Mokshartham Jagadhita: Merdeka Tanpa Koma
I W a y a n S u k a r m a
Mokshartham, kebebasan dan jagadhita, kesejahteraan adalah tujuan puncak manusia dalam agama Hindu seperti berikut, “atmanah mokshartham jagadhita ya ca ithi dharma”. Kebebasan jiwa dan kesejahteraan batin dapat terwujud melalui kesatuan atman dengan brahman. Keterpisahan antara atman dan brahman dengan “tanda koma” dalam Kehidupan memang harus dimaknai sebagai kesatuan Hidup. Seperti “tanda koma” yang memisahkan antara purusa dan prakerti harus dimaknai kembali dalam kesatuannya, bukan dalam penggalan-penggalannya sebagai “anak kalimat”. “Tanda koma” yang memisahkan kalimat sesungguhnya untuk memudahkan membangun makna kesatuannya. Begitulah kemerdekaan, kebebasan, dan kebahagiaan hanya mungkin dicapai melalui kemampuan memisahkan dan menyatukan realitas. Akhirnya, kemampuan menggunakan “tanda koma” harus dilepaskan karena sesungguhnya merdeka sebagai kebebasan dan kesejahteraan memang tidak membutuhkannya.
Merdeka berarti bebas dari belenggu penjajah dan bebas untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Kalau tanpa koma, maka kata “merdeka” tidak hanya berarti bebas secara deskriptif, tetapi juga secara emosi, baik ekspresi emosi (mengungkapkan perasaan) maupun evokasi emosi (menimbulkan perasaan). Malahan mazhab Stoa beranggapan bahwa kebebasan hanyalah aktivitas batin – karena kata “bebas” tidak menunjuk sesuatu. Apalagi agama Hindu mengajarkan keberadaan manusia dikuasai oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi, seperti dewa dan bhatara. Manusia tidak sepenuhnya mengatur hidupnya sendiri karena hidup insani dikuasai oleh dewata, bahkan manusia tersandera dalam dunia: kondisi, situasi, dan suasana. Untuk menimbulkan kesadaran akan kebebasan dan bebas dari penyanderaan dunia itulah tujuan agama Hindu, “atmanah moksartham jagadhita ya ca ithi dharma”.
Merdeka sama dengan bebas, karena itu kemerdekaan adalah kebebasan. “Keadaan bebas” ini merupakan derivasi dari penjelasan kata “merdeka” dan “bebas” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata “merdeka” berarti bebas, bebas dari, lepas dari, berdiri sendiri, tidak terkena, tidak terikat, tidak tergantung, dan leluasa. Kata “bebas” berarti lepas sama sekali, lepas dari, tidak terikat, tidak terbatas, tidak dikenakan, tidak terdapat, dan merdeka. Leksikalitas kata “(ke)merdeka(an)” dan “(ke)bebas(an)” diungkapkan untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya arti dan makna suatu kata secara semiotik tidak pernah merdeka dan bebas. Arti dan makna sebuah kata selalu terikat pada sintaksis (hubungan formal antara satu tanda dengan tanda lain), semantik (hubungan tanda dengan objek), dan pragmatik (hubungan tanda dalam pemakaian).
Tanda dan sistem pemakaiannya memang mempunyai kedudukan penting dalam bahasa, seperti tanda baca yang dipakai dalam sistem ejaan. Misalnya, koma, titik, titik koma, tanda tanya, dan tanda seru merupakan kaidah yang mengatur tertib kata-kata dan kalimat dalam bahasa. Koma merupakan tanda baca yang dipakai untuk memisahkan anak kalimat yang mendahului induk kalimat dan/atau untuk memisahkan anak kalimat yang mengapit keterangan tambahan atau keterangan aposisi dalam kalimat. Memisahkan anak kalimat berarti memudahkan menghubungkan makna kalimat menjadi kesatuan makna yang utuh. Fungsi memisahkan dan menghubungkan ini menunjukkan bahwa tanpa tanda baca, bahasa hanyalah kumpulan kata-kata tanpa makna. Ketika suku-kata, kata-kata, dan kalimat tidak ditertibkan dengan tanda baca, bahasa pun kacau dan kehilangan fungsi.
Efektivitas fungsi bahasa memang terikat pada tanda baca karena bahasa bukanlah kumpulan kata-kata. Serupa dengan bahasa, juga masyarakat ditertibkan melalui tatanan tanda dan simbol misalnya, sistem moral, sistem sosial, dan sistem budaya. Seperti tanda baca, juga sistem tanda dan simbol mempunyai fungsi memelihara ketertiban dan menjaga keseimbangan sosial karena masyarakat bukanlah kumpulan individu. Bila tanda baca mencegah kekacauan bahasa, begitu juga sistem tanda dan simbol dalam masyarakat mencegah kekacauan sosial. Sistem tanda dan simbol menjamin kebebasan individu dalam masyarakat untuk melaksanakan peranan dan fungsinya dalam masyarakat sesuai dengan statusnya. Begitulah setiap individu menerima hak dan kewajibannya sehingga kelompok-kelompok yang berbeda mampu menemukan jalannya dan sanggup membangun kerjasama produktif yang saling menguntungkan.
Kerjasama saling menguntungkan itulah landasan dunia kehidupan karena manusia sebagai bagian integral dari kemanusiaan tidak menghendaki penjajahan. Manusia menolak segala macam bentuk perbudakan karena disusupi rasa keadilan. Manusia adalah makhluk otonom. Manusia bebas dari dan untuk dunia kehidupan, baik kondisi lingkungan, situasi sosial, maupun suasana budaya. Kemerdekaan itulah harga diri manusia. Demi harga diri, bukan hanya berkorban harta benda dan raga, bahkan manusia rela mengorbankan jiwanya. Totalitas pengorbanan para pahlawan bagi kemerdekaan Negara Indonesia misalnya, demi harga diri bangsa, sebagaimana dinyatakan pada Pembukaan Undang-Undang 45, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka setiap penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Upaya menegakkan perikemanusiaan dan perikeadilan ini selanjutnya, dirumuskan menjadi kebebasan, seperti disebutkan pada pasal 28 E UUD 45, “(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara, dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang atas kebebasannya meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Kebebasan memeluk agama dan kemerdekaan beribadat ditegaskan kembali pada pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Ketika negara menjamin kebebasan untuk memeluk agama dan memberikannya kemerdekaan untuk beribadat berarti agama adalah lembaga otonom yang bebas dan merdeka membangun keberadaannya. Agama bebas merumuskan sistem pengetahuan dan praktik keagamaan serta umat agama merdeka mengekspresikan keagamaannya dalam bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Dalam kehidupan ini umat agama menciptakan dan mewujudkan kebebasan sosio-religiusnya. Kebebasan memang harus diciptakan dan diwujudkan karena ketika tidak berdaya terhadap kehidupan, manusia tidak sampai pada kesadaran penuh akan kebebasan. Meskipun manusia mesti bebas, seperti gagasan Jean-Paul Sartre, “manusia adalah kebebasan”. Hanya saja kebebasan tidak berarti tingkah laku manusia tidak ditentukan untuk mencapai sesuatu. Melainkan kebebasan itu otodeterminasi karena kehendak yang menentukan tingkah laku manusia mempunyai maksud dan tujuan.
Begitulah kemerdekaan dan kebebasan manusia ditentukan oleh penyebab (cause) dan motif (motife). Ketertiban penyebab tersusun menurut prinsip dasar hukum alam (Rta) dan keteraturan motif terumuskan berdasarkan prinsip dasar hukum moralitas (Dharma). Penyebab tidak tergantung pada kemauan manusia, seperti kelahiran, jenis kelamin, usia, dan kematian. Sementara itu, motif hanya menjadi motif, bila diterima oleh kemauan manusia, seperti menjadi polisi, politisi, dan tujuan lainnya. Penyebab berfungsi dalam konteks deterministik, sedangkan motif berperanan dalam konteks kebebasan. Dengan begitu, dapat dipahami bahwa penyebab adalah alasan terjadinya sesuatu di luar kemauan manusia, sedangkan motif adalah alasan yang diterima manusia untuk menentukan dirinya. Prinsip kemestian dan keharusan inilah panduan kebebasan dan kemerdekaan manusia agar tetap sebagai manusia.
Tetap sebagai manusia adalah tujuan puncak manusia karena lahir sebagai manusia mengalami perubahan, bahkan penyusutan rasa diri ketika menjalankan kehidupan menjadi manusia. Misalnya, potensi bawaan lahir tidak dapat dihindari berhadapan dengan kondisi lingkungan, situasi sosial, dan suasana budaya di tempat manusia membangun dan menata eksistensinya. Apalagi agama Hindu melalui tri murti mengajarkan bahwa kelahiran adalah kekuasaan Dewa Brahma, kehidupan adalah kekuasaan Dewa Wisnu, dan kematian adalah kekuasaan Dewa Siwa. Dalam kekuasaan ketiga dewa ini kiranya tidak mudah mengatakan bahwa manusia adalah makhluk otonom, bebas, dan merdeka. Apalagi ditambah dengan cengkeraman Sang Nasib dan Sang Takdir. Barangkali untuk mengatasi kesulitan ini, agama Hindu merumuskan tujuan, “atmanah moksartham jagadhita ya ca ithi dharma”.
Tujuan hidup manusia dirumuskan sebagai keadaan sejahtera yang berasal dari para dewa dan Sanghyang Widhi Wasa. Kesejahteraan sebagai tujuan manusiawi adalah nasib yang dianugerahkan dari Dunia Niskala. Manusia adalah makhluk yang tidak berkuasa atas hidupnya sendiri sehingga tidak dapat sepenuhnya mengatur dunia kehidupannya. Hanya saja seringkali pemakaian istilah “kebebasan” dibandingkan dengan “kebahagiaan”. Bagi Aristoteles misalnya, kebahagiaan adalah keaktifan tertinggi manusia. Kegiatan manusiawi tertinggi yang paling luhur adalah berfilsafat, tafakur, dan kontemplasi berdasarkan moral (dharma) karena manusia adalah kesatuan intelektual dan moral. Ini berarti, tujuan hidup insani, berupa keadaan bahagia adalah kewajiban manusia yang harus diupayakan sendiri. Kebahagiaan tidak datang dari luar atau dari Dunia Niskala, tetapi dari dalam diri manusia sendiri.
Hanya saja kesadaran terhadap kebebasan tidak tumbuh dan berkembang dengan mudah karena berkaitan dengan upaya mewujudkannya. Manusia tidak dapat menyadari kebebasannya, kalau tidak mau melakukan sesuatu dan/atau tidak mewujudkannya secara konkret. Kenyataannya, manusia akan mengenal dirinya sendiri dengan lebih baik dalam pertemuannya dengan orang lain dan pergaulannya dalam dunia kehidupan. Malahan Aritoteles mengatakan, “Sambil mengenal dunia dan sesama manusia, aku mengenal diriku sendiri”. Ini berarti bahwa hanya dengan menghayati diri sendiri secara konkret dalam dunia kehidupan, seseorang mengenal dirinya. Begitu juga seseorang hanya menyadari kebebasannya, kalau yang bersangkutan mewujudkannya dalam tindakan. Tindakan inilah bukti kemampuan dan bukti inilah perwujudan kebebasannya. Kesadaran akan kebebasan hanya timbul setelah kebebasan itu dijelmakan dalam tindakan.
Disiplin tindakan itulah agama, bagi Auguste Comte. Disiplin tindakan merupakan kesetiaan tindakan keagamaan pada pengetahuan keagamaan. Orang yang berpengetahuan agama mestilah berkesadaran agama. Bukan sebaliknya, menciptakan keonaran dalam masyarakat dan melakukan tindakan kekerasan atas nama agama. Apalagi atas nama agama menebar teror menghancurkan perikemanusiaan dan perikeadilan. Disiplin tindakan dalam agama Hindu adalah tri jnana sandhi: kesatuan tattwa, susila, dan acara. Acara sebagai praktik agama merupakan ekspresi dari tattwa dan susila. Pada kesatuan inilah kebebasan umat Hindu berstandar karena melaksanakan satu aspek sesungguhnya melaksanakan ketiganya. Seperti kebiasaan umat Hindu merayakan hari suci termasuk rerahinan lainnya selalu pada sapta wara, panca wara, dan wuku yang sama, baik setiap enam bulan ataupun satu tahun.
Artinya, acara sebagai praktik agama merupakan upaya umat Hindu membangun kesadaran akan kebebasan keagamaan. Kesadaran akan pentingnya mewujudkan pengetahuan agama dalam tindakan. Orang disebut umat agama karena beragama: berpikir, berucap, dan berbuat berdasarkan agamanya. Beragama tidak hanya dalam pikiran dan ucapan, tetapi diwujudkan dalam tindakan. Seperti kebebasan yang hanya dapat diwujudkan dalam tindakan, juga tindakan keagamaan merupakan wujud dari kebebasan keagamaan. Augustinus misalnya, memakai kebebasan keagamaan untuk menunjukkan kedewasaan rohani yang membebaskan manusia demi mewujudkan nilai-nilai moral dan religi. Selain itu, juga mengungkapkan kemandirian manusia untuk menunjukkan puncak-puncak luhur tertinggi hidup moral dan beragama. Inilah kedewasaan rohani sebagai kesempurnaan kehendak dan eksistensi mandiri adalah tujuan hidup manusia: “atmanah mokshartham”, kebebasan jiwa.
Kebebasan jiwa, sebagaimana dilambangkan dengan Swastika sebagai gerak edar, peredaran, dan perputaran alam semesta (bhuawana agung) yang dijiwai ucapan suci Om. Ucapan suci Om sebagai Brahman disebutkan dalam Brihadaranyaka Upanisad, “Vak Vai Brahman” dan dalam Brahmanda Purana disebut Nur, cahaya agung yang tunggal memenuhi bhuwana agung. Cahaya agung sebagai tenaga sakti yang suci merupakan akibat dari pertemuan, samyoya rwa bhinneda antara Purusa dan Prakerti. Cahaya agung itu merupakan kekuatan menciptakan, memelihara, dan menghancurkan bhuwana agung. Seluruh alam semesta datang, bergerak, dan kembali kepada cahaya agung tersebut. Segala peristiwa di bhuwana agung, juga yang terjadi di bhuwana alit karena kedua bhuwana ini memiliki sifat triguna yang memungkinkan hadirnya daya tarik-menarik rwa bhinneda.
Dari daya tarik-menarik rwa bhinneda itu dapat dipahami bahwa manusia memiliki dua kecenderungan bawaan, yaitu mengutamakan kehidupan rohaniah dan kehidupan material. Kecenderungan rohaniah berlandaskan dharma dan moksa menuju mokshartham dan kecenderungan material berlandasan kama dan artha menuju jagadhita. Kedua daya tarik dan daya dorong inilah yang menunjukkan arah gerakan alam yang bekerja dalam diri manusia. Alasan memenuhi kesenangan (kama) dengan kekayaan dan harta benda lainnya (artha) bertujuan menciptakan dan mewujudkan kesejahteraan (jagadhita). Berdasarkan aturan moral dan keagamaan (dharma), kesejahteraan ditujukan untuk menciptakan dan mewujudkan kebebasan (moksa). Dalam praktik keagamaan disimbolkan dengan upakara dan/atau banten sebagai Padma Anglayang, yaitu Swastika berdaun delapan yang juga disebut Asta Dala sebagai eswaryanya Sanghyang Widhi Wasa.
Begitulah acara sebagai disiplin tindakan keagamaan dalam rangka menciptakan dan mewujudkan kebebasan ditentukan berdasarkan dua macam prinsip, yaitu Swastika dan Padma untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan: keselamatan jiwa. Swastika adalah prinsip alam bersifat mutlak sebagai penyebab tindakan dan Padma adalah prinsip moral bersifat kontingensi menjadi motif tindakan. Arah gerakan putaran Swastika berlangsung terbalik dan berlawanan dengan arah gerakan putaran Padma (Cakra) untuk saling melengkapi dan menyempurnakan. Misalnya, perintah moral keagamaan dari Padma pada saat menjalankan upuwasa, “dilarang makan dan minum” terbalik dan berlawanan dengan rasa lapar sebagai paksaan alam dari Swastika. Dalam rangka memadukan perintah moral dengan praksaan alam inilah dibutuhkan pengendalian diri untuk mengatur tindakan untuk menciptakan dan mewujudkan kebebasan.
Mengendalian diri dalam rangka mengatur tingkah laku sesungguhnya merupakan upaya agama Hindu menghargai kebebasan kodrati manusia untuk mewujudkan kebebasan jiwani. Kebebasan yang didasarkan pada hukum kodrat merupakan semua kemungkinan manusia untuk bertindak bebas sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Kebebasan ini memang tidak boleh diambil dari anggota masyarakat agama. Kebebasan ini berkaitan dengan martabat manusia itu sendiri sehingga tidak boleh dipisahkan dari diri manusia. Kebebasan ini tidak diciptakan oleh agama, tetapi menjadi milik pribadi manusia sebelum masuk ke dalam agama. Kebebasan ini melekat pada manusia, bukan karena menjadi umat agama atau memeluk agama. Malahan tugas agama adalah menjamin dan menegakkan kebebasan manusia ini, seperti dirumuskan dalam Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia.
Hanya saja manusia membutukan kemampuan lebih daripada sekadar intelektual, moral, dan kehendak untuk menilai kebebasan, seperti dikatakan Scotus bahwa kehendak merupakan kemampuan yang lebih sempurna daripada intelek. Apalagi mengungkap tema kebebasan berkaitan dengan kesejahteraan dan kebahagiaan yang keberadaannya di luar realitas nama-rupa. Kata “bebas”, “sejahtera”, dan “bahagia” memang tidak pernah eksis, baik dalam pikiran maupun kenyataan. Seperti gagasan kaum Stoa, hanya dalam batinnya saja manusia bebas menerima atau menolak peristiwa alam. Kenyatannya, manusia tidak dapat mengubah rasa lapar atau rasa kantuknya, apalagi mengubah gerakan planet-planet di alam semesta. Begitulah kebebasan dan kebahagiaan sebagai keadaan merdeka yang ideal tetap dan selalu menjadi misteri-terbuka, seperti rumusan tujuan manusia dalam agama Hindu, “atmanah mokshartham”.
Bumi Rumah Kita
Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam I W a y a n S u k a r m a Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...
Cari Blog Ini
Arsip Blog
Popular Posts
-
SISTEM PENGOBATAN USADA BALI A.A. Ngr Anom Kumbara Pen gantar Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manu...
-
BRAHMAVIDYA DALAM BHUANA KOSA Oleh I Wayan Sukarma Abstrak Bhuana Kosa adalah lontar yang paling tua dalam kelompok lontar-lontar Siwaistik....
-
PERKEMBANGAN SHIWA-BUDDHA DI INDIA DAN INDONESIA (Pendekatan Ilmu Sejarah) Prof. D.Litt...
-
TATTWA JNÀNA: KAJIAN TERHADAP STRUKTUR I Wayan Suka Yasa 1. Pendahuluan “Candi pustaka” yang menjadi kepustakaan Hindu Bali...
-
REINKARNASI Wacana Surga-Bumi-Neraka I Wayan Suka Yasa Abstrak Keyakinan manusia pada reinkarnasi mungkin lebih tua dari se...
Tentang Penulis
Nama: I Wayan Sukarma
Email: putraghanes58@gmail.com