Manggala

Mencari Manggalaning Manggala

I  W a y a n  S u k a r m a

Manggalaning manggala itu orang yang sudah mengetahui, memahami, dan mengapresiasi hakikat penjelmaan manusia sebagai anugerah yang paling mulia. Dengannya, pemimpinnya pemimpin mampu memanfaatkan kemuliaan anugerah itu untuk menyadari hakikat kesenangan, kekayaan, kebajikan, dan kebebasan. Kesadaran akan tujuan hidup ini memberikannya kesanggupan mengentaskan penderitaan dan kesengsaraan, seperti seorang raja mendidik rakyat dan pendeta membimbing umat membenahi kehidupannya.

Mencari merupakan kegiatan yang berkesadaran, seperti usaha menemukan yang dibutuhkan, memperoleh yang dipentingkan, dan mendapatkan yang diperlukan. Pencari menyadari “apa yang dicari” dan “mengapa mencarinya”; “bagaimana caranya mencari”; “apa tujuan dan manfaatnya mencari”; bahkan mengetahui tempatnya “di mana mencari”. Pencari sadar pada usaha yang dilakukan dan hasil yang hendak dicapai. Sadar pada usaha dan hasil (bahwa hasil adalah akhir dari usaha dan dasar menetapkan tujuan berikutnya) menunjukkan bahwa mencari adalah kegiatan yang bersifat metodologis sekaligus politis. Hanya saja kejelasan tahapan-tahapan pencarian dan ketegasan pemosisian pencari secara kritis tidak sepenuhnya memudahkan usaha menemukan pemimpin, apalagi pemimpinnya pemimpin, manggalaning manggala. Ambisi menemukan pemimpin utama semakin tidak mudah karena proses politik tidak berlangsung linier. 
Proses politik yang melahirkan pemimpin, baik yang ditampilkan sejarah dan kisah -kisah sejarah maupun kesusastraan klasik lebih banyak digambarkan sebagai pergulatan ideologi dan pergumulan kekuasaan. Dalam Itihasa misalnya, Ramayana dan Mahabharata menampilkan kisah-kisah politik istana hingga lahirnya sosok pemimpin: Sri Rama dan Dharmawangsa. Dari Ramayana mengalir Astabrata: sifat-sifat dan karakteristik pemimpin ideal. Dari Mahabharata memancar Rajadharmasastra: falsafah dan kewajiban pemimpin beserta ajaran Niti lainnya. Dalam Pararaton pun diterangkan Nusantara pernah disatukan oleh Gajah Mada dengan Sumpah Palapa melalui Asta Dasa Brata Paramiteng Prabu. Artinya, setiap bangsa dan zaman memiliki dan melahirkan pemimpinnya sendiri sehingga usaha menemukan “pemimpin” seolah-olah absurd dan naif. Kecuali membiarkan rumusan pemimpin tetap cair: tidak membakukan dan membekukannya.
Itu sebabnya, barangkali lebih tepat mengganti kata “usaha” dengan “upaya” yang menekankan pada proses, bukan hasil. Upaya adalah proses: runtunan perubahan terus-menerus dan berkesinambungan, karena itu tidak pernah selesai. Proses bukanlah tujuan, karena itu tidak pernah berakhir. Setiap akhir senantiasa menciptakan tegangan bagi awal mulainya perubahan baru menuju perubahan berikutnya. Dinamika ini menandakan dunia- kehidupan mengalami reduksi melalui proses adaptasi (nilai) seiring dengan pandangan-dunia (tentang masa depan). Dalam perubahan, adaptasi, dan pandangan-dunia itulah masyarakat menyimpan dan menyembunyikan “pemimpin”, baik berupa pengetahuan maupun pengalaman. Zona penyimpanan dan penyembunyian itu telah memikat minat para pecinta kebijaksanaan sepanjang zaman. Misteri zona itu pula mendorongnya melakukan penyingkapan dan pengungkapan untuk menampilkan dan menampakkan sosok pemimpin.
Maharsi India misalnya, telah berupaya merumuskan pemimpin sejak Zaman Weda (1500-600 SM), Zaman Wiracarita (600-200 SM), Zaman Sutra-Sutra (200 SM), Zaman Skolastik (sejak abad kedua) hingga Zaman Modern. Rumusan pemimpin Zaman Modern diwarnai pemikiran beberapa tokoh, seperti Kabir (1440-1518), Nanak (1469-1538), Ram Mohan Roy (1772-1833), Debendranath Tagore (1841), Keshab Chandra Sen (1838-1884), Gerakan Arya Samaj (1875), Sri Ramakrisna (1834-1886), Mahatma Gandi (1869-1948), Sri Aurobindo (1872-1950), dan Sri Ramana Maharsi (1879-1950). Periodesasi perumusan pemimpin tersebut telah mengenalkan beragam sosok pemimpin, baik di Surga, di Langit, maupun di Bumi; baik pemerintahan dewa-dewa, raksasa, maupun manusia. Misalnya, Prajapati dikenalkan sebagai Rtawan, yaitu memimpin kekuatan dan keajaiban alam demi kebertahanan dan keutuhan, bahkan keberlangsungan dunia.
Menjaga kebertahanan, memelihara keutuhan, dan bertanggung jawab terhadap  keberlangsungan dunia-kehidupan dalam kitab-kitab Niti memang diterangkan menjadi kewajiban pemimpin. Diterangkan pula kewajiban pemimpin melekat dalam proses politik, karena itu puncak dari proses politik adalah lahirnya pemimpin. Artinya, pemimpin lahir dari upaya pengelolaan kekuasan dalam masyarakat, karena itu kekuasaan bukanlah tujuan dari proses politik. Proses politik yang mandek pada kekuasaan menyebabkan sikap, karakter, visi, dan orientasi pemimpin menyusut dan kehilangan idealisme kepemimpinan. Pemimpin pun dengan mudah dikuasai kepentingan dan kebutuhan yang bersifat sementara yang membuat pandangannya tentang masa depan semakin kabur. Tanpa wawasan masa depan, pemimpin pun kehilangan kemampuan memimpin sehingga tidak bisa menuntun, membimbing, dan mendidik orang yang dipimpinnya menuju tujuan hidup.   
Bukan hanya berwawasan, bahkan Ida Bagus Gunadha dalam Aneka Politik Hindu menyarankan pemimpin agar bermoral dan berwatak religius, seperti diungkapkan berikut. “Pemimpin yang tenggelam dalam lumpur tidak dapat diharapkan menyelamatkan orang lain dari benaman lumpur”. Kemerosotan moral pemimpin yang dikawatirkan itu, bukan khayalan belaka. Kenyataannya tidak sedikit pemimpin yang harus menikmati hidup dalam kegelapan pengasingan yang mencekam. Artinya, selain menguasai wawasan berpikir, juga pemimpin wajib melindungi tindakannya dengan tameng moral dan meneduhkan jiwanya dengan payung spiritual agar tidak mudah terperosok ke “lembah yang berlumpur dan bernoda”. Kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual itulah modal dasar pemimpin. Modal tersebut akan berkembang dan berdaya guna menjadi handalan pemimpin, bila pertumbuhannya dilindungi tri hita karana.
Kecederdasan intelektual akan tumbuh jernih dalam lingkungan palemahan yang mengajarkan kemampuan dan ketajaman berpikir positivistik berdasarkan keniscayaan dan kemutlakan prinsip-prinsip alam (naturalistik). Kecerdasan emosional akan tumbuh cerah dalam lingkungan pawongan yang mendidik kesanggupan menalar secara interpretatif, kepekaan perasaan, dan berempati berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan dan hukum moralitas (humanistik). Kecerdasan spiritual akan tumbuh cemerlang dalam lingkungan parhyangan yang membimbing dan menuntun kehendak menuju pada ketulusan hati dan kemurnian nurani (filosofis-metaetik). Pemimpin memang wajib mempunyai pikiran yang jernih, perasaan yang cerah, dan kehendak yang tulus untuk mengatasi ketidakpastian dunia-kehidupan beserta misteri yang mengitarinya. Ketika keraguan dan rahasia dunia-kehidupan mulai terbuka, maka pemimpin pun menyadari bahwa jalinan kerja sama harmonis ketiganya (alam-manusia-tuhan) adalah penyebab kesejahteraan.               
Tiga penyebab kesejahteraan itulah senjata mahasidhi pimimpin selaras dengan tujuan utamanya mewujudkan kehidupan yang layak: sejahtera dan bahagia. Dalam Yajur Veda disebutkan, ”Oh Tuan, jadilah engkau seorang raja yang melaksanakan undang-undang dan memberikan petunjuk kepada rakyat; tetaplah tabah dalam kedudukan; Yang Mulia adalah seniman yang mengetahui kalau pertanian akan tumbuh subur dan kemakmuran negara akan tetap tidak tergoyahkan; Yang Mulia tahu kalau rakyat akan menjadi kaya; Dengan demikian, rakyat akan dapat menikmati kehidupan yang layak”. Artinya, dunia-kehidupan membutuhkan pemimpin yang seniman: tabah, adil, dan inovatif. Kehidupan memang menyediakan banyak jalan, namun tidak semua jalan menuju tujuan. Untuk memilih satu jalan yang tepat itulah dibutuhkan inovasi pemimpin: politik, agama kebudayaan, dan pendidikan.   
Jalan kehidupan yang menuju tujuan hidup: sejahtera dan bahagia dalam Reg.Veda diklasifikasi menjadi empat, yaitu pengetahuan, perbuatan, pelayanan, dan pengasingan. Setiap jalan memiliki liku-liku karakter, sifat tanjakan dan turunan, serta rambu-rambu aturan tersendiri. Jalan pengetahuan tampak tenang dalam permenungan, jalan perbuatan kelihatan sibuk dalam praktik, jalan pelayanan tampil tulus dalam pengabdian, serta jalan pengasingan yang sunyi-senyap. Menguasai keempat jalan ini sesungguhnya merupakan gambaran tentang pemimpin ideal: tenang, berpengetahuan, dan berwawasan luas; aktif, inovatif, dan kreatif dalam pekerjaan; semangat, tulus, dan ikhlas dalam pengabdian; serta tanpa kepentingan dan pamrih pribadi. Pemimpin semacam ini memiliki kemampuan untuk memilih jalan yang efektif dan produktif terhadap tujuan hidup bersama terutama dalam rangka mengatasi ketidakpastian kehidupan.
Selain untuk menentukan jalan yang harus ditempuh, juga bimbingan dan tuntunan pemimpin dibutuhkan dalam rangka menjaga harmoni dunia-kehidupan. Dunia-kehidupan adalah jejaring mahaagung yang menyatukan manusia sekaligus memisahkannya. Jejaring yang mengintegrasikan struktur dan kultur dunia-kehidupan sekaligus memisahkan kesatuan komitmen sosial (status dan peran) dan mengubah pandangan-dunia tentang masa depan. Penyatuan dan pemisahan beserta perubahan yang menyertainya memang ciri khas dunia-kehidupan dan menghindari perpecahan adalah kewajiban pemimpin. Kewajiban ini menuntut kesabaran dan ketabahan pemimpin dalam mengawasi, mengontrol, dan mengendalikan perubahan ke arah produktif searas dengan tujuan kehidupan. Pemimpin wajib mencegah pecahnya kerja sama sosial karena dapat mengakibatkan kekacauan sosial dan kebudayaan. Tentu saja kekacauan sosial ini, bukan persyaratan untuk mewujudkan tujuan hidup bersama.     
Tujuan dan kewajiban pemimpin disebutkan dalam Kautilya Arthasastra (XII.13), seperti berikut. "Apa yang menjadikan raja senang hendaknya tidak dianggap sebagai kebahagiaan, tetapi segala yang membuat rakyat bahagia itulah kesenangan yang harus selalu diupayakan oleh seorang raja". Kewajiban utama pemimpin adalah mengupayakan kesenangan dirinya, yaitu tidak henti-hentinya berusaha membuat pengikutnya berbahagia. Kewajiban semacam ini menuntut pemimpin senantiasa memikirkan, merencanakan, dan mengerjakan segala hal yang dapat membahagiakan orang yang dipimpinnya. Untuk itu, pemimpin berkewajiban mendahulukan kebutuhan, kepentingan, dan keperluan orang yang dipimpinnya. Segenap kebenaran (pikiran), kejujuran (ucapan), dan kebaikan (perbuatan) pemimpin senantiasa berorientasi pada kebahagiaan pengikutnya, bukan pada dirinya. Orientasi inilah kesenangan yang diupayakan pemimpin dengan bertumpu pada tujuan hidup: catur purusa artha. 
Upaya pemimpin memelihara kesenangannya itu terikat dan tergantung pada politik beserta proses yang menyertainya. Dalam Santi Parwa disebutkan sebagai berikut, ”Ketika tujuan hidup manusia semakin jauh. Begitu juga pembagian masyarakat semakin kacau, maka pada politiklah semua berlindung, pada politiklah semua kegiatan agama diikatkan, pada politiklah semua pengetahuan dipersatukan, dan pada politiklah dunia terpusatkan”. Oleh karena politik menjadi pusat dunia-kehidupan sehingga pemimpin wajib menguasai politik, bahkan dalam beragam penjelmaannya. Pemimpin dituntut memiliki kemampuan dan keberanian memanfaatkan politik dalam membangun kesadaran masyarakat tentang komitmen dan tujuan hidupnya untuk membangun kedamaian, keadilan, kemandirian, dan kesejahteraan sosial. Begitulah kewajiban utama pemimpin memanfaatkan politik secara bertanggung jawab sejalan dengan tujuan politik itu sendiri, yakni melindungi masyarakat.   
Apabila pemimpin gagal memerankan politik secara bertanggung jawab dan politik kehilangan fungsinya melindungi masyarakat, maka pengetahuan dan seluruh aturan hidup akan musnah. Tanpa pengetahuan dan aturan hidup, manusia tidak dapat melaksanakan kewajibannya. Tanpa kewajiban, manusia hanyalah ”mayat hidup” (seperti Film Zombie) dan dunia-kehidupan pun tanpa peradaban. Seperti disebutkan dalam Santi Parwa berikut, ”Manakala politik telah sirna, Weda pun sirna pula, semua aturan hidup hilang musnah, semua kewajiban manusia terabaikan. Pada politiklah semua berlindung. Pada politiklah semua awal tindakan diwujudkan, pada politiklah semua pengetahuan dipersatukan, pada politiklah semua dunia terpusatkan”. Bukan hanya pemimpin, bahkan setiap orang wajib berpolitik secara manusiawi untuk menyatukan pengetahuan dan memadukannya dengan tindakan sehingga dunia-kehidupan tidak kehilangan peradaban.
Peradaban itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, karena itu ”manusia beradab” merupakan persyaratan utama menjadi pemimpin. Manusia beradab mempunyai kehendak yang kuat memahami hakikat kelahiran dan tujuan hidup sebagai manusia, seperti disebutkan dalam Sarasamuccaya berikut. ”Manusia hendaknya selalu mengusahakan dengan tidak pernah jemu untuk memahami hakikat kebajikan, kekayaan, kesenangan, dan kebebasan. Manusia adalah sang raja bagi dirinya sendiri, ia adalah pemimpin dari tubuhnya, ia adalah penguasa dari pikirannya; maka dari itu, berusahalah untuk memahami hakikat penjelmaan ini”. Artinya, pemimpin harus mampu memimpin tubuhnya dan menguasai pikirannya sendiri dalam rangka memahami hakikat kebajikan, kekayaan, kesenangan, dan kebebasan. Untuk memenuhi dan mencapai keempat tujuan hidup inilah kewajiban dan tenggung jawab utama pemimpin.   
Artinya, politik sebagai panglima dunia-kehidupan berfungsi mengontrol sistem pengetahuan, mengawasi sistem nilai, dan mengendalikan sistem tindakan. Ketiga sistem ini dalam agama Hindu bertujuan menegakkan dharma, yaitu inti Weda. Dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat Kautilya Arthasastra mengapresiasi negara sebagai simbol dharma. Dalam pemahaman bahwa dharma adalah kebebasan individu dan sosial; konsep etis dalam masyarakat; kewajiban dan tanggung jawab sosial; serta keadilan dalam peraturan dan perundang-undangan. Dengan demikian, dharma bagi pemimpin adalah dasar komitmen, cara, dan tujuan bertindak dalam menjalankan keseluruhan sistem pemerintahan. Misalnya, Dharma sebagai landasan dan tujuan merumuskan kesenangan, hasrat, dan keinginan (kama); memperoleh dan menggunakan kekayaan (artha), upaya menegakkan peraturan dan perundang-undangan (dharma); serta memenuhi dan mencapai kebebasan (moksa). 
Dharma mengimbau pemimpin agar mengutamakan kebutuhan jasmani dan rohani, karena itu pemimpin wajib mengupayakan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat. Dalam Kautilya Arthasastra disebutkan, ”Pemimpin harus mengurus dan mengutamakan kebutuhan warganya, meningkatkan produksi, mendistribusikannya, dan melakukan upaya bagi kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan”. Untuk itu disarankan pemimpin harus adil menegakkan hukum demi keseimbangan sosial dan tertib melaksanakan administrasi pemerintahan. Penegakkan hukum demi kedamaian sosial dilakukan dengan seperangkat denda dan sanksi (dandaniti). Sementara itu, ketertiban kinerja administratif dilakukan dengan memberikan perlindungan dari agresi luar (raksha), pemeliharaan ketertiban umum (palana), dan menjamin kesejahteraan rakyat (yogakshema). Begitulah pemimpin menjadi kekuatan penentu yang mengatur, mengontrol, dan mengendalikan seluruh sistem politik hingga lahirnya pemimpin rajarshi: penata negara dan agama. 
Rajarshi terdiri atas kata ”raja” dan ”rshi”. Raja adalah kepala kerajaan (negara) dan pemimpin pemerintahan, sedangkan rshi adalah pemimpin agama, seperti pandita dan pinandita. Raja bertanggung jawab terhadap tatanan kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, sedangkan rshi bertanggung jawab terhadap tatanan kehidupan keagamaan. Raja berurusan dengan dunia-kehidupan profan (sakala), sedangkan rshi berurusan dengan dunia-kehidupan sakral (niskala). Raja tampil sebagai ksatrya dengan keberanian dan kehebatan karakteristik kepahlawanan lainnya, sedangkan rshi tampil sebagai brahmana dengan kelembutan religiusitas dan karakteristik keagamaan lainnya. Raja berwajiban memenuhi segala kebutuhan jasmaniah, sedangkan rshi berwajiban memenuhi kebutuhan rohaniah. Raja mengupayakan harta benda dan kekayaan demi kesejahteraan (arthani jagadhita), sedangkan rhsi mengupayakan penyatuaan jiwa dengan sumbernya, kebebasan, kebahagiaan (atmanah mokshartam).
Sesungguhnya pola duaan kepemimpinan seperti itu sudah diadopsi dan diadaptasi organisasi agama dan keagamaan Hindu menjadi Dharma Agama dan Dharma Negara. Malahan Ida Bagus Jelantik dalam PHDI Setengah Abad menyebutkan, ”Pembentukan PHDI memang dilandasi cita-cita mulia pendirinya untuk menata diri (dharma agama) agar peradaban Hindu benar-benar berdasarkan ajaran dharma dan menjadi mitra pemerintah menciptakan negara jagadhita (dharma negara)”. Ini berarti Parisada hendak mewujudkan masyarakat Hindu yang memiliki keyakinan dan komitmen terhadap agamanya. Kemudian, bersama dengan umat agama lain mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi seluruh warga negara. Untuk itu dibutuhkan pengetahuan keagamaan Hindu (dharma agama) dan standar moral pergaulan nasional dan global (dharma negara) dalam rangka mewujudkan tujuan hidup: catur purusa artha.
Rajarshi itulah pemimpin ideal dalam Kautilya Arthasastra, yaitu pengggabungan antara karakter ksatrya dan brahmana. Pemimpin merupakan manifestasi dari kehormatan pahlawan dan kemuliaan pendeta. Pahlawan memiliki karakter keberanian, ketegasan, kekuatan, ketabahan, ketahanan, dan ketetapan hati, sedangkan pendeta memiliki karakter kelembutan, kebenaran, kebaikan, kesabaran, kedamaian, kesentosaan, ketenteraman, dan keindahan. Dengan memanifestasikan kehormatan pahlawan dan kemuliaan pendeta itu pemimpin akan menjadi pemimpin utama atau pemimpinnya pemimpin: manggalaning manggala. Pemimpin yang tidak hanya mampu mengelola pemerintahan (panatapraja) untuk mewujukan kedamaian, keadilan, kemandirian, dan kesejahteraan sosial, tetapi juga sanggup membangun moralitas serta mengembangkan religiusitas dan spiritualitas bangsa (panatagama). Begitulah manggalaning manggala adalah pemimpin berkarakter satyam, siwam, dan sundaram: berpikir, berkata, dan berbuat dharma (idola Majalah Wartam).             



   

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...