terjadi persoalan tentang perlakuan dan penghormatan terhadap orang tua termasuk kepada meme-bapa. Akan tetapi kenyataan menunjukkan hal yang sama sekali berbeda bahwa tidak banyak meme-bapa (ibu-ayah) atau nini-kaki (nenek-kakek) yang bisa menerima perlakuan dalam pelayanan, bhakti.
Ironisnya lagi tidak sedikit meme-bapa yang sakit hatinya tak tertahankan, akibat dari perbuatan dan tindakan anak-anaknya. Tidak sedikit meme-bapa harus menikmati kemesraan hubungan dengan anaknya dalam suasana kemunafikan. Meme-bapa berusaha bersikap senang dalam keadaan yang sama sekali tidak menyenangkan. Hal ini dilakukan demi cinta kasihnya kepada anak-anaknya, seperti tangisan meme (ibu) ketika melahirkan. Sakit dan tangisan itu hanya semata-mata demi kelahiran anak, si buah hati (cinta kasih) meme-bapa. Hanya meme yang mengerti dan memahami arti dan makna sakit dan tangisan tersebut, yang lain hanya mengiakan saja tanpa makna (apa-apa). Tangis itu dibawa sebagai bekal hidup yang tak pernah habis-habisnya sepanjang lorong waktu dan karma semesta menghendakinya. Mengingat pada gilirannya meme-bapa segera menjadi kaki-nini (kakek-nenek) yang menangisi diri dalam kesendiriannya di sebuah pojok sepi di sudut emper sebelah rumah (mewah yang luas). Mereka menangis, bukan karena keberhasilan dan kesuksesan anak-cucunya dalam dunia yang serba modern. Akan tetapi air mata itu sebagai akibat dari berlimpahnya materi dan kemewahan yang telah diraih oleh anak-cucunya yang telah melemparnya ke sudut ruang kosong itu. Waktu yang telah menggeser dan menggusur dirinya dalam setiap ruang dan kesempatan. Mereka sudah tidak sesuai lagi dengan zaman kemewahan anak-cucunya dan semakin lama semakin banyak hal yang tidak sesuai dengan zaman sehingga semakin banyak hal yang harus disesuaikan kembali. Demikianlah waktu membunuh satu demi satu setiap eksistensi, keberadaan, dimulai dari diri sendiri dan kemudian, segala materi sirna dan yang asasi segera dilahirkan kembali. Padahal di sela-sela keriput kulit pembungkus tulang-belulang rapuh itu tersimpan cinta kasih abadi yang tak terbatas (bagi anak-cucunya). Setidak-tidaknya hal ini dapat disaksikan dalam panti jompo, yang apabila ditanyakan, tidak semua lansia (lanjut usia) itu tidak memiliki anak atau cucu. Padahal panti jompo dan sejenis itu diselenggarakan bagi lansia yang tidak lagi memiliki siapa-siapa sehingga dalam hal ini kemuliaan sebuah yayasan seperti ini benar-benar diuji eksistensinya.
Pitra yadnya yang sesungguhnya dimaksudkan untuk menuntun manusia (Hindu) ke dalam sikap dan perilaku hormat dan bhakti kepada orang tua, ternyata telah mendapatkan makna secara sepihak. Hormat dan bhakti yang ditunjukkan kepada orang tua yang telah meninggal tidak sebanding dengan orang tua yang belum meninggal (masih hidup?). Kontraksi sikap dan perbuatan ini boleh jadi disebabkan oleh suatu keyakinan yang dipahami secara keliru. Sebagaimana dijelaskan dalam Siwatattwa bahwa Widhi berarti yang menetapkan, yang menentukan, dan yang menakdirkan. Dalam hal ini seharusnya meme-bapa adalah Widhi yang paling dekat yang dapat dikenal karena setiap orang dapat dipastikan ditakdirkan dan dilahirkan dari meme-bapa-nya. Sebaliknya, yang melahirkan sebagai yang menakdirkan, malahan hanya dipandang sebagai yang memiliki kewajiban. Siwatattwa, juga mengajarkan bahwa segala sesuatu (keberadaan) terwujud dari unsur yang paling halus sampai dengan yang paling kasar. Sebaliknya, peleburan terjadi dari unsur yang paling kasar sampai dengan yang paling halus. Pemahaman ini membawa pencarian manusia ke luar dari diri sendiri terutama kepada hal-hal yang halus dan sublim, yaitu yang tak terpikirkan, yang tak terumuskan.
Semula, seluruh aktivitas indera terarah keluar diri mencari dan menemukan berbagai objeknya demi pemenuhannya di dalam dunia relatif. Ketakpuasan terhadap dunia materi mengarahkan perhatian dan segenap pemahaman untuk menelusuri dunia sublim yang jauh dari makna material. Kesadaran memasuki wilayah tanpa arti dan makna menembus keberanian berspekulasi terhadap hal-hal di luar norma dan bebas nilai. Mulailah kepercayaan bergayut kepada hal-hal ditakuti, tetapi mempesona seperti yang dikonsepsikan oleh Marret bahwa sikap takut dan terpesona mengalihkan perhatian manusia kepada persoalan religius. Ketakutan akan kutukan leluhur, para dewa, dan kekuatan-kekuatan mistis lainnya telah mendorong kesadaran mistis manusia pada posisi tak berdaya. Menyerah dan takluk di bawah avidya dan nirvidya sehingga manusia terasing dalam lingkungannya dan ketakutan pada diri sendiri. Mereka lupa bahwa Upanisad, juga mengajarkan “neti, neti” (bukan ini, bukan ini). Ini berarti pencarian seharusnya dimulai dari yang kasar, yakni artha, kama, dan dharma. Ini merupakan pengetahuan yang seharusnya dinegasikan sehingga pada gilirannya dapat menjelma menjadi vidya-jnana (pengetahuan benar) yang mengantarkan pengertian dan pemahaman kepada sat-cit-ananda, dan moksa. Seperti diungkapkan Zimmer (2005) bahwa tujuan moksa bukan terletak pada tri varga, yaitu artha, kama, dan dharma atau pada masa brahmacarya, grhastha, dan vanaprastha, melainkan pada masa bhiksuka.
Oleh karena itu kehidupan harus dilalui dalam masa pembelajaran diri dengan menekuni ilmu pengetahuan dan berbagai keterampilan hidup (brahmacarya) dan masa berumah tangga (grhastha) dalam pengabdian penuh kepada masyarakat berdasarkan artha, kama, dan dharma. Pengetahuan empiris-konvensional dan kepemilikan duniawi (artha) dicari untuk memenuhi kesenangan (kama) berdasarkan hukum (dharma). Selanjutnya, artha disisakan digunakan untuk memenuhi kewajiban keagamaan sebagai kepatutan tertinggi untuk mencapai tujuan kehidupan pada tahapan-tahapan berikutnya. Tahapan kehidupan pembuangan diri ke hutan (vanaprstha), yaitu hidup dengan tidak mengutamakan kebutuhan inderawi yang bersifat duniawi dan tahapan kehidupan tanpa memperdulikan kehidupan sendiri, yakni menjadikan diri sebagai peminta-minta (bhiksuka) merupakan landasan pokok untuk mencapai tujuan hidup tertinggi, moksa.
Dengan demikian diperlukan keseimbangan sikap dan perilaku antara dunia relatif (sekala) dan dunia kemutlakan (niskala), antara pemujaan kepada leluhur (pitra yadnya) dan meme-bapa, dan antara yang purusa dan yang prakrti. Mengingat segala sesuatu itu semula berada pada posisinya yang seimbang, yaitu keseimbangan kekuatan antara ketiga guna. Untuk itu yang diperlukan adalah mengembalikan diri kepada keadaannya yang semula, diri yang tanpa aktivitas, tanpa atribut, tanpa penetapan-penetapan, tanpa predikat, dan bebas dari fungsi-fungsi relatifnya. Biarkan diri diam dalam hening selama 15 menit setiap 24 jam. Mengingat introsfeksi diri yang mendalam dapat mengantarkan pengertian dan pemahaman yang terdalam kepada hakikat kemanusiaan dan kepada apa yang disebut harmoni kehidupan.

2.4 Meme-Bapa dan Harmoni Kehidupan
Pada suatu hari, sesudah perang besar antara kaum Kurawa dan kaum Pandawa berakhir dengan kehancuran total pada pihak Kurawa, dan kelima saudara Pandawa duduk bersama Vidura yang bijaksana. Mereka membicarakan manakah yang paling mulia dari antara ketiga tujuan yang dikejar manusia. Adakah itu dharma, artha, ataukah kama – kebenaran, kekayaan, ataukah kesukaan? Demikian tulis Zaehner, (1992:132) dalam bukunya yang berjudul Kebijaksanaan dari Timur: Beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme. Ini berarti tujuan yang hendak dicapai itu merupakan gambaran harmoni kehidupan ideal yang hendak diwujudkan. Sehubungan dengan hal itu Vidura mengatakan dharma-lah nampaknya sebagai tujuan manusia yang tertinggi di dunia. Berkat dharma para bijak zaman dulu merasuk ke dalam brahman, dan di atas dharma ketiga dunia mendasarkan diri. Menurut Vidura harmoni kehidupan lebih ditentukan oleh dharma sebagai hukum kehidupan universal, Rta. Oleh karena itu karma kosmis (nasib) haruslah menjadi pedoman bagi karma individu sehingga seluruh tindakan individu tercerap ke dalam tindakan kosmis. Dengan cara demikian harmoni kehidupan antara individu dan kosmis terwujud dan dengannya para bijak zaman dahulu merasuk ke dalam brahman.
Nakula dan Sahadewa menyetujui pendapat ini dan mengatakan bahwa dharma harus dikejar sebagai yang pertama, baru kekayaan boleh dikejar sesuai dharma dan akhirnya pada kesukaanlah pikiran manusia harus diarahkan. Dalam pemikiran Nakula dan Sahadewa bahwa harmoni kehidupan bisa terwujud, apabila dharma digunakan sebagai panduan dalam mencari kekayaan dan memenuhi kesukaan. Dalam hal ini dharma dijadikan panglima dalam mewujudkan kekayaan dan kesukaan untuk harmoni kehidupan. Jelaslah dalam pandangan ini kebenaran yang bersumber dari dunia mutlak (sanatana dharma) hendak digunakan sebagai landasan untuk pemenuhan terhadap kekayaan dan kesukaan dalam kehidupan dunia relatif. Akan tetapi, Arjuna menolaknya dan mengatakan kekayaanlah yang paling unggul, sementara kebenaran dan kesukaan merupakan kedua sayapnya saja. Rupanya Arjuna memiliki pemikiran yang lebih realistis bahwa untuk mewujudkan harmoni kehidupan hendaklah dimulai dari kesejahteraan terlebih dahulu. Sementara itu, kebenaran dan kesukaan diposisikan pada kesejajaran yang berlawanan untuk menciptakan keseimbangan kehidupan. Konsep harmoni kehidupan dalam hal ini menempatkan kekayaan pada ujung keseluruhan tujuan kehidupan dikendalikan dengan keseimbangan kebenaran dan kesukaan. Kendatipun demikian, Bima lebih memilih memuasi hasrat (kama) terlebuh dahulu, karena itulah tugas manusia, sebagaimana diajarkan dalam Veda. Dia berkata bahwa tanpa hasrat untuk meraih tak ada hasil bisa diperoleh. Lebih dahulu menghasratkannya dan lewat semangat hasrat ini memperoleh hadiahnya. Hasrat adalah rahasia segala keberhasilan, baik material maupun spiritual. Rupanya Bima melakukan pilihan yang terdekat dengan dirinya, bahkan yang ada di dalam dirinya. Hanya seorang munafik yang mengingkari ini. Kendatipun demikian, haruslah ada keseimbangan antara ketiganya. Kebenaran, kekayaan, dan kesukaan harus dikejar bersama karena dia yang unggul adalah yang menguasai ketiga-tiganya (tirvarga).
Yudistira, sang Raja Dharma tak dapat menyetujui satu pun semua pendapat itu sebab pembantaian jutaan manusia berkenaan dengan apa yang disebut manusia sebagai dharma, justru membuatnya muak terhadap dharma itu sendiri. “Coba dengarkan saya, tetapi janganlah kalian dibingungkan”, kata Yudistira sebagai berikut.
Hanya dia yang tidak mempunyai kesenangan, baik dalam kejahatan maupun kebaikan, dalam harta, dharma ataupun kesukaan; hanya dia yang bebas dari (segala) cela (dosha), bagi siapa segumpal tanah dan sepotong emas tak ada bedanya, hanya dialah yang bebas, baik dari kenikmatan ataupun kesakitan, dari kekayaan dan kesuksesan. Kelahiran dan kematian adalah jiwa dari segala ciptaan. Segala sesuatu bisa hancur dan berubah. Lagi mereka mungkin disuruh siapa-siapa oleh banyak orang (guru dan orang bijak) lewat kotbah tentang pembebasan, namun kita tak tahu apakah itu. Tidakkah Tuhan sendiri yang Mahadiri mengatakan bahwa tak mungkin ada pembebasan bagi orang yang mengetahui ikatan cinta (snehena yukta)? Orang-orang bijak mempunyai Nirvana sebagai tujuan mereka, dan melakukan bukannya yang menyenangkan, bukan pula yang tidak menyenangkan (bagi mereka). Itulah hukum yang fundamental, tidak melakukan apa yang kau inginkan. Sebagaimana telah diwajibkan kepadaku, demikian aku melaksanakan. Nasib mengawasi semua makhluk, dan Nasiblah yang lebih kuat. Yakinlah mengenai hal ini. Bukan lewat suatu tindakan (dari dirinya) manusia mampu mencapai tujuan yang melampaui kemampuannya. Ketahuilah bahwa apa yang semestinya ada, pasti akan berada dalam kebenarannya.

Zeahner lebih lanjut menjelaskan bahwa dilema yang dihadapi Yudistira sungguh nyata, dia adalah dharma yang menjelma dan setiap orang mengakui hal ini dan menghormatinya demikian itu. Akan tetapi dia, juga tidak merasa tenang di dunia ini, di mana dharma yang tradisional begitu jelas bertentangan dengan suara hati dan perasaan nurani. Dia tidak melawan kesepuluh perintah yang merumuskan apa yang wajib bagi semua orang tanpa perduli kelas dan kastanya, sebab semuanya cocok dengan kodratnya sendiri, yaitu “ketabahan, kesabaran, mawas diri, tidak mencuri, kemurnian, pengendalian indera, pandangan (dhi), kebijakan, kebenaran, dan penolakan terhadap kemarahan” (Manu, 6:92). Yudistira menempatkan kehidupan religius sebagai panduan dalam mewujudkan harmoni kehidupan, yaitu dengan menempatkan kewajiban sebagai satu-satunya azas tertinggi dalam keseluruhan aspek kehidupan. Dengan melaksanakan kewajiban berdasarkan sepuluh perintah sastra maka ketiga tujuan kehidupan akan terlampaui. Harmoni kehidupan secara mutlak bisa terwujud bagi yang tidak terikat pada dua hal yang berlawanan, seperti yang tidak mempunyai kesenangan, baik dalam kejahatan maupun kebaikan, dalam harta, dharma ataupun kesukaan, hanya dia yang bebas dari (segala) cela (dosha). Bagi siapa segumpal tanah dan sepotong emas tak ada bedanya, hanya dialah yang bebas, baik dari kenikmatan ataupun kesakitan, dari kekayaan dan kesuksesan. Sebagaimana dijelaskan dalam Bhagavadgita, V:3 ketahuilah, dia yang disebut sanyasin senantiasa adalah dia yang tidak membenci dan tidak berkeinginan, bebas dari dualisme, dengan mudah (ia) terlepas dari belenggu (karma). Di samping itu bebas dari dualisme, juga merupakan jalan kebebasan, seperti dijelaskan dalam Bhagavadgita, V:20 bahwa (dia) tidak bergirang menerima suka dan juga tidak bersedih menerima duka, tetap dalam kebijaksanaan teguh iman, mengetahui Brahman, bersatu dalam Brahman.
Harmoni kehidupan dalam beberapa karakternya seperti tersebut di atas sesungguhnya telah menempatkan spirit meme-bapa sebagai dua kutub yang berlawan sebagai dasar dan alasan pemilihan terhadap tujuan hidup. Prinsip penerimaan dan penolakan terhadap dharma (kebenaran), artha (kekayaan), dan kama (kesukaan) di antara karakter harmoni kehidupan tersebut menjadi dasar-dasar pertimbangan atas pilihan-pilihan yang dilakukan. Vidura misalnya, dengan memilih dharma sebagai panduan kehidupan tentu mengabaikan dan menolak artha dan kama. Demikian juga Arjuna, dengan memilih artha sebagai panduan kehidupan telah menempatkan dharma dan kama sebagai sayap untuk menjaga keseimbangan kehidupan. Bima, bahkan memilih kama sebagai panduan kehidupan dengan demikian telah mengabaikan dharma dan artha. Jadi, pemilihan terhadap yang satu selalu terjadi penolakan terhadap yang lain, setiap kali terjadi pemilihan sekaligus pula terjadi penolakan. Prinsip ini sesuai dengan hakikat purusa-prakrti atau meme-bapa sebagai keberadaan yang saling bertentangan.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pada dasarnya kehidupan terdiri atas dua prinsip yang saling bertentangan. Kendatipun demikian kehidupan bukanlah terdiri atas pilihan-pilihan, bahkan bukan pilihan yang serta merta dapat ditentukan berdasarkan pertimbangan akal sebagaimana dilakukan oleh Vidura, Arjuna, Nakula dan Sahadewa, dan Bima. Dengan demikian harmoni kehidupan bukan ditentukan oleh pilihan-pilihan atau ketepatan atas pilihan yang dilakukan, melainkan lebih ditentukan oleh pikiran, sikap, dan perilaku subjek terhadap pertentangan-pertentangan tersebut. Sebagaimana dalam pengalaman empiris bahwa harmoni kehidupan tidaklah mungkin terwujud dengan memilih satu di antara meme dan bapa, melainkan lebih ditentukan oleh sikap dan perilaku anak terhadap mereka. Sikap dan pelayanan penuh yang ditunjukan kepada para leluhur dalam pitra yadnya hendaknya, juga ditunjukkan kepada meme-bapa sebagai Widhi yang paling dekat yang dapat dikenal. Harmoni kehidupan dalam pengalaman empiris dapat diwujudkan melalui mengabdian dan pelayan yang sungguh-sungguh kepada meme-bapa atau kaki-nini. Sikap dan perilaku yang benar terhadap meme-bapa adalah seperti yang diajarkan oleh Yudistira kepada saudaranya.

III Simpulan
Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan, lupa semata-mata berhubungan dengan waktu karena keberadaannya hanya dalam kaitannya dengan pikiran dan waktu tercipta hanya jika pikiran memikirkan. Sifat utama dari pikiran adalah membagi dan menandai realitas menjadi nama-rupa dalam batas kemampuan akal merangkai bahasa. Walalupun demikian, Sankhya mengajarkan bahwa segala sesuatu merupakan manifestasi dari dua unsur asasi yang berbeda dan saling berlawanan, yaitu purusa dan prakrti. Meme-bapa merupakan salah satu prinsip dari rangkaian tersebut yang pada waktunya, juga akan kehilangan arti dan makna. Mengingat cinta sebagai prinsip penggabungan dalam proses penciptaan menggetarkan keseimbangan kekuatan triguna. Kekuatan yang dalam kondisi tak seimbang ini mengganggu keseimbangan hubungan antara purusa dan prakrti. Kemudian, gangguan ini menyebabkan prakrti memberi bentuk dan mentranformasikan diri ke dalam berbagai manifestasi, nama-rupa. Dengan demikian purusa-prakrti atau meme-bapa sebagai simbol cinta kasih abadi mengalirkan segala sesuatu dan menjadi penyebab dari segala yang terlahirkan dan kemudian, berubah menjadi subjek-objek tanpa nilai yang terpinggirkan dan terlupakan, bahkan apabila mungkin ditiadakan.

Daftar Bacaan
Dinas Pendidikan Dasar Bali, 1996, Kamus Indoensia - Bali: Denpasar
Hadiwijono, Harun, 2002, Sari Sejarah Filsafat Barat 1 (cetakan ke 19), Yogyakarta: Kanisius.

____________, 2003, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (cetakan ke 19) Yogyakarta: Kanisius.

____________, 1979, Sejarah Filsafat India, Yogyakarta: kanisius.

Goode, William J., 2004, Sosiologi Keluarga, Jakarta: Bumi Aksara.

Ki Fudyartanto, 2003, Psikologi Kepribadian Dari Timur, Yagyakarta: Pustaka Pelajar.

Mirsha, Rai, Gde Sura, I.B Maka, Wayan Djapa, Nyoman Sujana, I. B Sunu, 1994, Buana Kosa alih aksara dan alih bahasa (Brahma Rahasyam), Upada Sastra, Denpasar.

Ngurah, dkk, 1999, Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi, Surabaya: Paramita.

Pemerintah Propinsi Bali, 2000, Panca Yadnya, Denpasar: Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Beragama.

Pudja, I Gde, 1995, Samaweda Samhita, Jakarta: Hanuman Sakti.

____________, 1999, Bhagavadgita, Surabaya: Paramita.

____________, Tjokorda Rai Sudharta, 2002, Manawa Dharmacastra: Manu Daharma Sastra, Jakarta: CV. Pelita Nursatama Lestari.

Purwita, Ida Bagus Putu,1992, Upacara Mamukur, Denpasar: Upada Sastra.

-------------,2000, Upacara Mamukur, Milik Pemerintah Propinsi Bali.

Radhakrishnan S., 1989, Upanisad-Upanisad Utama I, Jakarta: Yayasan Parijata.

______________, 1989, Upanisad-Upanisad Utama II, Jakarta: Yayasan Parijata.

______________, 2003, Agama-Agama Timur dan Barat, Denpasar: Program Magister Ilmu Agama Dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia Bekerjasama dengan Widya Dharma.

______________, 2003, Religion And Society, Denpasar: Program Magister Ilmu Agama Dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia Bekerjasama dengan Widya Dharma.

Sudharta, Tjok Rai, Ida Bagus Oka Punia Atmaja. 2001. Upadesa tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu. Surabaya: Paramita.

Suka Yasa, I Wayan, 2004, Tesis: Brahma Widya dalam Kearifan Lokal dan Implementasinya dalam Tradisi Masyarakat Hindu di Bali, Denpasar: Program Magister (S2) Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI.

Sura, dkk. I Gede. 1989. Tattwa Jñàna Kajian Teks dan Terjemahan. Denpasar: Upada Sastra

_____. dkk. 1994. Bhuwanakosa (Alih Aksara dan Alih Bahasa). Denpasar: Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali.

_____. dkk.1994. Wrhaspati Tatwa, Ganapati Tatwa, Tatwa Jnàna Kajian Teks dan Terjemahannya. Denpasar: Kantor Dokumentasi Budaya Bali.

_____. dkk. 1996. Bhuwana Mahbah. Denpasar: Kantor Dokumentasi Budaya Bali.

_____. dkk. 2001. Alih Aksara dan Terjemahan Tutur Medang Kemulan. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.

_____. 2000. Siwa Tattwa. Denpasar: Pemerintah Daerah Tngkat I Bali.

_____. dkk. 2002. Agastya Parwa Teks dan Terjemahan. Denpasar: Widya Dharma.

Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia:Gitamedia Press.

Zaehner, Robert C., 1992, Kebijaksanaan Dari Timur: beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme, Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka Utama.

Zimmer, Heindrich, 2003, Sejarah Filsafat India, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.





[1] Bhagavadgita pada bagian Arjuna Visada Yoga, yang menjelaskan tentang keraguan Arjuna ketika di tengah medan kuru bahwa kenyataan menunjukkan ia harus berhadapan dengan kakek, guru, saudara, dan rakyatnya diuraikan dalam sloka 26 sampai dengan 46.
[2] Sebagaimana dijelaskan oleh Suka Yasa dan Prastika (2006) berdasarkan sastra-sastra lontar (seperti dalam daftar pustaka) koleksi perpustakaan keluarga (koleksi pribadi) bahwa meme-bapa merupakan konsep dasar bagi rancang bangun keyakinan dan kepercayaan masyarakat Hindu di Bali. Keyakinan ini dikatakan merupakan keyakinan yang sangat purba yang telah menjiwai segenap sikap dan perilaku mistis-religius masyarakat Bali yang tampak dalam berbagai jenis pemujaan terutama yang bersifat tantris.
[3] Lebih lanjut dapat dilihat dalam Harun Hadiwijono, 1979, Sejarah Filsafat India khususnya tentang sistem filsafat Sankhya terutama arumentasinya mengenai Purusa-Prakrti.
[4] Lebih lanjut dapat dilihat dalam Maswinara, 2005, Sistem Filsafat Hindu: Sarva Darsana khususnya tentang sistem filsafat Sankhya terutama argumentasinya mengenai Purusa-Prakrti.
[5] Lebih lanjut dapat dibandingkan dengan konsepsi tri guna dalam Bhagavadgita yang perkembangannya diawali dari dualisme murni sampai dengan prinsip pluralisme mengalir ke dalam kesatuan Purusotama.
[6] Hal ini dapat dibandingkan dengan argumentasi Demokritos mengenai atom dalam filsafat Barat. Dikatakan bahwa gerakan disebabkan karena ada ruang yang berisi, penuh dan ruang yang kosong. Gerakan ini terjadi secara spontan, artinya dengan sendirinya tanpa pengaruh khusus dan menuju ke semua jurusan. Kemungkinan-kemungkinan yang ditimbulkan oleh gerak yang spontan, yang mengarah ke segala jurusan itu ialah bahwa atom-atom saling kait-mengait. Kejadian ini menyebabkan adanya gerak putting beliung, yang makin lama makin banyak menarik atom, yang besar di pusat, yang lebih halus dilontarkan ke tepi. Demikianlah kosmos terbentuk. Menurutnya jiwa manusia, juga terdiri atas atom, yaitu atom yang paling halus dan bundar.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...