Pasraman

Pasraman, Kerakap di Atas Batu

I  W a y a n  S u k a r m a

Pasraman sebagai satuan pendidikan agama Hindu cenderung kurang diminati dibandingkan dengan satuan pendidikan lainnya. Hal ini tidak lepas dari persepsi dan penilaian masyarakat bahwa mata pelajaran pendidikan agama Hindu kurang penting dibandingkan dengan mata pelajaran lainnya. Apalagi membangkitkan pasraman yang terkesan tradisional pada zaman modern memang bukanlah upaya mudah. Namun  sekurangnya dapat ditawarkan jalan, dengan menyempurnakan kurikulum dan mengatasi kelemahan manajemen lainnya. Fakta bahwa pasraman tidak mungkin statis, apalagi apatis terhadap perkembangan kemajuan zaman. Pasraman juga dituntut menilai dan mereformasi diri, agar tidak tertinggal di landasan peradaban.           

“Pasraman”, ungkapan klasik bernuansa mistis. Padahal berasal dari kata “asrama” berarti tempat tinggal sementara bagi sekelompok orang, seperti Asrama Sekolah, Asrama Polisi, dan Asrama Tentara. Penggunaan kata “asrama” ini memang terkesan lebih modern daripada kata “pasraman” yang terkesan begitu tradisional: klasik-mistis. Barangkali kesan ini menjadi salah faktor yang menyebabkan pasraman kurang peminat, “bagai kerakap di atas batu, hidup enggan mati tak mau”. Apalagi pertunjukkan Drama Gong sekitar 1970--1980 misalnya, menggunakan kata “pasraman” untuk menggambarkan suasana pendidikan religius yang eksklusif bagi para pangeran dan calon penguasa. Pasraman digambarkan terdiri atas bangunan-bangunan sederhana dengan lantai tanah, dinding gedeg, dan atap alang-alang. Bangunan-bangunan tersebut difungsikan menjadi ruang tidur, memasak, bercengkrama, bermain, dan belajar.
Lingkungan pasraman digambarkan begitu asri dan alami dikelilingi pagar dari pohon-pohon sejenis Santan dan Dapdap hingga menutupi pandangan mata ke halaman pasraman. Di depan pasraman terbentang tanah lapang ditumbuhi rumput menjadi tempat para siswa bermain perang-perangan. Di samping sebelah kanan pasraman berderet-deret lajuran ladang palawija subur menghijau diselingi warna Jagung yang sedang mekar. Di samping sebelah kiri pasraman terdapat taman dengan warna-warni dan beraneka aroma bunga. Di belakang taman terdapat kolam yang airnya bening dan tenang dengan beraneka ikan di dalamnya. Di samping sebelah kanan kolam kedengaran gemericik air pancuran yang mengalir sepanjang musim. Agak jauh dari pasraman menuruni lembah tampak sungai berliku yang mengalir menuju pesawahan di dekat perkampungan penduduk.     
Penonton membayangkan pasraman berlokasi di tengah hutan atau pucak gunung, begitu jauh dari hiruk-pikuk teknologi-modern dan keramaian masyarakat. Kondisi alam sebagaimana adanya, situasi sosial hanya seperlunya, dan suasana budaya terasa sederhana. Pasraman sunyi dari kebisingan muslihat ekonomi dan sepi dari teriakan trik-intrik politik-kekuasaan. Kecuali suara kejujuran air yang mengalir di sungai dan percikan pancuran. Sabda alam memang tidak pernah bohong, mengungkapkan kenyataan, dan setia pada kebenaran. Kebeningan air misalnya, begitu transfaran memperlihatkan kenyataan dasar kolam atau pancuran tempatnya mengalir. Air mengalir ke dataran rendah menunjukkan konsistensinya pada kebenaran. Taat azas merupakan prinsip dasar dari hukum berpikir yang tertanam dalam kemampuan menalar. Ilmu menalar inilah menu pertama pasraman dalam membangun ilmu pengetahuan. 
Siswa menguasai pengetahuan melalui pembelajaran dari seorang guru mumpuni, seperti Brahmana, Resi, atau Dukuh. Mirip dengan Guru Agung Upanisad, Drama Gong menggambarkan sosok guru sebagai seorang yang pintar, pandai, arif, bijaksana, dan sakti: Filosof-Yogi. Dia yang secara sempurna menguasai pikiran, perasaan, tubuh, nafsu, reaksi, dan meditasinya. Dia telah mentransendensikan ilusi dan semua pemikiran manusia normal lainnya. Dia tak terganggu oleh kemalangan karena telah melampaui takdir dan mengatasi nasibnya sendiri. Setiap pengetahuan diasosiasikan dengan pandangan hidup yang baik dan keterampilan yang khusus. Kepadanya seorang siswa menyerahkan diri secara total, berupa kepatuhan dan keyakinan. Proses pembelajaran memang selalu menuntut kemampuan total mendengarkan dan melihat. Mendengarkan tanpa melakukan interpretasi dan melihat tanpa melakukan evaluasi.     
Proses pembelajaran berlangsung dalam suasana kepatuhan dan ketundukan dengan memanfaatkan guru sebagai pusat dan lingkungan pasraman sebagai sumber belajar. Di sini siswa dilatih mengalami kebenaran benda yang permanen dan merasakan kenyataan benda-benda yang bersifat sementara. Kesementaraan itu tidak memberikan kegembiraan sempurna, karena itu siswa dianjurkan menolaknya. Mengigat objek puncak dari pikiran dan tujuan akhir pengetahuan terletak di luar bentuk dan materi. Pengetahuan tertinggi terletak di balik kebodohan yang menutupi kesadaran terhadap Realitas Diri, satu-satunya Ada. Siswa dibimbing menuju ruang-kesadaran di balik kebodohan melalui konsentrasi sebagai upaya pengendalian diri. Seperti menyelami kesunyian mental dan ketenangan nafsu, menaklukkan indra, serta berhenti memahami dan bertindak secara indrawi. Upaya ini sungguh-sungguh membutuhkan ketabahan dan kesabaran. 
Ketabahan dan kesabaran memang menjadi kunci pembuka gerbang rahasia realitas ketika siswa didorong memasuki ruang Kebenaran dan Kenyataan. Ilmu, filsafat, agama, bahkan seni menjadi perangkat pertama menyelami kedalaman dan mengarungi keluasan kenyataan Diri. Perangkat yang dijadikan landasan menerima ketuhanan, kemanusiaan, dan kealaman diri sendiri untuk mengembangkan kemanusiaan yang religius. Penerimaan ini membuat siswa mampu menghargai kebenaran-alam, menghormati kebaikan-manusia, dan memuliakan keindahan-Ilahi. Sanggup mengatasi keterbatasan sejarah, kebudayaan, dan kepribadian menuju kesatuan dengan Tuhan. Idola kesatuan inilah menyebabkan pasraman terkesan klasik dan kerahasiaan ajarannya membuat pasraman terkesan mistis. Kesan yang demikian tentu kurang menarik dalam kehidupan modern yang serba cepat dan instan. Kehidupan modern memang mengutamakan efisiensi dan efektivitas daripada ketabahan dan kesabaran. 
Pesona pasraman memang semakin memudar seiring dengan perkembangan zaman kebaruan yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan yang lebih menekankan hasil daripada proses, ternyata meninggalkan rasa-diri-manusia menurut Francis M. Abraham dalam proses komprehensif pertumbuhan ekonomi, mobilisasi sosial, dan ekspansi budaya. Pertumbuhan ekonomi memacu semakin meningkatnya konsumsi energi material, pemanfaatan teknologi tinggi, dominannya sektor sekunder dan tersier, diversifikasi produksi, dan spesialisasi peran ekonomi. Mobilisasi sosial mendorong meningkatnya partisipasi perkumpulan suka-rela, meningkatnya urbanisasi, kesa¬daran sosial, manipulasi psikologis, mencairnya struktur kelas, integrasi politik, perubahan bentuk partisipasi hak hak sipil, dan perluasan pendidikan. Ekspansi budaya mendorong meningkatnya angka melek huruf, ekspos media massa, perluasan kawasan rekreasi, peninjauan kembali nilai tradisional, dan pembentukan lembaga baru. 
Akibatnya, menurut Anthony Gidden terjadi pemisahan antara ruang dan waktu, keterlepasan eksistensi, dan refleksivitas pengetahuan. Misalnya, tempat terjadinya suatu peristiwa ditentukan oleh pengaruh sosial yang jaraknya jauh dari tempat terjadinya peristiwa itu. Hubungan sosial semakin terangkat dari konteks lokal ke tingkat yang melintasi ruang dan waktu yang tidak terbatas. Praktik sosial terus-menerus diuji dan diubah berdasarkan informasi terbaru yang paling praktis termasuk pengetahuan dan praktik agama. Otoritas, peneguhan, dan spiritualitas agama mengalami perubahan yang tidak mudah ditebak. Pasraman pun mengalami kesulitan penyesuaian diri di tengah-tengah dinamika dan dialektika tatanan nilai dalam ruang kehidupan yang menganga lebar. Keterbukaan tersebut membuat manusia diresapi perasaan ketidakpastian karena refleksi keahlian mengubah kehidupan sosial itu sendiri.
Perasaan ketidakpastian tersebut menimbulkan keterasingan pengalaman kehidupan sehari-hari dan dilema moral berkepanjangan. Manusia mengalami keterasingan di tengah-tengah kemeriahan metropolitan dan ketakberartian diri dalam keberlimpahan uang. Manusia merasa kesepian, tidak berteman lagi, tanpa tubuh-mental-jiwa, dan tanpa rasa-diri-manusia. Kesepian mencekam ini menjadi titik balik yang melontarkan kesadarannya pada kerinduan mendalam kepada “diri” dan “kedirian”. Kerinduan yang menghangatkan kembali hubungan kemanusiaan dan mengingatkan manusia pada ikatan dan hubungan keilahiannya. Begitulah tempat-tempat ibadah mulai ramai oleh kekhusukan pemujaaan, gerakan kemanusiaan semakin lincah, dan kelompok pecinta lingkungan semakin tumbuh.  Minat pada seni dan agama mulai bertunas seiring dengan semakin bergairahnya ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Bersamaaan dengan kegairahan itu pasraman, baik inklusif maupun eksklusif mulai mekar kembali.
Kehidupan pasraman semakin faktual dengan terbitnya Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Hindu. Untuk mendapatkan gambaran ringkas, “Pendidikan Keagamaan Hindu adalah jalur pendidikan formal dan nonformal dalam wadah Pasraman”. Berikutnya ditegaskan, “Pasraman Formal adalah jalur pendidikan pasraman yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi”. Kemudian, “Pasraman Nonformal adalah jalur pendidikan di luar pasraman formal yang dilaksanakan secara terstruktur”. Artinya, pasraman diselenggarakan oleh pemerintah (Dirjen Bimas Hindu) dan masyarakat (satuan pendidikan setingkat kursus). Pasraman yang diupayakan oleh masyarakat memang mulai mekar, seperti Orientasi Traning of Trainer Yoga Guru Pasraman Agama Hindu selama tiga hari, 27 Pebruari 2016 di Sleman (Swarahindu.com).     
Pada pasal 5 disebutkan, pasraman menyelenggarakan pendidikan dari usia dini hingga perguruan tinggi yang berturut-turut disebut Pratama Widya Pasraman (Paud),  Adi Widya Pasraman (SD), Madyama Widya Pasraman (SMP), Utama Widya Pasraman (SMA), dan Maha Widya Pasraman (Pendidikan Tinggi). Berikutnya, pada pasal 8 dirinci materi kurikulum pendidikan keagamaan Hindu, yakni pada jenjang pendidikan Adi Widya Pasraman (SD) dan Madyama Widya Pasraman (SMP) paling tidak memuat, antara lain Weda, Tattwa, Etika, Acara, Itihasa, Purana, dan Sejarah Agama Hindu. Materi ini ditambahkan Budaya Hindu, Bahasa Kawi, dan Sanskerta bagi jenjang pendidikan Utama Widya Pasraman (SMA). Dimbahkan lagi dengan materi Yoga, Darsana, Brahmawidya, Upanisad, Dharmasastra, dan Nitisastra pada jenjang pendidikan Maha Widya Pasraman (Pendidikan Tinggi). 
Kurikulum tersebut dilengkapi dengan materi pendidikan umum, seperti disebutkan pada pasal 9 berikut, “Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, serta Seni dan Budaya”. Rumusan kurikulum itu diharapkan mencapai tujuan penyelenggaraan pasraman, seperti dijelaskan pada pasal 2 berikut, “(a) menanamkan kepada Brahmacari untuk memiliki Sraddha dan Bhakti kepada Brahman (Tuhan Yang Maha Esa), dan (b) mengembangkan kemampuan, pengetahuan, sikap, dan keterampilan Brahmacari untuk menjadi ahli ilmu agama Hindu dan memiliki ilmu pengetahuan, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab terhadap pemahaman Weda”. Begitulah kurikulum dan tujuan pasraman dalam rumusan “mempesona” sekaligus “menggetarkan” sejalan dengan pengalaman keagamaan, yakni fascinosum dan tremendum. 
Kesan klasik dan mistis yang melekat pada pasraman memang tidak mudah pupus. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 pun rupanya, belum optimal merangsang mekarnya pasraman, seperti brosur Ditjen Bimas Hindu memberikan Bantuan Operasional Pasraman di 20 lokasi. Padahal persyaratan pendirian pasraman merupakan ketentuan standar, seperti disebutkan pada pasal 6, yaitu memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis, dan persyaratan kelayakan pendirian. Kalau persyaratan tersebut tidak menjadi hambatan pendirian pasraman, maka perkembangan pasraman juga dipengaruhi oleh persyaratan lain. Seperti guru, dana, sarana, dan kelemahan manajemen lainnya, juga beban kurikulum, perspesi, dan penilaian masyarakat terhadap mata pelajaran pendidikan agama Hindu terutama kesulitan mengajarkan Weda untuk mengembangkan ilmu agama di SD dan SMP.
Pada prinsipnya pengembangan kurikulum berpusat pada kebutuhan pertumbuhan dan keperluan perkembangan siswa serta kepentingan lingkungan. Prinsip pengembangan tersebut menyebabkan kurikulum memiliki kepekaaan untuk menjangkau perkembangan pikiran, perasaan, dan kehendak siswa dan perubahan lingkungan. Dengan kepekaan ini kurikulum mampu mendorong upaya peningkatan mutu, pemerataan, kesempatan, dan demokrasi pendidikan keagamaan. Begitu juga klasifikasi dan kodifikasi materi kurikulum dapat dibuat lebih sederhana, seperti pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni atau filsafat, teori, dan materi substantif. Berdasarkan taksonomi pendidikan kurikulum dapat disusun dalam rangka mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Selain pola tigaan, sebagaimana lazimnya konstruksi ilmu pengetahuan, juga kurikulum dapat dirumuskan berdasarkan pola limaan, seperti pola keilmuan yang dirumuskan dalam panca sraddha dan panca yadnya.   
Pasraman sebagai satuan pendidikan keagamaan yang menaungi dan melindungi masyarakat pembelajar sekiranya membutuhkan kurikulum yang lebih umum dan terukur. Kurikulum yang mampu mengadopsi kemampuan siswa serta mengadaptasi perkembangan zaman dan perubahan lingkungan. Misalnya, Asep Herry Hernawan (2002) menyarankan kurikulum perlu dikembangkan berdasarkan prinsip relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, efesiensi, dan efektivitas. Relevansi antara tujuan, materi, strategi, organisasi, dan evaluasi termasuk relevansi epistemologis, psikologis, dan sosiologis. Lentur dan luwes sehingga memungkinkan terjadinya penyesuaian, baik terhadap kemampuan siswa maupun perubahan tempat dan waktu. Kesinambungan pengalaman belajar setiap jenjang dan antarjenjang pendidikan serta dengan jenis pekerjaan. Mendayagunakan biaya, waktu, sarana, dan sumber daya lainnya secara cermat dan optimal. Akhirnya, mewujudkan tujuan pasraman dengan kegiatan tepat sasaran. 
Misalnya, bila pengembangan kurikulum pasraman berdasarkan pola limaan panca yadnya, maka komponen kurikulum, seperti tujuan, materi, strategi, organisasi, dan evaluasi pendidikan terdiri atas lima jenis sesuai dengan jenis yadnya. Tujuan pasraman barangkali dapat dirumuskan sebagai berikut, yaitu untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia: (1) yang memiliki sraddha dan bhakti kepada Sanghyang Widhi Wasa (Dewa Yadnya); (2) yang memuliakan leluhur dan orang tua (Pitra Yadnya); (3) yang adil dan arif kepada alam (Bhuta Yadnya); (4) yang menghormati guru dan sumber-sumber pengetahuan (Resi Yadnya); dan (5) yang menghargai moralitas dan interaksi sosial lainnya (Manusa Yadnya). Pada prinsipnya dalam tujuan ini mencakup lima dimensi manusia dan idola keharmonisan hidup, seperti cita-cita umat Hindu. 
Materi kurikulum barangkali dapat diklasifikasi menjadi lima rumpun keilmuan berikut. (1) Dewa Yadnya: ilmu-ilmu kesempurnaan meliputi Filsafat (Darsana), Teologi (Brahmawidya), dan Dogma Agama (Tattwa). (2) Pitra Yadnya: ilmu-ilmu kadyatmikan meliputi Bahasa, Kesusastraan (Weda, Upanisad, Purana, Itihasa, sutra-sutra dan sastra-sastra lainnya), Seni, Yoga Terapan, Ayur Weda, dan Usada. (3) Bhuta Yadnya: ilmu-ilmu keruangan meliputi Kosmologi, Kosmogoni, Eskatologi, Ilmu Pengetahuan Alam, Matematika, Ekonomi, Keterampilan-Tangan, dan Olahraga. (4) Resi Yadnya: ilmu-ilmu kewaktuan meliputi Wariga, Sejarah, Perbandingan Agama, dan Mitologi. (5) Manusa Yadnya: ilmu-ilmu tingkah laku meliputi Acara, Susila, Etika Umum dan Profesi, Psikologi, Sosiologi, Antropologi, Politik, Kebudayaan, Kewarganegaraan, dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Pengembangan ini mencakup keluasan wawasan, kecepatan membuat keputusan, dan ketepatan tindakan. 
Untuk itu, siswa perlu dilengkapi dengan kemampuan membaca secara esoterik dan esksoterik sehingga dibutuhkan materi yang bersifat teknis-metodologis, seperti filsafat ilmu dan metode penelitian termasuk pengetahuan filosofis dan teoretis lainnya. Hal ini menurut Frithjof Schuon menjadi penting karena agama dan wacana yang mengitarinya memiliki dimensi esoterisme dan eksoterisme. Esoterisme adalah dimensi dalam atau inti agama dan eksoterisme adalah dimensi luar atau eksternal agama. Kedua dimensi ini merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi dan menyempurnakan, ibarat jiwa dan raga. Jiwa sebagai hidup yang memberikan kehidupan kepada agama sekaligus menjaga stabilitas dinamika perkembangannya. Dimensi ini merupakan konsekuensi efistemologis dari wacana perenial, seperti Sasuhunan, Dewa-Pitara, Dewa-Dewi, Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan, Brahman, dan Realitas Tertinggi. 
Kurikulum memang inti pasraman, jalan yang hendak ditempuh, dasar komitmen dan tujuan, serta rambu-rambu bagi komponen pendididikan. Kurikulum pun menentukan jenis-jenis kebutuhan dan keperluan pasraman seturut dengan standar pendidikan nasional. Seperti standar sarana dan prasarana, standar isi, standar proses, standar penilaian, standar kompetensi lulusan, standar pengelolaan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, dan standar pembiayaan. Namun yang jauh lebih mendesak adalah landasan ideal pasraman, ideologi pasraman, dan masa depan manusia Hindu. Mengingat agama bukanlah tatanan nilai yang bergantung di ketinggian tak tersentuh kebutuhan, keperluan, dan kepentingan. Melainkan agama secara nyata turut serta mewarnai kehidupan manusia, ibarat Matahari yang menerangi semesta alam dan dunia batin manusia, bahkan mengobarkan api semangat pengembangan kemanusiaan religius.
Mengembangkan kemanusiaan yang religius – seperti manusia rasional bermoral dan bermoral ketuhanan – barangkali dapat dijadikan landasan ideal dalam membangkitkan eksistensi pasraman. Selain pengelolaan yang proporsional-profesional, juga pasraman perlu mengarahkan perhatian pada upaya pengungkapan peran dan fungsi agama dalam kehidupan. Tidak hanya dalam kehidupan sosial dan kebudayaan, tetapi juga peran dan fungsi agama dalam kehidupan yang lebih luas seiring dengan spesialisasi aspek kehidupan dalam dunia modern. Pasraman memang harus menyesuaikan diri dalam dunia-kehidupan yang tidak pernah berhenti berubah sesuai dengan kodratnya. Apalagi perubahan itu terjadi begitu cepat dalam waktu singkat menyangkut banyak aspek yang menentukan “diri” dan “kedirian”. Akhirnya pasraman dituntut mengevaluasi diri, menyesuaikan pandangan hidup, dan tetap tabah mengikuti perkembangan kemajuan zaman.             

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...