MODERNISME

Upawasa Dalam Zaman Modern
Oleh I Wayan Sukarma

Industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi yang berlangsung di negara-negara sedang berkembang ditandai oleh semakin kukuh tegaknya positivisme-materialistik dan gaya hidup ekonomi-kapitalistik. Pandangan hidup ini yang mendorong kehidupan ekonomi peradagangan yang lebih berorientasi pasar sehingga kehidupan masyarakat semakin sarat dengan persaingan antarindividu dan kelompok. Moralitas persaingan ini pada gilirannya mendorong sistem ekonomi kapitalistik cenderung berwajah monopoli barang-barang produksi mulai dari proses produksi hingga mekanisme pasar. Akibanya, muncul lapisan sosial produsen dan konsumen. Produsen dalam spirit kapitalistik melakukan produksi untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya, sedangkan konsumen terjebak ke dalam sikap dan perilaku penikmat. Hubungan antara produsen dan konsumen ini, baik sadar maupun tidak secara diam-diam telah membangun kompromi berupa nilai kenikmatan dari barang-barang produksi. Pada titik ini keduanya saling mendapatkan keuntungan, yakni “uang” dan “kenikmatan” sehingga keduanya semakin terikat dalam romantisme keuntungan. Hubungan yang tampaknya saling menguntungkan ini terasa tidak ada yang salah, tetapi ketika produsen melipatgandakan kuantitas kenikmatan akan dapat mendorong munculnya perilaku serakah. Sebaliknya, konsumen yang semakin tergantung pada kenikmatan akan terdorong menjadi pemalas.
Dampak modernisasi dan industrialisasi lebih luas dalam masyarakat negara sedang berkembang menurut Lauer (2001:89) paling tidak terjadi dalam enam bidang besar. Demografi, sistem stratifikasi, sistem pendidikan, sistem keluarga, sistem nilai, serta sikap dan kepribadian. Dalam bidang demografi terjadi perubahan mencakup pertumbuhan dan perpindahan penduduk dari pedesaan ke perkotaan. Dalam masyarakat tradisional di pedesaan 70% atau lebih penduduk terlibat dalam sektor pertanian. Akan tetapi dalam masyarakat modern adalah masyarakat perkotaan atau masyarakat industri penduduk lebih banyak menekuni sektor industri. Selain itu, terjadi revolusi angka kematian dan usia rata-rata harapan hidup meningkat dari 45 tahun pada tahun 1930 menjadi 60 tahun pada tahun 1980 (Suhanadji–Waspodo, 2004:37). Beradasarkan teori konfigurasi budaya, seperti dijelaskan Appadurai dan Strathern (Abdullah, 2006:44-45) bahwa di perkotaan akan terjadi pengelompokan baru dengan orang-orang yang berbeda; terjadi redefinisi sejarah kehidupan seseorang karena ada fase kehidupan baru yang terbentuk; dan terjadi proses pemberian makna baru bagi diri seseorang yang menyebabkan ia mendefenisikan kembali identitas kultural dirinya dan asal-usulnya.
Apabila sebagian besar penduduk desa yang pindah ke kota hanya mengejar kesejahteraan tanpa keahlian, keterampilan, dan etos kerja yang memadai maka dapat diduga bahwa sebagian dari masyarakat kota terdiri atas orang-orang yang memiliki nafsu besar-tenaga kurang. Kenyataan ini sebagaimana ditunjukkan oleh fenomena tingginya tingkat angka pengangguran, gelandangan, dan pengemis, juga kesibukan yang ditampilkan oleh Dinas Trantib di kota-kota besar. Ini permasalahan mendasar bagi perkotaan yang pada gilirannya memicu munculnya permasalahan ikutan yang tidak lebih ringan daripada sumbernya. Rupanya, bukan setiap penambahan pekerja merupakan berkah atau anugerah bagi kota, tetapi pekerja yang memiliki nafsu besar-tenaga kurang dapat menjadi pekerjaan rumah bagi para pengurus kota. Meskipun urbanisasi tidak selalu berarti modernisasi, namun menurut Suhanadji–Waspodo (2004:42) bahwa proses modernisasi selalu diikuti dengan meningkatnya jumlah penduduk kota di manapun proses modernisasi itu terjadi.
Berkaitan dengan kondisi ini dan untuk menekan urbanisasi, Brata Siwaratri mungkin dapat dijadikan panduan antisipasi, yakni pembangunan wilayah pedesaan sesuai dengan situasi dan kondisi yang menyertainya. Semangat pembangunan, baik wilayah perkotaan maupun pedesaan diposisikan sama dan sejajar sehingga orientasi kehidupan masyarakat pedesaan tidak selalu mengarah pada gemerlapnya kehidupan perkotaan. Pengertian “sama dan sejajar” dalam semangat Brata Siwaratri bahwa pembangunan bukan semata-mata dimaknai sebagai kemajuan dalam arti ekonomis, yakni hanya berkaitan dengan kesejahteraan dalam arti material, tetapi juga dalam arti batin. Dalam arti yang terakhir ini mengandaikan bahwa kesejahteraan material diposisikan menjadi instrumen bagi tercapainya kesejahteraan batin dan karenanya dapat dipahami materi itu hanyalah alat dan bukan tujuan. Sebaliknya, apabila materi yang menjadi tujuan maka aktor-aktor dan agen-agen pembangunan disebut hipokrit, sebagaimana dikatakan oleh Krishna bahwa “Ia yang duduk mengendalikan panca inderanya, tetapi pikirannya ingat kenikmatan yang menjadi objek inderanya, sesungguhnya ia adalah hipokrit (orang munafik)” (Bhagavad Gita, III:6). Dalam kategori ini ialah ia yang berbicara tentang kebijaksanaan, tetapi berbuat sebaliknya. Ia yang berkata-kata tentang kesejahteraan batin, tetapi lebih mengusahakan dan mengutamakan kesejahteraan material. Pada akhirnya ia yang munafik adalah ia yang menganiaya diri sendiri.
Demikian juga mengenai usia harapan hidup yang pada masa kini mencapai 60 tahun merupakan gambaran tentang masyarakat perkotaan dalam rupa-rupa purna kehidupan. Ketika kehidupan menyisakan purna-purna karena usia membatasi produktivitas maka patut disadari ternyata kehidupan sama sekali tidak menyisakan kebutuhan. Ini berarti usia secara siginifikan berpengaruh terhadap kemampuan berproduksi, tetapi berlaku sebaliknya terhadap kebutuhan. Malahan kebutuhan berkembang sejalan dengan perkembangan usia fisikal dan usia mental, sebagaimana digambarkan Maslow dari kebutuhan biologis hingga aktualisasi diri. Mengendalikan kebutuhan yang semata-mata berdasarkan nafsu-selera merupakan ciri unik dan khas kematangan manusia dewasa. Dalam rangka ini upawasa, kebiasaan mengendalikan nafsu makan menemukan relevansinya. Kebiasaan berpuasa dapat menjadi instrumen pengendali nafsu-nafsu selera di tengah-tengah gemerlapnya kemewahan barang-barang produksi yang memang menggiurkan secara inderawi. Kebahagiaan yang ditawarkan industri komsumsi menurut Atmadja (2007:10) ternyata kebahagiaan semu karena ternyata membuat manusia semakin tergantung pada benda-benda (kepemilikan) dan menghilangkan nilai pada dirinya sendiri.
Ini berarti orientasi yang kuat pada pengembangan rasio kebudayaan Barat rupanya, secara bersamaan bercirikan pengutamaan pada pencapaian kepuasan nafsu-selera berupa kebahagiaan kebendaan. Kedua ciri ini berkaitan erat dan secara bersama-sama keduanya menjadi motor pendorong dinamika kehidupan yang tampak gemerlap. Jikalau perkembangan penalaran mereka membawa kemajuan-kemajuan yang pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi maka orientasi yang kuat untuk mencapai kebahagiaan kebendaan telah mendorong mereka untuk memakai hasil-hasil penalaran itu untuk mengembangkan perekonomian dan perindustrian termasuk industri persenjataan. Akan tetapi rupanya, pemuasan terhadap nafsu-selera dalam pencapaian kebahagiaan kebendaaan, apabila tidak ada kemampuan diri untuk mengendalikannya maka tidak mengenal batas. Hal ini mudah mengundang orang berperingai tamak dan rakus, yang bisa menjurus pada kemabukan akan kenikmatan-kepemilikan dan kebingungan sehingga pada gilirannya bisa menjurus pada lahirnya tingkah laku yang tidak sehat, tidak bermoral, dan tidak terpuji. Itulah kiranya yang menyebabkan orang-orang Barat memperkosa dengan semena-mena kemerdekaan bangsa-bangsa yang berhasil ditakklukannya, menindas dan menghisap mereka secara tidak berperikemanusiaan (Alfian, 1980:39--40). Patut disadari tidak ada kebahagiaan sejati dalam tindakan penindasan dan penghisapan.
Brata Siwaratri: upawasa, monabrata, dan jagrabrata mengembalikan kebahagiaan semu menjadi kebahagiaan sejati, jikalau mau menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari. Upawasa misalnya, menunjukkan jalan untuk memahami sad ripu, yaitu enam musuh di dalam diri atau enam sumber kehancuran diri. Upawasa memberikan pemahaman benar tentang nafsu-selera melalui pengembangan wiweka (kemampuan membedakan) bahwa objek-objek inderawi itu hanyalah materi yang bersifat relatif. Yang bersifat relatif itu hanyalah kesementaraan, juga termasuk kesenangan yang diberikan hanyalah kesemuan. Pengalaman menunjukkan bahwa kesenangan itu datang dan pergi berdasarkan kesesuaiannya atau ketidaksesusiannya dengan nafsu-selera. Pemahaman ini mengarahkan pengertian pada kesadaran bahwa nafsu-selera yang terpenuhi akan menimbulkan kesenangan; dan kesenangan ini menyebabkan keserakahan (kelobhaan). Walaupun terpenuhi, keserakahan senantiasa menimbulkan rasa kekurangan; dari rasa kekurangan memunculkan usaha pemenuhan yang membabi-buta dan memabukan (mada); dan dari kemabukan ini timbullah kebingungan (moha). Sebaliknya, apabila nafsu-selera tidak terpenuhi maka akan menimbulkan kemarahan (krodha); dari kemarahan hilanglah akal sehat yang menyebabkan melemahnya daya beda sehingga menimbulkan kedengkian (irsya); dan dari kedengkian menimbulkan kebingungan (moha). Dengan demikian, nafsu-selera itu, baik terpenuhi maupun tidak, pada gilirannya berakhir pada kebingungan. Kebingungan itu menyebabkan melemahnya kemampuan melakukan pilihan dalam jamaknya nilai dan norma kehidupan. Akhirnya kebingungan menyebabkan ketersesatan dan ketersesatan menyebabkan nafsu-selera tidak pernah mencapai tujuannya. Ini sebabnya pemuasan nafsu-selera berdasarkan objek-objek yang bersifat inderawi dan duniawi adalah kebahagiaan semu.
Ketika nafsu-selera disertai dengan kecenderungan rendahnya kemampuan pemenuhan maka dorongan penikmatan dan kepemilikan dapat menjadi kekuatan yang tak terbatas bagi pengingkaran norma-norma dan nilai-nilai moral. Modernisasi dan industrialisasi yang pada dasarnya merupakan penerapan pengetahuan ilmiah dalam segi-segi kehidupan, ternyata secara sistematis menumpulkan ketajaman mata hati. Pembutaan nurani ini justru antiproduktif terhadap tujuan-tujuan modernisasi dan industrialisasi itu sendiri. Semula memang untuk meningkatkan kesejahteraan, tetapi yang terjadi justru menciptakan kemiskinan. Pengendalian dampak modernisasi dan industrialisasi ini membutuhkan kematangan dalam pengenalan dan pemahaman serta penyesuaian diri, yakni cara khas orang dewasa menjalankan kehidupannya. Pada kenyataannya, menurut Atmadja (2007:10) bukan kebutuhan yang menentukan proses produksi, tetapi kebutuhan itu sendiri diciptakan, agar hasil-hasil produksi bisa laku. Perkembangan teknologi ternyata menuruti hukum-hukumnya sendiri dan lepas dari kontrol manusia.
Di sini upawasa, tidak makan sembarangan dan hanya mengkonsumsi makanan yang menyehatkan dapat dijadikan strategi membatasi kebutuhan atau setidak-tidaknya dapat digunakan untuk menentukan prioritas kebutuhan. Sehat dan bugar merupakan kebutuhan dasar manusia dan makanan menjadi salah satu unsur penting dan menentukan. Pengendalian nafsu makan sesuai dengan kebutuhan tubuh merupakan inti dari pengendalian diri, selain pengendalian kebutuhan seksualitas. Jika perilaku makan tidak dikendalikan ke arah kesehatan dan kebugaran, perilaku ini hanya mengikatkan derita bagi diri sendiri dan otomatis dapat mengakibatkan derita bagi sesama. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa seseorang disebut berkebudayaan, jika senantiasa mampu melakukan pembatasan diri dan menjalani kehidupannya menurut azas kecukupan, bukan malahan menuruti keinginan. Keinginan demi keinginan menyebabkan keserakahan dan sifat serakah tentu bukan peradaban manusia.
Pentingnya pengendalian nafsu makan dengan tidak mengkonsumsi makanan yang sembarangan juga berkaitan langsung dengan produksi-produksi baru. Mengingat dengan tidak makan sembarangan berarti pengendalian terhadap kebutuhan; kebutuhan yang terkendalikan berarti menekan kemunculan kebutuhan-kebutuhan baru; berkurangnya kebutuhan berarti tidak mendorong munculnya produksi baru; dan berkurangnya produksi baru berarti berkurangnya objek nafsu-selera. Pada gilirannya upawasa dapat menjadikan orang selalu matang dalam mengenal objek-objek inderawi dan mengatasi nafsu-seleranya. Dengannya, orang terhindar dari pengaruh negatif proses modernisasi dan industrialisasi.
Sementara itu, perubahan yang terjadi pada sistem stratifikasi sosial menurut Tumin (Suhanadji–Waspodo, 2004:38) meliputi sembilan jenis perubahan ketika masyarakat bergerak menuju industrialisasi. Sembilan jenis perubahan itu, antara lain sebagai berikut.
(1) Pembagian pekerjaan menjadi sangat kompleks bersamaan dengan meningkatnya jumlah spesialisasi.
(2) Status seseorang lebih banyak didasarkan atas prestasi sebagai pegganti status berdasarkan asal-usul keturunan (ascription).
(3) Peranan alat untuk mengukur pelaksanaan pekerjaan dari orang yang terlibat dalam proses produksi menjadi begitu penting.
(4) Peranan pekerjaan bergeser dari kegiatan yang memberikan kepuasan batin telah bergeser untuk meningkatkan kesejahteraan.
(5) Ganjaran atau upah yang disediakan untuk didistribusikan kepada pekerja semakin meningkat.
(6) Ganjaran didistribusikan berdasarkan prinsip keadilan karena profesi pekerjaan yang bervariasi.
(7) Terjadinya pergeseran dalam peluang hidup di berbagai strata sosial.
(8) Terjadinya pergeseran dalam distribusi gengsi sosial, meskipun keuntungan menjadi masyarakat modern masih menjadi tanda tanya.
(9) Terjadinya pergeseran dalam distribusi kekuasaan.

Gambaran ini menunjukkan bahwa perkotaan adalah lapangan persaingan dan perlombaan yang sangat ketat antara kelompok ekonomi dan kelompok sosial. Hal ini seperti digambarkan Abdullah (2006) dalam Produksi dan Reproduksi Kebudayaan. Memperhatikan cara-cara masyarakat menggunakan barang menyebabkan kota tidak lebih merupakan consummer space yang diharapkan mampu memuaskan kebutuhan kelas menengah baru. Abdullah (2006:33) menyebutkan dua proses yang menandai transformasi sosial perkotaan, yaitu proses konsumsi simbolis dan transformasi estetis. Proses konsumsi simbolis merupakan tanda penting dari pembentukan gaya hidup, di mana nilai-nilai simbolis dari suatu produk dan praktik mendapat penekanan yang lebih besar dibandingkan dengan nilai-nilai keguanaan dan fungsional. Kelas sosial telah membedakan proses konsumsi, di mana setiap kelas menunjukkan proses identifikasi berbeda; barang yang dikonsumsi telah menjadi wakil kehadiran; dan komsumsi citra (image) di satu pihak telah menjadi proses konsumsi sehingga praktik merupakan alat ekspresi diri bagi kelompok. Proses konsumsi simbolis ini juga menegaskan kecenderungan estetisasi dalam kehidupan kelas menengah, yakni nilai-nilai etis mulai kehilangan kekuatan dalam menggerakkan kehidupan. Kehidupan di perkotaan telah menjadi proses seni yang bertumpu pada the work of art; estetisasi menegaskan proses-proses individualisasi dalam sistem nilai dan nilai tambah; dan relativisme nilai yang menciptakan proses individualisasi menegaskan munculnya kekuatan baru dalam mendorong proses transformasi sosial dan budaya secara luas.
“Human lost”, ‘manusia yang hilang’. Ini kata yang mungkin tepat dikenakan bagi manusia yang telah kehilangan kemanusiannya dalam proses modernisasi dan industrialisasi. Dalam modernitas ternyata produktivitas menjadi satu-satunya cara untuk mengukuhkan status sosial individu di tengah-tengah masyarakat. Produktivitas – kinerja dan hasil kerja – menentukan derajat kemungkinan perolehan peluang untuk mendapatkan alat pemuas nafsu dan selera, yakni uang dan kekuasaan. Oleh karena itu berbagai cara yang dapat meningkatkan produktivitas pun dilakukan. Mulai dari peningkatan prestasi melalui penguasaan terhadap pengetahuan ilmiah dan teknologi sesuai dengan bidang profesi. Malahan cara-cara hegemonik mendekati orang yang dipandang dapat mengantarkannya pada status yang diinginkan juga tidak ditabukan. Kolusi, korupsi, nepotisme, dan sejenisnya pun pada gilirannya tidak dapat dihindari. Cara bajik atau picik itu sama saja, sejauh dimaksudkan meraih uang, kekuasaan, dan alat pemuas lainnya. Halal dan haram bukan lagi menjadi ukuran karena yang haram pun sudah mulai diperebutkan sehingga kata “halal” hanya menjadi label-legitimasi. Demi kepuasan nafsu-selera, ternyata manusia yang sedang mengalami proses modernisasi dan industrialisasi telah mengaburkan batas baik-buruk, benar-salah, beradab-biadab. Untuk memperjelas batas-batas itu diperlukan pengendalian pikiran, ucapan, dan tindakan dalam koridor moralitas, sebagaimana sangat dianjurkan dalam Brata Siwaratri.
Moral dan kemanusiaan rupanya, bukan lagi menjadi ukuran penting dalam penentuan status sosial karena kehadiran seseorang di tengah-tengah masyarakat lebih ditentukan oleh citra yang dibangun melalui profesinya. Demikian juga citra diri yang dibangun melalui cara, jenis, dan tingkat konsumsi sangat menentukan status sosial. Ini berarti di samping prestasi dalam profesi, juga gaya hidup menentukan status dan peran individu dalam longgarnya praktik-praktik sosial. Individu tidak lagi mendapat pengakuan karena eksistensinya di tengah-tengah masyarakat, melainkan lebih berdasarkan partisipasinya yang didasarkan pada spesialisasi dalam profesi. Orang ditakar-ukur berdasarkan jabatannya dalam dunia kerja. Artinya, status sosial erat kaitannya dengan kekuasaan, fasilitas, dan imbalan secara material. Ini menyiratkan orientasi masyarakat tentang kerja lebih menekankan pada pentingnya kemakmuran semata-mata. Makna kerja sebagaimana diajarkan Bhagavad Gita bahwa kerja adalah yadnya telah bergeser pada sesuatu yang berada di luar hakikat kerja itu sendiri. Kerja semata-mata menjadi urusan mulut-perut; dan ini berarti kerja adalah budak nafsu-selera. Bekerja menurut Atmadja (2007:10), bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan diri, melainkan merupakan keterpaksaan untuk memenuhi kebutuhan yang diciptakan. Dengan demikian manusia menjadi makhluk malang yang menganiaya diri sendiri karena diperbudak nafsu-seleranya.
Kerja dalam makna perburuan materi telah memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi individu dalam memainkan dunia sosialnya. Relasi sosial dibangun tak lebih dari sekadar alat untuk mengkomunikasikan berbagai kepentingan dalam koridor untung-rugi. Tentu saja keuntungan (ganjaran) lebih menjadi pertimbangan pilihan daripada kerugian (hukuman). Berbicara dengan manusia maya di internet misalnya, menjadi lebih penting daripada dengan tetangga yang merintih-kesakitan karena kelaparan. Pertimbangannya rasional, pembicaraan dalam internet berpotensi mendatangkan keuntungan sebaliknya, dengan tetangga yang sakit hanya membuang-buang waktu dan itu berarti kerugian. Intensitas komunikasi telah berubah karena pertimbangan untung-rugi dalam arti materi semata-mata. Model komunikasi seperti ini yang dilandasi oleh efesiensi berupa kecepatan dan ketepatan sasaran tanpa perdulikan arti dan maknanya. Komunikasi menjadi kering karena arti dan maknanya telah direbut dan dibawa pergi sang materi. Tandanya, komunikasi terjadi dalam paket hemat dalam ketergesa-gesaan. Ini menjadikan sang komunikator sebagai penguasa kikir. Yang berpikiran jernih tentu akan sepakat mengatakan bahwa mereka memerlukan pemahaman yang lebih mendalam tentang konsep punya, yaitu keiklasan memberi. Betapa indahnya hidup dalam saling memberi dan berterima – ‘kasih’.
Kasih menjadi dasar komitmen dan tujuan tindakan sangat dianjurkan dalam Brata Siwaratri. Kasih merupakan tali-temali yang mengikat erat komunikasi penuh pengertian yang menyatakan keberadaan manusia di antara sesama dan makhluk lainnya. Kasih menciptakan komunikasi yang terlalu jauh dari perkataan bohong, fitnah, keji, kasar, dan kemunafikan karena monabrata mengajarkan mengatakan sesuatu yang menyenangkan diri sendiri dan membahagiaan orang lain. Jagrabrata mendorong kesadaran manusia kepada puncaknya untuk berlaku tidak semena-mena terhadap sesama dan selalu memberikan perhatian penuh pada setiap kehidupan sehingga kesadaran selalu hadir pada setiap kesempatan. Di dalamnya upawasa memberikan landasan untuk tidak mementingkan diri sendiri dan tiadanya pamrih pribadi dalam setiap tindakan. Dengan demikian pengetahuan ilmiah, widya-wiweka (habitus) dengan sendirinya memaknai setiap kondisi sosial (habitat) sejalan dengan amanah tindakan (habit). Mengingat, baik habitus (proses persepsi sosial), habitat (kondisi sosial) maupun habit (kebiasaan bertindak) telah berada dalam lingkup kasih bersama brata siwaratri. Dengannya, pengaruh negatif perkembangan teknologi informasi dan komunikasi pada era global dapat dihindari.
Peranan teknologi komunikasi telah memudahkan perburuan material pada satu sisi, ternyata mendorong munculnya kerawanan kanibalisme budaya pada sisi lain. Misalnya, internet telah menjadi sarana efektif tawar-menawar barang kerajinan bagi pengusaha ekspor-impor sebaliknya, sarana ini mematikan pedagang-pedagang yang memajang barang dagangannya di pasar-pasar seni tradisional. Pembunuhan karakter seseorang, juga dengan mudah dilakukan melalui layar internet misalnya, memanipulasi wajah dengan mengubah wajah seorang tokoh penting dunia industri (penguasa dan pengusaha) dengan wajah bintang film porno. Malahan pesan singkat dalam hand-phone belakangan diketahui memiliki akses langsung bagi keretakkan dan kelantakkan rumah tangga para pemuja modernis-industris. Ini menunjukkan bahwa komunikasi bukan saja memberikan kemudahan berburu materi, tetapi juga menjadi penghancur kemanusiaan dan moralitas. Rupanya, di mana ada kemudahan, di situ pula ada kesukaran. Di mana tempat penuh tipu muslihat, di situ kemunafikan banyak diterima, dan kejujuran terpinggirkan. Di sini diperlukan pikiran, perkataan, dan tindakan bajik sebagaimana Brata Siwaratri mengajarkannya. Dengannya, moral dan kemanusiaan tetap berjalan sesuai dengan sejarahnya.
Sejarah kemanusiaan menurut Radhakrishnan (2003:1), bukanlah serangkaian kejadian sekuler tanpa bingkai dan bentuk, tetapi ia adalah proses pemaknaan suatu perkembangan signifikan. Perselisihan dan perang, krisis ekonomi dan pergolakan politik sering kali membingungkan mereka yang mengamati dari luar. Akan tetapi di sana, jauh di dalamnya, ditemukan drama sedemikian agung. Tegangan antara keterbatasan usaha manusia dan kekuasaan semesta. Manusia tak mungkin berhenti dalam kecarutmarutan tak terselesaikan. Dia harus mencari harmoni, berjuang keras demi penyelarasan. Serangkaian integrasi serta pembentukan harmoni yang lebih menyeluruh menandai kemajuan. Jika integrasi tertentu tidak lagi memadai, manusia akan merombak dan memperbaikinya, demi integrasi yang lebih menyeluruh. Sementara itu, peradaban selalu bergerak, periode tertentu dengan jelas mengemuka sebagai periode intens perubahan kebudayaan. Abad keenam sebelum masehi, yaitu transisi dari zaman Kuno ke Abad Pertengahan, dan Abad Pertengahan menuju zaman Modern di Eropa adalah contohnya. Meskipun demikian, ketegangan dan kegelisahan yang menjadi ciri dan menjangkiti setiap aspek kehidupan manusiawi zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan dua periode tersebut. Saat ini, manusia seakan-akan merasa bahwa akhir dari suatu periode peradaban sedang merambat di depan mata.
Kegelisahan moralitas dan kemanusiaan yang digambarkan Radhakrishnan di atas pada dasarnya merupakan suatu dialog agung antara kebudayaan dan kealaman karena pengetahuan dan teknologi telah memasang jarak perang antara manusia dan alam. Rasionalitas menjadi landasan pengembangan dunia ilmu telah menciptakan teknologi yang sarat dengan muatan bagi pencapaian kemakmuran. Pengetahuan dan teknologi telah menjadi sekadar alat pemuas nafsu-selera dan karenanya alam hanyalah objek yang patut dieksploitasi demi nafsu-selera itu. Pengetahuan dan teknologi begitu intens mempersatukan warga dunia menjadi satu komunitas yang saling berkaitan dan bergantung dalam suatu sistem sosial-budaya. Ekonomi dan politik begitu erat saling tergantung dalam suatu sistem dunia yang holistik. Apabila salah satu unsur saja, baik ekonomi maupun politik yang lepas dari sistem dunia itu maka akan menimbulkan tegangan-tegangan dalam aspek-aspek kehidupan secara meluas sehingga ras dan suku selalu menjadi bagian integralnya.
Berkaitan dengan itu Radhakrishnan (2003:3-5) mengatakan bahwa untuk pertama kali dalam sejarah planet manusia, warga dunia menjadi satu kesatuan, masing-masing dan setiap bagian saling dipengaruhi oleh berbagai peluang satu dengan yang lain. Ilmu pengetahuan dan teknologi, tanpa bermaksud menuju ke arahnya, telah mencapai kesatuan. Fenomena politik dan ekonomi secara bertahap memaksa manusia untuk wajib memperlakukan dunia sebagai satu unit. Mata uang saling kait-mengkait, komersialisasi secara internasional, serta peluang-peluang politik saling bergantung. Sementara itu, pandangan bahwa umat manusia seharusnya menjadi satu komunitas, masih merupakan sekilas ide dadakan, suatu aspirasi samar-samar, tidak secara umum diterima sebagai suatu kesadaran ideal atau desakan kebutuhan praktis yang mengerakkan manusia untuk merasakan bagian dari martabat warga negara biasa dan sebagai panggilan kewajiban umum. Sementara itu, mencoba untuk menciptakan kesatuan manusiawi melalui perangkat mekanis, perbaikan politik, terbukti gagal. Bukan dengan cara itu, bukan dengan satu cara itu saja, persatuan umat manusia dapat tercapai secara abadi.
Globalisasi ataupun modernisasi memang telah terbukti bukan cara yang tepat dan satu-satunya untuk mencapai persatuan umat manusia karena perubahan yang dihasilkan memunculkan pelapisan sosial yang menjadi sekat-sekat sosial baru. Pelapisan dan sekat-sekat sosial ini tampak jelas dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Dalam dunia kerja misalnya, ditandai dengan munculnya serikat-serikat pekerja. Ini merupakan cermin pertarungan profesi untuk memperebutkan status prawira di antara serikat-serikat sejenis. Spesialisasi telah menciptakan profesi yang lebih tinggi dan bergengsi. Sebaliknya, juga terdapat perebutan gengsi di antara profesi yang lebih rendah, walaupun profesi pada tataran ini bukan menjadi pilihan pertama. Misalnya, dalam masyarakat terlalu biasa berlangsung obrolan ringan, “oh si Wayan itu staf saya di kantor” atau sebaliknya, “bapak Wayan itu atasan langsung saya di kantor”. Obrolan ringan ini tidak jarang menjadi faktor kuat yang mendorong seseorang menjadi “staf” atau “atasan” pada sebuah kantor. Kata “kantor” dengan demikian, baik langsung maupun tidak, telah berhasil menciptakan citra yang memikat dalam masyarakat.
Akibatnya, selera menjadi petani semakin jauh dari cita-cita sehingga sektor ini semakin tertinggal dan tidak populer serta ketinggalan zaman. Artinya, perubahan sosial yang disebabkan oleh pembangunan, identitas yang melekat pada modernisasi telah meninggalkan sektor pertanian dalam ruang keterpurukan. Sektor industri dan jasa telah menggesernya hingga nyaris tak dikenal lagi. Padahal sektor industri sama sekali belum menemukan suatu jalan memproduksi barang-barang sebagaimana yang dihasilkan dalam sektor pertanian. Meskipun begitu, kesuburan tanah sawah, ladang, dan perkebunan bukan jaminan bagi kemakmuran karena urusan perut pun harus diimpor dari negeri tetangga. Ini dampak mengejar kemajuan yang memerlukan penanganan dini, jika tidak ingin boros dan/atau kelaparan.
Selain terhadap sistem stratifikasi sosial, juga proses modernisasi berpengaruh terhadap sistem pendidikan. Menurut Suhanadji–Waspodo (2004:40) dalam sistem pendidikan ternyata proses modernisasi membawa perubahan mencakup kuantitatif dan kualitatif. Yang menonjol dalam cakupan kuantitatif terjadinya peningkatan jumlah peserta didik setiap tahun. Konsekuensinya menuntut lembaga pendidikan dalam jumlah yang lebih besar dan variatif, penambahan tanaga guru dan pegawai, sarana dan prasarana pendidikan, dan pengelolaan organisasi pendidikan yang lebih kompleks. Sebaliknya, dalam cakupan kualitatif lebih disebabkan oleh pembagian kerja yang semakin kompleks sehingga memerlukan sistem pendidikan formal untuk menyiapkan tenaga kerja profesional. Konsekuensinya adalah kurikulum pendidikan mengalami perubahan sejalan dengan tuntutan kemajuan zaman sehingga muncul kesan ganti pejabat ganti kurikulum. Penyebab tersamarnya adalah secara diam-diam telah terjadi perlombaan antara pendidikan dan bidang ekonomi serta pertarungan antara pertumbuhan ekonomi dan perluasan kebudayaan.
Berkaitan dengan pendidikan sebagai bagian integral pembangunan ekonomi, Peaslee (Suhanadji–Waspodo, 2004:40) menunjukkan tiga hubungan utama antara pendidikan dasar dan pertumbuhan ekonomi. Pertama, pendidikan merupakan media utama bagi pengembangan pendekatan rasional dan pengetahuan tentang ekonomi. Dalam hal ini pendidikan tidak lebih daripada alat bagi pertumbuhan ekonomi itu sendiri dan menjauhkan manusia dari esensi dirinya. Manusia diubah menjadi mesin produksi kesejahteraan dalam konteks material; karena kata sejahtera berarti sama dengan memiliki modal besar (khususnya uang); dan inilah ekonomi yang artinya sama dengan kesejahteraan. Kedua, pendidikan menyediakan segolongan orang yang akan menyenggarakan perekonomian. Dalam hal ini pendidikan merupakan proses yang pada gilirannya menghasilkan manusia yang memiliki kemampuan mengelola perekonomian yang semata-mata berkaitan dengan pengumpulan modal dan investasi. Ini semata-mata berkaitan dengan pertumbuhan daya beli untuk tiba pada terminal zaman komsumsi massa tinggi. Berikutnya, ketiga, sistem pendidikan itu sendiri dapat merangsang pertumbuhan ekonomi.
Pendidikan yang semata-mata berkaitan dengan ekonomi menyebabkan beban terpenting dunia pendidikan adalah melahirkan manusia ekonomi atau industri. Ini berarti dunia pendidikan melepas manusia yang semata-mata menjadi alat produksi. Ketika manusia hanyalah alat tentu ia terlalu berjarak dari dunia sosial dan budayanya karena kedua dunia ini telah berubah menjadi medan ekonomis-produktif. Proses dari barang menjadi uang dan sebaliknya, dari uang menjadi barang merupakan menu utama kurikulum pendidikan karena menciptaan keuntungan materi menjadi bagian integralnya. Dari sini bermula lahirnya manusia berpikir untung-rugi dalam ketatnya skala perhitungan angka yang selanjutnya, dinyatakan sebagai tingkat kesejahteraan, bahkan kemakmuran. Pengertian angka-angka telah menjadikan pemahaman tentang kehidupan menjadi serba terbatas dalam formalitas hitungan-hitungan. Kemudian, hasil perhitungan angka-angka ini dinyatakan menjadi indeks mutu hidup. Pada tataran ini, manisnya kehidupan tidak berbeda dengan manisnya sebiji permen karet.
Sehubungan dengan itu, upawasa bisa mengembalikan manisnya kehidupan manusiawi yang maknanya telah dinominalkan dalam modernisasi dan industrialisasi dengan skala perhitungan angka-angka. Sampai batas tertentu memang angka-angka memiliki peranan penting, tetapi ketika tiba pada pemahaman manusiawi, ternyata angka bukan lagi menjadi alat ukur terbaik. Kehidupan manusia bukan semata-mata kuantitatif, yang terbatas hanya hitung-menghitung, melainkan juga kualitatif, bahkan mungkin sifat ini yang dominan. Kenyataannya, masyarakat bukanlah penjumlahan individu-individu yang tanpa ikatan. Sponville (2007:23) mengatakan, sebuah bangsa adalah sebuah komunitas dan tidak pernah terdapat komunitas ataupun masyarakat yang tanpa ikatan, tanpa komune. Komune berarti berbagi tanpa membagi. Gagasan ini tentu tidak mungkin diterapkan pada hal-hal yang bersisfat materi dan kuantitatif yang lebih mengandalan perhitungan angka-angka.
Misalnya, dalam sebuah keluarga atau sekelompok sahabat, mereka menjalin komune dalam kegembiraan menyantap pepesan lele bersama-sama. Mereka berbagi kebahagiaan yang sama tanpa harus membaginya. Apabila tiga orang sahabat berbagi pepesan lele maka mereka menikmati seakan-akan masing-masing menyantapnya untuk diri sendiri. Terlebih-lebih kebahagiaan setiap orang dalam kelompok sahabat itu justru terletak pada keikutsertaannya merasakan kenikmatan yang diperoleh rekan lainnya. Perut mereka masing-masing memang menerima porsi yang mungkin lebih kecil, namun kesenangan mental mereka bertambah justru karena caranya berbagi. Inilah pentingnya menjalin komune pikiran berdasarkan upawasa karena hanya pikiran yang tahu caranya berbagi tanpa membagi. Hanya makanan satwika yang dapat membantu perkembangan pikiran untuk tidak mementingkan kesenangan diri sendiri. Apabila pikiran tidak memetingkan diri sendiri maka rasa memiliki dan kohesi berjalan beriringan. Kategak dan/atau magibung dalam tradisi Bali misalnya, merupakan komune yang dibangun dan ditata berdasarkan spirit upawasa dalam masyarakat adat melalui dadia, banjar, dan desa pakraman. Sponville (2007:23) menegaskan inilah yang disebut budaya atau peradaban. Tanpanya tidak akan ada bangsa, yang ada hanyalah individu-individu; dan tidak akan ada masyarakat, yang ada hanyalah massa dan perebutan kekuasaan.
Perubahan dalam sistem keluarga sebagai akibat dari proses modernisasi dan industrialisasi adalah pergeseran dari kawasan pendesaan ke kawasan urban. Pergeseran ini dapat meningkatkan ketegangan antaranggota keluarga besar karena tipe keluarga kecil menjadi model keluarga modern (Suhanadji-Waspodo, 2004:33). Masyarakat Hindu di Bali misalnya, telah kehilangan Nyoman atau Nengah dan Ketut – istilah untuk menyebutkan dan menunjukkan urutan anak yang ketiga dan keempat dalam tradisi keluarga Hindu – karena menjadi keluarga modern dengan “dua anak cukup” telah terbukti seiring dengan keberhasilan Keluarga Berencana. Malahan agar dipandang modern atau mungkin alasan lainnya, sebutan dengan nama bernuansa Bali dipandang usang sehingga nyaris punah. Misalnya, I Nyoman Toya ditulis Toya menjadi Toyo; atau I Ketut Suryana ditulis Suryana menjadi Suryono. Apabila ditelusuri lebih jauh, menurut teman-teman yang pernah menjadi teman kuliahnya di luar Bali maka ditemukan, ternyata mereka telah kecantol pada gadis yang bukan Bali dan profesi bergengsi di luar Bali. Rupanya identitas tidak begitu penting dalam masyarakat yang sedang mengalami proses modernisasi, bahkan identitas baru selalu tercipta seturut dengan mobilitas orang, otonomi sosial, dan deferensiasi budaya yang berlangsung dalam dunia tanpa batas.
Perubahan lainnya dalam kehidupan keluarga yang terlihat secara universal adalah pemindahan sebagian besar fungsi keluarga kepada unit-unit sosial lainnya, seperti pemerintah, sekolah, dan badan-badan usaha (Suhanadji-Waspodo, 2004:33). Sampah misalnya, merupakan fungsi keluarga yang diserahkan kepada pemerintah, karena itu retribusi menjadi tambahan beban ekonomi keluarga. Slogan, “orang bijak taat bayar pajak” sejalan dengan logika pemberdayaan masyarakat. Asalkan patuh pada pajak maka pembangunan terus bergulir dan ini berarti masyarakat sejahtera. Kendatipun pasilitas publik bukan sesuatu yang disediakan secara cuma-cuma, tetapi masyarakat menikmatinya dalam kegirangan, seakan-akan mereka tidak turut serta dalam penyediaan pasilitas itu. Pembangunanisasi yang melekat dalam modernisasi tanpa disadari telah menjadi bagian integral dalam penciptakan kenikmatan inderawi ternyata berlangsung di luar kesadaran. Berdirinya super-market atau mall-mall di kota misalnya, telah menjadi kebanggaan warga kota, tetapi di balik kebanggan itu tanpa disadari mereka telah “dididik” menjadi masyarakat konsumtif. Menahan diri, agar tidak tergoda oleh indahnya pameran barang-barang industri dalam super-market atau mall-mall merupakan anjuran dari upawasa. Menjaga dan memelihara pasilitas publik, juga menjadi bagian penting dari anjuran tersebut.
Demikian juga sekolah telah menjadi satuan pendidikan yang kharismatik, bahkan melebihi wibawa keluarga sehingga anak-anak memiliki satu kebenaran sebagaimana sekolah mengajarkannya. Sekolah nyaris berhasil mencetak manusia yang seragam dalam pikiran, perkataan, dan tindakan. Sejak kehadirannya di sekolah, murid-murid melalui berbagai regulasi, seperti tata tertib dan otoritas guru merupakan keharusan bagi munculnya perilaku yang sekurang-kurangnya sama seperti pakaian seragamnya (Budingsih, 2005). Malahan Mujiran (2003:1 dan 13) mempertanyakan bahwa pendidikan menciptakan masyarakat demokrasi dan hilangnya pendidikan keteladan. Sistem evaluasi pendidikan dan penentuan pretasi belajar yang hanya berdasarkan perolehan hasil ulangan atau ujian tanpa memperhatikan prosesnya merupakan satu kelemahan. Orang tua murid ataupun guru lebih bangga ketika anaknya memperoleh nilai tinggi pada mata pelajaran eksata, seperti Matematika, Fisika, dan Ilmu Pengetahuan Alam daripada Pendidikan Moral dan Agama menjadi penyebab menurunnya akhlak dan budi pekerti generasi muda.
Sekolah menurut Tilaar (2003:147) merupakan sentral dunia pendidikan telah menjadikan murid-murid bersikap statis dan apatis terhadap perubahan sosial yang berlangsung sangat cepat. Lebih lanjut, Tilaar menegaskan bahwa masyarakat modern mengalami akselerasi perubahan sosial yang sering kali tidak dapat diikuti oleh individu sehingga terjadi proses alienasi. Dunia pendidikan ketinggalan karena pendidikan semata-mata merupakan suatu proses transmisi kebudayaan yang bersifat menetap. Berdasarkan kenyataan ini, Tilaar (2003:149) menawarkan sekolah masa depan (school for the future) yang berbeda dalam visi dan misinya dalam masyarakat modern. Sekolah berwawasan masa depan dimaksudkan hendak mengantisifasi perubahan sosial melalui mempersiapkan warga masyarakat sesuai dengan perubahan sosial tersebut. Pandangan ini menunjukkan bahwa perlombaan antara sekolah dan zaman selalu dimenangkan oleh perubahan zaman sehingga sekolah dituntut melakukan perubahan yang lebih cepat. Cepatnya perubahan ini ditandai dengan gaya hidup yang lebih menekankan pada instanisasi dalam berbagai aspek kehidupan.
Selain kepada sekolah, juga keluarga menyerahkan sebagian fungsinya kepada badan-badan usaha, seperti bank-bank dan koperasi. Badan-badan ini menyatakan diri menjadi alat penyimpan dan pengelola kesejahteraan yang andal sehingga masyarakat merasa terjamin keamanan dan kenyamanan masa depannya. Orang merasa modern dengan PIN-PIN (Personal Identity Number) A.T.M (Anjungan Tunai Mandiri) dan Credit Card (Kartu Kredit) daripada celengan. Jineng (lumbung), yakni tempat penyimpanan padi didestorsi menjadi kotak beras (Rice-Box). Dapat dibayangkan kearifan lokal, berupa upacara mantenin (Bhatara Nini) tergerus arus modernisasi dan industrialisasi. Apabila upacara mantenin dipandang sebagai suatu cara untuk mengecek persediaan pangan hingga masa panen berikutnya, sebagaimana makanan merupakan kebutuhan primer dalam masyarakat tradisional maka seolah-olah masyarakat masa kini tidak perduli terhadap persediaan makanan. Sepertinya tidak ada kesempatan, kapan makanan dan masa depan patut dirisaukan. Ini mungkin karena bidang industri jasa yang selalu berkaitan dengan uang, begitu sublim memainkan perannya dalam menyediakan berbagai kemudahan. Dalam hal ini uang telah berhasil mengumbar pesonanya sehingga uang bukan lagi semata-mata sebagai alat, melainkan menjadi tujuan. Perubahan fungsi uang ini berimplikasi terhadap aspek-aspek kehidupan secara luas dan masyarakat dengan suka-cita menikmatinya tidak lebih dari sekadar kata “sejahtera”.
Modernisasi dan industrialisasi juga menimbulkan perubahan besar dalam bidang nilai, sikap, dan kepribadian yang sering diwujudkan dalam konsep manusia modern. Menurut Lauer (2003:98) manusia modern adalah orang yang gemar mencari sesuatu sendiri, memiliki kebutuhan berprestasi, dan memiliki motivasi mencari sesuatu yang berbeda dari orang lain. Motivasi ini disebutnya empati, yakni kapasitas melihat diri sendiri menurut situasi orang lain. Empati juga merupakan kemampuan mengenali sesuatu yang baru dan menanggulangi kebutuhan baru. Kemampuan ini memungkinkan individu melaksanakan komitmennya terhadap modernisasi dan industrialisasi. Kemampuan berempati berdasarkan upawasa lebih diperlukan dalam menjalankan komitmen terhadap modernisasi dan industrialisasi sebagaimana peran upawasa dalam membangun komune. Upawasa terlalu jauh dari kepentingan materi karena kayika memberitahukan bahwa kualitas kehidupan berada jauh di atas segala kuantitas materi. Satwika mengajarkan, bukan karena banyaknya makanan yang dikonsumsi menyebabkan kuat dan sehat, namun lebih disebabkan oleh makanan yang berkualitas.
Kualitas hidup juga ditandai dengan kemampuan menanggulangi kebutuhan, seperti dijelaskan Inkeles (Lauer, 2003:98) dalam menggambarkan manusia modern. Jelasnya, manusia modern adalah orang yang mampu berfungsi efektif dalam sebuah bangsa yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi; mampu berpartisipasi dalam membuat keputusan politik; serta berperilaku dan keputusannya ditata berdasarkan norma rasional. Lebih rinci Inkeles (Suhanadji-Waspodo, 2004:33) menguraikan karakteristik manusia modern sebagai berikut.
(1) Terbuka terhadap pengalaman baru. Ini berarti bahwa manusia modern selalu berkeinginan untuk mencari sesuatu yang baru.
(2) Memiliki sikap untuk semakin independen terhadap berbagai bentuk otoritas tradisional, seperti orang tua, kepala suku, dan raja.
(3) Percaya terhadap ilmu pengetahuan termasuk percaya akan kemampuannya untuk menundukkan alam semesta.
(4) Memiliki orientasi mobilitas dan ambisi hidup yang tinggi dan berkehendak meniti tangga jenjang pekerjaannya.
(5) Memiliki rencana jangka panjang; merencanakan sesuatu yang jauh ke depan; mengetahui yang akan lakukan; aktif terlibat dalam percaturan politik; bergabung dengan berbagai organisasi kekeluargaan; dan berpartisipasi aktif dalam urusan masyarakat lokal.

Uraian itu menunjukkan bahwa karakteristik manusia modern yang paling mononjol adalah dominannya keinginan mencari sesuatu yang baru sehingga mampu lebih efektif, partisipasif, dan rasional. Dalam konteks ini setidak-tidaknya, upawasa menganjurkan, “hati-hati dengan keinginanmu”. Menurut upawasa keinginan mencari sesuatu yang baru itu bukan dosa, tetapi perlu disempurnakan dengan nilai-nilai kesucian karena menjadi spiritual berarti tidak menolak efektivitas, partisipasi, dan nalar, tetapi melampauinya. Dalam perspektip upawasa kehidupan itu bersifat kesucian sehingga nafsu-selera itu perlu disucikan, agar efektivitas, partisipasi, dan rasionalitas selalu inheren dalam berbagai perubahan. Mengingat aspek kepribadian terpenting dari manusia modern adalah komitmennya terhadap perubahan itu sendiri. Dengannya, baik individu maupun masyarakat tidak perlu mengalami disorganisasi sosial, demoralisasi, dehumanisasi, penyimpangan kepribadian, dan alienasi. Sebagaimana dikatakan Suhanadji-Waspodo (2004:35) bahwa modernisasi dan insdutrialisasi pada masyarakat Dunia Ketiga tampaknya memiliki kecenderungan menonjolkan akibat negatif, seperti disorganisasi sosial, demoralisasi, penyimpangan kepribadian, dan alienasi.
Dari paparan di atas dapat dipahami setidak-tidaknya terdapat beberapa faktor yang memungkinkan manusia tradisional berubah menjadi manusia modern. Faktor-faktor yang mengakibatkan manusia negara Dunia Ketiga mampu menyerap nilai dan pranata sosial modern menurut Inkeles dijelaskan sebagai berikut. Pertama, faktor pendidikan merupakan unsur yang paling efektif untuk mengubah manusia. Dampak pendidikan ternyata tiga kali lebih kuat dibandingkan dengan usaha-usaha lainnya. Kedua, pengalaman kerja dan pengenalan terhadap media massa merupakan cara efektif mengubah manusia tradisional menjadi manusia modern. Ketiga, pengalaman kerja di pabrik juga berperan besar dalam mengubah manusia tradisional menjadi modern. Artinya, manusia tradisional dapat dibentuk menjadi manusia modern, bila dia dipekerjakan ke dalam lembaga kerja yang modern. Inkeles juga mengemukakan bahwa manusia tradisional yang diterjunkan ke lembaga kerja modern, bukan hanya dapat beradaptasi dengan unsur-unsur modern, tetapi juga dapat menyerap nilai-nilai kerja dan mengekspresikannya kembali dalam sikap hidup, pengetahuan, dan tingkah lakunya (Abraham, 1991; Fakih, 2003; Lauer, 2003; Suhanadji-Waspodo, 2004).
Ini berarti pendidikan dan pengalaman langsung dalam dunia kerja menjadi faktor pendorong terjadinya transformasi dalam masyarakat tradisional untuk menjadi masyarakat modern. Apabila upawasa digunakan sebagai upaya menekan dampak negatif modernisasi dan industrialisasi maka nilai-nilai upawasa dapat dijadikan isi kurikulum pendidikan. Pengembangan kurikulum berdasarkan semangat upawasa pada dasarnya merupakan upaya pembangunan karakter dan kepribadian manusia dalam semangat pengendalian diri. Pengendalian diri adalah kesadaran (sikap tahu diri) terhadap diri sendiri dan lingkungan (alam, sosial, dan budaya). Inilah landasan semangat bagi pengabdian kepada Tuhan melalui agama-agama. Dengan demikian nilai-nilai upawasa telah menjelma menjadi praktik tindakan dalam dunia sosial dan budaya sebagai pengalaman langsung. Pengalaman yang selalu menghimbau, agar bersikap rendah hati selalu dekat dengan kesederhanaan dan kejujuran. Upawasa selalu mengingatkan, “tunjukkan dirimu yang sederhana, rangkullah kodratmu yang asli, tahanlah rasa ingat dirimu, dan batasi keinginanmu. Ingat, tidak ada kutuk yang lebih besar daripada merasa kurang puas, tidak ada dosa yang lebih besar daripada selalu ingin memiliki”.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...