Jagrabrata Dalam Zaman Modern
I Wayan Sukarma
Sabeja-bejaning wong lali, isih beja wong kang eling lan waspada “seberuntung-beruntungnya orang yang lupa, masih lebih beruntung orang yang selalu memiliki kesadaran dan kewaspadaan”, demikian pesan seorang teman Jawa, Titis S. Pitana kepada sahabat yang sedang kebingungan. Pesan ini tidak jauh dari jagra yang intinya adalah kesadaran; dan ini selalu berkaitan dengan perubahan, seperti ketidakpercayaan Herakleitos akan adanya yang tetap. Menurutnya yang ada adalah “menjadi”. Yang sama adalah perlawanan, seperti hidup dan mati, tua dan muda, dan sebagainya. Yang hidup setelah berubah menjadi mati, yang mati setelah berubah menjadi hidup. Dunia adalah suatu harmoni yang besar dalam ketegangan dan perlawanan. Perubahan, utpethi-stithi-pralina “kehadiran-eksistensi-ketiadaan” adalah perguliran masa yang berlangsung dalam siklus evolusi-involusi. Proses penciptaan, pemeliharaan, dan peleburan nilai berlangsung terus-menerus hingga masyarakat pendukungnya merasa cocok dan benar-benar pas dirinya. Ini sebabnya manusia tidak dapat menghindarkan diri dari perubahan, baik yang disebabkan oleh lingkungan alam, lingkungan sosial, maupun lingkungan kebudayaan. Akibatnya, manusia dipaksa menemukan suatu mekanisme kontrol dan pertahanan diri. Dalam konteks masyarakat desa pakraman di Bali misalnya, diwujudkannya dalam bentuk kahyangan tiga dan/atau kahyangan desa. Ketiga pura ini merupakan simbol ketiga proses itu sekaligus sebagai wujud kesadaran individual dan sosial tentang kelahiran-kehidupan-kematian (Triguna dan Sukarma, 2007:3).
Memahami perubahan masyarakat menurut Sukarma (2007:4) setidak-tidaknya dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu sosial dan kebudayaan. Perubahan sosial menyangkut transformasi bidang-bidang kehidupan suatu masyarakat meliputi, antara lain perubahan peradaban, perubahan budaya, dan perubahan sosial. Perubahan kebudayaan adalah perumusan konseptual yang mengacu pada kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat yang merupakan pola-pola kebudayaan masyarakat bersangkutan. Ini berarti perubahan kebudayaan menyangkut perubahan sistem ide atau sistem gagasan suatu masyarakat yang mencakup, antara lain aturan-aturan dan norma-norma yang digunakan sebagai pegangan hidup. Ini menandakan bahwa perubahan suatu masyarakat paling tidak dapat dilihat dalam dua dimensi, yakni sosial dan kebudayaan. Dimensi sosial menunjukkan pergeseran masyarakat dari primitif ke industri hingga pascaindustri, sedangkan dimensi kebudayaan menunjukkan pergeseran nilai-nilai tradisional ke modern hingga posmodern (Rahardjo, 2007:25).
Gelombang pasang posmodernisme, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian depan, datang mematahkan asumsi-asumsi filosofis modernisme dan mempertanyakan klaim-klaim yang dianutnya untuk mempertahankan proyek Pencerahannya. Jean-Francois Lyotard misalnya, menyebut asumsi-asumsi modernisme sebagai grand narratives “narasi-narasi besar” yang basis legitimasinya berupa, antara lain rasionalisme, positivisme, materialisme, dan humanisme. Semua paham ini digunakan melegitimasi proyek Pencerahan, seperti Kebebasan, Kemajuan, dan Emansipasi. Pada intinya narasi-besar ingin mempertegas posisi manusia sebagai subjek dan rasio sebagai pusat. Di era posmodern kedudukan manusia dan rasio bukan segala-galanya. Pengetahuan tentang dunia tidak seluruhnya bersifat objektif sebagaimana diduga, melainkan lahir dari pengalaman dan sering kali ambigu, eksistensial, dan dramatik. Selain itu, narasi-narasi-besar yang dikumandangkan oleh para filsuf Pencerahan terbukti otoriter karena menotalkan segala bentuk pengetahuan ke dalam suatu sistem yang koheren dan stabil. Dari perspektif ini posmodernisme dapat dimaknai sebagai ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi-besar yang menjelma dalam filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala bentuk sistem pemikiran yang menotalisasi, seperti Hegelianisme, Marxisme, dan Liberalisme (Arger, 2003; Anderson, 2004; Althruser, 2004; Al-Fayyadl, 2005; Lubis, 2006).
Konsekuensinya terjadi perubahan pada berbagai dimensi kehidupan dan dalam perubahan yang berlangsung dalam berbagai corak dan model, orang membutuhkan sesuatu yang bersifat antisipatif yang dapat digunakan sebagai pedoman menjalankan kehidupan. Sesuatu yang bersifat antisipatif itu sebut saja kompas hidup, semacam empati sosial-budaya yang menyebabkan orang dapat menyadari keberadaannya berdasarkan keberadaan orang lain. Setiap orang dalam dunia sosialnya senantiasa saling menciptakan situasi sosial yang selalu diharapkan sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan kebutuhan sosialnya. Mengingat tidak pernah terdapat situasi sosial yang bersifat individual sehingga eksistensi setiap individu dalam dunia sosialnya selalu tergantung pada pikirannya tentang dirinya sendiri dan tentang orang lain, serta pikiran orang lain tentang dirinya. Untuk menemukan makna relasi dan interaksi sosial dalam setiap situasi sosial yang dikomunikasikan dalam dunia sosial, individu perlu melakukan pengenalan, pemahaman, dan interpretasi terhadap nilai-nilai yang diterima sebagai kesepakatan sosial selama mengikuti proses perubahan yang tidak dapat dihindari.
Modernitas misalnya, menurut Magnis-Suseno (2006:208--209) paling tidak telah memberikan tiga nilai dasar, yaitu rasionalitas, fungsionalitas, dan pluralisme. Rasionalitas menuntut pertanggungjawaban atas klaim-klaim suatu kuasa dan epistemologis; fungsionalitas menuntut keefektifan komunikasi antara agama dan budaya; dan pluralisme menuntut privatisasi atas pandangan hidup dan agama. Sementara itu, globalisasi telah memberikan nilai dasar, antara lain kebahagiaan pribadi, status yang tegas, dan sugesti. Artinya, setiap orang mempunyai hak atas kebahagiaan pribadi; untuk itu mereka harus memiliki status dalam kehidupan sosial; dan sugesti bahwa orang terjamin dan dikagumi dengan membeli produk terbaru. Ini diperlukan dalam mengikuti perubahan-perubahan, agar tidak turut-serta berputar-putar dalam budaya konsumeristik. Suatu budaya yang memang berkekuatan belenggu dan sulit dihindari karena sejalan dengan karakteristik dasar manusia: kama “nafsu-keinginan”.
Pengendoran terhadap ikatan budaya konsumeristik itu diperlukan kompas hidup yang pada dasarnya berisi ajaran tentang jagrabrata “pengendalian kesadaran”. Sederhananya, kesadaran itu adalah aku tahu bahwa aku tahu, “aku tahu bahwa aku memiliki pengetahuan tentang aku yang terikat dengan erat dalam budaya konsumeristik”. Jadi, kesadaran sepenuhnya subjektif. Kesadaran berkembang sejalan dengan pengembangan wawasan kritis, yakni penggunaan pengetahuan sesuai dengan jenis dan sifatnya melalui proses pengenalan, pemahaman, dan pemaknaan. Pengenalan dicapai melalui proses mengetahui dengan jalan akal dan nalar, rasio dan logika menjadi alat utamanya. Dengannya, pengetahuan yang diperoleh bercenderungan bersifat rasional-empiris karena logis-rasional memang dibatasi oleh etos kerja hukum alam. Pemahaman dicapai dengan mengetahui maksud pengetahuan yang dimiliki dan penguatan dalam pengayaan penuh menyebabkan terjadinya pendalaman untuk tiba pada suatu pemaknaan, baik koherensi-korespondensi maupun pragmatis-fungsional. Berkaitan dengan pengembangan wawasan kritis, Freeman (2004:vii) menyarankan, agar belajar membaca dengan apresiasi. Apresiasi dan pemahaman itu berkaitan erat. Memahami sebuah ide berarti mengetahui apa yang dimaksudkan; sementara itu, mengapresiasi suatu ide berarti mengetahui nilainya. Jadi, memahami sebuah ide berarti mengetahui apa yang dimaknai; dan mengapresiasi sebuah ide berarti mengetahui signifikansinya. Wawasan kritis ini berfungsi dalam pengembangan kesadaran dan dengannya, nilai-nilai yang diperoleh (baik dari modernitas maupun globalisasi) dapat diarahkan kepada tujuan yang lebih produktif sejalan dengan kode-kode moral dan kemanusiaan.
Memperkaya kompas hidup ini, jagrabrata “puasa melek”, “berusaha keras menjadikan diri selalu sadar”, atau “pengendalian kesadaran” memang menjadi himbauan moral demi pemajuan kemanusiaan. Jagra adalah manacika parisuddha “sadar” atau “berpikiran jernih dan suci” memang menjadi brata yang paling penting dalam ajaran Brata Siwaratri. Pentingnya pikiran jernih dalam pengendalian indera dalam tindakan, dijelaskan dalam Bhagavad Gita seperti berikut.
“Sesungguhnya orang yang dapat mengendalikan panca inderanya dengan pikiran, dengan panca inderanya bekerja tanpa keterikatan, ia adalah sangat dihormati” (Bhagavad Gita, Sloka III:7).
Apabila kemanusiaan merupakan nilai tertinggi pada diri manusia; dan kehormatan merupakan nilai tertinggi pada kemanusiaan; maka nilai tindakan manusia yang tertinggi adalah kehormatan; dan karena itu kehormatan menjadi cita-cita kemanusiaan. Jadi, sloka ini hendak mengatakan bahwa kehormatan merupakan nilai tertinggi yang paling mungkin diraih dalam setiap tindakan manusia. Bekerja dalam kehormatan menjadi kenikmatan kerja itu sendiri. Dalam keadaan demikian panca indera tidak lagi membeda-bedakan pekerjaan. Dengannya akan muncul kesadaran bahwa kerja adalah sebuah kehormatan dan pada kehormatan inilah kesadaran kerja selalu ditujukan. Etos kerja yang demikian ini tidak menyebabkan para pekerja terasing dalam dunia kerjanya, baik dari lingkungan, alat-alat, rekan maupun hasil kerjanya.
Kesadaran kerja dalam kehormatan merupakan dasar komitmen dan tujuan dari setiap yadnya, jikalau tidak maka manusia akan terikat pada setiap tindakan kerjanya. Hukum karma akan mengikat setiap tindakan kerja, apabila tindakan kerja itu dilakukan di luar tujuan yadnya. Ini sebagaimana ditegaskan dalam sloka Bhagavad Gita berikut.
“Dari tujuan berbuat yajna itu menyebabkan dunia ini terikat oleh hukum karma, karena itu bekerjalah tanpa pamrih, tanpa kepentingan pribadi” (Bhagavad Gita, III:9).
Sloka ini menegaskan bahwa tindakan kerja adalah yadnya, jika tindakan itu bebas dari pamrih dan kepentingan pribadi; dan dengannya setiap tindakan kerja tidak lagi terikat pada hukum karma. Jadi, yadnya adalah tindakan tanpa pamrih dan kepentingan. Akan tetapi, mengingat hukum karma berlaku dan menjangkau setiap tindakan dalam ruang dan waktu sehingga tidak mungkin terdapat tindakan kerja yang tidak terikat pada hukum karma. Ini menimbulkan persoalan, dengan cara bagaimanakah tindakan kerja yang terikat pada hukum karma dapat terbebaskan dari pamrih dan kepentingan pribadi?
Untuk itu ditawarkan jalan, lakukanlah dengan tujuan yadnya; seperti “tangan” melakukan tindakan kerja kepada “badan”. “Tangan” melakukannya, tidak berdasarkan pamrih dan kepentingan “tangan” pribadi, melainkan sesuai dengan kebutuhan “badan”. Dalam keseluruhannya, “tangan” telah melayani “badan”. Ketika ini terjadi maka tindakan kerja adalah kewajiban, yadnya. Misalnya, ketika sedang makan. Seenak apapun cita-rasa makanan; “tangan” mengambilnya untuk mulut, tanpa pamrih dan kepentingan pribadi. Kemudian, sesuai dengan hukum karma makanan diproses berdasarkan prosedur organis pencernaan. Dengan demikian hukum karma tetap berjalan dan “tangan” bebas dari pamrih dan kepentingan pribadi. Soal hasil dari tindakan kerja, baik diminta maupun tidak dengan sendirinya “tangan” menikmati berdasarkan hukum karma, yaitu apa yang disebut apurwa. Mengingat darah melalui pembuluh nadi dan kapiler mengedarkan hasil oksidasi ke seluruh sel-sel tubuh termasuk kepada “tangan”. Kerja tanpa upah atau upah dulu baru kerja, bukan itu yang dimaksud karena ini namanya kebodohan. Jadi, lakukanlah tindakan kerja sebagai kewajiban, pengabdian maka karma adalah yadnya.
Kata kuncinya, karma adalah yadnya. Apabila yadnya adalah “bekerja tanpa pamrih, tanpa kepentingan pribadi” dan ini sama dengan karma maka tindakan kerja yang ideal adalah “bekerja tanpa pamrih, tanpa kepentingan pribadi”. Jikalau tindakan kerja bebas dari pamrih dan kepentingan maka tindakan itu bebas dari dasar komitmen dan tujuannya; dan ini berarti tindakan itu tidak terikat pada sebab dan akibatnya. Dengan demikian, karma adalah tindakan atau perbuatan yang bukan sekadar berdasarkan hukum sebab-akibat sebagaimana yang dimengerti dan dipahami dalam relasi hukum-hukum logis-rasional berdasarkan pikiran-objektif-dimensional. Ini mengarahkan gagasan tentang karma-phala “perbuatan dan hasilnya” pada jagrabrata “pengendalian kesadaran”, yakni pikiran yang hanya terpusat pada realisasi Sang Diri karena di sini dunia manusia mendapatkan manifestasi dan eksistensinya. Ini sejalan dengan sloka Bhagavad Gita berikut.
“Dia yang melihat tanpa kegiatan pada kegiatan kerja, kerja (karma) dalam tak kerja (akarma), ia sesungguhnya orang bijaksana di antara manusia, ia dikendalikan dan bekerja dengan sempurna” (Bhagavad Gita, V:18).
Kesempurnaan tindakan kerja, bukan terletak pada hasil-hasilnya, tetapi pada prosesnya karena tindakan kerja yang sempurna dilakukan dengan tidak bekerja. Di sini seluruh tindakan kerja telah berubah menjadi kewajiban dan dalam setiap kewajiban tindakan kerja tidak lagi terikat pada sebab-sebab dan akibatnya. Subjek (pelaku) hanya melihat dan sama sekali tidak menikmati, baik proses maupun hasil tindakan kerjanya karena pelaku hanyalah instrumen dalam tindakannya. Ini dimungkinkan karena pengetahuan yang benar tentang motif-motif tindakan kerja tidak menyisakan apapun dari tindakan kerja seperti disebutkan dalam sloka Bhagavad Gita berikut.
“Ia yang bekerja dalam semua kerjanya tidak terikat oleh motif atau karma, yang karma-nya terbakar oleh apinya pengetahuan, sesungguhnya orang bijaksana menamakannya pendeta” (Bhagavad Gita, IV:1).
Kedudukan pengetahuan dalam tindakan menjadi begitu penting karena kebijaksanaan adalah tindakan nyata dalam dunia fenomena sebagai wujud dari kesadaran “pikiran jernih”. Ini berarti kebijaksanaan adalah kesatuan tindakan benar dan pengetahuan benar dalam ruang dan waktu yang benar. Bertindak berdasarkan kebijaksanaan dapat membebaskan tindakan dari motif-motifnya sehingga tiada lagi yang tersisa yang harus dinikmati. Tanpa penikmatan sesungguhnya pelaku sama sekali tidak melakukan tindakan kerja, walaupun ia tekun terus-menerus dalam pekerjaan, seperti dijelaskan pada sloka Bhagavad Gita berikut.
“Menjauhkan diri dari keterikatan akan hasil perbuatan, selalu gembira, tak terikat pada siapapun juga, walaupun ia tekun terus-menerus bekerja, sesungguhnya ia tidak melakukan apa-apa” (Bhagavad Gita, IV:20).
Kegembiraan kerja justru terletak bukan pada pengharapan akan hasil kerja karena kegembiraan itu berada pada melakukan kerja terus-menerus dengan penuh ketekunan. Dalam kegembiraan kerja seperti ini orang tidak lagi mengharapkan imbalan lainnya, baik berupa materi maupun nonmateri karena pikiran dan hati telah terkendalikan dalam kerja. Dengan demikian tiada lagi dosa yang dapat mengikat, walaupun pelaku masih bergelut dalam dunia fenomenal. Dalam Bhagavad Gita ditegaskan sebagai berikut.
“Tanpa mengharapkan suatu apa dengan pikiran dan hati terkendalikan dan rela melepaskan segala miliknya, walaupun sibuk dalam kegiatan kerja jasmani, dia tidak berdosa” (Bhagavad Gita, IV:21).
Pada sloka berikutnya ditegaskan bahwa “Ia yang puas akan apa-apa yang diperoleh seadanya, bebas dari pertentangan dualisme, tidak iri hati, seimbang dengan keberhasilan dan kegagalan, walaupun bekerja, ia tidak terikat” (Bhagavad Gita, IV:22). Ini berarti kegembiraan dalam melakukan tindakan kerja memberikan kepuasan dalam segala keadaan karena pikiran dan hati yang tercerap dalam tindakan kerja tidak memiliki kesempatan untuk menikmati keadaan kerja itu sendiri. Oleh karena itu seluruh tindakan kerja telah berubah menjadi kewajiban atau pengabdian dan tindakan kerja yang dilakukan sebagai pengabdian akan membebaskan pelaku dari tindakan kerja. Hal ini juga seperti ditegaskan pada sloka berikut. “Yang bebas, terlepas dari ikatan pikiran, terpusat pada ilmu pengetahuan, melaksanakan kerja demi pengabdian, segala kerjanya akan luluh dengan sendirinya” (Bhagavad Gita, IV:23). Inilah pemuja yang paling dikasihi dan tercerahkan, “Dia yang tidak mengharapkan apapun, murni dan giat, tak perduli, tak terusik, yang telah tidak memiliki pamrih apapun, dialah pemuja yang Ku-kasihi (Bhagavad Gita, XII:16). Kesadaran ini membebaskan orang dari ikatan-ikatan inderawi yang ditawarkan dunia modern dan global sehingga kehidupan dapat dilalui dalam ketenangan.
Demikian juga kedudukan pikiran dalam pengalaman sejarah pemikiran Barat dapat diketahui bahwa pikiran itu menjadi tema sentral dalam seluruh perbincangan filosofis. Sejak masa kosmosentris (ketika pemikiran diletakkan pada penyelidikan tentang alam) dan teosentris (ketika pemikiran diletakkan pada penyeledikan pada Realitas Tertinggi, Tuhan) hingga antroposentris (ketika pemikiran diletakkan pada penyelidikan tentang pengalaman manusia), bahkan ketika pergulatan pemikiran Barat memasuki zaman modern, Abad Pencerahan sekitar abad-16, Rene Descartes dengan co gito ergo sum-nya yang menegaskan keraguannya mengenai segala realitas. Dari sini mulai munculnya sebab-sebab, mengapa pikiran memasang “jarak perang” antara manusia dan alam. Pikiran telah memisahkan kesatuan antara manusia dan alam sehingga manusia begitu berjarak dengan alam; dan akibatnya, keberadaan manusia di tengah-tengah alam – yang semula bersama alam – hanyalah untuk mengatasi tantangan alam.
Untuk itu manusia terus-menerus berpikir tentang cara-cara yang paling efektif menundukkan alam, yang pada gilirannya melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Arah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini sejurus dengan aspek-aspek kehidupan manusia yang sebagian besar dikendalikan oleh logos. Dengan logos dunia Barat dibangun dan pada gilirannya dunia Timur pun mulai dipengaruhi dan dikuasai melalui rayuan-rayuan gombal kemajuan dalam bidang ilmu dan teknologi terutama pertumbuhan ekonomi ke dalam tatannan ekonomi global. Sejak itu, logosentrisme berkembang pesat dan merajai jagatraya ilmu pengetahuan dan teknologi yang memasuki hampir keseluruhan dunia manusia hingga bermunculan cabang-cabang ilmu baru yang sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan kebutuhan manusia sendiri. Dengan demikian pada prinsipnya tingkat perkembangan dan kebutuhan kebutuhan manusia inilah yang mengendalikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dalam terminologi Gramsci, menghegomoni dan mendominasi dimensi subjektif manusia sendiri sehingga manusia benar-benar terasing dengan dirinya sendiri.
Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan yang searah dengan penciptaan dan pengembangan teknologi baru telah membawa manusia pada perkembangan material yang menakjubkan. Kesejahteraan dalam arti kemakmuran benar-benar membuat manusia berubah menjadi “gila harta”. Ketatnya persaingan dalam memperebutkan sumber-sumber kesejahteraan dan kekuasaan telah melahirkan seni pertahanan hidup dan pengumpulan kekayaan menjadi tema luas dalam gudang bacaan manusia modern. Seperti cara paling efektif menggandakan uang, cara efektif memilih perabotan rumah tangga, cara efektif memilih barang-barang hasil industri, cara efektif mengoperasikan alat-alat media, cara efektif membahagiakan pasangan, cara paling efektif mendidik anak, cara paling efektif bertetangga, dan cara-cara paling efektif lainnya yang tidak lepas dari kaitannya dengan pemenuhan nafsu-selera. Ini menunjukkan bahwa manusia telah kehilangan pesona dunia sehingga diperlukan resep-resep yang paling “efektif”. Apabila hilangnya pesona dunia ini lebih besar disebabkan oleh faktor-faktor internal (dimensi subjektif) maka ini berarti manusia telah kehilangan kemampuan inderanya. Manusia tanpa panca indera? bayangkan apabila semua manusia buta.
Pada zaman ini, saat ilmu pengetahuan eksakta dan teknologi sedang memperoleh keunggulan-keunggulan, Rohit Mehta (2005:11) menegaskan bahwa manusia membutuhkan pengendalian dari pihak filsafat (kesadaran?). Kalau tanpa pengendalian, ilmu pengetahuan eksakta dan teknologi mungkin menggiring manusia memasuki suatu dunia yang tidak mempunyai arti dan makna penting. Keduanya ini mungkin menggiring manusia memasuki perluasan prestasi yang sangat besar. Akan tetapi perluasan tanpa kedalaman adalah seperti memiliki teknik ekspresi yang sempurna tanpa ada sesuatu pun untuk diekspresikan. Kedalamanlah memberikan isi yang kaya untuk mengisi bentuk yang dibangun dengan keahlian dan kerja, yang diambil dari teknik-teknik ilmu pengetahuan modern. Ke arah inilah tugas jagrabrata membantu manusia modern dalam memilih sains-sains alam yang relevan dengan kebutuhan kejiwaannya. Selain itu, yang dibutuhkan manusia adalah intelek yang jernih dan imajinasi yang berani, tetapi yang terpenting adalah pengertian secara intuitif. Di segala zaman, menurut Rohit Mehta (2005) ilmu mistiklah yang telah merupakan kekuatan yang memperbaharui peradaban manusia. Inilah yang memberikan kedalaman kepada pemahaman manusia; dan tanpa ini, manusia akan tetap merupakan suatu alat permainan belaka di dalam bagian-bagian yang dangkal dan bagian-bagian permukaan kehidupan.
Berbeda dengan pemikiran Barat, kebijaksanaan Timur, Tao misalnya, mengajarkan bahwa diri manusia adalah sesuatu yang dipinjamkan oleh alam semesta. Ini berarti hidup manusia bukanlah hidupnya sendiri, melainkan ia adalah suatu yang harmoni yang dipinjamkan kepada manusia oleh alam semesta. Kodrat manusia dengan demikian bukanlah miliknya, melainkan ia adalah milik alam semesta yang diberikan kepada manusia. Manusia tidak memiliki dirinya sendiri, karena itu manusia bijaksana tidak memiliki dirinya sendiri. Manusia bijaksana mempercayakan dirinya yang merupakan milik alam semesta kepada alam semesta. Manusia seharusnya meluruhkan dirinya pada hakikat alam semesta, dan dengannya, manusia bebas dari kegelisahan sehingga hidup tenang dan tenteram. Kesatuan manusia dan alam sebagaimana diwacanakan dalam Tao atau Zen dan umumnya dalam pemikiran orientalistik, mendapatkan tempat yang sama dan sejalan dengan pemikiran Hindu. Samkhya misalnya, dengan tegas menyatakan bahwa manusia dan alam dibangun oleh azas yang sama, purusha-prakerti, jiwa-material. Pandangan dualis samkhya tentang azas semesta yang berevolusi melahirkan alam semesta dan manusia mendapatkan sentuhan theis-monis dalam Bhagavad Gita seperti berikut.
“Tanah, air, api, udara, ether, pikiran, budhi, dan ego merupakan delapan unsur alam-Ku yang terpisah” (Bhagavad Gita, VII:4).
Kedelapan anasir yang dijelaskan dalam sloka di atas menunjukkan bahwa anasir material pada dasarnya berkesadaran pikiran, buddhi, dan ego. Pada tataran ini pikiran dimaknai terbatas hanya pada dimensi objektif, yakni dalam kaitannya dengan objek-objek inderawi yang bendani. Buddhi berkaitan dengan cara kerja pikiran objektif yang direduksi dari kesadaran ego sebagai wujud eksistensi dari setiap manifestasi. Sampai di sini Bhagavad Gita ingin menunjukkan kesatuan unsur material di dalam dirinya sendiri dengan sifat-sifat yang menyertainya. Kesatuan antara anasir materi dan jiwa disebutkan dalam sloka berikut.
“Itulah prakrti-Ku yang lebih rendah, tetapi berbeda dengannya ketahuilah prakrti-Ku yang lebih tinggi. Unsur hidup, yaitu jiwa yang mendukung alam semesta ini” (Bhagavad Gita, VII:5).
Walaupun sloka ini menunjukkan seolah-olah unsur material dan jiwa dinyatakan secara terpisah, tetapi Bhagavad Gita hanya hendak menunjukkan bahwa setiap manifestasi merupakan kesatuan dari kedua unsur tersebut dalam tingkatannya masing-masing. Tingkatan dalam hal ini dimaksudkan sebagai kesadaran bahwa manusia yang terdiri atas brahman “Tuhan”, atman “jiwa atau pribadi”, prakrti “alam atau meterial”, kala “waktu”, dan karma “tindakan atau perbuatan”. Dari kelima unsur ini brahman-lah yang menjadi asal-mula dan akhir alam semesta. Apabila manusia yakin bahwa asal-mula kehidupan ini dari Tuhan maka tujuan kehidupan haruslah diyakini untuk kembali menuju kepada Tuhan. Konsekuensinya adalah seluruh sikap dan perilaku kehidupan manusia mutlak harus bernilai ketuhanan. Hal ini ditegaskan dalam sloka berikut.
“Ketahuilah bahwa keduanya ini merupakan kandungan dari semua makhluk; dan Aku adalah asal mula dan leburnya alam semesta ini” (Bhagavad Gita, VII:6).
Kesadaran bahwa manusia terdiri atas unsur materi-nonmateri hendak mengarahkan tindakan pada keterikatan-ketakterikatan merupakan hukumnya. Ketakterikatan dalam kepastiannya dapat teraih melalui kesadaran ini, pada satu sisi mengharuskan manusia mengidealkannya dalam dunia relatif, sedangkan pada sisi lain mendorong manusia pada keterikatan karena sifat-sifat materi lebih sesuai dengan nafsu-selera. Oleh karenanya, kekuatan idealis cenderung lebih lemah dibandingkan dengan kekuatan pragmatis; selain itu, juga karena dunia relatif lebih dekat dengan sifat dasar materi dan nafsu-selera. Memang sifat dasar ini sering lebih menarik perhatian sehingga hasrat hidup manusia lebih tercerap ke dalamnya yang eksis dalam tindakan-tindakannya. Manusia tenggelam pada hasrat penikmatan dan kepemilikan yang paling dalam dan kelam sehingga ia bingung dalam pencarian dan pemenuhan yang tak henti-henti. Cara-cara pencarian dan pemenuhan ini menjadi permintaan dan penawaran sehingga dunia ilmu dan teknologi berkembang sejalan hasrat penikmatan dan kepemilikan. Dalam konteks ini, bukan sebagai suatu upaya untuk menghambat perkembangan ilmu dan teknologi, sekali lagi, jagrabrata menyampaikan himbauannya, agar manusia kembali kepada fitrah dirinya yang bukan semata-mata material, melainkan “hidup”, yaitu Tuhan – pujaannya, asal mula dan leburnya alam semesta.
Kesadaran demi kesadaran, patah tumbuh-hilang berganti menjadi tema sentral pembincangan-perbincangan dunia sains, tetapi dunia ini masih dibatasi oleh etos kerja alam. Akibatnya, muncul pengembangan ilmu demi ilmu yang menjauhkan ilmu dari makna kehidupan manusia. Pergulatan pemikiran dalam bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora misalnya, terjadi gerakan tarik-menarik antara paradigma positivistik dan interpretatif. Memang manusia adalah alam, tetapi tidak seluruh hukum pikirannya sesuai dan sejalan dengan hukum alam. Azas kepastian dalam hukum alam misalnya, ternyata tidak selalu inheren dalam hukum pikiran manusia. Kepastian alam dalam dimensi ruang dan waktu, seperti “api haruslah panas”, memang bisa dicapai pikiran-objektif-dimensional manusia sebagai ide-ide kealaman. Akan tetapi tidak sedikit fenomena yang menunjukkan sebaliknya, dalam dunia Debus misalnya, di mana “api yang seharusnya panas, ternyata dingin seperti es”. Contoh ini memang tampak mengada-ada, juga seperti Guines Books Record merekam rekor fenomena “mengada-ada” di seluruh dunia, tetapi fakta bahwa alam kehidupan manusia yang sering keluar dari prinsip-prinsip dasar hukum alam bukanlah mengada-ada. Kehidupan tidak pernah tuntas hanya dilalui dalam medan logis-rasional sesuai dengan hukum alam karena masih dibutuhkan hukum-hukum moral dan kemanusiaan.
Karma-phala dalam ajaran Hindu misalnya, seperti telah dibicarakan di atas pada tingkat permukaannya memang seolah-olah berbicara tentang hukum sebab-akibat sebagaimana yang dimengerti berdasarkan prinsip-prinsip dasar dalam hukum alam. Padahal fokus perbincangannya tidak pernah menyentuh, baik hukum sebab maupun hukum akibat. Orang hanya tahu tiba-tiba dirinya hadir di dunia. Kepercayaan bahwa kehadiran ini memiliki sebab-sebab yang kemudian disebut karma-wasana “bekas-bekas perbuatan pada masa lalu”, juga menjadi bagian lain dari sebuah pertimbangan yang logis-rasional. Hanya saja di sini kata “logis-rasional”, bukan terbatas hanya pada kekuatan dan kemampuan pikiran-objektif-material “pikiran dimensional”, tetapi melampaui pikiran-subjektif-nonmaterial ”pikiran nondimensional”. Intinya, fokus debat pemikiran, bukan pada sebab-sebabnya dan akibat-akibatnya karena setiap aktivitas sebab selalu berimplikasi pada akibat dan setiap akibat segera menjadi sebab bagi eksistensi lainnya yang berikutnya.
Dalam hukum yang demikian itu, tidak ada kesempatan bagi pikiran-objektif-dimensional untuk memikirkannya karena kekuatannya dibatasi oleh kemampuan akal-budi. Akal hanya mampu membedakan dan membagi realitas ke dalam nama dan bentuk, sedangkan budi hanya mampu memilih nama dan bentuk itu sesuai dengan hakikat dan harkat manusia. Kemampuan akal-budi ini tidak memberikan ruang bagi pikiran-objektif-dimensional yang berjalan menurut waktu aturan logis-rasional untuk memikirkan sebab-akibat yang berjalan melingkar-lingkar dalam fenomena evolusi-involusi berkelimpahan ruang dan waktu. Jadi, hukum sebab-akibat yang dimaksudkan dalam karma-phala bukanlah aturan tindakan yang berlaku secara linear sebagaimana dipahami dalam hukum alam melalui variabel bebas dan variabel terkait atau terikat. Dengan demikian karma-phala merupakan gagasan yang melampaui pikiran-subjektif-nondimensional. Sebagai contoh, dapat diperhatikan pada percakapan antara dua orang pendeta Zen berikut. “Ketika Mahabhiksu Chan Wei-yen sedang meditasi, seorang bhiksu berlalu, dan bertanya, ‘Anda duduk di sini dengan diam bagaikan sebuah batu. Apakah yang Anda pikirkan?’ Mahabhiksu Chan Wei-yen menjawab, ‘Saya sedang memikirkan tidak berpikir’. Bhiksu itu melanjutkan, ‘Bagaimana Anda melakukannya?’ Mahabhiksu Chan Wei-yen menjawab, ‘Dengan tidak berpikir”. Percakapan ini menunjukkan bahwa hakikat pikiran dan kerja pikiran berjalan paradoks dan sama sekali tidak mengikuti hukum sebab-akibat secara linear.
Dengan meminjam kebijaksanaan Zen ini mungkin dapat menjelaskan bahwa kesadaran sebagaimana jagrabrata mengajarkannya merupakan sadar dalam pikiran yang dijelmakan dalam tindakan. Sebagaimana karma-phala mengajarkan bahwa tindakan kerja merupakan kebijaksanaan tertinggi karena di dalamnya seluruh pengetahuan benar memperoleh arti dan maknanya. Inilah yang menurut Zen disebut kebenaran absolut, “Untuk mencapai pencerahan tertinggi, seseorang harus mengetahui secara spontan sifat atau hakikat dari Pikirannya yang tidak diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Dari ksana ke ksana (momen pikiran), seseorang mampu menyadari Hakikat Pikirannya sepanjang waktu. Dengan begitu, segala hal akan bebas dari kekangan. Sekali Tathata (nama lain Hakikat Pikiran) diketahui maka orang akan bebas dari waham (delusi) selamanya. Kondisi pikiran seperti itu adalah kebenaran absolut” (Lao-Tzu). Dalam hal ini Tathata “Hakikat Pikiran” yang dimaksud bukanlah pikiran-objektif-dimensional, tetapi pikiran-subjektif-nondimensional yang umumnya lebih sering tampil dalam bentuk spontanitas-spontanitas spiritual.
Pentingnya menggelorakan kejernihan pikiran dan pencerahan spritual pada setiap kesempatan, selain karena akutnya degradasi moral-kemanusiaan, juga berkaitan dengan kecemasan-kecemasan yang dilahirkan oleh kemajuan material. Ini merupakan gejala runtuhnya kebudayaan yang memberi fondasi bagi kecemasan spekulatif, impressionisme moral, kemarahan, dan antusiasme yang membingungkan yang ditandai dengan meluasnya karakter antisosial dan antimoral. Untuk membangun dunia baru, yang sejalan dengan kemanusiaan Radhakrishnan (2003:32) menyampaikan pandangan seperti berikut.
“Apapun berharga dalam mengantarkan menuju dunia baru yang sedang berjuang untuk lahir. Kendati semua tampak saling bertentangan, di dalam proses yang berkelanjutan sekarang ini, kita sedang melihat senja perlahan dari cahaya yang besar, dari gumpalan usaha-keras-hidup, suatu pertumbuhan yang di dalamnya ada spirit rahasia bahwa kita semua satu dan bahwa kemanusiaan adalah kendaraan tertinggi di atas bumi, juga peningkatan keinginan untuk meninggalkan pengetahuan ini (positivisme) dan menerima kerajaan spirit di dunia”.
Gagasan tersebut pada dasarnya menyatakan pentingnya membangun spirit kemanusiaan di atas pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah menghasilkan alat-alat yang diperlukan bagi transportasi manusia yang dengan mudah menciptakan kesatuan ruang (keberjarakan) serta komunikasi pemikiran yang dengan mudah menunggalkan waktu (kecepatan). Secara intelektual dunia sudah lebur menjadi satu dalam jaringan ide-ide dan pengetahuan timbal-balik. Berkaitan dengan ini, bahkan Radhakrishnan (2003:33) mengatakan bahwa kalangan dogma religius tidak begitu hebat seperti pada masa lalu karena kemajuan pemikiran dan kritik telah membantu religi-religi yang lain (ilmu-teknologi) menyuarakan persoalan yang abadi, yang universal, sang spirit kebenaran tunggal yang hidup patuh, mencari dan bergembira di setiap waktu dan tempat. Manusia menjadi mampu melihat sedikit lebih jelas bahwa kebenaran suatu religi bukan tentang apa yang istimewa dan pribadi padanya, juga bukan soal tulisan hukum-hukum yang oleh pendeta-pendetanya cenderung dipaksakan, serta keyakinan teguhnya untuk berperang, tetapi tentang bagian dari religi tersebut yang mampu berbagi dengan yang lain.
Puncak realisasi kemanusiaan, baik pada dirinya sendiri maupun dunia menurut Radhakrishnan (2003:34) dapat tercapai hanya dengan pembebasan yang semakin bertambah terus pada nilai-nilai universal dan manusiawi. Kemanusiaan sedang dalam proses penjadian (becoming), sebagaimana Heraklitos memahami realitas. Kehidupan manusia, seperti sekarang ini hanyalah bahan kasar bagi kehidupan manusia yang mungkin terjadi. Ada sesuatu yang bukan impian dan sampai kini masih menjadi persoalan. Seperti kepenuhan, kebebasan, dan kebahagiaan yang berada dalam jangkauan spesies manusia, hanya jika manusia dapat mendorong dirinya bersama-sama maju dengan maksud yang mulia dan pemecahan yang baik. Yang dibutuhkan, bukanlah profesi dan/atau program-program padat agenda, tetapi tenaga spirit dari dalam hati manusia. Daya yang bisa membantunya mendisiplinkan hasrat ketamakan dan cinta diri serta daya yang mengatur dunia yang sesuai dan sama dengan yang dikehendaki. Oleh karena itu perlu disadari, “Sesungguhnya hubungannya dengan benda-benda jasmaniah menimbulkan panas dan dingin, senang dan duka, yang datang dan pergi, tidak kekal, terimalah hal itu dengan sabar” (Bhagavad Gita, II:14). Ini merupakan ide tentang kesadaran diri dalam pengendalian pikiran dan hati, seperti dianjurkan Bhagavad Gita (XII:17) “Dia yang tidak bersenang hati, tidak membenci, tidak berduka dan tak menuruti nafsu keinginan, yang melepaskan kebaikan dan kebatilan dengan penuh kebhaktian, dialah yang Ku-kasihi”.
Ide ini lebih lanjut dielaborasi lebih mendalam dalam Bhagavad Gita (XII:18) kemudian, disebutkan bahwa “Dia yang sama terhadap kawan dan lawan, juga sama dalam kehormatan dan kehinaan, sama dalam panas dan dingin, suka dan duka, bebas dari keterikatan”. Ketika pikiran tidak lagi membedakan dualitas kehidupan, memandang sama antara kawan dan lawan, kehormatan dan kehinaan, panas dan dingin, serta suka dan duka maka budi tiada lagi memiliki daya pilih. Mengingat pilihan-pilihan telah menjadi satu pilihan yang tanpa pilihan. Dalam keadaan tanpa harus memilih karena memang tiadanya pilihan kesadaran maka persaingan dalam bentuk kompetisi-kompetisi tidak dimungkinkan lagi, karena itu orang telah puas dalam kasih Tuhan. Hal ini seperti ditegaskan dalam sloka berikut.
“Kepada siapa puji dan maki sama, pendiam, puas terhadap apapun yang dialami, tanpa tempat tinggal, tegas dalam pandangan, berbhakti, orang inilah yang Ku-kasihi” (Bhagavad Gita, XII:19).
Pada titik ini seluruh hidup dan kehidupan adalah bhakti “pengabdian”. Di dalam pengabdian orang tidak lagi memerlukan puja-puji dan nama besar karena pujian dan makian sudah tidak lagi bermakna ganda. Dalam pengabdian seluruh tindakan kerja telah menjadi milik Tuhan dan manusia semata-mata hanyalah instrumen. Seperti umumnya instrumen, juga sebagaimana tangan melayani badan tidaklah pernah berkeinginan untuk menikmati dan memiliki tindakan kerjanya. Tangan melakukan demi untuk melakukan tanpa hendak memahami dan mengerti, apa yang dilakukannya. Orang yang melaksanakan dengan sungguh-sungguh pengabdian ini dalam seluruh kehidupannya disebut telah melaksanakan ajaran dharma, sebagaimana dinyatakan Bhagavad Gita (XII:20) berikut.
“Sesungguhnya ia yang melaksanakan ajaran dharma yang telah diturunkan dengan penuh keyakinan, dan menjadikan Aku sebagai tujuan, penganut inilah yang paling Ku-kasihi, karena mereka sangat kasih pada-Ku”.
Sloka ini menunjukkan bahwa pengabdian adalah dharma. Di dalamnya tindakan kerja telah luruh ke dalam kasih Tuhan karena seluruh tindakan kerja didasarkan dan ditujukan atas perkenan-Nya. Kesadaran dharma merupakan kejernihan dan kesucian pikiran yang tertinggi yang paling mungkin diraih manusia dalam dunia relatif. Keyakinan ini merupakan suatu kepastian yang tidak bisa disangkal lagi karena kebenaran ini dikatakan langsung oleh Tuhan sendiri. Ini alasannya, mengapa jagrabrata menyarankan sebuah kesadaran agung yang paling sukses yang pernah diraih manusia, entah kapan zamannya. Terlebih-lebih lagi dalam perkembangan dunia manusia yang diwarnai carut-marutnya norma dan nilai melalui persebaran barang-barang hasil industri dan informasi yang tanpa bentuk. Kebenaran merupakan barang langka yang lebih sering menyangkal segi-segi nyata dari kehidupan karena medan maya yang diciptakan kemajuan ilmu dan teknologi menambah semakin buramnya warna kebenaran itu. Cara-cara logis-rasional sering dipertentangan dengan cara-cara wahyu berkerja melalui medan keimanan sehingga religi dan spitirual mati suri dalam peraduannya. Masa lalu hanyalah mimpi-mimpi yang tidak lagi benar atau setidak-setidaknya kurang benar untuk diterapkan pada masa kini. Akan tetapi Bhagavad Gita dan Hinduisme umumnya tidak memberlakukan cara-cara yang demikian.
Bhagavad Gita dan Hinduisme mengadopsi cara berpikir rasional dalam kehidupan religi. Hindu tidak hanya berbicara dengan wahyu yang ditidurkan dalam mimpi-mimpi kepercayaan. Ia mencoba mempelajari kenyataan hidup manusia dalam spirit ilmu pengetahuan dan dalam semangat teknologi untuk mempermudah jalannya kehidupan manusia. Akan tetapi bukan hanya tentang kenyataan yang tampak terutama mengenai kemajuan peradaban manusia dalam dunia fisis. Hindu juga memperbincangkan secara panjang-lebar tentang kejayaan dan kekalahan manusia yang tertidur dalam ketidaksadaran spiritual sehingga manusia mejalani kehidupannya dengan tidak terlunta-lunta dalam dunia fenomenal. Dalam dunia ini adalah sebuah kawasan dan wawasan yang membingungkan sehingga manusia tersesat dalam perang-perang moral melalui persaingan nilai dan norma dalam ruang-ruang material. Hindu juga berbicara tentang tema-tema hidup dan kehidupan dalam berbagai bentuk kenyataan yang ada di kedalaman hidup sebagaimana guru-guru Upanisad mengajarkan tentang Realitas.
Penerimaan realitas jagra dalam dunia konvensional melalui pikiran-objektif bukan dimaksudkan hendak membatasi realitas tidur yang juga adalah kenyataan. Dengannya, kesadaran nonfisis yang melampaui pikiran-objektif-dimensional memasuki wilayah realitas dunia mimpi yang juga harus diterima sebagai kenyataan. Kemudian, kesadaran subjektif menikmati eksistensinya melalui pikiran-subjektif-nondimensional dalam wilayah realitas dunia tidur pulas tanpa mimpi. Dala konteks ini manusia harus berani mengikis lapisan dunia kasarnya yang terdiri atas ana “makanan” dan prana “napas hidup”-nya. Dengannya, manusia mampu mengekspresikan dunia halus yang sukma melalui mana “pikiran-sibjektif-nondimensional” sehingga ia siap memasuki dunia simbol tanpa simbol dengan widjnana “kecerdasan semesta” untuk tiba pada dunia tanpa dunia, ananda “kebebasan”. Oleh karena itu religi bukanlah sejumlah besar wahyu yang dicapai melalui iman dan keimanan sebagai upaya penyingkapan lapisan terdalam keberadaan manusia. Akan tetapi sebuah upaya penyingkapan dan manusia memasukinya ke dalam hubungan abadi dengan-Nya.
Bumi Rumah Kita
Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam I W a y a n S u k a r m a Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...
Cari Blog Ini
Arsip Blog
Popular Posts
-
SISTEM PENGOBATAN USADA BALI A.A. Ngr Anom Kumbara Pen gantar Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manu...
-
BRAHMAVIDYA DALAM BHUANA KOSA Oleh I Wayan Sukarma Abstrak Bhuana Kosa adalah lontar yang paling tua dalam kelompok lontar-lontar Siwaistik....
-
PERKEMBANGAN SHIWA-BUDDHA DI INDIA DAN INDONESIA (Pendekatan Ilmu Sejarah) Prof. D.Litt...
-
TATTWA JNÀNA: KAJIAN TERHADAP STRUKTUR I Wayan Suka Yasa 1. Pendahuluan “Candi pustaka” yang menjadi kepustakaan Hindu Bali...
-
REINKARNASI Wacana Surga-Bumi-Neraka I Wayan Suka Yasa Abstrak Keyakinan manusia pada reinkarnasi mungkin lebih tua dari se...
Tentang Penulis
Nama: I Wayan Sukarma
Email: putraghanes58@gmail.com