Ekonomi Kreatif Hindu

Menimbang Religiusitas Ekonomi Kreatif Hindu
 
I  W a y a n  S u k a r m a

Ekonomi kreatif berkembang dengan struktur perekonomian berbasis sumber daya manusia. Ekonomi yang berorientasi pada ide-ide dan gagasan kreatif ini di Indonesia dikembangkan melalui lima pilar, yaitu industry, technology, resources, institution, dan financial intermediary. Melalui indutri kreatif kemudian, ekonomi kreatif dikembangkan dengan memanfaatkan kreativitas, keterampilan, dan bakat individu. Hanya saja bakat invididu adalah kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan, bahkan dalam kesatuannya dengan alam. Ini sebabnya, ekonomi kreatif yang mengandalkan sumber insani sepatutnya tidak hanya mempertimbangkan keuntungan, tetapi juga moralitas dan religiusitas. Itu pun bila tidak ingin tingkah laku ekonomi semakin kering dari rasa kemanusiaan dan keilahian. Rasa diri sebagai kebanggaan dan harga diri yang menjadi sumber kreativitas manusia, yakni andalan ekonomi kreatif.         

 “Ekonomi mempersoalkan kebutuhan dan pemuasannya”. Persoalan yang diajukan Albert L. Meyers ini menunjukkan, ekonomi berupaya menggeladah nafsu dan mengelola sarana pemenuhannya, bahkan nafsu manusia yang paling hakiki, yaitu bertahan hidup. Kebutuhan dan beragam turunannya dalam agama Hindu dijelaskan berasal dari kama, nafsu, hasrat dan sarana pemenuhannya disebut artha, harta, kekayaan. Cara memperoleh, mengelola, dan menggunakan artha berdasarkan dharma sekiranya sepadan dengan ilmu ekonomi. Seperti penjelasan Adam Smith bahwa ekonomi adalah ilmu kekayaan yang mempelajari sarana-sarana kekayaan dengan memusatkan perhatian pada sebab-sebab material dan kemakmuran. Malahan Alfred Marshall mengemukakan bahwa ekonomi adalah ilmu yang mempelajari usaha individu dalam ikatan pekerjaan sehari-hari yang membahas kehidupan yang berhubungan dengan cara memperoleh pendapatan dan menggunakannya.
Artinya, dalam rangka bertahan hidup manusia berpaling kepada alam, bahkan berhadap-hadapan dcngan alam. Untuk memenuhi kebutuhannya manusia mesti dan harus mengolah alam, seperti ditunjukkan oleh pesatnya perkembangan sistem pertambangan dan pertanian. Perhatikanlah kebiasaan petani Bali dalam menggumuli lahan pertanian. Selain terorganisir dalam Subak, juga mereka memiliki jadwal khusus menangani lahan pertanian yang disebut dengan Kalender Bali. Kalender Bali memuat jadwal kegiatan yang berkaitan dengan “hari baik” untuk membuat bibit, menanam, merawat, dan panen termasuk “hari baik” membuat segala macam peralatan pertanian. “Hari baik” itu disebut Dewasa Ayu, yakni waktu keberuntungan yang ditentukan berdasarkan kosmologi dan astronomi Saka. Begitulah kegiatan ekonomi memerlukan pertimbangan waktu kosmis yang sesungguhnya sekaligus merupakan upaya mengendalikan kebutuhan. 
Pertimbangan semacam itu, juga terjadi dalam kegiatan ekonomi lainnya, seperti upaya nelayan menangani lautan dan upaya pedagang mendistribusikan sarana pemenuhan kebutuhan. Petani, nelayan, dan pedagang Bali menyadari alam bukanlah benda atau kepadatan dan kekosongan tanpa daya yang dapat ditambah dan dikurangi sesuka hati. Melainkan alam adalah anugerah Tuhan yang diyakini harus pelihara dan dirawat demi kelangsungan hidup dan kesejahteraan semua makhluk. Anugerah Tuhan memang harus dimanfaatkan bagi kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan makhluk Tuhan. Artinya, manusia sebagai makhluk Tuhan dituntut lebih bijaksana, agar mampu berbuat adil kepada alam dan sanggup bertindak arif kepada sesama. Keadilan dan kearifan dalam kegiatan ekonomi, baik produksi, distribusi, maupun konsumsi itulah yang hendak diperjuangkan melalui Pura Swagina. 
Petani mengandalkan hidup kepada Dewi Sri dan Dewi Laksmi yang dipuja di Pura Subak dan/atau Pura Ulun Danu sebagai penguasa kesuburan dan kemakmuran. Nelayan mengandalkan hidup kepada Dewa Baruna yang dipuja di Pura Segara sebagai penguasa lautan termasuk bagian bawahnya. Pedagang mengandalkan hidup kepada Dewi Melanting yang dipuja di Pura Melanting sebagai penguasa kemakmuran dan kesejahteraan. Dengan begitu, Pura Swagina menunjukkan kesadaran bahwa sumber daya alam bukanlah “hak paten” manusia, melainkan sebagai tanggung jawab religius kepada Tuhan. Kenyataannya, bukan hanya tingkah laku ekonomi, bahkan semua tingkah laku umat agama dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Dalam hal inilah tingkah laku ekonomi tidak hanya ditentukan berdasarkan pada pertimbangan keuntungan, tetapi juga pertimbangan moralitas dan religiusitas.
Pertimbangan moralitas dalam menentukan tingkah laku ekonomi memang penting diperhatikan karena penelitian studi lingkungan menunjukkan bahwa kejahatan alam lebih banyak bersumber pada kejahatan moral. Misalnya, banjir yang melanda kota-kota besar merupakan akibat dari tindakan semena-mena kepada alam, seperti upaya meningkatkan produksi kehutanan yang tidak terkendali. Pertimbangan religius pun mendesak diindahkan karena sumber daya alam bersifat terbatas sehingga dapat mengalami penurunan kualitas dan kuantitas, bahkan habis. Misalnya, kebutuhan kawasan permukiman yang semakin luas karena pertumbuhan jumlah penduduk mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Bukan hanya lahan pertanian, bahkan wilayah pantai tidak lepas dari sasaran reklamasi menjadi kawasan hunian. Akibatnya, lahan-lahan produktif semakin berkurang sehingga kegiatan ekonomi lebih bertumpu pada kekuatan distribusi (antarnegara).   
Ketika distribusi melemah karena penurunan daya produksi (sebab keterbatasan dan kelangkaan sumber daya alam) dan disertai dengan peningkatan konsumsi (sebab pertumbuhan jumlah penduduk), maka akan muncul “kegelapan ekonomi”. Sebelum kegelapan ekonomi benar-benar muncul dan semakin pekat, (seperti pengalaman negara-negara Eropa keluar dari Zaman Kegelapan dengan melakukan revolusi ilmu pengetahuan dan kebudayaan) “revolusi ekonomi” pun sedang berlangsung. Revolusi yang membawa perubahan mendasar pada struktur perekonomian, yaitu dari berbasis sumber daya alam menuju berbasis sumber daya manusia. Kegiatan ekonomi yang mengandalkan sumber daya manusia inilah kemudian, dikenal dengan ekonomi kreatif. Kemunculan peradaban ekonomi kreatif ini sudah diramalkan Alvin dan Heidi Toffler sebagai gelombang keempat setelah peradaban ekonomi informasi, ekonomi industri, dan ekonomi pertanian.
Ekonomi kreatif sebagai gagasan dikembangkan oleh Howkins setelah menyadari ekspor karya hak cipta Amerika Serikat tahun 1996 mempunyai nilai penjualan melampaui ekspor sektor lainnya, seperti pertanian dan otomotif. Ekonomi kreatif berorientasi pada ide dan gagasan kreatif dengan mengintensifkan informasi dan kreativitas. Ide dan gagasan kreatif inilah barang ekonomi sebagai produksi utama dalam kegiatan ekonomi kreatif.   Ekonomi kreatif diejawantahkan melalui industri kreatif dengan memanfaatkan kreativitas, keterampilan, dan bakat individu dikendalikan dengan hukum kekayaan intelektual, seperti hak paten, hak cipta, desain, dan royalti. Komitmen pemerintah Indonesia mengembangkan ekonomi kreatif terutama kontribusi ekonomi dari industri kreatif dirumuskan Departemen Perdagangan ke dalam Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015 dan Rencana Pengembangan 14 Subsektor Industri Kreatif 2009-2015.         
Spirit ekonomi kreatif dan/atau setidaknya benih-benih industri kreatif sudah lama mewarnai wacana kesenian Bali, seperti kesusastraan dan arsitektur. Malahan IBG Agastia mengingatkan betapa pentingnya mengembangkan Gandha Sesa dan Bhasma Sesa dalam kehidupan. Gandha Sesa merupakan kreativitas pada bidang karang-mengarang dan tulis-menulis lainnya, seperti semangat Bhagawan Byasa. Bhasma Sesa merupakan kreativitas pada bidang kearsitekturan dan keundagian lainnya dengan mewarisi semangat Bhagawan Wismakarma. Selain karena keterbatasan sumber daya alam rupanya, kedua gagasan ini telah menginspirasi Ida Pedanda Made Sidemen menulis Geguritan Salampah Laku untuk mengingatkan betapa mendesaknya mengembangkan ekonomi kreatif dalam kehidupan. Apabila ada orang tidak mau mengembangkan ekonomi kreatif dalam kehidupannya, maka keberadaan orang itu hanya menjejali dunia-kehidupan, “Hana wong panggresek jagat”. 
Peringatan itu disampaikan pada pembukaan geguritan sebagai upaya merendahkan diri yang hendak bercerita tantang kehidupan rumah tangga (sepasang suami-istri). Dalam cerita inilah kata “ekonomi” yang berarti “aturan rumah tangga” atau “manajemen rumah tangga” dikembangkan secara mencengangkan. Seperti disampaikan pada bait yang paling sering dikutip berikut, “Idep bline mangkin makinkin mayasa lacur, tong ngelah karang sawah, karang awake tandurin, guna dusun ne kanggo ring desa-desa”. Niat “mayasa lacur” seolah-olah kontraproduktif dengan kegiatan ekonomi yang fokus pada kekayaan. Sebaliknya, pengarang menyadari betapa banyaknya penderitaan dan kesengsaraan yang disebabkan oleh kekayaan dan harta benda lainnya dalam kehidupan rumah tangga yang miskin rohani. Sekurangnya, “masayasa lacur” merupakan upaya menjaga keseimbangan antara kekayaan lahiriah dan batiniah.         
Pentingnya keseimbangan lahir dan batin dalam menjalankan kehidupan ditegaskan kembali melalui ungkapan berikut, “karang sawah” dan ”karang awake”. “Karang sawah” merupakan wujud kekayaan lahiriah, seperti ditunjukkan melalui kepemilikan sertifikat. Rumusannya, orang kaya adalah orang yang memiliki banyak sertifikat tanah. Semakin banyak sertifikat tanah yang dikumpulkan, semakin kaya raya dan makmurlah orang itu. Sebaliknya, “karang awak” merupakan bentuk kekayaan rohaniah, seperti dimunculkan melalui gandha sesa dan bhasma sesa. Tentunya “karang awak” adalah badan. Namun keberadaan badan bukanlah untuk badan, melainkan untuk yang bukan badan dan yang bukan badan adalah roh. Badan sebagaimana alam bersifat terbatas, sedangkan roh tidak bersifat, karena itu roh tidak terbatas dan yang terbatas datang dari yang tidak terbatas. 
Ketakterbatasan itulah ide, seperti dijelaskan Philo dan Agustinus bahwa ide atau forma bersifat kekal dan tidak terbatas berkaitan dengan pikiran Tuhan (yang dibandingkan dengan kehadiran desain dalam pikiran seniman). Ide inilah hasil dari “nandurin karang awak”, produksi utama dalam kegiatan ekonomi kreatif. Seperti halnya ide yang hanya dapat dipikirkan dan tidak dapat diindra sehingga “nandurin karang awak” adalah aktivitas berpikir, bermenung, berkontemplasi. Kecekatan dan ketepatan berpikir begitu tergantung pada fantasma (citra idrawi) dan stok pengetahuan karena berpikir berarti menghubungan tahu yang satu dengan tahu yang lain. Pikiran bergerak dari tahu ke tahu dan tahu berikutnya. Harapannya menghasilkan ide-ide kreatif yang berguna bagi kehidupan orang banyak, “guna dusun ne kanggo ring desa-desa”.
Dalam proses berpikir, “nandurin karang awak” memang bahasa dan pengetahuan memiliki posisi sentral sehingga Geguritan Salampah Laku ditutup dengan menunjukkan betapa pentingnya menguasai aksara dan bahasa Bali. Berpikir juga berarti berbahasa dan berbicara dengan diri sendiri dalam batin. Berpikir tidak eksis dalam tradisi, sebagaimana ide tidak dapat dilihat dalam kenyataan empiris. Aktivitas berpikir (“nandurin karang awak”) inilah yang diutamakan negara-negara Eroha ketika melakukan revolusi ilmu pengetahuan dan kebudayaan menjelang Zaman Pencerahan. Melalui sekulerisme dogma agama dikarantina karena agama dianggap sebagai goa kegelapan yang mengungkung kreativitas. Setelah keluar dari goa kegelapan inilah muncul pemikir dan seniman besar, seperti James Watt, Isaac Newton, Michaelangelo, Galileo, Copernicus, John Locke, Imanuel Kant, dan Karl Marx.               
Berbeda dengan revolusi di negara-negara Eropa yang secara tegas memisahkan prinsip kealaman, kemanusiaan, dan ketuhanan sebaliknya, agama Hindu menawarkan kreativitas dengan menyatukan ketiga prinsip tersebut. Dari penyatuan ketiga prinsip ini menurut Ida Bagus Mantra akan muncul taksu, berupa kekuatan dalam diri (inner power). Dalam berbagai aktivitas kebudayaan Bali, juga dijelaskan taksu mempunyai arti genuine creativity, yaitu kreativitas budaya murni yang memberikan kekuatan spiritual kepada seniman untuk mengungkapkan dirinya “lebih besar” dari kehidupannya sehari-hari. Untuk itu perlu dikenali “potensi diri” sebagai suatu keberadaan yang terdiri atas kesatuan alam dan Tuhan. Sumber insani sungguh tidak mudah ditebak karena keberadaan manusia yang memang misterius, seperti banyak diuraikan dalam kitab-kitab tattwa dan sastra klasik lainnya.
Dalam Sang Hyang Mahajnana misalnya, dijelaskan keberadaan manusia dalam kesatuannya dengan alam dan Tuhan sebagai berikut. Bhatara Siwa dimanifestasikan sebagai Dewa Brahma berstana di Jagrapada dalam tubuh manusia terletak di Pusar. Dewa Wisnu berstana di Swapnapada dalam tubuh manusia terletak di Hati. Dewa Rudra berstana di Susuptapada dalam tubuh manusia terletak di Pangkal Hati. Dewa Maheswara berstana di Turyapada dalam tubuh manusia terletak di Pangkal Kerongkongan. Dewa Mahadewa berstana di Turyantapada dalam tubuh manusia terletak di Dahi. Dewa Isana berstana di Kewalyapada dalam tubuh manusia terletak di Paha. Dewa Paramasiwa berstana di Paramakewalya dalam tubuh manusia terletak di Kepala. Alam Paramakewalya stana Paramasiwa merupakan tujuan terakhir pemujaan karena alam inilah kebebasan. 
Dalam pangider-ngider, juga Bhatara Siwa dipersonalisasikan sebagai Iswara di Timur bercahaya Putih bersenjata Bajera di Jantung (SA). Brahma di Selatan bercahaya Merah bersenjata Gada di Hati (BA). Mahadewa di Barat bercahaya Kuning bersenjata Nagapasa di Lambung (TA). Wisnu di Utara bercahaya Hitam bersenjata Cakra di Jantung (HA). Siwa di Tengah bercahaya Pancawarna bersenjata Padma di pangkal Jantung (HI). Maheswara di Tenggara bercahaya Pink bersenjata Dupa di Paru-Paru (NA). Rudra di Barat Daya bercahaya Ungu bersenjata Mboksala di Usus Halus (MA). Sangkara di Barat Laut bercahaya Hijau bersenjata Angkus di Limpa (SI). Sambu di Timur Laut bercahaya Biru bersenjata Tri Sula di Kerongkongan (WA). Dewa Siwa di Tengah di ujung Jantung (YA).
Sumber insani Hindu itu menunjukkan hasil dari “nandurin karang awak”, bukan hanya karena kekuatan berpikir, melainkan karena kesanggupan kontemplasi menyatukan prinsip-prinsip bhuana alit dengan bhuana agung. Artinya, proses kreatif merupakan alur pasupati, upaya memahami ikatan-hidup antara dewa dan shaktinya sebagai sumber daya manusia. Ikatan Iswara dan Uma di Timur, Putih-Bajra-Sang. Brahma dan Saraswati di Selatan, Merah-Gada-Bang. Mahadewa dan Sanci di Barat, Kuning-Nagapasa-Tang. Wisnu dan Sri di Utara, Hitam-Cakra-Sang. Siwa dan Durga di Tengah bagian bawah, Campuran-Padma-Ing. Maheswara dan Laksmi di Tenggara, Pink-Dupa-Nang. Rudra dan Samodi di Barat Daya, Orange- Moksala-Mang. Sangkara dan Rodri, di Barat Laut, Hijau-Angkus-Sing. Sambu dan Mahadewi di Timur Laut, Biru-Trisula-Wang. Siwa di Tengah bagian atas aksara Yang.
Melalui proses kontemplasi itulah seorang kreator dapat memiliki taksu sehingga mampu mentransformasikan diri secara holistik dan komprehensif sesuai dengan kreasi yang hendak ditampilkannya. Dengannya, seorang kreator dapat muncul dengan stage presence yang memukau sehingga dengan penampilannya itu dia dapat menyatu dengan masyarakat pendukungnya. Begitulah Ida Bagus Mantra menjelaskan hubungan antara taksu dan kreativitas seniman, baik sastra, arsitektur, karawitan, pertunjukan, maupun desain lainnya. Kreativitas budaya ini dikatakan berkaitan erat dengan jengah, semangat bersaing guna menumbuhkan karya seni murni bermutu. Apabila taksu adalah kreativitas budaya, maka jengah adalah sifat-sifat dinamis budaya, yaitu proses yang menjadi pangkal perubahan. Dalam menghadapi perubahan inilah taksu dan jengah dapat dijadikan strategi kebudayaan untuk mendukung kegiatan ekonomi kreatif.
Artinya, pengembangan ekonomi kreatif yang lebih mengandalkan sumber insani memang membutuhkan kreator yang sadar budaya, sadar moralitas, dan sadar religiusitas. Kreator itulah seniman yang memiliki taksu dan jengah mengikuti persaingan global dalam kehidupan yang semakin kompetitif. Kalau harus dibedakan dengan seniman, maka kreator itu cendekiawan yang kreatif mengembangkan keilmuan. Seniman dan cendekiawan itulah membutuhkan dukungan dari pelaku ekonomi dan/atau bisnis menemukan ruang-ruang pasar. Bersama dengan pemerintah menciptakan lingkungan ekonomi dan industri yang kondusif bagi kreativitas. Lingkungan yang melindungi hak kekayaan intelektual sehingga kreator merasa aman dan nyaman berkarya. Seperti ketegasan hak paten dan hak cipta dapat menjadi daya dorong dan kekuatan kreatif karena dalam hak-hak itu mengandung kebanggaan dan harga diri.
Kebanggaan dan harga diri sebagai makhluk Tuhan itulah sumber kreativitas umat agama dan umat manusia umumnya, sebagaimana penjelasan Abraham Maslow tentang lima tingkatan kebutuhan manusia. Hubungan antara kebutuhan dan pemuasannya yang menyamarkan hubungan antara produsen dan konsumen itu sesungguhnya telah membuat kreativitas manusia menjadi eksplisit sebagai daya kreatif. Kenyataannya daya kreatif tidak hanya mendorong upaya pemuasan, tetapi juga menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru. Perluasan kebutuhan yang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi rupanya, mendorong upaya pemuasan selalu menciptakan tantangan baru bagi kreativitas. Misalnya, kebutuhan akan harga diri dan aktualisasi diri dapat mendorong orang berusaha lebih keras untuk mewujudkan diri dengan meraih prestasi, keunggulan, kehormatan, dan kemuliaan, yakni landasan utama dari ekonomi kreatif.                               



     

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...