Dekonstruksi

MEMAHAMI JEJAK-JEJAK DEKONSTRUKSI JACQUES DERRIDA

I Wayan Sukarma

Penggalan Kisah Hidup Jacques Derrida
“Seorang filsuf harus lebih mementingkan karya dan pemikirannya ketimbang kisah hidupnya”, ungkap Derrida ketika menolak menulis sebuah otobiografinya secara utuh dalam wawancara dengan wartawan majalah LA WEEKLY, pertengahan Nopember 2002 (Al-Fayyadl, 2005:1). Walaupun demikian Al-Fayyadl (2005) dengan menelusuri beberapa “memoar” yang ditulis Derrida, seperti The Postcard: From Socrates to Freud and Beyond (1983) dan Memoirs of the Blind: the Self-Potrait and Other Ruins (1993) menemukan sosok Derrida yang enigmatik, penuh gairah, dan tak pernah mengenal puas. Selengkapnya hasil penelusuran yang dilakukan oleh Al-Fayyadl (2005) seperti berikut di bawah ini.
Derrida seorang keturunan Yahudi lahir di El-Biar, wilayah Aljazair, pada 15 Juli 1930. Pada 1949 Derrida pindah ke Perancis melanjutkan sekolah, dan pada 1957 ia kembali ke Aljazair memenuhi kewajiban militernya dengan mengajar bahasa Perancis dan Inggris kepada anak-anak tentara. Sejak 1952 Derrida resmi belajar di Ecole Normal Superiuere (ENS), sekolah yang dikelola oleh Michel Foucault, Louis Althusser, dan sejumlah filsuf garda depan Perancis. Setelah meraih gelar kesarjaannya yang pertama (agregation), Derrida resmi mengajar di Husserl Archive. Pada 1960 Derrida dipanggil untuk mengajar filsafat di Universitas Sorbonne. Sejak 1964 sampai dengan 1984 Derrida mengajar di Ecole Normal Superiuere (ENS). Pada 1966 ia menyampaikan ceramah legendaris di Universitas John Hopkins dengan tajuk “Structure, Sign, and Play in the Discourse the Human Sciences”.
Pada 1980 Derrida mempertahankan tesis doktoralnya (These d’Etat) yang berjudul “The Time of a Thesis: Punctuations”. Pada 1986, Derrida secara resmi diangkat sebagai guru besar humaniora di Universitas California, Irvine. Sejak 1986 Derrida berturut-turut menerima gelar doktor kehormatan dari Universitas Cambrige, Universitas Columbia, the New School for Social Research, Universitas Essex, Universitas Louvain, dan Williams College. Penghargaan ini ditambah dengan pengukuhannya sebagai anggota honorer American Academy of Art and Sciences. Pada 2001, Derrida menerima Anugerah Adorno (Adorno-Preis) yang sangat prestius di Jerman. Akan tetapi sejak didiagnosis menderita kanker hati pada 2003, Derrida mengurangi jadwal acaranya.
Ia bukan tipikal pemikir yang berdiam “di menara gading” karena dalam beberapa kesempatan ia menunjukkan pemilihan politiknya. Ia sempat ditangkap oleh pemerintah Ceko pada 1981 setelah memberikan ceramah pada sebuah konferensi di Praha, walaupun tak lama kemudian dibebaskan atas permintaan pemerintah Mitterand. Ia menjadi aktivis anti-apartheid sejak 1983, dan pada 1988 ia mengunjungi Yerusalem untuk bertemu dengan para intelektual Palestina. Derrida juga aktif dalam forum “89-for-equality” yang mengampanyekan hak-hak politik imigran. Pada dekade 1990-an ia sempat memprotes hukuman mati dan aktif mengampanyekan tuntutan pembebasan Mumia Abu-Jamal, seorang wartawan negro yang mendapat perlakuan rasis dari polisi. Sewaktu belajar di Ecole Normal Superiuere (ENS) ia sempat bergabung dengan gerakan komunis. Namun ketertarikan Derrida terhadap Komunisme dan Marxisme segera pudar setelah kecewa melihat Marxisme diselewengkan oleh sebagian pewarisnya menjadi ideologi tertutup.
Perkenalannya dengan Foucault dan Althusser selama belajar di Ecole Normal Superiuere (ENS) menorehkan jejak mendalam pada pemikirannya. Namun minat Derrida terlanjur kuat untuk mempelajari fenomenologi terutama melalui versinya yang paling awal pada pemikiran Husserl dan Heidegger. Naskah pertama ditulis Derrida adalah manuskrip The Problem of Genesis in Husserl’s Phenomenology yang diserahkan sebagai prasyarat memperoleh gelar sarajana filsafat pada 1954. Pada 1962 Derrida mempublikasikan terjemahan atas karya Husserl, Foundations of Geometry, yang disertai dengan pengantar panjang oleh Derrida sendiri. Derrida mengkritisi pandangan Husserl tentang tanda dan kecenderungannya dalam menafikan fungsi tanda dalam kesadaran. Kritik Derrida secara umum berkisar pada apa yang disebut sebagai “kehadiran” atau “logosentrisme”, yakni kecenderungan metafisika untuk mengukuhkan kebenaran absolut dalam bahasa atau fenomena. Ketika berceramah di Universitas John Hopkins, Derrida bertemu dengan Paul de Man dan terpengaruh pemikirannya tentang bahasa. Bagi Derrida, de Man-lah orang pertama yang dengan baik memperlihatkan pembacaan dekonstruktif terhadap bahasa melalui telaah-telaahnya atas teks-teks literer dan filsafat; bahkan Derrida menulis sebuah persembahan untuk de Man, yang ditulis lama sesudah itu, Memoires: Pour Paul de Man (1988). Konferensi “The Languages of Criticism and the Sciences of Man” yang digelar di Universitas John Hopkins memberi pengaruh luar biasa bagi iklim intelektual Perancis karena tak lama sesudah itu mulai tumbuh kecenderungan baru ke arah posstrukturalisme.
Pada 1967 Derrida mengawali serangkaian kuliah yang disampaikan pada konferensi Baltimore, Amerika. Tiga bukunya terbit pada tahun ini, yakni Of Grammatology, Wrting and Differences, dan Speech and Phenomena. Ketiga buku ini terdiri atas sejumlah esai hasil pembacaannya atas Jean-Jacques Rousseau, Ferdinand de Saussure, Husserl, Levinas, Heidegger, Bataille, Hegel, Foucault, Descartes, Levi-Strauss, Freud, Edmond Jabes, dan Antonin Artaud. Of Grammatology dikatakan sebagai karya besar Derrida yang paling fundamental dalam pemikirannya. Di sana ia memulai sebuah proyek filsafat yang berbasis pada tulisan sebagai perlawanan terhadap dominasi logosentrisme dalam metafisika Barat. Pada 1972 terbit dua bukunya yang tak kalah monumental, Dissemination dan Margins of Philosophy. Pada tahun ini pula terbit kumpulan wawancaranya, Positions. Hingga kini bibliografi karya Derrida sudah mencapai lebih dari 60 buku dan ratusan esai yang diterbitkan secara massal di jurnal-jurnal internasional. Kerja keras Derrida mencapai puncaknya pada Sabtu dini hari, 9 Oktober 2004, ketika dunia akhirnya harus merelakan sang filsuf pergi untuk selama-lamanya. Derrida meninggal di Paris setelah dua tahun terakhir berjuang melawan vonis serangan kanker pankreas yang dideritanya.
Derrida terus terang mengakui bahwa pemikirannya sangat berhutang budi kepada Heidegger, Nietzsche, Ardono, Levinas, Husserl, Freud, dan Saussure. Pengaruh ini dengan jelas tertuang dalam esai-esainya dan cara pembacaannya terhadap teks-teks filsafat. Heidegger memberi warna tersendiri bagi Derrida, karena dialah orang pertama yang mempertanyakan ontologi dan memulai diskusi filosofis yang bernas tentang krisis metafisika. Semangat yang sama diwarisi Derrida dari Nietzsche yang telah membebaskan metafisika dengan permainan dan sinismenya yang terkenal itu. Hal serupa juga dialaminya dari Ardono, Levinas, dan Freud yang bagi Derrida lebih dari sekadar memberi nuansa baru bagi pemikiran filsafat, tetapi juga menumbangkan klaim-klaim modernitas dan proyek emansipasi alam Pencerahan. Kaitan Derrida dengan arus posmodernisme sangat jelas, karena gerakan posmodernisme sendiri sebenarnya muncul setelah posstrukturalisme mencapai kematangannya. Kritik teks dan pembacaan diskursif melalui dekonstruksi telah ikut mengawali lahirnya posstrukturalisme, dan peran Derrida dalam hal ini tentu saja tidak bisa diabaikan.

Derrida dan Posmodernisme
Derrida dan teori dekontruksinya hingga kini masih memicu kontroversial dan perdebatan di kalangan akademisi dan teoretisi. Bagi pendukungnya dekonstruksi bukanlah teori biasa yang dengan mudah dipetakan ke dalam sebuah definisi. Malahan dekonstruksi sendiri cenderung menghindari definisi apa pun sehingga sama sekali tidak bisa didefinisikan dan terbuka terhadap berbagai penafsiran. Apakah benar dekonstruksi tidak dapat didefinisikan? Jawabannya, seperti dijelaskan oleh Al-Fayyadl (2005) seperti berikut di bawah ini.
Dekonstruksi bukanlah sebuah teori dalam pengertian yang normal, melainkan teori yang membuka diri untuk ditafsirkan oleh siapa pun, lantaran dimensinya yang amat luas. Dekonstruksi adalah strategi tekstual yang hanya bisa diterapkan langsung jika kita membaca teks lalu mempermainkannya dalam parodi-parodi. Lebih jauh bisa dikatakan bahwa dekonstruksi bersifat antiteori atau, bahkan antimotode, karena yang menjadi anasir di dalamnya adalah permainan (play) dan parodi. Sifatnya yang demikian itu mendapat tanggapan serius dari sebagian ilmuwan terutama dari mereka yang memegang positivisme dan “modernis”. Keberatan utama terhadap teori dekonstruksi adalah “metode” ini cenderung relativis atau, bahkan nihilistik terhadap diskursus sehingga tak jarang dikatakan bahwa dekonstruksi hanyalah intellectual ginmick (tipu muslihat intelektual) yang tidak berisi apa-apa, selain permainan kata-kata. Keberatan ini tidak beralasan jika kita dapat meletakkan pemikiran Derrida dalam konteks yang lebih luas. Pemikiran Derrida lahir ketika modernisme dan proyek Pencerahan yang diusung para filsuf berhaluan humanis tengah mendekati titik kehancuran. Situasi ini disebut sebagai era posmodernisme.
Posmodernisme merupakan reaksi dan kritik (sistematis) terhadap keseluruhan proyek modernisme di Barat yang pada dasarnya berintikan pandangan-dunia yang berorientasi pada kemajuan (the idea of progress). Sebagai sebuah proyek, modernisme tidak bisa lepas dari asumsi-asumsi filosofis yang membentuk pandangan-dunia dan menjadi fondasi dasar seluruh bangunan epistemologinya. Adapun asumsi-asumsi tersebut sebagai berikut.
(1) Pengetahuan senantiasa bersifat objektif, netral, bebas nilai (free valued).
(2) Manusia merupakan subjek, sementara alam menjadi objek.
(3) Pengetahuan terhadap realitas adalah positif, gamblang, dan jelas (distinctive).
(4) Rasio dan akal budi merupakan sumber satu-satunya otoritas yang memiliki kebenaran tak tergugat.
(5) Manusia adalah pelaku dan penggerak sejarah dan karenanya memegang kendali (dan monopoli) atas berbagai perubahan sosial, politik, ekonomi, dan aspek-aspek kehidupan lainnya.
Gelombang posmodernisme mematahkan asumsi-asumsi filosofis tersebut dan mempertanyakan klaim-klaim yang dianut modernisme untuk mempertahankan proyek Pencerahannya. Jean-Francois Lyotard menyebut asumsi-asumsi tersebut sebagai “narasi-narasi besar” (grand narratives) yang basis legitimasinya berupa rasionalisme, positivisme, materialisme, dan humanisme. Semua paham ini melegitimasi proyek-proyek Pencerahan, seperti Kebebasan, Kemajuan, dan Emansipasi. Pada intinya narasi ini ingin mempertegas posisi manusia sebagai subjek dan rasio sebagai pusat. Di era posmodern kedudukan manusia dan rasio bukanlah segala-galanya, pengetahuan tentang dunia tidak seluruhnya bersifat objektif sebagaimana diduga, melainkan lahir dari pengalaman dan sering kali ambigu, eksistensial, dan dramatik. Selain itu, narasi-narasi besar yang didengung-dengungkan para filsuf Pencerahan terbukti otoriter karena menotalkan segala bentuk pengetahuan ke dalam suatu sistem yang koheren dan stabil. Dari perspektif ini, “posmodernisme” dapat dimaknai sebagai ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi besar, yang menjelma dalam filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala bentuk sistem pemikiran yang menotalisasi, seperti Hegelianisme, Marxisme, Liberalisme, dan lain sebagainya.
Posmodernisme bukanlah gerakan yang hanya terpola pada satu pengertian, melainkan terbuka dan merangkul berbagai penafsiran yang berbeda, tetapi dengan satu tujuan, yaitu membendung ambisi modernisme sebagai proyek pemikiran dan kosekuensi-konsekuensi negatif yang dibawanya. Jadi, posmodernisme adalah gerakan yang sangat beragam. Ini sejalan dengan watak posmodernisme yang merayakan perbedaan dan pluralitas serta menolak untuk mereduksi segala hal ke dalam satu pengertian atau pola tertentu. Secara umum, posmodernisme bisa diklasifikasikan menjadi tiga kategori sebagai berikut.
(1) Pemikiran yang hendak merevisi paradigma kemodernan dengan merujuk kembali pola-pola berpikir pramodern, meskipun tidak dalam artian primitif. Misalnya, gerakan spiritual New Age, mengajak manusia modern kembali kepada kebijaksaan kuno (philosophia perennis) atau metafisika Timur yang menjunjung tinggi nilai-nilai holistik dan kearifan. Tokohnya, Fritjof Capra, Fritjof Schuon, Garry Zukav, Illya Prigogine, dan Ken Wilber.
(2) Pemikiran yang hendak merevisi paradigma kemodernan dengan mengoreksi tesis-tesis tertentu dari modernisme, namun tanpa menolaknya secara total. Rasionalitas atau adanya keyakinan tentang kebenaran yang objektif diakui, namun sejauh terbuka untuk menerima pluralitas dan kritik. Mereka tidak menolak sains, tetapi mengecam saintisme yang mengklaim kemutlakan kebenaran ilmiah. Tokohnya, David Bohm, A.N Whitehead, Frederick Ferre, Davis Ray Grffin, dan J. Cobb Jr. Gerakan lain yang tergabung dalam kategori ini adalah mereka yang merumuskan ulang rasionalitas, emansipasi, objektivitas, dan tesis-tesis utama modernisme dan mendialogkannya dengan realitas plural masyarakat. Misalnya, Jurgen Habermas bisa dianggap representasi kelompok ini, selain itu juga ada Hans-Gerorg Gadamer dan Paul Ricour.
(3) Pemikiran yang terkait dengan literary studies dan banyak meminjam paradigma dan pendekatannya dari disiplin kebahasaan (linguistik). Kata kunci yang populer untuk kelompok ini adalah “dekonstruksi”, sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Heidegger dan belakangan diradikalkan lebih jauh oleh Derrida. Kecenderungan kelompok ini adalah keinginannya untuk mengatasi segala bentuk pandangan dunia modern melalui gagasan yang sama sekali anti-pandangan-dunia. Mereka merelatifkan, bahkan menihilkan segala unsur penting yang membentuk pandangan-dunia, seperti diri, Tuhan, tujuan, makna, dunia nyata, metafisika, dan lain-seterusnya. Relativisasi ini berarti mencari sudut pandang alternatif yang cenderung disingkirkan oleh pandangan yang dominan. Nilai-nilai fundamental modernisme dibenturkan secara kontrakdiktoris dengan konsekuensi-konsekuensi logis paling ekstrem yang sering kali tak terduga dari modernitas itu sendiri. Cara yang ditempuh dengan menunjukkan cacat-cacat tersebut bermacam-macam.
Dengan cara yang berbeda, Derrida mendemontrasikan kontradiksi-kontradiksi modernisme melalui sistem metafisika yang menjadi pandangan-dunianya. Untuk itu Derrida menerapkan dua strategi sebagai berikut.
(1) Dia membaca teks-teks filsafat yang ditulis oleh para filsuf Barat sejak era Pencerahan. Dari telaahnya, Derrida sampai pada kesimpulan bahwa tradisi filsafat Barat sepenuhnya didasarkan pada apa yang diistilahkannya sebagai “logosentrisme” atau “metafisika kehadiran” (metaphysics of presence). Ringkasnya bahwa “logosentrisme” adalah sistem metafisik yang mengandaikan adanya logos atau kebenaran transendental di balik segala hal yang tampak di permukaan atau segala hal yang terjadi di dunia fenomenal. Dalam teks-teks filsafat, kehadiran logos ditampilkan dengan hadirnya “pengarang” (author) sebagai subjek yang memiliki otoritas terhadap makna yang hendak disampaikannya. “Kehadiran” pengarang sebagai representasi dari atau, bahkan logos inilah yang diisyaratkan secara metaforis oleh Derrida dengan istilah “metafisika kehadiran”.
(2) Dia membaca dan menafsirkan teks-teks filsafat lalu membandingkannya satu sama lainnya untuk menemukan “kontradiksi internal” yang tersembunyi di balik logika atau tuturan teks tersebut. Hampir semua karya Derrida dihasilkan dari model pembacaan “dekonstruktif” semacam ini. Derrida memilih sebuah teks yang dianggapnya cukup representatif, lalu membubuhkannya dengan catatan kaki untuk mengorek dan mengusik “logika” yang stabil dari teks tersebut. Strategi ini terbukti jitu karena menawarkan pembacaan yang sama sekali radikal sehingga membuat teks yang dikaji tidak lagi utuh sebagai sebuah karya, melainkan jalin-menjalin dengan karya-karya lain yang juga dikomentarinya. Inilah yang disebut membaca teks secara dekonstruktivitis sehingga gaya berfilsafat Derrida pun terbilang unik dan tak lazim.
Tanda-tanda berakhirnya metafisika sebenarnya sudah menampakkan diri semenjak konsep “destruksi” yang digagas Heidegger yang kemudian diambil alih oleh Derrida dengan istilah baru yang lebih radikal “dekonstruksi”. Destruksi dilakukan untuk mengkritik sebuah bangunan epistemologis, berupa tradisi metafisika Barat, namun tetap membuka peluang yang lebar untuk membangunnya kembali dan mengkonstruksinya. Sementara itu, dekonstruksi tidak berhenti pada mengkritik, tetapi merombak dan mencari kontradiksi-kontradiksi yang inheren dalam bangunan tersebut, lalu membiarkannya centang-perenang dan tidak memungkinkannya untuk dibangun kembali. Derrida menyadari bahwa narasi muncul dari teks, dan teks berurusan secara langsung dengan bahasa. Derrida kemudian mencari strategi pembentukan makna di balik teks-teks itu, antara lain dengan mengeksplisitkan sistem-sistem perlawanan yang tersebunyi atau cenderung didiamkan oleh sang pengarang. Oleh karenanya Derrida mengasumsikan bahwa filsafat pada dasarnya adalah tulisan. Filsafat berurusan langsung dengan teks, dan teks itu adalah tulisan. Menurut Derrida, tugas dekontruksi adalah menghilangkan ide-ide ilusif yang selama ini menguasai metafisika Barat, yaitu ide yang mengatakan rasio bisa lepas dari bahasa dan sampai kepada kebenaran, atau metode murni dan otentik dalam dirinya sendiri tanpa bantuan yang lain (Norris,2003:58).
Derrida menunjukkan cara baca dekonstruksi memperlihatkan bahwa setiap tulisan filosofis mengandung banyak kelemahan dan kepincangan yang tidak bisa lagi dibenahi dengan mengembalikan teks kepada strukturnya yang paling awal. Di balik teks-teks itu, tidak ada lagi pusat atau subjek yang dapat diacu oleh pengarang. Yang ada hanyalah kekuatan-kekuatan yang menyebar secara acak dan beragam yang tidak mungkin direduksi. “Di balik teks filosofis, yang terdapat bukanlah kekosongan”, “melainkan sebuah teks lain: suatu jaringan keragaman kekuatan-kekuatan yang pusat referensinya tak jelas”. Jadi, model realitas yang ditawarkan filsafat otomatis tidak seratus persen bisa diterima atau bermakna. Derrida lebih jauh mengajak berpikir “tanpa konsep tentang kehadiran atau absensi, tanpa sejarah, tanpa tujuan, tanpa archia ataupun telos, berpikir tentang suatu tulisan yang akan mengacaukan dialektika, teologi, teleologi ataupun ontologi”. Lubis (2004) menegaskan, persoalan yang digugat Derrida dengan metode dekonstruksinya adalah tradisi filsafat Barat yang menganggap penggunaan bahasa dapat digunakan untuk mencapai kebenaran dan makna yang metafisik/ transendental. Serangan yang digunakan adalah serangan terhadap logosentrisme yang menjadi dasar bagi totalitarianisme dan esensialisme. Bagi Derrida tidak ada kebenaran ilmu pengetahuan yang absolut, yang ada ialah hanya representasi khusus.
Proyek dekonstruksi Derrida, pertama, menolak dikotomi konseptual antara “kehadiran” (presence) dan “absensi” (absence). Dengan kata lain, antara metafisika yang didasarkan pada kehadiran subjek dan ketiadaan subjek lainnya. Dengan menolak semua dikotomi maka yang terjadi adalah terbukanya peluang bagi subjek-subjek yang selama ini ditiadakan secara sistematis oleh filsafat/metafisika Barat untuk tampil ke permukaan. Kedua, Derrida menolak adanya “asal-usul” (archis, origins) yang diyakini secara metafisik sebagai sumber kebenaran atau fondasi bagi filsafat untuk membangun asumsi-asumsi filosofisnya. Derrida menyarankan meninggalkan konsep “tujuan” (telos) yang diandaikan dalam filsafat tradisional sebagai titik akhir dari seluruh proses pencapaian filosofis. Konsep telos banyak bersangkut-paut dengan gagasan “kausa final” dalam paradigma Aristotelian sering dimaknai sebagai tujuan akhir dari tiga rangkaian kausa material, kausa efesien, dan kausa formal. Keempat kausa ini merupakan rentetan proses kesinambungan yang terjadi secara metafisik pada segala sesuatu. Kausa material menjadi sebab eksistensi sesuatu di dunia material. Di dunia material kausa efisien menjadi penyebab segala hal yang memungkinkan segala sesuatu terjadi. Sementara itu, kausa formal menjadi penyebab yang memungkinkan sesuatu berkembang. Di antara ketiga kuasa ini, kausa final merupakan puncak dan akhir yang tidak memungkinkan apa pun lagi terjadi, karena “yang akhir” menandai segalanya telah sampai di tujuannya. Telos tidak saja mengisyaratkan bahwa segalanya telah sempurna, melainkan juga telah sampai pada realisasi akhir yang transenden dari segala jenis perubahan.
Ketiga, Derrida mengajukan pertimbangan filsafat sebagai tulisan. Ini merupakan inti dari proyek dekonstruksi sebab dengan meletakkan filsafat dalam kapasitasnya sebagai tulisan, konsep-konsep khas metafisika kehadiran, seperti “subjek”, “pengarang”, atau “pusat” dengan sendirinya luruh. “Tulisan” yang dimaksud Derrida adalah teks yang tidak lagi memiliki referensi yang menjadi pusat dari struktur, atau teks yang memiliki kemungkinan tak terhingga untuk dibaca dan ditafsirkan. Dalam tulisan yang dibayangkan Derrida, stabilitas dan koherensi makna ditangguhkan dengan memberi ruang bagi munculnya penafsiran-penafsiran yang berbeda dari keinginan pengarang. Pada prinsipnya, “tulisan adalah metafor” tentang suatu kenyataan yang berjalin-jalin dan saling bertautan, yang bekerja tanpa mediasi oleh subjek. Tulisan mengatasi segala bentuk metafisika dan kehadiran. Melalui pembacaannya atas tradisi metafisika Barat, Derrida sampai pada kesimpulan bahwa tradisi itu mesti diakhiri. Dekonstruksi adalah perayaan terbuka terhadap the end of metaphysics.

Jejak-jejak Dekonstruksi
Merangkum pemikiran Derrida tentang dekonstruksi Al-Fayyadl (2005) mulai dari peradaban labirin, yakni lorong yang dipenuhi jalan-jalan setapak dan lorong-lorong maut yang gelap dan menyesatkan; sebuah metafor yang selalu hadir dalam lambo ingatan; simbol dari kegilaan dan hasrat penasaran yang tak pernah lekang akan permainan; dan juga kecanduan manusia akan misteri dunia yang tak kunjung jemu. Berdasarkan peradaban ini kemudian penelusuran dilakukan dengan mengenali wajah relatif kebenaran sebagai jejak pertama; jejak kedua tentang teologi apokaliptik – agama tanpa agama; jejak ketiga tentang masa depan tak terbatas – etika historitas dan politik dekonstruksi; dan diakhiri pada jejak keempat, yaitu menuju rasionalitas pascametafisika. Al-Fayyadl lebih lanjut menguraikan hasil penelusurannya seperti berikut di bawah ini.

Perdaban Labirin: “Exergue”[1]
Dekontruksi sebagai sebuah proyek emansipasi teks dan tanda, menandai lahirnya dua hal yang bagi Derrida merupakan karakteristik penting dari berakhirnya modernitas: senjakala buku (the end of the book) dan kelahiran teks (the opening of the teks)[2]. Buku adalah matafor tentang totalitas yang dibangun dengan membungkam perbedaan-perbedaan dan meringkusnya ke dalam satu keutuhan. Peradaban metafisika, kata Derrida adalah peradaban buku yang memuja totalitas dengan menyingkirkan perbedaan-perbedaan. Sejarah juga dibangun dengan prinsip buku yang menyeleksi, menormalisasi, dan menstabilkan penyimpangan-penyimpangan yang dinilai berbahaya dan mengancam keutuhan dan integritas wacana. Sebuah buku yang dirangkai secara sistematis dan disajikan sebagai sebuah kesatupaduan yang komprehensif tetaplah terdiri atas huruf-huruf, aksara-aksara, dan barangkali juga angka-angka. Di dalam huruf yang tampak bisu dan diam itu, tersembunyi kekuatan yang tak mungkin selamanya dirangkum ke dalam totalitas. Sebuah huruf yang merapat di antara barisan kata-kata terkadang menyuarakan sesuatu yang lain – semacam enigma yang tak terselami, tetapi memikat dan barangkali juga tak terlalu mudah untuk dijinakkan.
Dekonstruksi bermula dari huruf. Sebuah huruf yang tampak tersisih ternyata dapat dijadikan strategi tekstual untuk merombak bangunan metafisika yang megah dan tegak menjulang. Nasib metafisika oleh Al-Fayyadl (2005:166) dibandingkan dengan menara Babel yang dalam Perjanjian Lama: sebuah menara yang tinggi mahaluas dengan ribuan kamar yang dibangun untuk menjangkau langit dan menyaingi keakbaran Tuhan. Namun Tuhan tidak berkenan. Dia menghancurkan manara itu dan mengacaukan rencana manusia itu “sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing”. Mereka pun berserakan ke seluruh penjuru bumi. Mungkin kehancuran menara Babel hanya ada di dalam mitos, tetapi pesan dari metafor kehancuran itu terasa begitu kuat: kita tidak mungkin membangun sebuah totalitas yang utuh, selain mengikuti perbedaan yang merupakan kodrat dari kehidupan. Derrida menyamakan kehancuran menara babel ini dengan dekonstruksi, yang tidak saja “memperlihatkan ketidakmungkinan mereduksi kemajemukan bahasa, tetapi juga menunjukkan sebuah ketidaksempurnaan, ketidakmungkinan untuk menyelesaikan, untuk menotalkan, untuk memenuhi, untuk menyempurnakan sesuatu di atas tataran perbaikan, konstruksi arsitektural, sistem dan arsitektonik”. Barangkali di sinilah letak penting dekonstruksi. Ia mengingatkan bahwa ada perbedaan – difference – yang tak selamanya tertaklukkan, pelbagai jejak dari masa silam yang tidak memungkinkan kita membawa makna sebuah teks pada kepenuhannya. Dalam perbedaan-perbedaan yang menyebar dan tak tertampung oleh totalitas itu, sebuah sistem pemikiran yang hendak meleburkan segalanya akan terbentur dengan berbagai perubahan di masa depan. Metafisika yang selama ini dipertahankan dalam peradaban Barat terbukti mengalami krisis mendalam ketika dihadapkan pada tuntutan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian dan pelbagai kemungkinan.
Teks adalah universum tanpa batas. Teks adalah sebuah bentangan pemaknaan yang menghampar, bertaut tanpa akhir, jalin-menjalin, melimpah-ruah ke segala penjuru, terus-menerus, mengalir tak henti-henti. Yang tergambar adalah sebuah gerak tak berarah yang bergulir dari satu medan ke medan baru, menerabas batas, dan menembus ruang yang tersembunyi. Gerak sebuah teks tak punya awal dan tak kunjung final. Ia lebih menyerupai sebuah avontur, sebuah gerak menjelajah yang tak punya tujuan pasti kecuali mengikuti arah angin yang tak selamanya tetap. Sebuah teks, sebagaimana selalu didengungkan oleh Derrida, ibarat sebuah gurun pasir tak bertepi yang menelantarkan kafilah dari tujuannya. Dalam gurun yang cuma dihuni oleh kaktus dan semilir angin malam, seorang pengembara hanya bisa berjalan mengikuti bayang-bayang fatamorgana yang tak terkejar. Ia tak akan pernah mampu merengkuh apa yang diinginkannya. Ia hanya bisa bergegas mencari mata angin, tetapi yang ditemukannya tetaplah bayang-bayang dan jejak-jejak yang bertaburan entah dari mana. Dalam kerangka inilah sebuah teks tidak pernah bepretensi hadir sebagai sesuatu yang “bulat” dan selesai. Di sana ada proses yang tak kunjung menemukan format akhirnya dalam sebuah rumusan yang mutlak. Sebuah teks tak pernah menuntut sebuah formula yang komprehensif. Yang hadir di sana lebih merupakan sebuah undangan menuju penafsiran yang tak kunjung putus, yang merangsang pembacanya untuk mempertanyakannya kembali apa yang telah diperolehnya. Dengan demikian dalam sebuah teks tak ada lagi acuan tunggal yang dapat dijadikan tumpuan makna. Semuanya menyebar ke segala arah dan menciptakan pusat-pusat yang tak stabil, yang dengan segera digantikan dengan pusat-pusat baru yang berangkai, berjalin-kelindan, dan beralih rupa dari satu tempat ke tempat yang lain.
Petualangan teks adalah sebuah penziarahan literer yang tidak mengenal kata akhir. Teks tampak bagaikan sebuah medan yang menjanjikan tantangan dan pengembaraan menuju ruang-ruang kehidupan yang tak pernah terjamah oleh tangan-tangan manusia. Sebuah perjalanan tidak harus selalu mengantarkan kita untuk tetirah dan mencari tempat berlindung. Sebuah perjalanan yang menyenangkan ada kalanya menggoda kita untuk berhujan-hujan di bawah badai dan terjun ke dalam sesuatu yang sama sekali tak terduga. Mungkin kita menemukan analogi tentang hal ini dari sesuatu yang barangkali tak pernah ada dalam sejarah, namun selalu hadir dalam mimpi dan ingatan manusia sejak dulu hingga kini: labirin.
Labirin adalah lorong bentuk yang dipenuhi jalan-jalan setapak bercecabang dan lorong-lorong maut yang gelap dan menyesatkan. Labirin tetaplah sebuah metafor yang akan selalu hadir dalam lambo ingatan manusia, sebab itulah satu-satunya metafor yang dengan lirih menunjukkan betapa kita sungguh tak berdaya dan betapa semua hanyalah permainan tanpa henti, jejak-jejak yang mengundang kita untuk berteka-teki sekaligus bertaruh. Labirin juga simbol dari kegilaan dan hasrat penasaran yang tak pernah lekang akan permainan, juga kecanduan manusia akan misteri dunia yang tak kunjung jemu. Menapaki sebuah labirin bagaikan bertualang dalam dunia yang berbaur, di mana lapis-lapisnya tampak semu dan menyusupkan sesuatu yang tak pernah mudah terengkuh oleh indera. Sebuah labirin adalah sebuah dunia dalam wajah yang paling tak lazim. Di sini kita sirna dan tersedot dengan ketakjuban tiada henti, kecemasan yang berkecamuk antara bermain-main dan mencari ujung lubang. Mungkin sebab itulah sebuah labirin tak pernah sungguh-sungguh hadir untuk kita. Dengan kata lain, labirin barangkali hanya sebuah jejak (sekali lagi, hanya) dari nostalgia akan sesuatu yang hilang dan tak selamanya mengejawantah kecuali bersulang dalam bayang-bayang: kehadiran. Labirin adalah teks. Kehampaan. Sebuah etalase tanda. Dan rimba jejak.

Jejak Pertama: Wajah Relatif Kebenaran
Dekonstruksi merupakan tantangan terhadap totalitas makna, penafsiran, atau pengetahuan yang terlembagakan dalam sejarah, institusi sosial, kultur, dan pelbagai order of things yang ingin menata dunia ke dalam satu sistem tunggal dan koheren. Dari sudut pandang ini dekonstruksi dapat dianggap sebagai sebuah “hermeneutika radikal”. Ia menyajikan tafsir atas kenyataan, tetapi tak pernah berpretensi menjadikan tafsir itu satu-satunya penjelas atau pemilik otoritas yang sepenuhnya menguasai apa yang dihadapinya. Tafsir sebuah dekonstruksi berasal dari kepekaan akan adanya perbedaan yang mungkin hadir, entah kapan, dari suatu benda, suatu pengalaman, atau ingatan. Perbedaan itu mungkin tersembunyi, terselip di balik lipatan-lipatan waktu, dan karenanya tak tertangkap indera. Sebuah penafsiran senantiasa dimulai dengan pengakuan bahwa penafsiran yang dibuat tidak pernah memadai untuk menangkap fenomena seutuhnya dan mereduksinya ke dalam kategori pengetahuan yang dimiliki. Yang-lepas dan yang-tak-terbahasakan itu bergerak sangkarut, bertaut dari satu ujung ke ujung lain bagaikan tali-temali yang dihampar dari langit dan menjuntai ke bawah, ke dalam bumi yang tak berdasar.
Sebuah penafsiran yang dirayakan dengan semangat dekonstruksi, karenanya, tidak punya sebuah titik jangkau yang membentang lurus dan dapat diramalkan dengan indera atau pikiran. Sebuah tafsir dekonstruksionis mewedar kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas, tetapi yang juga tak pernah dapat dilihat atau diramalkan dengan penglihatan. Sebuah penglihatan merupakan salah satu bentuk kekerasan metafisika terhadap “yang lain”. Di dalam penglihatan yang menyorot tajam ke muka, ada cahaya dan semangat untuk mencerahkan bayang-bayang dan kegelapan yang tak terjangkau oleh indera. Ada juga semangat untuk menaklukkan “yang lain” – yang berbayang-bayang dan gelap itu – ke dalam pangkuan pengetahuan dan abstraksi yang kita punyai. Dari keinginan untuk menjangkau dan merengkuh perbedaan ke dalam sebuah kategori itu, lamat-lamat muncul kehendak untuk menguasai, menaklukkan “yang beda”, dan “kekerasan cahaya” (the violence of light) ini memperoleh gemanya di tangan Levinas dalam rumusannya: “Eksistensi tidak dapat direduksi ke dalam cahaya dari sesuatu yang swabukti” atau “drama eksistensi dimainkan di hadapan cahaya”.
Tentu saja dekonstruksi bukanlah sebuah ajakan untuk bersikap nihilistik terhadap makna dan kebenaran. Dekonstruksi melampaui nihilisme naif yang dengan membabi buta mempercayai bahwa tidak ada lagi kebenaran yang dapat dipegang. Demikian juga dekonstruksi melampaui dogmatisme tradisional yang lebih memilih percaya bahwa hanya ada satu kebenaran. Dekonstruksi lebih merupakan sebuah rangsangan untuk tidak melihat kebenaran yang diyakini sebagai satu-satunya kebenaran. Ada banyak kebenaran, terlalu banyak, dan kita dapat memilih berbagai kebenaran itu sejauh yang kita butuhkan. Mengingat begitu banyak kebenaran maka kebenran itu sendiri tidak akan pernah tercapai dalam totalitas yang bulat. Perjalanan mencari kebenaran tidak akan pernah sampai pada kebenran yang akhir dan final; sebagai sebuah proses, ia adalah perjalanan mencari kemungkinan-kemungkinan itu sendiri. Namun, kendati kebenaran selalu berupa kemungkinan, pada dasarnya ia adalah ketidakmungkinan, yakni sesuatu yang mustahil direngkuh kecuali dalam difference dengan segenap kemajemukannya. Suasana tersebut dalam Dekonstruksi, Derrida meringkasnya ke dalam kalimat: sans savoir, sans voir, sans avoir (tidak mengetahui, tidak melihat, tidak memiliki).
Sans savoir – tidak mengetahui – menggambarkan bahwa sebuah teks tidak selalu dapat ditangkap oleh penafsir dalam totalitasnya. Dengan begitu penafsir tidak mempunyai otoritas pengetahuan atas tafsirannya. Tak ada “subjek yang menyarankan makna” dalam proses penafsiran. Setiap penafsiran harus dikembalikan kepada watak intertekstualitas dari teks dan difference. “Menafsirkan” menurut Heidegger adalah sebuah laku yang tidak dapat dikerjakan melulu dengan pikiran; ia menuntut kita untuk bergerak dengan kesadaran holistik yang melibatkan segenap eksistensi. Derrida lebih radikal lagi. Dengan menafsir, ketersingkapan Ada dibawa sampai batas-batas epistemologisnya sehingga kita pun mustahil mengetahui dengan sepenuhnya apa yang ingin kita tafsirkan. Ketidaktahuan ini merupakan bentuk penundaan terhadap klaim epistemologis atas kebenaran. Penafsiran selalu berupa “penghampiran” terus-menerus atas kebanaran yang tidak pernah sampai pada totalitasnya (presque totalite). Sans voir – tidak melihat – mengisyaratkan sebuah keterbatasan indera dan penglihatan akan kebenaran. Ia juga mengisyaratkan sesuatu yang lain: sebuah ekstasis akan ketakjuban misteri yang berada di luar penglihatan normal. Dalam keadaan buta, dengan mata terpejam, seorang penafsir terlempar ke dalam ngarai tanpa dasar yang tidak memungkinkan dia kembali membangun fondasi penafsirannya di atas sesuatu yang kukuh. Penafsiran menyebar, mengalami diseminasi, memproduksi teks-teks baru yang tak pernah stabil atau selesai. Sans avoir – tidak memiliki – penafsiran terakhir dari dekonstruksi. Pada momen ini kebenaran dievaluasi dari klaim otoritatifnya. Kebenaran tidak lagi berada di pangkuan penafsir, melainkan bergerak menyebar ke penafsiran-penafsiran lain yang beda. Tak ada lagi otoritas atau pengarang (author) transendental yang memiliki kuasa mutlak atas teks, yakni meleburnya batas-batas antara pengarang dan teksnya. Teks memiliki otonominya sendiri dan berjalan seiring dengan dinamika penafsir dan pembaca. Pengarang telah mati dan bunuh diri atau bermetamofosis menjadi penafsir dan homo reader.
Dekonstruksi lebih merupakan strategi pembacaan daripada sebuah metode yang memiliki sebuah ancangan yang jelas dan sistematis. Dekonstruksi meradikalkan permainan makna sehingga menuntut penafsir untuk memperbarui penafsirannya setiap saat dan memulai tafsirannya dengan semangat baru, sudut pandang baru, strategi baru, dan pendekatan baru yang lebih menantang. Derrida mengakui bahwa dekonstruksi akan tampak mencemaskan bagi sang pemburu makna. Proses penulisan, penafsiran terus-menerus yang meradikalkan difference, selalu diiringi oleh hasrat akan pusat yang stabil. Impian akan pusat yang mengatasi perubahan dan kontingensi absolut ini terus-menerus menghantui proses penulisan. Tidak ada penafsiran yang terbebas dari nostalgia akan kehadiran yang hilang. Sebuah proses penafsiran akan terus diliputi hasrat akan kembalinya kehadiran. Namun, kita harus membiarkan impian itu hadir, karena hanya dengan demikian proses penulisan itu terjadi. Ketegangan antara impian akan pusat yang stabil dan arus perubahan menunjukkan bahwa penulisan adalah difference yang tak mungkin dipenuhi. Selalu ada dan kurang, dan kekurangan ini harus ditebus dengan penafsiran dan penulisan yang baru. Sebuah penulisan mendapatkan energinya dari permainan teks yang dilakukan untuk membuat makna tidak stabil dan selalu terbuka untuk ditafsirkan ulang. Sebuah dekonstruksi memang tampak seperti sebuah tafsir ekstatik. Sebuah permainan yang dicetuskan oleh dekonstruksi membawa kita pada keadaan trance sehingga teks tampak bagaikan sebuah luapan air yang mengalir deras tanpa pernah berhasil ke bendungan. Dalam pusaran tafsir yang tidak henti-hentinya mengalir dan bersambung itu, sebuah permainan dirayakan untuk menyambut datangnya makna-makna baru yang disingkirkan oleh penafsiran yang dominan dan pemahaman yang lebih segar yang dinafikan oleh logika teks yang distabilkan oleh kuasa kepengarangan.
Derrida menganggap bahwa dekonstruksi merupakan strategi pembacaan yang ateologis dan ateleologis, sebab yang dipentingkan di sana bukanlah bagaimana penafsir mengapresiasi teks untuk memperoleh tujuan yang diinginkannya, melainkan bagaimana dia membebaskan teks dari praniatan dan praandaian penafsiran itu sendiri. Jika ia telah sepenuhnya mengakui otonomi teks dengan membebaskan teks dari beban makna, berarti ia tengah membiarkan kekuatan teks bekerja dan menciptakan medan-medan permainan yang baru. Permainan yang tak putus-putus dari satu teks ke teks lain, dari satu penanda ke penanda lain, bergerak tak beraturan menuju masa depan yang jauh, bertaut dari satu jejak ke jejak lain. Sebuah gerakan yang barangkali bisa disamakan dengan gerak acak “kuantum” yang datang secara mendadak dan menciptakan lompatan-lompatan besar dalam tubuh sains, yang belum pernah terbayangkan dalam sejarah peradaban manusia.

Jejak Kedua: Teologi Apokaliptik – Agama tanpa (sans) Agama
Dekonstruksi juga mempunyai dimensi “teologis”. Meskipun begitu, kata, “teologis” di sini tidak dapat dipahami dalam kerangka metafisika kehadiran, yang merujuk pada adanya sebuah logos atau kebenaran tertentu yang transenden. Dimensi “teologis” dalam dekonstrusi lebih menunjuk pada ketidakmungkinan itu sendiri, yakni ketidakmungkinan untuk membicarakan “Tuhan” – atau berbicara tentang Tuhan – karena pengaruh atau efek dari difference yang muncul dari penghormatan akan Yang Lain, tout autre, Yang Lain sama sekali daripada yang lain. Dekonstruksi telah memperlihatkan bahwa ketidakmungkinan untuk mencapai kebenaran (atau kebenaran sebagai yang tak mungkin) berasal dari tidak adanya lagi horizon pemaknaan yang dapat dibangun untuk mengetahui kebenaran. Horizon itu telah hancur (atau setidaknya tertunda) karena kebenaran dalam teks – kebenaran yang diivensikan dalam tekstualitas difference tulisan – tidak pernah hadir selain sebagai jejak yang terus menunda kemungkinan untuk mencapainya. Sans savoir, sans voir, sans avoir.
Seluruh “filsafat” Derida hampir semuanya lahir dari penghayatannya akan yang-tak-mungkin ini. Dalam tulisan-tulisannya, Derida selalu bicara tentang iman yang tak mungkin. Di sana Derida menemukan hasrat yang “lain”, hasrat dan gairah religius yang melampaui dogma – sebuah kerinduan spiritual yang tak terbahasakan akan “Ilah” yang tak mungkin untuk diketahui. Jika kita mencermati tulisan-tulisannya, sekilas kita akan membaca pengalaman religius Derida dengan agama Yahudi yang dianutnya sejak kecil, dan bagaimana lambat-laun ia “melampaui” agama itu beralih masuk ke dalam “agama tanpa-agama”, agama yang lahir dari kegairahan total akan Ilahi, Yang Tak Mungkin. “Agama tanpa agama” tentu bukanlah agama dalam pengertiannya yang konvensional. “Agama” ini lebih merupakan pengalaman religius dan cara pandang kita mendekati Yang Ilahi sebagai yang Tak Mungkin. Perbedaan yang membuat “agama” ini unik adalah penekanannya pada gairah total akan Yang Ilahi sebagai the whooly other yang tidak mungkin dibahasakan, melampaui pengetahuan, dan tak terjemahkan (untrasleteble). Gairah inilah yang membutakan iman kita membuat kita hanya bisa berkata dalam kata-kata Derita “je ne sains pas, il faut croire” (saya tidak tahu apa-apa saya hanya bisa beriman). Kebutaan ini merupakan konsekuensi dari dimensi “teologis” dalam dekonstruksi, di mana tidak ada lagi pengetahuan atau kesadaran yang menerangi hubungan kita dengan Yang Lain. Kita sepenuhnya tenggelam pada kegelapan dan membiarkan Yang Lain tak terjamah oleh kekerasan yang terpencar dari penglihatan kita.
“Agama tanpa agama” tidak menafikan hadirnya institusi agama yang selama ini kita temui dalam sejarah. Ia lebih merupakan sebuah undangan menuju keberagamaan baru dan upaya untuk memaknai pengalaman religius dalam kaitannya dengan Yang Ilahi. “Agama tanpa agama” hanya ingin melampaui tradisi atau institusi agama dan membebaskan pengalaman religius kita dari keterbatasan tradisi atau institusi agama itu sendiri. Pengalaman ini menuntut agama untuk menjalani keberagamaan mereka dengan penghayatan tinggi akan keterbatasan Tuhan dan keterbatasan bahasa manusia. Menghayati agama jelas lebih dari sekadar agama dengan penganut dogma atau melaksanakan ritual yang diwajibkan oleh institusi agama. menghayati berarti memertanyakan, menggugat, dan menjadikan keimanan kita dengan Yang Ilahi. Di sana tidak ada “Iman” yang selesai. Iman selalu berproses dan tak pernah punya akhir.
Bagi Derrida, makna religius kehidupan bertolak dari pergulatan diri dengan ketidakpastian yang radikal, kejutan-kejutan yang tak teramalkan, atau risiko yang sewaktu-waktu muncul dan membuat keimanan goyah. Pergualatan ini hanya mungkin apabila seorang religius membuka diri terhadap masa depan absolut, yakni masa depan yang tidak dapat diantisipasi pada masa sekarang. Di masa depan yang jauh itu, iman akan selalu diuji dengan pengalaman-pengalaman baru yang mungkin jauh lebih radikal. Tantangan ini masa depan yang tak terbatas itu tidak mungkin dirangkum dalam kekinian atau kemungkinan-kemungkinan yang dibentuk oleh masa sekarang (temporal present) atau kehadiran kita pada saat ini. Dengan kata lain, masa depan absolut merupakan penundaan terhadap kehadiran.
Dekonstruksi berpangkal dari keterbukaan iman kepada masa depan absolut. Dengan semangat ini, seorang religius menyambut masa depan itu sebagai momen apokaliptik bagi datangnya sang Other yang ditunggu, yang tak teramalkan dan melampaui batas-batas horizon antisipasi kita – sesuatu yang kemungkinannya tidak dapat kita tebak atau kita bayangkan. The Other ini adalah sesuatu yang mustahil, yang tak mungkin, atau yang belum mungkin. Oleh karena itu, kedatangannya akan menjadi momen yang sangat mengejutkan dan menggetarkan. Datangnya the Other melampaui kemungkinan-kemungkinan dan mengubah iman kita menjadi tak mungkin. Pada momen ini, iman menjadi amat berisiko, rentan, tak stabil, dan penuh ketakpastian. Iman menjadi pertaruhan akhir yang menggerakkan kita menuju masa depan yang terbuka. Iman kehilangan kendalinya karena pesona the Other yang tak terbahasakan oleh pengalaman religius yang biasa. “Agama” Derrida adalah agama apokaliptik, yakni iman yang terbuka kepada the Other, yang mempersilakan the Other datang dan membuat religiusitas kita menjadi tak mungkin, dan yang menjadikan iman kita sebuah lawatan tanpa akhir menuju yang-tak-mungkin. Pengalaman apokaliptik dengan the Other (the wholly other) mentransendensi keterbatasan bahasa manusia karena ketidakmungkinan dari the Other itu sendiri untuk dinamai dengan sebuah sebutan yang memadai. Oleh karena itu pengalaman dengan the Other, selain apokaliptik juga apofatik, yakni menghindari upaya apa pun untuk mengatributkan sebuah nama kepada the Other.
Pada kedua momen apokaliptik dan apofatik ini, Derrida berbicara tentang tema yang dulu pernah disinggung oleh Levinas: sebuah undangan menuju Yang Lain sebagai ajakan untuk berbuat adil dan melakukan kebaikan. Seperti halnya Levinas, Derrida juga berbicara tentang etika yang mendahului metafisika karena ketidakmungkinannya untuk direduksi. Etika ini merupaka struktur awal (Ur-Struktur) dari setiap perjumpaan kita dengan Yang Lain; sebuah etika yang berangkat dari “pikiran yang murni heterologis” yang mengajak kita meninggalkan interioritas ego menuju alteritas absolut Yang Lain. Levinas menjadikan momen perjumpaan dengan Yang Lain sebagai pintu pembuka menuju “masa depan eskatologis” yang mengatasi kemungkinan. Dengan demikian momen perjumpaan dengan Yang Lain tidak sekadar memiliki dimensi etis, melainkan juga dimensi eskatologis. Dimensi terakhir inilah yang diradikalkan lebih jauh oleh Derrida melalui apokalioptik viens (datanglah) yang bergerak melampauai horizon kemungkinan dan menandai lahirnya sebuah transgresi menuju Yang Lain. Menurut Lubis (2004) perhatian Derrida terhadap “Yang Lain” atau yang terpinggirkan atau wacana-wacana yang tertindas sekaligus pula sebagai upaya menghancurkan batas-batas antara konsep dan metafor yang selama ini dipertahankan, antara kebenaran dan fiksi yang beroposisi biner.
Sayangnya, iman adalah sebuah laku. Ia punya asal atau tepi. Kendati berulang kali kita berusaha menepikannya ke sebuah ranah pengalaman yang konkret, iman akan selalu mengelak dan bergerak kembali ke tangah samudera, berpusar bersama arus angin dan badai taifun. Orang-orang beragama berpikir bahwa dengan beriman, sesuatu yang mereka sebut “Tuhan” akan seutuhnya mereka pahami. Ternyata tidak. Ada yang lepas dan tak tereduksi pada “Tuhan” itu sendiri. Ada Rahasia dan sebuah wilayah enigmatik yang tak terjamah di situ. Bahkan oleh bahasa dan pengalaman. Mungkin sebab itulah iman tidak butuh penjelasan. Mungkin sebab itu pula iman membedakan dirinya dari dogma, ajaran yang dibakukan dalam institusi agama. Iman yang mysterium tremendum et fascinans – mungkin beberapa patah kata ini sedikit membantu kita untuk memahami “agama tanpa agama”. Sebuah agama bukan dalam pengertian biasa. Agama yang bahkan tak dapat dimengerti. Agama yang memberi kita “garam kehidupan”, yang membuat hidup ini lebih berarti dari sekadar kepura-puraan.

Jejak Ketiga: Masa Depan Tak Terbatas – Etika Historisitas dan Politik Dekonstruksi

Metanarasi, metafisika Barat, dimulai dengan satu titik dan berakhir dalam satu titik: Sejarah. Dekonstruksi tentu saja berkepentingan dengan Sejarah yang dibayangkan dengan gaya idealistik semacam ini. Dekonstruksi ingin membuktikan bahwa masa depan ideal tidak akan pernah mungkin, karena Sejarah adalah bentuk dari pemadatan berbagai peristiwa kecil yang kerap kali tak terpahamkan. Sejarah adalah fiksasi dari pusat-pusat menyebar dan punya ruangnya sendiri-sendiri. Namun kita terlanjur melihat sejarah sebagai keutuhan yang lurus, linear, dan teleologis. Sejarah pun menjadi kanon yang dibaca, terus-menerus, sebagai kisah besar, cerita tentang kejayaan logos, sang hero.
Dekonstruksi ingin membalikkan bandul sejarah yang terlanjur mengakar dalam konsepsi metafisika ketika memandang dunia. Sejarah yang kita terima selama ini adalah sejarah yang dikuasai oleh nostalgia akan masa lalu dan keinginan mengontrol masa depan. Sejarah inilah yang diwariskan oleh modernitas dan semangat Pencerahan. Dalam gestalt sejarah semacam ini, perbedaan akan dilihat sebagai ancaman terhadap perkembangan dan kemajuan yang diidamkan. Sejarah dipahami sebagai “sejarah ideal” yang berproses secara teleologis, bergerak ke arah kesempurnaan. Konsepsi sejarah ini mendominasi metafisika Barat, dan terbukti bahwa pandangan ini justru membawa modernitas ke ambang kejatuhannya. Dekonstruksi memperlihatkan bahwa perbedaan itu perlu dan tak mungkin dihilangkan. Oleh karena itu sejarah masa depan, sejarah yang tak lagi dikuasai oleh nostalgia masa lalu dan kehadiran, haruslah dibangun dari penghormatan akan perbedaan. Sejarah yang telah mendekonstruksi narasi tunggalnya dan menjadi sejarah (-sejarah). Sejarah faktis atau sejarah empiris, yakni sejarah sebagaimana dialami oleh individu atau sekelompok orang. Sejarah ini akan selalu berubah, mengalami pasang surut, dan tidak selamanya konstan. Oleh karena itu Derrida mengajak kita berpikir tentang sejarah sebagai kemungkinan-kemungkinan, yakni “kepastian adalah fiksi dari kehadiran yang diselubungi oleh hasrat untuk mengutuhkan sesuatu yang retak”.
Derrida ingin meyakinkan melalui dekonstruksi bahwa sejarah ideal tidak terpisah dari sejarah faktis. Setiap sejarah mengidealkan suatu tujuan bersama harus mengakui dimensi-dimensi faktis yang membentuknya. Sejarah faktis juga tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang eksterior dari sejarah ideal. Setiap cita-cita yang diimpikan oleh sejarah ideal juga dipengaruhi oleh pasang-surut perubahan (contingency). Sejarah ideal dengan kata lain, tidak netral dari difference. Idealitas makna dan kebenaran di dalamnya terstruktur dari perbedaan-perbedaan yang implisit, yang diakibatkan oleh beragam pengalaman eksistensial dari masyarakat atau individu yang bersangkutan. Perbedaan dan perubahan akan selalu melekat pada cita-cita sejarah apa pun. Perbedaan dan perubahan menentukan dinamika dari sejarah, dan kita tidak dapat menepikan begitu saja efek dari perbedaan itu terhadap sebuah cita-cita tertentu. Aspek kesejarahan yang penting di sini adalah temporalitas yang diradikalkan, “sebuah pikiran lain tentang historialitas” yang melampaui sejarah sebagai institusi dan cita-cita teleologis. Temporalitas berarti perubahan dan semangat untuk berproses dalam sebuah dinamika. Dalam arus perubahan yang penuh ketidakpastian itu, masa depan yang dibayangkan secara linear menjadi tidak memadai. Kita harus menghadapi masa depan yang terstruktur secara radikal oleh ketidakmungkinan, yakni masa depan yang absolut yang tak terbatas dan tak mungkin, baik untuk diproyeksikan ataupun diprediksi dengan apa yang kita miliki saat ini. Ketakmungkinan masa depan, masa depan yang tak mungkin diontologisasi dengan kehadiran, bergerak melampaui horizon yang tak dapat kita lihat.
Ketidakpastian di masa depan dan kian terbukanya masa depan ke arah kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga menunjukkan bahwa tuntutan etis di masa depan hampir sepenuhnya “utopis” dan karenanya tidak mungkin diwujudkan sekarang juga. Nilai-nilai etis, seperti keadilan atau demokrasi misalnya, tidak bisa sepenuhnya direalisasikan saat ini. Kata Derrida, kita hanya bisa berkata tentang “demokrasi yang akan datang” atau “keadilan yang akan datang” etika yang ditunutut oleh masa depan absolut adalah etika yang tak mungkin, yang harus terus-menerus diupayakan untuk dicapai, dan tak pernah definitif. Kita tidak akan pernah sampai pada sebuah realisasi yang memadai tentang suatu capaian etis tertentu. Sebaliknya, kita harus mengupayakan untuk mewujudkan nilai-nilai etis itu seraya tetap menjaga “jarak” agar nilai-nilai itu tetap mengilhami langkah kita menuju masa depan dengan tanpa mengklaim bahwa kita telah berhasil melaksanakannya dengan sempurna.
Dekonstruksi dapat memberikan perspektif yang lebih segar terhadap wawasan politik posmodern. Ketidakmungkinan nilai-nilai etis untuk direalisasikan secara utuh akan menghindarkan setiap subjek politik yang terlibat dalam ruang-ruang politis untuk mendefinisikan politik secara sepihak. Dengan cara yang sama, nilai-nilai etis ini akan memberikan kesempatan yang lebih besar kepada mereka yang terpinggirkan secara politis untuk berpartisipasi dalam memaknai politik. Tentu saja tidak ada yang dominan di situ: sebuah ruang politis adalah medan permainan yang terus-menerus diwarnai ketegangan antara pusat yang stabil dan munculnya pusat-pusat baru. Permainan politis ini tidak pernah dapat dilembagakan dalam suatu instityusi yang stabil, seperti negara ataupun masyarakat, melainkan terus-menerus menciptakan ruang-ruangnya sendiri yang terlepas dan menyebar ke segala arah. Dengan demikian ruang politis tidak pernah stabil dan selalu pragmenter karena ketidakmungkinan untuk merangkul semua elemen yang terlibat di dalamnya ke dalam satu keutuhan. Hal ini, kata Derrida, membuat setiap uapaya “konsensus” atau “kesepakatan sosial” yang dibayangkan oleh ilmu sosial menjadi tak mungkin. Sebuah ruang politis bukanlah sebuah medan permainan yang otonom. Di dalamnya selalu ada kehendak untuk menguasai dan menaklukkan Yang Lain. Oleh karena itu ruang politis tidak akan pernah sapai pada rumusan definitif karena selalu ada yang tersisa (reste) dan yang tak tereduksi, yakni jejak dari kehadiran-kehadiran yang terus tertunda.
Menurut Derrida, kita tidak akan pernah mencapai sebuah pengertian definitif tenang ruang politis karena ada permainan kuasa dan kehendak yang ikut terlibat di dalamnya. Oleh karenanya, Derrida mempersoalkan kemungkinan mencapai sebuah rasionalitas dalam ruang publik, problemnya terletak pada “rasionalitas” itu sendiri, yang tidak pernah monolotik dan satu dimensi. “Rasionalitas” adalah istilah yang problematis karena masih mengandaikan adanya sebuah rasio-bersama yang objektif dan stabil, sementara dalam ruang politis, rasio-bersama itu hanyalah produk dari norma-norma inteligibilitas yang tidak stabil. Rasionalitas dalam ruang politis dihasilkan dari norma-norma inteligibiltas yang dipengaruhi oleh permainan kuasa dan hasrat untuk menundukkan yang-lain, sehingga tidak pernah terdapat rumusan yang gamblang dan final tentang apa yang diinginkan oleh masing-masing pihak. Oleh karena itu Derrida menolak ruang publik sebagai representasi dari kehendak kolektif dari individu atau masyarakat. Ruang publik sebagai medan permainan adalah penundaan terus-menerus terhadap kemungkinan mencari pemahaman yang definitif terhadap sesuatu. Oleh karena permainan yang tak putus-putus dan tegangan relasi kuasa di dalamnya, dapat dipahami jika dengan sendirinya ruang publik itu problematis. Kita tidak dapat mengatakan bahwa ruang publik sepenuhnya merepresentasikan keinginan kolektif sebuah masyarakat karena perbedaan interpretasi dan ketidakmungkinan mereduksi perbedaan itu ke dalam satu penafsiran yang tunggal atau representasi yang benar-benar utuh.
Dekonstruksi sebenarnya melampaui institusi-institusi yang dibentuk oleh sejarah, masyarakat atau lembaga politis. Oleh karena itu pembicaraan Derrida terhadap suatu problem yang terkait dengan institusi tidak pernah menyentuh basis empiris yang menjadi landasan institusi tersebut. Derrida lebih tertarik mempersoalkan pijakan metafisik yang memungkinan institusi itu ada dan disituasikan dalam sejarah atau masyarakat. Untuk itu, Derrida mengajak kita berpikir ke belakang, ke suatu keadaan “primordial” ketika sama sekali tidak ada insititusi atau lembaga apa pun yang membentuk pengetahuan dan kesadaran kita. Di sinilah sebenarnya sumbangan penting dari dekonstruksi. Dengan dekonstruksi, kita diajak melampaui sejarah atau institusi dengan mempertanyakan legitimasi metafisik apa yang membentuk sejarah atau institusi tersebut. Dengan demikian, kita dapat memahami alasan mengapa Derrida menyatakan bahwa etika mendahului hukum atau bahwa keadilan dan nilai-nilai etis tidak pernah mungkin direalisasikan. Derrida ingin membebaskan kita dari konseptualisasi yang dilakukan oleh institusi mana pun yang hendak membakukan penafsiran dan interpretasi kita terhadap Kebenaran. Derrida mengingatkan bahwa etika mendahului metafisika atau ontologi. Setiap institusi yang dibangun dalam kultur atau lingkungan sosial tertentu tidak dapat mendefinisikan etika sesuai dengan konteks hitorisnya yang terbatas. Etika adalah ketakterbatasan atau Yang Tak Terbatas itu sendiri, dan karenanya ia hanya bisa didekati jika kita dapat berpikir melampaui institusi dengan “menjangkarkan” harapan kita akan terwujudnya nilai-nilai tersebut pada masa depan absolut yang tak terbatas pula. Derrida ingin melampaui institusi dalam rangka menyelamatkan nilai etis yang tak terbatas itu. Hal inilah yang membuat dekonstruksi tampak sebagai sebuah pembebasan. Pembebasan menuju masa depan absolut dan permainan terus-menerus menuju Kebenaran yang-tak-mungkin.

Jejak Keempat: Menuju “Rasionalitas” Pascametafisik
Rasionalitas, sejak lama, telah menjadi “label” penting dari “menara Babel” bernama modernisme. Ketika modernitas mulai surut sebagai sebuah proyek pengetahuan dan narasi sejarah, banyak orang tersadar bahwa apa yang mereka sebut sebagai rasionalitas tidak setangguh yang mereka kira. Semakin banyak orang memaklumi bahwa rasionalitas hanyalah jalinan kuasa dari berbagai kepentingan, dan selama ia terkait dengan kepentingan, dengan kuasa, maka pada saat yang sama ia tak pernah stabil. Derrida membawa rasionalitas ke tubir ambiguitas, dengan mempertanyakan secara radikal asumsi-asumsi kehadiran yang menghuni gagasan rasionalitas itu sendiri. Derrida mengibaratkan dekonstruksi sebagai upaya “berfilsafat dengan palu”. Palu itu, kini telah menghancurkan sebuah “berhala” bernama Rasio, yang dipuja-puja oleh para filsuf Pencerahan, namun segera kehilangan daya magisnya setelah Nietsche mengumandangkan seruannya untuk “membunuh Tuhan”. Dengan demikian, layakkah bila Derrida bertanya: masihkah ada rasionalitas pascametafisik? Jawabannya, seperti dituturkan Al-Fayyadl (2005) sebagai berikut.
Dalam perdebatan yang panjang, Derrida sampai pada kesimpulan bahwa rasionalitas itu sendiri adalah gagasan yang sangat problematis dan benar-benar riskan. Ambigusitas pengertian “rasionalitas” terletak pada pertautannya dengan relasi-relasi kuasa dan konteks historis yang berubah. Sementara rasionalitas itu dipahami secara tunggal, sebagai Akal, pemahaman terhadap rasionalitas tidak pernah definitif dan selalu berubah; tidak stabil dan kontingensi. Gadamer mengatakan bahwa rasionalitas harus dipahami secara pragmatis sebagai sebuah phonesis, yakni sebuah pengertian praktis untuk mengetahui bagaimana menerapkan skema-skema ilmiah dan epistemologis pada keadaan yang konkret, sembari memberi ruang bagi perbedaan. Bagi Gadamer, nalar pragmatis ini akan mengurangi klaim otoritatif dari pengetahuan apa pun, seraya mengakui keterbatasan masing-masing perspektif. Hal yang sama juga dilakukan oleh Richard Rorty, yang berupaya mereduksi tegangan itu dengan mengakui keserbamungkinan dari setiap bahasa dan komunikasi. Rasionalitas yang terbentuk dari relasi-relasi pragmatis ini secara otomatis dilucuti dari klaim metafisikanya. Rorty secara radikal juga menolak metafisika dengan menekankan pluralitas fragmentatif pengetahuan. Memasuki era pascametafisik, mempertahankan rasionalitas akan tampak problematis, karena gagasan rasionalitas ityu sendiri berkembang dengan epistemologi dan wawasan modern yang telah usang dan mengalami kebangkrutan internal. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan “rasionalitas” adalah dengan memodifikasi pengertian rasionalitas itu, sesuai dengan kebutuhan masyarakat posmodern yang fragmenter, centang-perenang, dan plural. Inilah alasan Derrida mengatakan bahwa dekonstruksi bukanlah sebuah nihilisme naif yang sama sekali menolak kebenaran. Dekonstruksi hanya ingin memperlihatkan ketidakmungkinan untuk mencapai sebuah pengertian tunggal terhadap kebenaran. Kebenaran tersebut dengan sekian banyak permainan-bahasa yang bergerak terus-menerus dalam sebuah dinamika intertekstual yang tak putus-putus. Rasionalitas tidak dapat diselamatkan dalam ruang yang terpisah dari permainan-bahasa yang lain. Ia, sebaliknya, dikonstruksi dari perbedaan takfsir dan penundaan-penundaan (difference).
Segala sesuatu bermain dan berubah. Itulah tesis Derrida. Sebuah rasionlitas pascametafisik tentu saja harus bermain dan mempermainkan dirinya, jika ia ingin bebas dari beban kehadiran. Rasionalitas pascametafisik harus dilepaskan dari asumsi-asumsi ontologisnya melalui permainan dan dekonstruksi-diri terus-menerus. Bidang-bidang epistemologis yang ada saat ini, mulai dari yang spekulatif, seperti filsafat, hingga yang matematis, seperti sains, juga harus dibebaskan dari beban ontologi. Jika filsafat telah mendekonstruksi dirinya dengan menegaskan kematian metafisika maka sains yang ilmiah dan tampak positif itu pun juga harus memulai permainan ini sekarang juga. Model rasionalitas yang fragmenter dan dekonstruksionis pada sains bukannya tak mungkin. Paul Feyerabend telah memperlihatkan dengan baik bagaimana sains yang ilmiah juga mengalami krisis dan instabilitas makna. Prinsip Feyerabend yang terkenal adalah anything goes, yakni bahwa segala risetilmiah dapat melakukan kegiatannya dengan metode dan pendekatan apa pun, baik formal dan informal. Apa pun boleh. Selama riset itu dilakukan untuk memodifikasi suatu temuan sanins tertentu, gaya pendekatan apa pun sah dilakukan. Feyerabend meradikalkan temuan Thomas Kuhn tentang anomali dan pergeseran paradigma (paradigm-shift) dalam sains (pos) modern. Jika Kuhn menemukan bahwa sanis mengalami krisis parah dan anomali-anomali sehingga membutuhkan revolusi-revolusi besar maka kata Feyerabend bisa sesuka hati mendekati sains dengan model pendekatan apa pun. Sains adalah ruang permainan. Di sana kita dapat bebas meryakan apa pun, termasuk mempermainkan sebuah teori yang sudah mapan. Feyerabend bahkan mensubversi pengertian sains normal yang dipahami oleh Kuhn karena menurutnya, pengertian “normal” itu sendiri sangat problematis dan memiliki banyak varian.
Selain itu, Feyerabend juga mempertanyakan sejauh mana validitas sains untuk disebut sebagai pengetahuan yang “rasional”. Bagi dirinya, salah satu alasan mengapa “rasionalitas” sains tampak problematis adalah karena penalaran logis yang digunakan oleh para ilmuwan dari masa ke masa selalu berubah dan tidak pernah sepenuhnya memadai untuk menjelaskan sebuah fenomena ilmiah pada suatu masa tertentu. Logika ilmiah juga terkait erat dengan prasangka, peristiwa-peristiwa kebetulan, kondisi material peneliti, kekeliruan, imajinasi, dan khayalan yang berkembang ketika ilmuwan itu hidup atau bahkan mitos rekaan dari masyarakat di mana ia meneliti. Akan tetapi, di sisi lain, sains juga rasional, karena riset ilmiah yang dilakukan pada suatu periode tertentu juga memakai logika dan standar rasionalitas yang lazim pada saat tersebut. Sebenarnya masih banyak alasan lain yang juga dikemukakan oleh Feyerabend, tetapi semuanya berpulang pada kenyataan betapa problematisnya status sains sebagai ilmu yang seratus persen “rasional”. Walaupun demikian, harus diakui bahwa sains, bagaimanapun adalah salah satu bentukk penafsiran terhadap dunia dan fakta, dan sejauh ia merupakan penafsiran maka pada saat itu pula ia tentatif dan dapat dipertanyakan ulang. Oleh karena itu Feyerabend menyebut metodologinya yang “anarkhis” itu sebagai “counterinductionsm” karena menolak setiap klaim ilmiah tentang stabilitas sebuah paradigma ilmiah dalam sains. Dekonstruksi bisa membantu sains keluar dari jepitan otoritarianisme metodotologinya dengan memperkenalkan permainan terus-menerus terhadap konsep yang terlanjur mapan. Permainan akan membuat sains terus memeriksa asumsi-asumsi teoretisnya dari melakukan klasifikasi menyeluruh terhadap rancang-bangun epistemologinya. Ruang lebar yang dimungkinkan oleh permainan akan membawa sains pada batas-batas sendiri sehingga setiap pencarian ilmiah akan terhindar dari dogmatisme buta terhadap sebuah teori atau paradigma. Upaya ke arah itu tidak akan pernah selesai. Dekonstruksi adalah proses yang selalu “menuju”. Ia tak punya akhir, juga awal. Sebuah perjalanan menuju yang-tak-mungkin.

Simpulan
Proyek dekonstruksi Derrida lahir dari kecenderungan atas penolakan atas situasi dan tendensi arah pemikiran modernisme, metafisika Barat. Derrida menolak dikotomi konseptual antara “kehadiran” (presence) dan “absensi” (absence). Derrida menolak adanya “asal-usul” (archis, origins) yang diyakini secara metafisik sebagai sumber kebenaran atau fondasi bagi filsafat untuk membangun asumsi-asumsi filosofisnya. Derrida menyarankan meninggalkan konsep “tujuan” (telos) yang diandaikan dalam filsafat tradisional sebagai titik akhir dari seluruh proses pencapaian filosofis. Derrida mengajukan pertimbangan filsafat sebagai tulisan. Ini merupakan inti dari proyek dekonstruksi sebab dengan meletakkan filsafat dalam kapasitasnya sebagai tulisan, konsep-konsep khas metafisika kehadiran, seperti “subjek”, “pengarang”, atau “pusat” dengan sendirinya luruh. Tulisan mengatasi segala bentuk metafisika dan kehadiran. Melalui pembacaannya atas tradisi metafisika Barat, Derrida sampai pada kesimpulan bahwa tradisi itu mesti diakhiri. Dekonstruksi adalah perayaan terbuka terhadap the end of metaphysics.
Untuk membangun teori dekonstruksinya Derrida melakukan dengan dua strategi. Mula-mula dia membaca teks-teks filsafat yang ditulis oleh para filsuf Barat sejak era Pencerahan. Dari telaahnya, Derrida sampai pada kesimpulan bahwa tradisi filsafat Barat sepenuhnya didasarkan pada apa yang diistilahkannya sebagai “logosentrisme” atau “metafisika kehadiran” (metaphysics of presence). Selanjutnya, dia membaca dan menafsirkan teks-teks filsafat lalu membandingkannya satu sama lainnya untuk menemukan “kontradiksi internal” yang tersembunyi di balik logika atau tuturan teks tersebut. Jadi, dekonstruksi merupakan tantangan terhadap totalitas makna, penafsiran, atau pengetahuan yang terlembagakan dalam sejarah, institusi sosial, kultur, dan pelbagai order of things yang ingin menata dunia ke dalam satu sistem tunggal dan koheren. Dekonstruksi juga mempunyai dimensi “teologis”. Meskipun begitu, kata, “teologis” di sini tidak dapat dipahami dalam kerangka metafisika kehadiran, yang merujuk pada adanya sebuah logos atau kebenaran tertentu yang transenden. Dekonstruksi ingin membuktikan bahwa masa depan ideal tidak akan pernah mungkin, karena Sejarah adalah bentuk dari pemadatan berbagai peristiwa kecil yang kerap kali tak terpahamkan. Sejarah adalah fiksasi dari pusat-pusat menyebar dan punya ruangnya sendiri-sendiri. Dalam perdebatan yang panjang, Derrida sampai pada kesimpulan bahwa rasionalitas itu sendiri adalah gagasan yang sangat problematis dan benar-benar riskan. Ambigusitas pengertian “rasionalitas” terletak pada pertautannya dengan relasi-relasi kuasa dan konteks historis yang berubah. Dekonstruksi memberikan ruang penafsiran secara terus-menerus menuju penafsiran berikutnya karena pengarang juga telah bermetamorfosis menjadi penafsir. Ini sebabnya tiada penghentian bagi upaya pencarian Kebenaran.

Daftar Bacaan
Al-Fayyadl, Muhammad, 2005, Derrida, Yogyakarta: LKiS.

Bets, Steven & Douglas Kellner, 2003, Teori Posmodern: Interogasi Kritis, Malang: Boyan.

Derrida, Jacques, Dekonstruksi Spiritual: Merayakan Ragam Wajah Spiritual, Yogyakarta: Jalasutra.

Griffin, David Ray, 2005, Visi-visi Postmodern: Spiritualitas & Masyarakat, Yogyakarta: Kanisius.

Horgan, John, 2005, The End of Science (Senjakala Ilmu Pengetahuan), Jakrta: Teraju.

Lubis, Akhyar Yusuf, 2004, Setelah Kebenaran Dihancurkan Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan: Sebuah Uraian Filsafat Ilmu Pengetahuan Kaum Posmodernis, Bogor: AkaDemia.

Norris, Christopher, 2003, Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida, Yogyakarta: Ar-Ruzz.

Spivak, Gayatri Chakravorty, 2003, Membaca Pemikiran Jacques Derrida: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Ar-Ruzz.

[1] Exergue (Al-Fayyadl, 2005) adalah ruang kosong yang biasanya terdapat pada logam atau koin, yang memisahkan garis dan tulisan pada benda tersebut.
[2] Lahirnya “teks” (Al-Fayyadl, 2005) adalah bencana bagi “pengarang” yang menandai kematian kuasa kepengarangan dan totalitas makna.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...