MODERNISME

Monabrata Pada Zaman Modern

I Wayan Sukarma

Modernisme telah melahirkan modernisasi, industrialisasi, dan pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada gagasan sains tunggal (meta-narasi), ilmu pengetahuan bebas nilai, totalitas, dan universalitas telah membawa kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia bangkit mengembangkan diri untuk meruntuhkan tembok-tembok kebodohan dan penindasan sehingga manusia mengalami perkembangan yang pesat dalam bidang material. Akan tetapi dalam bidang moral-kemanusiaan, manusia mengalami perkembangan yang sebaliknya, yakni telah terjadi degradasi moral dan dehumanisasi yang semakin akut. Mungkin ini sebabnya modernisme mulai diragukan dan dipertanyakan kembali dalam khazanah ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang ditandai dengan munculnya posmodernisme. Masa posmodern dikemukakan sebagai masa berakhirnya sejarah (Fukuyama), berakhirnya ideologi (Daniel Bell), matinya manusia (Foucault), matinya pengarang (Roland Barther), berakhirnya metafisika (Wittgenstein), dan matinya ilmu pengetahuan – paradigma positivisme (Roger Trigg), karena itu posmodernisme juga disebut Endisme (Lubis, 2004:61--62).
Posmodern merupakan elaborasi keyakinan modern sebagai upaya untuk memutuskan hubungan dengan tradisi-modern yang ditandai dengan munculnya cara-cara kehidupan dan pemikiran yang baru sama sekali. Bagi Lyotard penolakan posmodern terhadap narasi-agung, yaitu teori universal, teori perjuangan kelas (Maxisme) sebagai salah satu ciri utama modern. Ia, juga seperti Deridda menolak epistemologis Marxis yang totalitarian, baik sadar maupun tidak telah mendorong penganutnya masuk dalam perangkap sosial-politik. Pengetahuan dalam pandangan posmodern bukan sekadar alat otoritas, tetapi juga sebagai pengembangan kepekaan terhadap perbedaan, serta menguatkan kemampuan manusia untuk menerima prinsip ketidakterbandingan antarpermainan bahasa. Oleh karena itu prinsip yang diterima di kalangan ilmuwan bukan lagi keseragaman logika, tetapi keanekaragaman model penalaran (Lubis, 2004:65). Dalam konteks ini Sugiharto (1996:18) menyarankan metaforisitas sebagai kondisi dasar antropologis. Manusia pada dasarnya dalam rangka memahami dirinya dan alam, manusia tidak mempunyai akses langsung murni. Ini disebabkan karena rasionalitas pada dasarnya insufficient, bukan sesuatu yang pada dirinya sendiri memadai, bagai cermin untuk memahami realitas. Akibat dari kenyataan ini adalah cara dasar manusia memahami alam dan dirinya hanyalah melalui metafor, yaitu dengan cara mempersamakannya dengan sesuatu yang lain, yang lebih dimengertinya, yang sebenarnya bukan hal itu sendiri. Cara bernalar sesuai dengan kondisi dasar antropologis semacam ini adalah Retorika.
Tradisi anak nyastra di Bali misalnya, merupakan suatu bentuk retorika yang dapat ditemukan dalam ketekunan magending, makidung, dan makakawin, bahkan mabebasan melalui pesantian-pesantian. Memang tradisi yang melahirkan salah satu suara dari panca suara ini berkaitan erat dengan keberagamaan umat Hindu Bali. Senandung kidung ataupun kakawin seiring doa-doa pemujaan leluhur merasuki jiwa manusia Bali telah menciptakan masyarakat Hindu Bali religius-mistis. Suatu masyarakat yang hidup dalam dunia metaforisitas, dialog-analogis sekitar dunia kehidupan manusia dan dewa-dewa melalui perluasan realitas, baik dalam dimensi sakala (nyata) maupun niskala (tidak nyata). Peran sulinggih, pamangku, sarati, gemblung, balian, dasaran, tapakan, merupakan pesona spiritual dalam membangun keluasan metaforisitas dunia magis-mistis. Dunia ini merupakan refleksi kritis tradisi keberagamaan dalam dunia aktual dan dunia imajinasi. Ini dapat diduga lahir dari kepercayaan mereka bahwa dewa-dewa, bhatara-bhatari, apalagi Tuhan yang katanya nirguna, tidak akan merasa senang, jika hanya dikenali dengan akal dalam dunia aktual-rasional. Emosi-keagamaan memang mendominasi, bila dibandingkan dengan rasio-keagamaan. Akan tetapi kata “gaib”, “magis”, dan “mistis” (yang secara konvensional dipandang irasional) justru menerima dimensi rasionalitasnya dalam proses penciptaan citra tentang dewa-dewa dan Tuhan melalui metafor-metafor yang paling mungkin diwujudkan dalam realitas imajinatif. Tegangan realitas yang diciptakan melalui mode berpikir kritis mengalirkan keindahan kepercayaan dan penghayatan terhadap sucinya piodalan dan rerahinan. Dalam proses ini warna dan suara semesta (sabda alam), bahkan isyarat berupa mimpi-mimpi juga berpartisipasi dalam mewarnai dunia keberagamaan. Keindahan keberagamaan kemudian hadir dalam dua dunia yang berbeda (yang saling merujuk eksistensi masing-masing) dalam kemasan motaforisitas, yakni aktual dan imajinasi.
Di antara kedua dunia ini, bahkan dalam dunia metaforisitas yang diperluas melalui doa-doa pemujaan leluhur, di mana orang awam sering jatuh tersesat memberikan penafsiran. Oleh karenanya tidak sedikit melahirkan argumentasi yang seolah-olah logis, tetapi terlampau jauh dari landasan rasionalitas karena itu makna keberagamaan yang dihadirkan terlepas dari konteks pemahaman dan kesadaran (pelaku). Walaupun sebuah kebenaran bahwa keberadaan setiap orang ataupun suatu kelompok di tengah-tengah dunia sosialnya juga ditentukan oleh cara-cara mereka dalam saling memberi makna terhadap interaksi sosial yang mereka bangun melalui tindakan penafsiran dan pemahaman. Jauh lebih arif, bila pembaca teks sosial-budaya dapat mengikuti cara-cara mereka memandang dan menciptakan dunianya sehingga makna keberagamaan yang diperoleh setidak-tidaknya mendekati pemahaman yang mereka bangun. Untuk itu diperlukan kearifan monabrata, berupa empati sosial untuk saling memberi makna atas interaksi sosial yang dibangun berdasarkan ungkapan dan tindakan yang inheren dalam pandangan-dunia suatu masyarakat. Dengan demikian mereka (umat Hindu Bali) terbebas dari vonis tanpa proses peradilan dan tiba-tiba mereka harus menerima label beragama mistis dan gaib yang terlepas dari konteks Weda. Di samping itu, juga sangatlah sulit menemukan ahli ilmu-ilmu agama yang benar-benar paham tentang Weda yang sudah berabad-abad diklaim oleh murid-murid Mimamsa sebagai kitab suci yang bersifat kekal.
Keindahan keberagamaan umat Hindu Bali juga diwarnai oleh tindakan saling tafsir inter dan antarumat dalam tatanan sosial dan budaya yang mapan, dinamis-dialogis, dan bukan berdasarkan penafsiran rasio-material yang sama sekali lepas dari subjek. Keindahan keberagamaan umat Hindu Bali justru tercipta atas kerja sama antara penafsiran dan pemahaman melalui kekuatan akal yang sama sekali tidak rasional dan kemampuan budi yang sama sekali tidak bernalar. Fakta bahwa pikiran tidak memikirkan tentang keindahan sehingga rasionalitas seolah-olah cenderung terabaikan. Menurut mereka beragama berarti melaksanakan ajaran agama dan bukan hanya memikirkan atau mengatakannya. Di sini antara “daya beda” (akal) dan “daya pilih” (budi) tidak dipisahkan secara tegas karena ketegasan pemisahan antara pikiran, perasaan, dan kehendak termasuk sugesti, agar tampak rasional, dapat dipastikan bukan cara baik yang benar dalam beragama. Mengingat pikiran tidak memisahkan suatu momen menjadi bagian-bagiannya yang berdiri sendiri dan terpisah-pisah, sebagaimana tindakan tidak memisahkan diri dari dimensi ruang dan waktu. Seturut dengan itu, proses pemahaman dari sakala menuju niskala melalui metafora-metafora fenomenal merupakan upaya memperluas konsep-konsep yang siap untuk dimengerti. Metafora-metafora yang mungkin hadir dalam bentuk olah tubuh (baca: tari-tarian) dan olah suara, berupa senandung kidung-kidung warga sari misalnya, dengan demikian tidak dimaksudkan hendak melanggar sloka-sloka Bhagavad Gita. Apalagi Weda, yang menurut Zaechner (1992) pada dasarnya kitab suci ini terdiri atas metafora-metafora tentang hakikat alam. Sebagaimana cara-cara umat Hindu Bali memahami hakikat alam dengan selalu merujuk pada Realitas Tertinggi untuk tiba pada suatu realisasi diri (-sendiri).
Senandung kidung ataupun kakawin merupakan produk khas pesantian. Fakta bahwa pasantian telah melahirkan generasi monabrata merupakan kemajuan besar dalam upaya membangun empati sosial yang sejalan dengan konsep nyama-braya. Generasi monabrata adalah pewaris nilai-nilai nyama-baraya yang pada intinya adalah komune, yakni berbagi tanpa membagi. pangawacen, “pembaca” atau “penyanyi” dan pangartos “pemberi arti” atau “penerjemah” termasuk pendengar berbagi tanpa pernah membagi karena rasa-anyar, “makna baru” telah menjadi milik bersama. Berbagi dalam berbagai relasi, interaksi, dan komunikasi sosial tanpa harus membagi karena makna telah direbut dalam kebersamaan. Ini merupakan generasi santun yang mampu menata tindakan komunikatif dalam ruang-ruang sosial yang sarat dengan persilangan norma dan nilai. Suatu generasi yang mampu dengan apik mengendalikan ungkapan-ungkapan sosial dan mengartikulasikan budaya (diri) di tengah-tengah masyarakat global, masyarakat plural.
Dalam konteks ini pasantian menjadi bendungan mahaluas yang mengalirkan nilai-nilai kehidupan melalui sungai-sungai adat istiadat, yakni medan ekspresi Hindu Bali. Transformasi nilai-nilai etis tekstual dialirkan ke wilayah kontekstual dalam realitas kehidupan sosial melalui tata-tindakan dan senandung-senandung kidung kehidupan mahasuci. Memang tidak mudah menemukan praktik adat istiadat tanpa melibatkan unsur suara dalam berbagai variannya, sebagaimana dihasilkan pasantian. Dengannya pasantian yang semula hanya sekadar instrumen bagi aktivitas anak nyastra kemudian, bermetamorfosis menjadi “sekolah” yang sarat dengan pendidikan budi pekerti. Di dalamnya terjadi transformasi nilai-nilai secara dinamis-dialogis berlangsung dalam suasana edukatif-pedagogik dan monabrata diterima menjadi isi kurikulum tunggal.
Monabrata yang intinya merupakan pengendalian ucapan dalam kata-kata benar dielaborasi di dalam pasantian-pasantian. Dalam pasantian penggunaan tata-titi-basa berdasarkan sor-singgih-basa (Bali) menjadi menu pelatihan tingkat utama dan pertama. Mengingat tata-titi dan sor-singgih basa merupakan landasan etis setiap tindakan dalam dunia sosial yang diwarnai oleh beragamnya norma dan nilai-nilai dalam berbagai tingkatan. Selain itu, juga dalam pasantian dikenal sangat ketat dalam menerapkan unggah-ungguhing tata-tindakan dalam menciptakan komunikasi etis-religius. Wiraga “olah sikap tubuh”, wirama “olah vokal”, dan wirasa “olah rasa” merupakan unsur-unsur kurikulum pendidikan budi pekerti yang dominan. Konsep wiraga berisikan tata-laku penyampaian pesan; konsep wirama berisikan tata-nada penyampaian pesan; dan konsep wirasa berisikan tata-rasa penyampaian pesan. Ketiga konsep ini merupakan landasan etis monabrata dalam praktik sosial karena ia membukakan rahasia bagi pengungkapan nilai-nilai kehidupan dan ketiga konsep ini merupakan kesatuan dan keseluruhan bagi landasan akhlak. Kebenaran ataupun kebaikan yang disampaikan dengan cara yang salah atau buruk, dalam pandangan monabrata bukanlah sebuah kebenaran atau kebaikan. Kenyataannya, tidak sedikit salah paham dimulai dari ketidaksesuaian antara cara penyampaian dan isi pesan sehingga menimbulkan kegagalan komunikasi. Demikian juga tidak sedikit konflik, bahkan peperangan dapat disebabkan dan bermula dari kegagalan dalam membangun komunikasi. Dalam rangka membangun komunikasi inilah monabrata, yakni pengendalian ucapan dalam tata krama manusiawi menjadi kebutuhan yang mendesak dalam masyarakat global.
Membangun komunikasi yang menyejukkan dalam semangat monabrata, baik disadari maupun tidak meluncur dari suara merdu Anak Nyastra melalui pasantian ketika Sarasamuccaya, Sloka 119 disenandungkan dalam lantunan palawakya.
“Apan ikang ujar yan rahayu, rahayu ta kojarannya, tan tunggal ikang sukha kapuhara denya, yadyapin rahayu towi, yan tan rahayu kojarannya, irikang umajarakenya tuwi, pwan pamuhara lara”
Terjemahan :
Karena perkataan itu jika maksudnya baik, dan secara baik pula diucapkannya, hanyalah kesenangan yang ditimbulkan olehnya; meski maksudnya baik, jika tidak secara baik diucapkannya, bahkan kepada yang mengucapkannya pun menimbulkan hati duka (Kajeng, 2003:65).

Memang kata-kata yang baik haruslah diucapkan dengan cara yang baik pula, apabila tidak maka bukan hanya yang mendengarkannya yang merasa tidak senang, bahkan juga yang mengucapkannya merasa berduka dan bersedih hati. Memang begitulah hakikat suara, selalu bergema dan memantul kembali ke telinga pengujar, apalagi kata-kata yang diteriakkan dalam ruang-ruang sosial. Dengan cara berbeda dalam maksud yang sama Konfusius menganjurkan, “jangan lakukan kepada orang lain, apa yang kamu tidak ingin orang lain lakukan kepadamu”. Demikianlah banyak nilai moral dan kemanusiaan yang diungkapkan dan didadarkan kepada masyarakat melalui pasantian. Sebuah tempat, di mana retorika hidup, tumbuh dan berkembang menjadi penjaga nilai-nilai tradisional yang harus berhadapan dengan nilai-nilai baru, nilai-nilai global dari dunia lain, dunia-dunia tanpa nama.
Berkaitan dengan model penalaran retorika, Fukuyama (1989:18) mengatakan bahwa manusia telah mencapai “titik akhir evolusi ideologi umat manusia” yang ditandai dengan runtuhnya komunisme yang mengantarkan umat manusia memasuki era globalisme. Habermas dan Daniel Bell berpendapat bahwa posmodern merupakan perkembangan budaya yang secara umum masih berada dalam logika modernisme yang oleh Habermas sendiri disebut proyek pencerahan yang belum selesai (Lubis, 2004:7). Ini berarti posmodernisme merupakan proyek pencerahan atas pencerahan yang oleh Giddens (1991:243) disebut dengan modernisasi tingkat tinggi dengan ciri utamanya adalah radikalisasi dan globalisasi. Pada bagian lain, Giddens (2000:23) menegaskan bahwa globalisasi telah memunculkan hubungan global ekonomi, politik, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan; bangkitnya individualisme dan solidaritas; transisi moral; dan tuntutan demokrasi yang lebih luas. Ini menunjukkan bahwa globalisasi merupakan sebuah ideologi yang tampaknya sudah disiapkan negara-negara industri maju, agar negara-negara di dunia terinkoporasi ke dalam masyarakat dunia tunggal, yaitu masyarakat global dengan kapitalisme dan liberalisme sebagai panglima (Suhanadji-Waspodo, 2004:88).
Kapitalisme dan liberalisme karenanya menurut Abdullah (2006:192) telah menjadi kekuatan yang paling penting dewasa ini (apalagi setelah keruntuhan komunisme dan sosialisme) yang tidak hanya mampu menata dunia menjadi suatu tatanan global, tetapi mengubah tatanan masyarakat yang bertumpu pada perbedaan-perbedaan yang mengarah pada pembentukan status.
Dapat dibayangkan, apabila diferensial norma dan nilai kehidupan diletakkan dalam suatu tatanan dunia tunggal maka bahasa sebagai wujud kesadaran kolektif suatu masyarakat menjadi instrumen penting dalam kompleksitas keberagaman itu. Bahasa dalam berbagai permainannya kemudian, menjadi konsumsi masyarakat global dan ini menunjukkan kesalingterhubungan antarbudaya. Pola hidup suatu masyarakat yang semula ditentukan oleh nilai-nilai yang dikonsumsi bersama telah mengalami perubahan menjadi gaya hidup yang lebih ditentukan oleh nilai-nilai yang dibangun secara individual.
Proses individualisasi yang semakin lepas dari konteks general kemudian, menjadi ciri khas yang meluas dalam masyarakat global sehingga referensi nilai-nilai tradisional semakin melemah. Kekuatan bahasa sebagai instrumen vital dalam membangun komunikasi (baik politik dan ekonomi maupun budaya) menjadi tema penting dalam membangun saling pengertian. Komunikasi politik misalnya, yang umumnya dibangun berdasarkan etos kerja matematika dalam penyesatan logika perlu dikembalikan ke dalam khazanah ideologi-etisnya. Seorang politikus misalnya, dengan mudah menghubungkan antara poligami dan kekuasaan atau jabatan tertentu untuk mencapai tujuan politiknya. Logikanya, kejatuhan orang lain adalah kebangkitan diri sendiri, karena itu menjatuhkan rival politik adalah cara-cara yang sangat relevan dan rasional. Pemikiran dualisme paradoksnya Jacob Sumardjo (2006) bahwa agar kehidupan “yang satu” dapat berlanjut, karena itu kehidupan “yang lain” harus ditiadakan (dibunuh), rupanya mendapat tempat yang layak dalam permainan ini.
Jikalau “yang kuat” harus dibuat “lemah”; “yang hidup” harus dibuat “mati”; dan “yang bangkit” harus dibuat “jatuh” maka berlaku logika yang berbeda terhadap “yang bodoh” dan “yang miskin”. Kebodohan dan kemiskinan dengan sangat mudah disulap menjadi instrumen untuk mencapai tujuan politik, bahkan kelemahan suatu kelompok dengan mudah disimpulkan sebagai sumber kekuatan kelompok lain. Logika semacam ini dengan mudah menghapus kejujuran komunikasi sehingga apa yang tampak masuk akal akhirnya, sama sekali tak rasional. Penyesatan semacam ini memerlukan daya besar dalam keberanian ber-monabrata karena hanya dengan jujur mengatakan kebenaran (keadaan yang sebenarnya), orang lain akan lebih mudah memahami kemungkinan dukungannya. Memang mengatakan yang sebenarnya tidak selalu menyenangkan, tetapi yang pasti melegakan (hati). Yang melegakan inilah kebebasan. Walaupun demikian, membuat orang lain senang dengan berbicara benar merupakan persyaratan penting dalam membangun komunikasi terutama dalam beragamamnya informasi. Informasi dalam banyak mode bahasa, seperti bahasa politik, bahasa ekonomi, bahasa hukum, bahasa visual, dan bahasa-bahasa lainnya tidak jarang menyesatkan kesadaran subjek (pelaku) pada keterasingan yang diciptakan oleh bahasa itu sendiri.
Spesialisasi kehidupan telah menciptakan bahasanya masing-masing sehingga orang hanya mampu mempertahanan eksistensinya terbatas hanya dalam lingkungan profesinya sendiri. Habitat yang telah menjadi referensi habitusnya merupakan sekat-sekat sosial baru yang semakin memunculkan praktik-praktik yang berbeda sehingga orang benar-benar terlepas dari budaya yang mengkontekstualisasikannya. Individu ataupun kelompok dengan mudah mempraktikkan relativitas nilai dalam longgarnya praktik-praktik sosial. Individu ataupun kelompok dengan mudah menciptakan nilai baru dan mengevaluasinya dalam ukuran-ukurannya tersendiri sehingga terdapat kecenderungan perkembangan nilai yang berbeda antara kelompok dalam ruang sosial sama. Dalam suatu “rumah makan” misalnya, orang-orang dengan mudah dikenali berdasarkan percakapannya, yakni gaya dan bahasa khas profesinya. Hal ini sebagaimana tampak pada suatu ketika dalam sebuah “rumah makan” sekitar Renon Denpasar yang ramai dikunjungi pelanggannya. Pada siang hari itu tiga rombongan yang berbeda masuk ke dalam ruangan dan anggota rombongan masing-masing duduk mengelilingi pinggiran meja yang berbentuk oval memanjang. Untuk rombongan yang jumlah anggotanya lebih banyak daripada jumlah kursi yang disediakan, telah membuat para pramusaji sibuk menambahkan kursi dan menatanya kembali sesuai dengan panjang meja yang juga telah ditambahkan pada bagian tengahnya.
Rombongan yang pertama dapat dikenali sebagai rombongan “pengembang” karena yang menonjol dalam percakapannya, antara lain susahnya mencari lokasi perumahan, mahalnya harga tanah sekitar pinggiran kota, tingginya harga bahan bangunan, susahnya penyelesaian perizinan, dan sulitnya kerja sama dengan notaris. Sementara itu, rombongan yang kedua, juga dengan mudah dikenali bahwa mereka terdiri atas “dosen” suatu perguruan tinggi. Ini berdasarkan ungkapan-ungkapan yang paling sering digunakan dalam percakapannya, antara lain rendahnya dana penelitian, sulitnya mendorong kemandirian mahasiswa, penolakan usulan penelitian oleh lembaga tertentu, persaingan dalam perebutan struktur kampus, dan rendahnya subsidi bidang penelitian. Selanjutnya, rombongan ketiga, juga tidak begitu sulit dikenal sebagai “pegawai Bank” berdasarkan percakapannya (juga kebetulan pada saku baju mereka berisi kartu identitas). Misalnya, hampir setiap orang dalam rombongan itu menyatakan kemungkinan semakin tingginya tingkat suku bunga, tentang kredit macet dan banyaknya pengusaha yang gulung tikar, dan percakapan mereka masih berlangsung seputar moneter. Selain itu, terdapat rombongan lain yang memang sudah lebih dahulu dalam rungan itu dan dari percakapannya dapat dikenali mereka adalah “seniman”. Rombongan-rombongan itu kusuk dalam percakapannya dengan temanya masing-masing, seolah-olah antara anggota rombongan yang satu dengan anggota rombongan yang lain tidak saling kenal. Padahal di antara anggota ketiga atau keempat rombongan itu ternyata terdapat mereka yang berasal dari satu desa atau satu banjar. Anehnya, yang satu kepada yang lain hanya mengucapkan, “hai, duluan ya”, ketika pesanannya sudah dihidangkan.
Dapat dibayangkan, apabila ketiga ataupun keempat anggota rombongan ini tempat duduknya ditukar atau dicampur antara anggota rombongan yang satu dengan yang lainnya maka tema percakapan mereka yang paling menonjol, kira-kira tema tentang apa ya? Apakah seorang dosen akan mendiskusikan rancangan penelitiannya dengan pengembang, seniman, atau pegawai Bank? Demikian juga misalnya, apakah mungkin habitus pengembang tersambungkan dengan habitus seniman? Kecuali antara pengembang dan pegawai Bank dalam kaitannya dengan modal dan investasi, selebihnya, omong kosong. Pengamatan sepintas terhadap peristiwa “makan siang” dalam ruangan “rumah makan” ini setidak-tidaknya menunjukkan bahwa globalisasi benar-benar telah menciptakan perbedaan-perbedaan. Pekerjaan telah membuat mereka berbeda dan saling tidak kenal sehingga dalam keterasingannya mereka yang berasal dari satu banjar pun tidak saling tegur-sapa seperti braya Bali melakukannya. Bisa dibayangkan, apabila suami dan istri yang memiliki profesi berbeda hadir di sana dalam kapasitasnya sebagai anggota rombongan makan yang berbeda. Apakah di antara mereka hanya akan mengatakan, “hai, duluan ya”. Rupanya, lingkungan kerja yang terfragmentasi menyebabkan mereka tidak mengerti secara sungguh-sungguh bagaimana masyarakat bekerja sehingga mereka sungguh-sungguh terasing dalam dunianya sendiri.
Berdasarkan gagasan Marx tentang alienasi dapat dikatakan bahwa mereka mengalami alienasi dari pekerjaannya, alienasi dari hasil pekerjaannya, alienasi dari pekerja lainnya, dan alienasi dari kemampuan mereka (Raho, 2007:74). Alienasi dari pekerjaannya karena mereka diperlakukan sebagai bagian dari alat produksi yang bersifat mekanik. Mereka tidak berbeda dengan robot yang aktivitasnya ditentukan oleh menu berupa program-program kerja yang disusun berdasarkan kepentingan volume produksi. Alienasi dari hasil pekerjaannya karena mereka tidak mendapatkan apa yang mereka hasilkan, melainkan upah sehingga mereka pada dasarnya tidak mengerti dan tidak memahami barang-barang produksi yang dihasilkannya sendiri. Alienasi dari pekerja lainnya karena mereka terasing dan bersaing dengan pekerja lainnya. Dalam pandangan mereka rekan adalah rival yang harus disingkirkan dalam rangka memperebutkan status dan peran yang lebih tinggi karena di situ standar upah dan fasilitas dilekatkan. Kemudian, alienasi dari kemampuan mereka karena terasing dari kemampuan manusiawi mereka dan tunduk kepada mesin-mesin. Dalam hal ini mesin dipandang patner kerja setia karena mesin bukan ancaman bagi kedudukan mereka yang telah mapan. Akibatnya, mereka lebih akrab pada mesin dan terasing dari aspek moral dan kemanusiaan.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa globalisasi telah menjadi kekuatan besar yang membuat orang terasing dalam lingkungan sosialnya yang disebabkan oleh upaya keras dalam pengumpulan kekayaan. Berkaitan ini mungkin ada baiknya tersedia sedikit waktu untuk mendengarkan suara-suara moral dan kemanusiaan, sebagaimana dihimbau monabrata. Mengumpulkan kekayaan untuk melanjutkan kehidupan memang bukan dosa, tetapi mengorbankan cita-cita moral dan membuang kemanusiaan demi kelangsungan kehidupan juga bukan kebaikan. Featherstone menegaskan globalisasi membutuhkan respons tepat karena globalisasi memaksa suatu strategi bertahan hidup (survival strategy) dan strategi pengumpulan kekayaan (accumulative rich strategy) bagi kelompok dan masyarakat. Ini merupakan proses yang telah membawa pasar menjadi kekuatan dominan dalam pembentukan nilai dan tatanan sosial yang bertumpu pada prinsip-prinsip komunikasi padat dan canggih. Malahan menurut Appadurai, juga pasar telah memperluas orientasi masyarakat dan mobilitas batas-batas sosial budaya dan pasar sekaligus mengaburkan batas-batas itu akibat berubahnya orientasi ruang dalam masyarakat (Abdullah, 2006:165). Yang mencolok terjadi adalah perubahan karakter masyarakat terutama melemahnya nilai-nilai tradisional bersamaan dengan meningkatnya otonomi individu. Dalam dunia seperti ini minat individu mendapat ruang yang lebih luas dalam berekspresi dan proses pengambilan keputusan. Perubahan ini menegaskan suatu peralihan mendasar dalam institusi-institusi sosial sebagai pengikat individu-individu dan cara-cara dalam mengorganisasikannya ke dalam suatu sistem.
Seturut dengan perubahan ini, juga orang Bali mengalami kecenderungan perubahan karakter yang disebabkan modernisasi dan globalisasi tersebut. Dalam konteks ini Triguna (2004:1) menjelaskan bahwa secara teoretis modernisasi dan globalisasi telah memperkenalkan nilai baru dalam lingkungan tradisi. Nilai-nilai baru ini memaksa anggota komunitas pendukung suatu tradisi senantiasa mengalami proses diferensiasi sosial-struktural serta suatu generalisasi nilai, norma, dan makna yang menyertainya. Dalam hubungannya dengan kebudayaan, ternyata pergeseran itu telah memberi kontribusi terhadap pengetahuan sebagai satuan budaya. Setiap orang yang telah tersentuh sistem pengetahuannya oleh nilai-nilai baru, akan mencoba memberi makna baru bagi tatanan yang sudah ada sebelumnya, tidak terkecuali hal-hal yang bersifat normatif, seperti tersurat dalam aturan adat dan tradisi. Dalam pengalihan itu, terjadi proses perusakan dan pengintegrasian secara silih berganti dalam suatu mekanisme yang disebut peningkatan adaptasi (adaptive upgrading) atau adaptasi dengan modifikasi (adaptive modifacation) melalui proses pemahaman dan penafsiran ke arah tingkat abstraksi yang berlaku umum.
Usaha penyesuaian nilai-nilai itu tegasnya mengandung arti ganda, yaitu manusia berusaha menyesuaikan kehidupannya dengan lingkungan; juga sebaliknya, manusia berusaha menyesuaikan lingkungan dengan keinginan dan tujuan mereka. Mengingat lingkungan yang diadaptasi manusia terus berubah maka dalam upaya pengadaptasian itu manusia akan terus mengikuti, mengamati, dan menginterpretasi berbagai gejala dan perubahan yang terjadi dalam lingkungan secara dinamis. Apabila manusia menganggap cara penyesuaian yang dilakukan sebelumnya kurang relevan maka cara itu akan diganti dengan cara yang dianggap lebih cocok. Pergantian cara ini dilakukan setelah melalui mekanisme pemahaman, penafsiran, dan sosialisasi. Secara teoretis proses itu melalui tiga tahap, yakni strukturasi, destrukturasi, dan restrukturasi.
Berdasarkan kerangka kerja ini dalam kaitannya dengan kecenderungan perubahan karakter orang Bali Triguna (2004:3) menjelaskan bahwa implikasi sosiologis dari perubahan fisikal Bali adalah hilangnya pesona dunia. Lingkungan lahiriah dengan kekuatan-kekuatan gaibnya yang menakutkan sekaligus mempesona tidak lagi mempengaruhi dan membentuk pikiran manusia. Lingkungan dihadapi dan diberi arti sebagai dunia material atau objek semata. Konsekuensi dari peristiwa itu adalah terjadi otonomi individu dan kebebasan subjek dalam menafsirkan realitas objektif. Akibatnya, semua itu telah memberikan pengaruhnya terhadap karakteristik manusia Bali. Karakter orang Bali telah mengalami perubahan secara signifikan. Orang Bali tidak lagi diidentifikasi sebagai orang yang lugu, sabar, ramah, dan jujur sebagaimana pernah digambarkan Baterson. Oleh karena itu orang Bali tidak dapat lagi dikategorikan sebagai komunitas yang inklusif, melainkan telah dipersepsikan oleh outsiders sebagai orang yang temperamental, egoistik, sensitif, dan cenderung menjadi human economicus. Dalam konteks ini rupanya, semangat monabrata telah diambil alih oleh kekuatan dan semangat pasar, sejak budaya agraris masyarakat pedesaan dipertanyakan melalui proses industrialisasi dan globalisasi.
Perubahan karakter orang Bali yang demikian, menurut Triguna (2004:6--8) pada dasarnya disebabkan oleh beberapa faktor yang merupakan efek ikutan dari modernisasi dan globalisasi, antara lain seperti berikut. Pertama karena ketidaksiapan dan ketidakmampuan orang Bali untuk bersaing dengan new comers (pendatang). Kedua, persaingan dan pemilahan antara penduduk asli (pribumi) dan pendatang melalui katagorisasi beroposisi (binary opposition) telah membentuk karakter orang Bali yang penuh dengan perasaan curiga, terlebih-lebih lagi sikap itu dijastifikasi melalui simbol kultural. Ketiga, perubahan karakter orang Bali juga dipengaruhi oleh proses monetarisasi. Keempat, banyak institusi sosial dan kultural mulai tidak mampu memerankan fungsi-fungsi manifes, malahan cenderung hanya menjadi media untuk menghidupkan ‘keagungan fisikal masa lalu’. Kelima, sekalipun wacana mengenai pentingnya kebudayaan sebagai ‘panglima’ pembangunan Bali, akan tetapi dalam implementasinya alokasi biaya untuk kepentingan itu belum sesuai dengan wacana dan harapan. Selain kelima faktor eksternal tersebut perubahan karakter orang Bali menurut Triguna (2004:8), juga disebabkan karena secara internal orang Bali sendiri memiliki potensi terbuka dengan perubahan dan mengakui perubahan itu sebagai suatu ‘titah’ yang harus diikuti.
Kasep tangkis “antisipasi yang terlambat”, mungkin suatu pernyataan yang mendekati bagi antisipasi positif terhadap perubahan karakter orang Bali. Mengingat Triguna (2004:8) mengatakan bahwa orang Bali tidak memiliki kesiapan terkait dengan cepatnya arus modernisasi dan globalisasi. Selain itu, juga dikatakan bahwa masyarakat bergerak lebih lambat dalam usaha mengarahkan modernisasi dan globalisasi agar fungsional dalam kehidupan sosial. Kelambatan ini menjadi lebih lengkap dengan ketidakmampuan orang Bali dalam bersaing dengan new comer terutama terkait dengan kualitas sumber daya manusia dan ketekunan berusaha. Pergeseran makna uang juga memberitahukan kecenderungan perubahan karakter orang Bali karena uang merupakan sarana ekonomik, tetapi saat digunakan dalam masyarakat dipahami sebagai fenomena sosiologis, bahkan cenderung kehilangan material dasarnya karena menjadi alat interaksi. Pada sebagian besar orang Bali uang di samping telah menjadi alat kegiatan ekonomi juga telah memasuki daerah budaya yang lebih luas. Demikian juga kebijakan dan sikap pemerintah yang kurang berpihak pada perluasan kebudayaan, secara sistematis berpengaruh kepada pembentukan sikap orang Bali terhadap kebudayaannya. Pada akhirnya memberikan kontribusi terhadap perubahan karakter orang Bali.
Jikalau orang Bali ingin tetap mempertahankan streotip sebagai komunitas yang berbudi, santun, dan inklusif maka menurut Triguna (2004:9) harus dilakukan langkah-langkah sistematis yang terdiri atas upaya seperti berikut. (1) melakukan langkah ‘perlindungan’ orang Bali terhadap dominasi new comers; (2) perlindungan saja tidak cukup, karena itu harus ada komitmen yang jelas terhadap upaya untuk meningkatkan kualitas orang Bali sehingga mampu bersaing dalam tataran yang luas; (3) senantiasa melakukan langkah-langkah yang menempatkan dharma sebagai landasan artha dan kama; (4) harus ada reinterpretasi dan reposisi adat dan tradisi agar tetap kontekstual; dan (5) perlu didorong tumbuhnya good will pemerintah daerah dalam melindungi aset kebudayaan daerah sebagai core yang membentuk karakter orang Bali. Pada prinsipnya kelima upaya ini lebih merupakan proses integrasi berbagai potensi lokal dalam rangka membangun kohesi sosial yang lebih produktif dalam masyarakat global.
Proses integrasi ini menciptakan suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jaringan komunikasi internasional dengan batas-batas yang tidak jelas. Komunikasi global ini menurut Goldsmith akan melahirkan suatu jaringan yang tidak terhitung yang menghubungkan manusia dalam suatu pikiran global (global mind) yang bekerja sama dalam mengembangkan kehidupan ke tingkat yang lebih baik. Informasi yang disalurkan melalui berbagai media (yang merupakan kekuatan yang paling nyata dari masyarakat modern) menurut Bourdieu telah membentuk ideologi yang paling mendasar, yakni penegasan perbedaan dan kebebasan. Mengingat keragaman pilihan informasi memberikan kemungkinan yang hampir tidak terbatas untuk membangun perbedaan-perbedaan. Dengan demikian perbedaan menjadi tanda yang paling penting dan menonjol dalam kehidupan masyarakat modern. Berbagai institusi terbentuk untuk mengesahkan perbedaan-perbedaan ini, seperti media (baik cetak maupun elektronik) dan pasar yang menyediakan pilihan barang yang tidak terbatas dari sudut jenis dan kualitas (Abdullah, 2006:169). Ini berarti penciptaan masyarakat informasi sehingga informasi dapat diterima dan digunakan menjadi faktor produktif tidak dapat dihindari. Pembangunan masyarakat informasi tentu mengutamakan pada pemberdayaan masyarakat dengan sarana dan prasarana, kemampuan pengelolaan, dan pemanfaatan informasi. Ini dimaksudkan agar masyarakat mampu berperan dan dapat mengambil mafaat yang sebesar-besarnya dari ekonomi global yang sangat kompetitif (Nasution, 1999:209).
Pentingnya membangun masyarakat informasi, di samping sebagai upaya penerimaan dan penggunaan informasi untuk bidang-bidang produktif, juga karena media, baik cetak maupun elektronik telah kebablasan dalam penyajian informasi. Pengamatan selintas yang dilakukan Wibowo (2007:36) terhadap kios-kios penjual koran dan tabloid di kota-kota besar menunjukkan bahwa lebih kurang 80% dari semua majalah yang dipamerkan ber-cover gadis atau perempuan cantik. Di antara majalah atau tabloid yang ber-cover gadis atau perempuan cantik tersebut, lebih kurang 60% berbusana atau berpose “hangat”. Sementara itu, di antara 20% majalah dan tabloid yang tidak ber-cover gadis atau perempuan cantik, ternyata 10% ber-cover barang mewah, seperti ruang tamu dengan perabot mewah, mobil, rumah, dan pertamanan. Selebihnya, hanya 10% menunjukkan diri sebagai majalah serius. Demikian juga dengan tayangan program televisi, dari penyiar, penyanyi, bintang sinetron, dan iklan sekurang-kurangnya 60% menggunakan perempuan cantik, serta khusus dengan program iklan mengeksploitasi segi-segi seksual dari perempuan yang menjadi bintangnya. Ini merupakan fenomena rendahnya minat masyarakat terhadap informasi serius sebaliknya, menunjukkan tingginya minat terhadap informasi yang berkaitan dengan pemenuhan nafsu-selera.
Demikian juga berkaitan dengan bisnis melalui media telah membuat pesona produk industri yang meskipun tidak diperlukan, tetapi demi citra kebahagiaan yang diciptakan dalam kehidupan televisi sehingga produk tersebut harus dimiliki. Magnis-Suseno (2006:210) menyatakan ini adalah unsur kunci, yakni sugesti bahwa orang merasa dikagumi, apabila ia membeli produk-produk terbaru. Fokusnya bukan pada pembelian barang yang memang dinikmati, melainkan pada kebaruan produk yang dibeli. Ini menghasilkan budaya konsumerisme, yakni ketagihan untuk terus-menerus membeli barang terbaru, bukan karena dibutuhkan atau memang diminati betul-betul, melainkan karena barang baru harus dibeli karena orang merasa malu dan kehilangan harga diri, apabila ia tidak bisa memamerkannya. Akibatnya, konsumerisme adalah sebuah kebudayaan instan. Orang merasa tidak bahagia, apabila keinginan untuk memamerkan produk terbaru tidak langsung terpenuhi karena harga diri tergantung dari kemampuan membeli komoditi mutakhir. Lebih lanjut, Wibowo (2007:38--39) menunjukkan, terdapat indikasi bahwa citra media di Indonesia sebagian besar berorientasi pada bisnis dan pengembangan sikap hidup konsumtif. Dengan mengutip Ruedi Hoffman dikemukakan tesis berikut.
(1) Berkat ilmu kini kecantikan dapat dibeli.
(2) Keserasian keluarga tergantung daripada produk yang kita pilih.
(3) Dunia remaja penuh gairah, asal ada uang; hidup wajar berarti hidup mewah.
(4) Kebahagiaan terbesar adalah jika kita mendapat hadiah.
(5) Sinetron adalah pameran masyarakat konsumtif sebagai latar belakang iklan.
(6) Gaya hidup ideal adalah gaya hidup selebriti.

Dalam kondisi yang demikian itu dapat dipahami bahwa kebudayaan yang berkembang dalam media adalah kebudayaan instan yang selalu berkaitan dengan kepentingan komersial. Dengannya media menjadi sarana efektif dalam membentuk nafsu-selera masyarakat karena tayangan program-program yang selalu diselaraskan dengan pikiran pemirsa. Di tengah-tengah bujukan yang terus-menerus orang seperti masuk dalam dunia mimpi yang indah karena gaya hidup dipertontonkan melalui media menjadi cita-cita setiap orang. Ini yang mendorong orang cenderung hidup dalam budaya blasteran karena budaya konsumeristik itu bukan budaya dalam arti nyata. Mengingat nilai-nilai globalisasi dibentuk berdasarkan pada penyangkalan segi-segi nyata kehidupan. Menumbuhkan cita-cita adalah sama dengan menciptakan orang yang terus-menerus frustrasi karena tidak pernah mencapai apa yang dibikin cita-cita. Selanjutnya, justru mengatasi frustrasi itu dilakukan dengan meningkatkan konsumsi dan ini, baik ekonomis maupun sosial-psikologis unsustainable. Jadi, sikap instan yang dibentuk oleh budaya blasteran ini membuat orang semakin tidak mampu mengatasi frustrasi (Magnis-Suseno, 2006:210).
Budaya blasteran atau budaya instan membuat orang semakin frustrasi karena sikap kosmumeristik membuat orang semakin jauh dari sifat dasar kebutuhan terutama dari segi-segi nyata informasi. Budaya konsumerisme sebagai sesuatu yang mengalir, bergerak, dan berubah tanpa perlu mengikatkan diri atau terpancang pada sebuah pondasi yang tetap (ideologi, kepercayaan, pengetahuan). Dunia konsumerisme membentuk sebuah ruang sosial yang di dalamnya para konsumer dikonstruksi kehidupan sosialnya sehingga ia mengikuti arus perubahan tanda, makna, citra, dan identitas yang mengalir tanpa henti. Identitas personal dikonstruksi oleh pihak lain (produsen) dengan cara yang sangat agresif dan seduktif (menggiurkan). Produsen menciptakan “ilusi kebebasan” memilih beragam identitas lewat produk dan komoditi yang sudah diatur temponya secara sistematis oleh produsen. Dunia konsumerisme menjadi sebuah dunia permainan gaya, image, citra, lifestyle, yang bersifat material, imanen (tetap ada) dan sekuler (yang bersifat duniawi) yang tidak menyediakan ruang bagi “pencerahan jiwa” (http://parekita.wordpress.com; akses: December 4, 2007, 10:12 am).
Dalam konteks ini monabrata dibutuhkan terutama dalam rangka mendengar dan menyampaikan informasi sesuai dengan sifat dasarnya karena monabrata bukan hanya mengajarkan bagaimana mengatakan, tetapi juga mendengarkan. Mengatakan dan mendengarkan kata-kata yang benar sebagai dasar informasi dan komunikasi merupakan prinsip mutlak dalam monobrata karena mendengarkan dan mengatakan itu sama pentingnnya. Orang dapat mengatakan yang benar, bila ia mendengar yang benar dan sebaliknya, sangatlah sulit mengatakan yang benar, bila tidak pernah mendengar yang benar. Untuk mendengar yang benar perlu pikiran yang benar dan alat pendengar yang benar sehingga alat ucap yang benar dapat mengucapkan yang benar. Pengendalian kata-kata yang benar berdasarkan pendengaran yang benar inilah merupakan ide dasar monobrata sehingga orang tidak tersesat dalam rimba informasi yang disajikan melalui berbagai chanel dan sambungan yang tidak pernah jelas dapat dipahami.
Dikatakan demikian karena media (baik cetak maupun elektronik) telah merebut konsensus masyarakat sehingga mereka hidup dalam dunia mimpi-mimpi yang diciptakan sesuai dengan ide dasarnya, yakni komersial. Ide ini pada dasarnya selalu sejalan dengan nafsu-selera penikmatan dan kepemilikan manusia, karena itu monabrata memulai ajarannya dari pengenalan terhadap kata-kata yang digunakan untuk menyusun aneka informasi itu. Hal ini sebagaimana tampak dalam aktivitas pasantian-pasantian yang mengajarkan lengkara “cara-cara pemilihan dan penyusunan kata” yang tepat sesuai dengan jenis dan sifatnya. Dengan memahami cara-cara penyusunan kalimat ini pada dasarnya dapat membentuk sikap kritis sehingga orang dapat mendengar dan melihat suatu informasi secara radikal dan tidak terjebak pada permukaannya saja. Pada permukaan inilah orang biasanya tenggelam ke dalam konsensus budaya konsumerisme karena apa yang tampak indah, ternyata hanya mimpi-mimpi yang diciptakan budaya instan. Kenyataan mimpi-mimpi itu pada prinsipnya tidak pernah menyentuh segi-segi nyata kebudayaan manusia pada dunia aktual dan di dalamnya manusia mengalami frustrasi berkepanjangan. Akibatnya, untuk mengatasi frustrasi, orang menempuh dengan jalan pemenuhan nafsu-selera secara terus-menerus yang pada gilirannya, juga melahirkan budaya konsumerisme. Budaya ini selanjutnya, melahirkan tatanan nilai yang semakin diferensial sekaligus menandakan kehadiran individu dalam dunia sosialnya. Demikianlah orang senantiasa berputar-putar dalam budaya konsumerisme yang diciptakannya sendiri dengan bantuan media, jikalau selalu menghindar dari ajaran monabrata.
Globalisasi ekonomi telah memberikan identitas baru kepada masyarakat, yaitu sebuah budaya konsumerisme. Budaya ini pada dasarnya yang telah menggiring masyarakat ke arah sebuah bentuk kehidupan budaya baru. Nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat dengan budaya ini lebih dicirikan dengan semakin terpusatnya kehidupan masyarakat pada dunia konsumsi. Selain itu juga semakin terpusatnya kehidupan pada dunia obyek (material culture) menyebabkan masyarakat semakin tersegmentasi ke dalam berbagai kelompok gaya hidup termasuk semakin terdiferensiasikanya budaya ke dalam subbudaya. Pada akhirnya, semakin tingginya tempo kehidupan sebagai akibat cepatnya tempo pergantian kode, tanda, dan makna budaya (http://parekita.wordpress.com, akses: December 4, 2007, 10:12 am).
Ini menunjukkan globalisasi telah melahirkan suatu jenis ideologi yang menjadi dasar bagi pembentukan, pelestarian, dan perubahan masyarakat yang bertumpu pada proses identifikasi diri dan pembentukan perbedaan antarorang. Oleh karenanya kapitalisme telah menjadi kekuatan penting dewasa ini yang tidak hanya mampu menata dunia menjadi satu tatanan global, tetapi juga mengubah tatanan masyarakat menjadi sistem yang bertumpu pada perbedaan-perbedaan. Ini yang mengarahkan pada pembentukan status dan kelas dengan orientasi tertentu. Setiap praktik sosial kemudian, menjadi bagian dari politik identitas dalam rangka pemosisian sosial individu dalam suatu ukuran nilai dengan prinsipi-prinsip yang baru yang mengarah kepada konsep nilai lebih (Abdullah, 2006:170). Dengan kata lain, globalisasi telah melahirkan diferensiasi yang meluas yang tampak dari proses pembentukan gaya hidup dan identitas. Gaya hidup yang terbentuk sejalan dengan perubahan orientasi masyarakat, yaitu dari nilai umum ke nilai khusus dengan batas-batas simbolik baru. Sementara itu, identitas yang terbentuk bukan berdasarkan ikatan-ikatan sentimen etnis dan agama karena basis kapital ekonomi telah menjadi dasar pengelompokkan sosial dan menjadi parameter dalam transaksi sosial.
Ketika nilai-nilai kolektif suatu masyarakat semakin melemah dan terlepas dari ikatan-ikatan sentimen etnis dan agama maka ini berarti terdapat kecenderungan meluasnya perkembangan otonomi individu dan diferensiasi budaya. Proses individualisasi yang semakin lepas dari konteks general menyebabkan mekanisme kontrol sosial semakin melemah. Dalam longgarnya praktik sosial ini muncul kecenderungan, bukan saja perbedaan, tetapi juga pertentangan nilai antarindividu ataupun kelompok dengan alat evaluasinya masing-masing. Dalam konteks keberagamaan misalnya, orang dengan mudah memperoleh pengetahuan dari berbagai media sehingga ia dapat melakukan pemutahiran terhadap pengetahuan agamanya setiap saat. Perubahan sistem pengetahuan ini selanjutnya, berimplikasi terhadap praktik-praktik keagamaan dalam ruang-ruang sosial. Yang tampak jelas adalah terjadinya proses estetis sehingga agama diperlakukan sebagai barang seni dan semakin lepas dari konteks etis. Keberagamaan bukan lagi merupakan keberlangsungan bagi nilai-nilai warisan, melainkan muncul tendensi ke arah pembentukan nilai-nilai ekspresi diri. Akibatnya, terjadi “perang” interpretasi antara pentingnya agama sebagai nilai warisan dan agama sebagai nilai ekspresi diri dan pada gilirannya agama melahirkan praktik yang berbeda-beda. Perbedaan itu bukan saja dalam agama yang berbeda, melainkan juga dalam agama yang sama terjadi praktik yang bermacam-macam.
Pengaruh dari kecenderungan pembentukan perbedaan-perbedaan ini menurut Abdullah (2006:170-171) dapat dilihat pada tiga dimensi berbeda. Pertama, perkembangan jenis (kualitas) pengetahuan yang beragam dan kualitas yang bertingkat-tingkat. Kedua, perbedaan alat ukur dan penilaian terhadap berbagai dimensi kehidupan dapat terjadi dalam ruang dan waktu yang sama karena setiap kelompok memiliki relativitas nilai sendiri-sendiri. Ketiga, praktik sosial memperlihatkan tidak hanya perbedaan, bahkan juga muncul pertentangan secara bersamaan. Sejalan dengan ini kemudian, setiap individu ataupun kelompok semakin bebas mengekspresikan bentuk-bentuk praktik yang berbeda dengan individu atau kelompok lain sehingga totalitas menjadi tidak penting lagi dalam kehidupan aktual. Melemahkan tata nilai dominan yang menyebabkan perbedaan-perbedaan praktik merupakan kekuatan baru dalam proses pemaknaan kehidupan itu sendiri. Perbedaan ini tidak hanya melemahkan batas-batas tradisi, tetapi juga menciptakan pola hubungan baru yang lebih egaliter dalam berbagai ukuran.
Fenomena ini ditunjukkan oleh ruang-ruang sosial dipadati “perang” dari tataran ideologi hingga lapangan praksis sosio-budaya dalam kancah tradisi. Persandingan, bahkan pertumpangtindihan antara struktur dan kultur yang tradisional-komunal dan modern-individual menjadi wacana kontemporer dalam kalangan penganut kebudayaan jalanan. Ekspresi kebudayaan jalanan menurut Abdullah (2006:190--191) dapat dilihat pada tiga dimensi, yakni simbolik, evaluatif, dan kognitif. Dimensi simbolik, selain ditemukan berbagai bentuk materi yang menjadi tanda adanya nilai yang menunjukkan sifat-sifat jalanan, juga mencakup praktik sosial yang membedakan dirinya dengan lingkungan kebudayaan yang mendapat pengakuan. Dimensi evaluatif dapat ditemukan pada serangkaian nilai dan norma yang hidup dan berlaku eksklusif dalam suatu kelompok yang disebut kelompok jalanan. Dimensi kognitif dapat dikaji pada penguasaan sistem pengetahuan dan cara pandang kelompok atau ide-ide yang berlaku yang dapat dibedakan dengan yang lain.
Kebudayaan jalanan tumbuh semakin subur dan intensif sejalan dengan globalisasi menurut Abdullah (2006:194--195) merupakan anak turunan yang tidak diharapkan (unwanted children) karena ia memiliki sifat-sifat yang tidak sama dengan induknya, bahkan dianggap secara normatif menyimpang dari budaya induknya yang dianggap baku, formal, dan mapan. Walaupun secara normatif budaya jalanan tidak diakui sebanding dan koheren, namun budaya ini tetap memiliki koherensi internal di dalam dirinya dan lebih penting lagi ia bersifat fungsional dan memiliki karakter yang terlegitimasi secara struktural. Sistem kosmologi berupa cara pandang dan ide-ide tentang dunia, tentang hidup dan cara menjalaninya merupakan bentukan akibat dari pengalaman yang berlangsung dalam proses enkulturasi dan sosialisasi individu. Dengan demikian ekspresi budaya jalanan, bukan hanya ekspresi kelompok, tetapi juga ekspresi individu yang membedakan dirinya dari budaya general. Jalan di sini telah menyediakan tempat di mana orang memiliki kesempatan untuk menunjukkan kemanusiaannya dan kebinatangannya yang selama ini tersembunyi. Di jalan raya misalnya, pengendara berubah menjadi “binatang-binatang” jalanan yang saling rebut kesempatan menyalip tanpa aturan, bahkan dapat mencelakakan orang lain.
Rupanya, globalisasi telah melahirkan begitu banyak perbedaan norma dan nilai sehingga yang muncul dalam dunia praksis, bukan saja dalam bentuk persilangan dan penyimpangan, tetapi juga berlawanan. Dalam ragamnya yang serba buram, di mana kerja pikiran (logika dan rasional) yang dibatasi hukum alam tidak bisa lagi menjangkaunya. Fakta bahwa hidup bukan hitam-putih sebagaimana diungkapkan Jacob Sumardjo (2007) dalam Jeihan: Ambang Waras dan Sadar merupakan kebenaran. Kenyataan ini menunjukkan bahwa nilai dan norma, bukan lagi semata-mata menjadi pertimbangan akal dan nalar, melainkan juga dengan apa yang disebut Tafsir (2006:16) dengan logis-supra-rasional. Dalam konteks ini monabrata menemukan relevansinya dan posisi sentralnya dalam khazanah kegamangan warna-warni kehidupan. Berkaitan dengan ambiguitas dan ambivalensi nilai ini monabrata menganjurkan kesederhanaan komunikasi, “katakanlah dengan senyuman” dan “dengarkanlah dengan penuh kesenangan”, bukankah tersenyum itu lebih hemat energi daripada marah-marah. Kemarahan itu tanda keterjajahan sekaligus sumber kesusahan, karena itu dengarkanlah dengan senang hati. Walaupun begitu, monabrata tetap mengingatkan, “hati-hatilah terhadap kesenangan berbicara”.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...