Kemiskinan Spiritual

Mengentaskan Kemiskinan Spiritual Wanita Hindu
I  W a y a n  S u k a r m a

Kewajiban agama memberikan perasaan lega, yakni kepuasan moral keagamaan. Kepuasan moral keagamaan memang menyebabkan wanita Hindu memiliki kemampuan yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan rohaninya. Oleh karena itu, wanita Hindu perlu didorong menuju penghayatan dan praktik agama berdasarkan religiusitas. Penghayatan dan praktik agama inilah menyebabkan wanita Hindu memiliki kemampuan menyerahkan diri dan hidupnya di bawah pengaruh dan tuntunan Roh, Purusottama, Iswara. Dengannya, penghayatan dan praktik agama yang digumuli wanita Hindu telah disusupi dan dilingkupi dimensi spiritual. 

Agama dan wanita Hindu, bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi dan menyempurnakan. Acara, dimensi praktik agama Hindu tidak lengkap dan sempurna tanpa kreativitas dan kesungguhan bhakti wanita. Wanita Hindu secara kreatif menerjemahkan tattwa dan menuangkannya menjadi beraneka bentuk banten, baik sebagai perwujudan, persembahan maupun permohonan. Selanjutnya, dengan sepenuh hati dalam semangat bhakti wanita Hindu mengapresiasi banten-banten tersebut dalam upacara yadnya – sesuai dengan jenis yadnya yang dilaksanakan. Begitulah wanita menjadi wanita Hindu karena kreativitas dan ketulusannya melaksanakan upacara yadnya. Kalau sudah melaksanakan upacara yadnya dengan ketulusan, kenapa wanita Hindu mengalami kemiskinan spiritual? Padahal acara sebagai kebiasaan keagamaan merupakan tuntunan perilaku keagamaan umat Hindu dalam membangun hubungan dengan Sanghyang Widhi Wasa.     
Hubungan dalam ikatan sraddha-bhakti itu menyebabkan umat Hindu memperoleh pengalaman religius. Pengalaman pribadi yang sama sekali lain, tidak berasal dari lingkup pengalaman indrawi biasa, perasaan khas mengenai hakikat yang tidak terbatas, Tuhan. Pengalaman supraempirik ini memberikan pengetahuan tentang Tuhan, yang berasal dari luar dirinya, yang melebihi dan mengatasi dirinya, dan yang diperoleh langsung melalui hubungan sadar. Pengetahuan transempirik inilah yang menyebabkan manusia mempunyai kemampuan, kesanggupan, dan kepekaan untuk memahami esensi, eksistensi, dan aktivitas Tuhan. Begitulah pengalaman religius diperoleh manusia berkat kepercayaannya kepada Tuhan yang mendorongnya memiliki keinginan untuk mengikatkan diri kembali kepada Tuhan. Kesadaran mengenai hubungan dan ikatan kembali dengan Tuhan inilah disebut religiusitas, yaitu inti, sumber, dan substansi dari agama.   
Dimensi religiusitas itu mengingatkan bahwa praktik keagamaan Hindu tidak cukup hanya bersandar pada tradisi, tetapi berdasarkan pada inti dan sumbernya. Penghayatan agama Hindu berdasarkan religiusitas dapat memberikan kemampuan mengapresiasi tattwa lebih otentik dan mendalam. Dengan religiusitas umat Hindu sanggup membuat praktik keagamaan lebih hidup dan produktif sesuai dengan kekuasan dan pesan-pesan Sanghyang Widhi Wasa. Susila dipertemukan dengan sifat-sifat dan pesan-pesan Sanghyang Widhi Wasa. Acara sebagai sarana membangun hubungan harmonis dengan Sanghyang Widhi Wasa. Penghayatan agama Hindu yang demikian dapat mendorong umat Hindu memasuki dimensi spiritualitas. Dengannya umat Hindu sanggup menjalankan kehidupan berdasarkan tuntunan Roh, Pusottama. Dengan spiritualitas umat Hindu membuat diri dan hidupnya dibentuk berdasarkan semangat dan cita-cita Sanghyang Widhi Wasa. 
Dimensi spiritualitas membawa umat Hindu pada kesadaran bahwa dalam dunia kehidupan ini Sanghyang Widhi Wasa memberikannya kewajiban dan tanggung jawab. Kewajiban mengembangkan sifat-sifat ketuhanan dalam dirinya dan bertanggung jawab melaksanakan misi hidup mewujudkan cita-cita Sanghyang Widhi Wasa, Cat-Cit-Ananda. Dalam hal ini, tattwa dapat dijadikan sarana untuk mendalami sifat-sifat dan pesan-pesan Sanghyang Widhi Wasa beserta misteri yang mengitariNya. Susila sebagai implementasi kekuasaan dan pesan-pesan Sanghyang Widhi Wasa dalam mewujudkan kebajikan sosial. Acara sebagai sarana untuk menyampaikan pertanggungjawaban kepada Sanghyang Widhi Wasa mengenai perbuatan berdasarkan kewajiban religius dan tanggung jawab spiritual. Kemudian, Parisada sebagai lembaga agama dapat menjadi sarana dalam memelihara dan mengembangkan religiusitas dan spiritualitas umat Hindu dalam mewujudkan misi hidup, satyam-siwam-sundaram. 
Sampai di sini sekiranya sudah dapat dibayangkan perbedaan antara penghayatan agama, religiusitas, dan spiritualitas. Perbedaan penghayatan tersebut sesungguhnya tidak terpisah, tetapi penghayatan yang holistik dan komprehensip. Apabila tidak demikian, maka asumsi tulisan ini hampir menemukan kebenarannya bahwa wanita Hindu dalam kesibukan melaksanakan kewajiban agama, justru mengalami kemiskinan spiritual. Selalu sibuk dalam keramaian beragama, tetapi wanita Hindu tetap merasa sepi secara rohaniah. Sejak bangun pada pagi hari hingga menjelang tidur pada malam hari wanita Hindu khusuk dengan beraneka banten, namun mengalami keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan rohaniah. Artinya, wanita Hindu memang khusuk melaksanakan kewajiban keagamaan, tetapi lepas dari dimensi religiusitas dan spiritualitas. Tanpa religiusitas dan spiritualitas pelaksanaan kewajiban agama hanya mendatangkan perasaan lega. 
Begitulah perasaan lega akan diperoleh setelah melaksanakan kewajiban agama. Perhatikanlah pola beragama wanita Hindu di Bali, betapa lega perasaanya setelah selesai menghaturkan banten dan merampungkan pelaksanaan suatu upacara yadnya. Malahan perasaan lega diperolehnya begitu selesai majahitan dan ngaringgit busung, selepan, dan ron menjadi sampyan sebagai bahan dasar banten. Perasaan serupa juga diperolehnya setelah matanding, nanding banten (menata sarana upacara) sesuai dengan jenis dan fungsinya. Tidak kurang leganya setelah wanita Hindu makidung, makakawin, dan mupuh pada saat mengiringi upacara yadnya. Perasannya bertambah lega setelah mementaskan tari wali sebagai rangkaian suatu upacara yadnya. Perasaan leganya semakin lengkap ketika kewajiban agama memintanya berbusana dengan tata rias khusus sesuai dengan jenis upacara yadnya yang dilaksanakannya.   
Merasa lega karena sudah melaksanakan kewajiban agama merupakan kepuasan moralitas dari praktik agama, yaitu perasaan bebas dari tanggung jawab agama. Kepuasan moralitas ini perlu diperdalam menjadi kepuasan religius dan spiritual. Kepuasan religius diperoleh berkat kemampuan menikmati pengalaman dalam hubungan pribadi dengan Tuhan. Kepuasan religius dapat diupayakan dengan mengembangkan kesadaran mengenai kerinduan akan hubungan dan ikatan kembali dengan Tuhan. Kepuasan spiritual diperoleh karena kesanggupan menikmati pengalaman hidup rohaniah sesuai dengan rencana dan tanggung jawab hidup yang telah ditetapkan Tuhan. Kepuasan spiritual dapat diupayakan dengan mengembangkan kesadaran mengenai hidup berdasarkan tuntunan Purusottama. Kesadaran spiritual dapat menyebabkan manusia memiliki kemampuan dan kesanggupan merealisasikan dirinya sebagai roh, sebagaimana purusottama yang secara potensial berada pada makhluk. 
Dengan kesadaran spiritual wanita Hindu memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk membangun diri dan hidupnya dalam semangat dan kekuasaan Sanghyang Widhi Wasa. Kesadaran ini dapat mendorong upayanya lebih mendalami dan menghayati ajaran agama Hindu untuk memenuhi kebutuhan pribadi, selain kepentingan sosial. Kebutuhan dan kepentingan keagamaan ini mengisyaratkan bahwa penghayatan tattwa, selain menjadi pegangan dalam menjalankan kewajiban agama, juga menjadi landasan untuk mengenal sifat-sifat dan pesan-pesan Sanghyang Widhi Wasa. Pengalaman susila, selain menjadi ajaran moralitas, juga menjadi praktik nyata dalam mengambil tanggung jawab spiritual dan melaksanakan pesan-pesan Sanghyang Widhi Wasa. Acara, selain menjadi kewajiban agama dengan sanksi-sanksi, juga menjadi kesempatan menghadap dan hadir di hadapan Sanghyang Widhi Wasa untuk mempertanggungjawabkan perbuatan di dunia.
Upaya mengembangkan spiritualitas wanita Hindu dapat dimulai dari pemahaman dan menghayatan tentang tattwa, susila, dan acara yang lebih holistik dan komprehensip. Panca Sraddha (aspek tattwa), Trikaya Parisudha (aspek susila), Panca Yadnya (aspek acara), dan Catur Purusa Artha sebagai tujuan agama Hindu misalnya, sekiranya perlu diapresiasi untuk memenuhi kebutuhan itu. Panca Sraddha sebagai dasar keimanan agama Hindu tidak semata-mata dimengerti sebagai keyakinan, tetapi juga dipahami sebagai kepercayaan. Pemahaman ini menyebabkan wanita Hindu tidak hanya meyakini kebenaran Sanghyang Widhi Wasa, tetapi juga mempercayai kebaikan Sanghyang Widhi Wasa akan menyelamatkan dirinya dari beragam ancaman sosial. Dengan demikian, wanita Hindu sungguh-sungguh mengandalkan diri dan hidupnya kepada Sanghyang Widhi Wasa dalam mengatasi masalah-masalah kehidupan di dunia.
Masalah dunia kehidupan berupa ancaman sosial misalnya, paksaan fakta sosial yang tidak menentu, perubahan sosial yang tidak terarah, dan berbagai bentuk patologi sosial; bahkan tekanan dan kejutan budaya tidak dapat dihindari berpengaruh kurang sehat terhadap kejiwaan. Padahal kejiwaan merupakan aspek esensial “diri” yang sepatutnya dimuliakan. Untuk itu dibutuhkan upaya mengendalian diri dan mengatur tingkah laku. Mengendalikan diri berdasarkan prinsip-prinsip karmaphala bahwa hasil perbuatan akan kembali kepada pelaku dan mengatur tingkah laku berdasarkan susila. Wanita Hindu memang berkewajiban mengetahui, memahami, dan mengapresiasi trikaya parisudha, seperti disarankan Sarasamuccaya. “Tidak menginginkan milik orang lain, tak membenci mahluk, dan percaya pada hukum sebab-akibat. Tidak berkata jahat, kasar, memfitnah, dan berbohong. Tidak mencuri, berzinah, dan membunuh”.
Membunuh berarti menghilangkan jiwa makhluk. Perbuatan ini bertentangan dan melanggar atman sraddha bahwa jiwa setiap makhluk adalah anugerah Purusottama. Bhagawadgita menjelaskan bahwa jiwa setiap makhluk adalah jiwa yang sama, mengalir dari sumber yang sama, kembali ke asal yang sama, Iswara. Dari dimensi spiritual dapat dikatakan, manusia adalah iswara-kecil, sebagaimana diapresiasi Upanisad menjadi tat twam asi, itulah engkau. Kepada iswara-iswara-kecil itulah ucapan atau panganjali “Om Swastyastu” dan “Om Santih Santih Santih Om” ditujukan. Mengingat setiap orang wajib memuliakan iswara-kecil yang bersemayam pada setiap mahkluk. Melanggar kemuliaan iswara-kecil itu tidak diragukan lagi akan membawa wanita Hindu pada kelahiran kembali, punarbhawa. Sebaliknya, bila sanggup memuliakan iswara-kecil itu akan memberikannya keselamatan dan kebebasan jiwa, moksa. 
Itu sebabnya, “moksartham jagadhita ya ca ithi dharma”, bukanlah tujuan kosong tanpa nilai dan makna duniawi. Melalui penghayatan dan praktik keagamaan berdasarkan religiusitas dan spiritualitas tujuan agama Hindu sungguh-sungguh dapat diwujudkan di dunia ini. Apalagi agama Hindu tidak memisahkan masa kehidupan secara mutlak antara masa lalu, masa kini, dan masa akan datang. Kehidupan dipercaya berjalan siklis sepanjang garis lingkaran masa: lahir-hidup-mati. Karmaphala Sraddha, bahkan menyatakan eratnya hubungan antara kualitas perbuatan dan kualitas kehidupan. Begitu juga pemujaan leluhur menunjukkan kedekatan hubungan antara yang hidup dan yang mati. Artinya, terdapat satu-kesatuan yang padu antara kehidupan-niskala dan kehidupan-sakala. Dapat dikatakan bahwa dunia-niskala mencerahi dunia-sakala karena pengetahuan tentang kehidupan-niskala seringkali dijadikan refrensi dalam menjalankan kehidupan-sakala.     
Kesatuan kehidupan niskala dan sakala, juga tercermin pada Catur Purusa Artha. Dari rumusan tujuan kehidupan ini dapat dipahami bahwa agama Hindu tidak memisahkan kebutuhan material dengan kebutuhan spiritual. Tujuan memenuhi kebutuhan material sesungguhnya untuk memenuhi kebutuhan spiritual. Memenuhi kebutuhan material demi bertahannya badani sesungguhnya untuk memenuhi kebutuhan spiritual demi keselamatan kehidupan rohani. Semua kebutuhan manusia sesungguhnya bersumber pada kama sebagai tendensi manusia. Apabila kama dapat dipadankan dengan libidonya Sigmund Freud, dan dinamika kepribadian adalah jalinan Id, Ego, dan Super Ego, maka kama adalah sumber daya hidup. Sumber daya hidup yang menurut Stewart Gryson tersembunyi begitu jauh di kedalaman bawah sadar sebagai kesadaran yang tidak disadari, berupa kebutuhan spiritual, kerinduan kepada Tuhan.   
Kerinduan jiwa kepada Tuhan sesungguhnya tersembunyi dalam upaya memelihara kesehatan mental dan menjaga kekuatan badan. Untuk itulah agama Hindu menganjurkan wanita Hindu tidak melupakan tujuan meraih artha sebagai instrumen hidup. Artha adalah instrumen untuk memenuhi kebutuhan hidup yang menurut Abraham A. Maslow, manusia memiliki kebutuhan pisik, rasa aman, integrasi sosial, harga diri, dan mengembangkan diri. Kebutuhan mengembangkan diri merupakan aktualisasi diri yang dapat diwujudkan, bila kebutuhan lainnya terpenuhi. Aktualisasi diri sesungguhnya merupakan upaya realisasi diri yang pada puncaknya memberikan pengalaman spiritual. Pengalaman pribadi merasakan hidup-roh, berupa momen bercengkrama dengan diri sendiri, sang diri sejati. Pengalaman inilah memberikan pengetahuan rohani, roh-pribadi, atman, inti substansi makhluk, seperti pengetahuan kejiwaan yang dilukiskan dalam Atma-Jnana.     
Atman sebagai inti-substansi manusia diapresiasi sebagai pusat dari yadnya dalam Panca Yadnya. Kelima jenis kurban suci itu sesungguhnya ditujukan bagi kesucian atman melalui pemurnian lima unsur pembentuk manusia sekaligus sebagai kualitas dirinya. Dari sudut pandang panca yadnya bahwa manusia terbentuk dari lima unsur, yaitu ketuhanan, keturunan, keguruan, kealaman, dan kemanusiaan. Melalui pemurnian kelima unsur inilah atman disucikan. Dengan demikian, dewa yadnya sebagai kurban suci kepada Sanghyang Widhi Wasa merupakan upaya pemurnian ketuhanan untuk kesucian atman. Pitra yadnya merupakan upaya pemurnian keturunan untuk kesucian atman. Resi yadnya merupakan upaya pemurnian keguruan untuk kesucian atman. Bhuta yadnya merupakan pemurnian kealaman untuk kesucian atman. Berikutnya, manusa yadnya merupakan upaya pemurnian kemanusiaan untuk kesucian atman. 
Kesucian atman memang perlu dipelihara secara berkala karena manas menyuguhkan beragam pengalaman dalam hubungannya dengan unsur-unsur pembentuk manusia. Seperti dijelaskan dalam Bhagawadgita bahwa pertemuan benda dengan roh akan menimbulkan panas dan dingin, suka dan duka. Suasana suka dan duka dialami manusia seiring dengan kondisi panas dan dingin dalam alam. Dualitas pengalaman inilah yang mengurangi kemurnian unsur pembentuk manusia dan kesucian atman. Artinya, wanita Hindu diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara kewajiban agama dan tanggung jawab spiritualitas. Melaksanakan pesan-pesan Tuhan sebagai kewajiban agama sama nilainya dengan mengembangkan ketuhanan dalam diri sebagai pertanggungjawaban kepada Tuhan. Begitulah pentingnya melaksanakan kewajiban agama berdasarkan pada penghayatan religiusitas dan spiritualitas. Untuk kedua macam penghayatan agama itulah dharma dibutuhkan. 
Dharma dibutuhkan sebagai pedoman tingkah laku (susila), baik dalam beragama maupun bermasyarakat. Kenyataannya manusia membutuhkan norma untuk menyatakan dan mewujudkan nafsunya (kama) termasuk aturan menggunakan peralatan hidup (artha) secara efektif. Apabila kama sudah memiliki norma dan artha sudah memiliki etiket, maka manusia pun dapat bertindak untuk merealisasikan diri sebagai tujuan akhir kehidupannya, yaitu moksa. Moksa sraddha memang menganjurkan bahwa tujuan puncak kehidupan, berupa kebebasan sempurna diupayakan setelah tujuan kama, artha, dan dharma tercapai. Karena itu catur purusa artha sebagai tujuan kehidupan sesungguhnya catur warga sebagai dasar komiten moral. Dalam rumusan ini dharma, baik sebagai catur purusa artha maupun catur warga berada pada posisi sentral, seperti posisi manusa yadnya dalam panca yadnya. 
Memperhatikan posisi sentral dari dharma dan manusa yadnya tersebut sekiranya keduanya dapat dipertemukan dengan pemahaman bahwa atman adalah brahman. Apabila manusa yadnya adalah landasan memahami kesucian atman dan dharma adalah landasan memahami kesempurnaan brahman, maka dharma dan manusa yadnya adalah landasan mengapresiasi agama Hindu dalam penghayatan religius dan spiritual. Menuju arah inilah sraddha-bhakti wanita Hindu dikembangkan sehingga praktik dan kebiasaan keagamaan tidak lepas dari dimensi religiusitas dan spiritualitas. Dengan begitu, kewajiban agama tidak hanya memberikan perasaan lega atau kepuasan moral keagamaan. Akan tetapi, juga memberikan kepuasan religus dalam hubungan dan ikatan dengan Sanghyang Widhi Wasa. Kepuasan religius inilah menyebabkan wanita Hindu merasa hadir di hadapan Sanghyang Widhi Wasa memberikannya kepuasan spiritual.           

     





BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...