TEOLOGI HUMANITAS



BRAHMAWIDYA DAN HUMANISME DALAM BHAGAWADGITA:
MENUJU TEOLOGI HUMANITAS

I Wayan Sukarma

Abstrak
Brahmawidya dan humanisme merupakan dua konsep yang berbeda dan berlawanan, tetapi secara dialektis dan kreatif dapat menjadi konsep teologi humanitas. Brahmawidya – yang sama dengan teologi adalah ilmu tentang Tuhan – pada prinsipnya tidak secara tegas memisahkan ketuhanan dengan kemanusiaan dan kealaman. Teologi semacam ini terangkum dalam konsep Panca Sradha, lima keimanan Hindu terdiri atas kepercayaan kepada Widhi (Tuhan), Atman (Pribadi), Karma (Perbuatan), Punarbawa (reinkarnasi), dan Moksa (kebebasan). Demikian juga humanisme Hindu yang terdiri atas lima nilai kemanusiaan, yaitu kebenaran, kebajikan, kasih, kedamaian, dan tanpa kekerasan tidak berdiri sendiri lepas dari ketuhanan dan kealaman karena eksistensi manusia begitu padu dengan alam dan selalu merujuk pada Tuhan, Realitas Tertinggi. Konsep ini ditelusuri dalam Bhagawadgita karena kitab ini pada hakikatnya mengajarkan tentang Brahman (Tuhan), Atman (Pribadi), Kala (Waktu), Alam (Bhuta), dan Karma (Tindakan). Dalam kitab ini, teologi humanitas teridentifikasi melalui konsep Panca Yadnya, yaitu lima hubungan kekal antara manusia dengan dewa, pitra (leluhur), rsi (guru), bhuta (alam), dan manusa (manusia). Lima pola hubungan yang kekal ini secara analogis menggambarkan esensi, eksistensi, dan aktivitas Tuhan.   

Kata Kunci: Brahmawidya, Humanisme, Bhagawadgita, dan Teologi Humanitas.

1. Pendahuluan
Hinduisme membawahi beragam subagama sehingga di dalamnya terdapat beragam pemikiran dan pengalaman. Ini sebabnya sulit membedakan antara Hindu sebagai agama, filsafat, dan kebudayaan karena Hindu adalah filsafat yang disempurnakan dengan ajaran tentang ketuhanan (Takwin, 2001:3). Keberagaman ini begitu menantang karena Hindu memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan tradisi agama-agama besar lainnya di dunia terutama berkaitan dengan otoritas pendiri ajaran, titik awal sejarah, dan teks utama. Ini menunjukkan bahwa hinduisme merupakan suatu tradisi yang begitu beragam terdiri atas bermacam-macam kebiasaan dan keyakinan sehingga menjadikan upaya generalisasi nyaris tidak mungkin (Stevenson & Haberman, (2001:12). Artinya, Hindu memiliki kompleksitas ajaran yang begitu luas sehingga para ahli mengalami kesulitan menentukan posisi Hindu, baik sebagai ilmu, filsafat, agama maupun kebudayaan.  
Kompleksitas ajaran ini, juga menyebabkan upaya mengklaim dan menghadirkan satu teks Hindu yang bersifat tunggal adalah kesia-kesiaan dan merupakan hal absurd untuk mencoba menghadirkan kembali Hinduisme dalam suatu teks tunggal. Mengingat tidak ada satu teks khusus yang dapat diterima sebagai teks otoritas oleh seluruh masyarakat yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai pemeluk Hindu (Stevenson & Haberman, 2001:15). Walaupun demikian, secara tradisi pemeluk Hindu mengakui Weda sebagai otoritas tertinggi kitab sucinya. Pengakuan terhadap otoritas Weda ini menjadi penting dalam sejarah perkembangan filsafat dan agama Hindu di India. Mengingat aliran-aliran filsafat yang tidak mengakui otoritas Weda, seperti Buddha, Jaina, Carvaka, dan Ajavika dianggap bagian lain dari filsafat Hindu sehingga disebut nastika. Sebaliknya, filsafat Hindu yang disebut astika dibangun dan dikembangkan berdasarkan atas pengakuan terhadap otoritas Weda sebagai bentuk penafsiran yang mendalam dan radikal terhadap Weda (Luniya, 2002:91; Phalgunadi, 2010:30).
Pada prinsipnya filsafat Hindu adalah pemikiran spekulatif metafisis tentang hakikat Brahman, Atman, Maya, Widya, dan Moksa (Phalgunadi, 2010:30). Brahman dimengerti sebagai hakikat tertinggi beserta seluruh emanasinya sehingga pengetahuan tentangnya disebut Brahmawidya (Phalgunadi, 2010:32). Brahmawidya yang lebih banyak disampaikan melalui tattwa ini dapat disamasejajarkan dengan teologi dalam konteks agama-agama. Menurut Pedikso (Supryogo dan Tobroni, 2001:58) teologi merupakan upaya seluruh orang beriman dalam menangkap, memahami, dan memberlakukan kehendak Tuhan melalui konteksnya. Dengan kata lain bahwa teologi adalah refleksi orang beriman tentang bagaimana bentuk dan/atau nilai-nilai kualitas iman yang dimilikinya. Apabila disepakati bahwa iman adalah inti dari keyakinan orang beragama, maka teologi adalah rumusan-rumusan iman yang wajib dipahami oleh umat beragama sebagai landasan religiusitasnya.
Untuk memahami ide-ide yang membangun keimanan dan yang berkembang pada sekitar brahmawidya, kumpulan teks Upanisad merupakan sumber inspirasi dan rujukan utama. Selain Upanisad, juga Sangkaracharya menyatakan pentingnya dua teks lainnya, yaitu Brahmasutra dan Bhagawadgita sebagai rujukan otentik untuk memahami brahmawidya. Dengan demikian, Upanisad, Brahmasutra, dan Bhagawadgita adalah tiga teks yang wajib diperhatikan untuk memahami brahmawidya. Ketiga teks ini disebut prasthanatraya (Klostermaier, 1988:107). Ini berarti bahwa brahmawidya adalah pengetahuan ketuhanan menurut agama Hindu yang dirujuk pada prasthanatraya (Pudja, 1999:3). Ini sebabnya brahmawidya menjadi tema yang menarik ditelusuri dalam Bhagawadgita, selain karena kitab ini memang sudah akrab dengan pengalaman beragama umat Hindu di Indonesia.
Bhagawadgita memang sudah banyak mewarnai pengalaman beragama umat Hindu di Indonesia, tetapi masih sulit menemukan referensi yang secara khusus mengkaji tentang brahmawidya dalam Bhagawadgita. Memang banyak tokoh agama Hindu yang berminat menerjemahkan Bhagawadgita ke dalam bahasa Indonesia, seperti Mantra (t.t), Pudja (1981), Pendit (1982), Tim Penerjemah Bhagawadgita Menurut Aslinya karya Swami Prabhupada A.C. Bhaktivedanta (1986), dan Agus S. Mantik (2009). Selain terjemahan itu, juga dapat  ditemukan kajian terhadap Bhawadgita, antara lain Geguritan Bhagawad Gita (Djelantik, 1971), Ajaran Moral dalam Bhagawadgita (Sudharta, 1990), dan Intisari Bhagawad Gita dalam dua jilid oleh Bhakta Sri Satya Sai Baba (Drucker, 1988). Hal ini menegaskan bahwa brahmawidya dalam Bhagawadgita merupakan tema penting dan relevan untuk dikaji lebih jauh guna memperkaya kajian tentang Bhagawadgita.
Penting dipahami bahwa brahmawidya atau teologi Hindu tidak hanya membahas rumusan-rumusan manusia tentang Tuhan. Akan tetapi, juga teologi merupakan upaya untuk mempertemukan secara dialektis, kreatif, serta eksistensial antara teks dan konteks, antara kerygma yang universal dan kenyataan hidup yang kontekstual (Dharmaputra dalam Suprayogo dan Tobroni, 2001:58). Artinya, teologi merupakan pengkajian, penghayatan (internalisasi), dan perwujudan (aktualisasi) nilai-nilai iman (ketuhanan) dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan. Jalinan antara teologi dan kemanusiaan merupakan masalah kontemporer dalam kajian sosiologi agama. Mengingat tidak jarang bahwa kultur kekerasan (culture violence) dalam suatu agama bersumber dari teologi yang dianut (Azra, 2011). Apabila pendapat ini dapat dijadikan pijakan dalam mencermati gejala sosial kontemporer terkait dengan munculnya tindakan kekerasan atas nama agama yang marak belakangan ini, maka setiap agama mempunyai tanggung jawab untuk merekonstruksi teologinya dengan mengedepankan nilai-nilai humanisme. Dalam konteks inilah teologi humanitas mendapatkan arti penting untuk mengejawantahkan ajaran-ajaran ketuhanan yang abstrak dalam praksis kehidupan.
Dengan demikian, pemahaman tentang teologi dan humanisme dipandang penting untuk membangun religiusitas umat Hindu secara holistik dan integral dalam kerangka tattwa, susila, dan acara. Dalam hal ini, Bhagawadgita dapat dijadikan objek material, seperti dijelaskan Sudharta (1990:2) bahwa selain konsep yoga dan teologi, juga kemanusiaan dan moralitas merupakan aspek penting dari ajaran Bhagawadgita. Hal ini menegaskan bahwa Bhagawadgita sebagai teks Hindu memiliki keunggulan tersendiri karena sifat ajarannya yang komprehensif tentang teologi dan humanisme. Jadi, pengungkapan aspek teologi dan humanisme dalam Bhagawadgita sekurang-kurangnya diharapkan dapat memperkaya referensi tentang agama Hindu yang lebih humanis.

2. Ringkasan Bhagawadgita
Bhagawadgita terdiri atas 18 bab dan 700 seloka serta tiap-tiap bab membahas topik secara khusus. Bab I berjudul Arjuna Visada Yoga terdiri atas 47 seloka. Bab ini dimulai dengan keraguan Arjuna setelah menyadari bahwa peperangan bertentangan dengan ajaran agama. Arjuna juga menyadari bahwa ia tidak mengingkari kemungkinan berbagai alternatif lain, tetapi untuk memantapkannya, Arjuna mengharapkan bimbingan dari Krishna untuk keluar dari kebingungan. Bab II berjudul Sāmkhya Yoga terdiri atas 72 seloka. Krisna menanggapi kebingungan Arjuna dengan menjelaskan dasar-dasar pemikiran Sāmkhya-Yoga. Sāmkhya merupakan ajaran rasionalisme (Jñāna-yoga). Yoga merupakan ajaran disiplin moral sebagai upaya untuk mencapai tujuan hidup beragama (moksa). Kedua dasar ajaran ini didasarkan pada konsep Upanisad yang menguraikan bahwa tujuan hidup manusia pada hakikatnya dapat dicapai melalui dua jalan, yaitu Pravrtti Marga dan Nivrtti Marga.
Bab III berjudul Karma Yoga terdiri atas 43 seloka. Bab ini membahas dasar-dasar pengertian karma yoga yang dibedakan dari ajaran sāmkhya-yoga. Kedua ajaran ini dibahas dari aspek ajaran sāmkhya dan yoga. Dengan memahami kesalahan pengertian Karma Yoga sebagai satu sistem yang dianggap bertentangan dengan sistem samnyasa, Krsna mencoba menegaskan makna ajaran karma yoga secara lebih mendetail. Jñāna dengan ajaran Jñāna Yoga merupakan inti ajaran Sāmkhya sebaliknya, karma atau tindakan tidak harus berarti sama dengan Jñāna. Bab IV berjudul Jñāna Yoga terdiri atas 42 seloka. Bab ini menguraikan Jñāna Yoga yang telah berkali-kali disampaikan Krisna kepada umat manusia agar menjadi manusia bijak. Manakala dharma terancam dan adharma merajalela beliau sendiri turun ke dunia dengan mengenakan badan jasmani untuk melindungi ajaran dharma dari kehancuran dan melindungi orang-orang bijak. 
Bab V berjudul Karma Samnyasa Yoga terdiri atas 29 seloka. Bab ini intinya membandingkan antara dua sistem jalan menuju kesempurnaan, yaitu karma samnyasa di satu pihak dan yoga di bagian lain. Di dalam Yoga, karma itu tetap ada, tetapi tidak dimotivasikan untuk kepentingan pribadi. Karma dimaksudkan untuk pelepasan keakuan terhadap benda-benda duniawi dengan memusatkan perhatian pada kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan ber-samadhi. Bab VI berjudul Dhyāna Yoga terdiri atas 47 seloka. Bab ini menguraikan makna Dhyāna Yoga sebagai suatu sistem dalam Yoga. Yoga mengajarkan delapan macam disiplin untuk memungkinkan seseorang mencapai tingkat kesucian batin dan kesempurnaan citta. Kedelapan disiplin itu adalah (1) Yama, (2) Niyama, (3) Asana, (4) Pranayama, (5) Pratyahara, (6) Darana, (7) Dhyāna, dan (8) Samadhi.
Bab VII berjudul Jñāna Vijñana Yoga terdiri atas 30 seloka. Intinya membahas Jñāna dan Vijñana. Jnana artinya pengetahuan dan Vijnana adalah serba tahu dalam pengetahuan. Dengan demikian, perhatian pembahasannya terletak pada tujuan atau objek Dhyāna, yaitu Tuhan Yang Maha Esa yang dalam agama disebut Para Brahman, Para Atman, Parama Isvara. Bab VIII berjudul Aksara Brahma Yoga terdiri atas 28 seloka. Aksara Brahma Yoga berbicara tentang hakikat sifat kekekalan Tuhan Yang Maha Esa. Aksara berarti kekal. Inti bab ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan Arjuna tentang Brahman-Adhyatman dan Karma. Demikian pula tentang Adhibhuta, Adhidaiva, Adhiyadnya, dan hakikat kematian.  
Bab IX berjudul Rāja Vidyāra Yoga terdiri atas 34 seloka. Bab ini membahas hakikat dasar-dasar ajaran Raja Yoga dengan judul Rāja Vidyā Rājaguhya Yoga. Dijelaskan hakikat raja hanya sebagai istilah untuk menunjukkan raja dari semua ilmu (Vidyā), yaitu ajaran ketuhanan. Dikatakan demikian karena segala hal yang ada berasal dari Tuhan. Oleh karena itu, mempelajari Ketuhanan Yang Maha Esa dianggap sangat mulia dan ilmunya merupakan ilmu tertinggi dari semua ilmu. Bab X berjudul Vibhuti Yoga terdiri atas 41 seloka. Bab ini menjelaskan sifat hakikat Tuhan yang absolut secara empiris. Dikatakan bahwa hakikat absolut transendental sebagai akibat hakikat tanpa permulaan, pertengahan, akhir. Demikian pula manifestasi Brahman dalam alam semesta, sebagai kitab suci, Devata, manusia, dan huruf yang semuanya memerlukan pengertian dan dasar-dasar keimanan yang kuat.
Bab XI berjudul Visva Rupa Darsana Yoga terdiri atas 55 seloka. Visvarupa Darsana Yoga sebagai penjelasan lebih lanjut dari ajaran Vibhuti Yoga yang mencoba menjelaskan bentuk manifestasinya secara nyata. Dengan menyadari persamaan itu, maka terjawablah misteri yang ada pada Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai hakikat yang Mahaada. Bab XII berjudul Bhakti Yoga terdiri atas 20 seloka. Di dalam bhakti yoga manusia bersembah sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ada dua hal yang ingin dipertanyakan oleh Arjuna, yaitu (1) menyembah Tuhan dalam wujudnya yang abstrak, dan (2) menyembah Tuhan dalam wujud nyata misalnya, menggunakan nyasa atau pratima berupa arca atau mantra.
Bab XIII berjudul Ksetra Ksetrajna Vibhaga Yoga terdiri atas 34 seloka. Bab ini membahas hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa yang dihubungkan dengan hakikat purusa dan prakrti (pradana) sebagai nama-rupa. Kebutuhan nama-rupa yang digelari dengan purusa dan prakrti adalah untuk memberi landasan dalam penjelasan bagaimana mengenal Tuhan Yang Maha Esa sebagai hakikat yang maha mengetahui. Demikian pula, bagaimana proses kejadian ini dari purusa dan prakrti sampai pada segala bentuk ciptaan alam semesta. Bab XIV berjudul Gunatraya Vibhaga Yoga terdiri atas 27 seloka. Bab ini membahas triguna atau gunatraya, yaitu tiga macam guna yang terdiri atas sattvam, rajas, tamas. Manifestasi guna pada diri manusia dapat dilihat dari bentuk tingkah laku mereka sebagai refleksi dari triguna. Sebaliknya, yang menjadi tujuan pembahasan gunatraya ini adalah bagaimana seseorang dapat mengatasi ketiga guna itu sehingga dapat mengatasi segala-galanya.
Bab XV berjudul Purusottama Yoga terdiri atas 20 seloka. Bab ini membahas pengertian purusa sebagai asal dari semua ciptaan. Purusattama atau purusa utama adalah purusa yang Mahatinggi, yaitu hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa dan hakikat Aku yang transendental. Ia adalah Brahman. Bahasan ini menggambarkan hakikat hubungan antar Sang Pencipta dengan segala ciptaannya. Bab XVI berjudul Daivasura Sampad Vibhaga Yoga terdiri atas 24 seloka. Bab ini intinya membahas hakikat tingkah laku manusia yang dikenal sebagai perbuatan baik dan buruk. Krsna menggambarkan sifat-sifat baik yang disebut sifat Devata dan sifat-sifat jahat sebagai sifat-sifat raksasa atau asura.
Bab XVII berjudul Sraddhatraya Vibhaga Yoga teridiri dari 28 seloka. Sraddha Traya Vibhaga Yoga bertujuan untuk meyakinkan, agar manusia berkeyakinan akan tiga hal, yaitu triguna. Penekanan ini dimaksudkan sebagai penanggulangan terhadap pengaruh yang timbul karena triguna dengan tujuan akhir adalah untuk mencapai kesempurnaan hidup. Bab XVIII berjudul Samnyasa Yoga terdiri atas 78 seloka. Bab ini merupakan bab terakhir dan simpulan dari semua ajaran yang menjadi inti tujuan pelaksanaan agama, yaitu brahma nirvana. Dengan simpulan ini, jelaslah bahwa Gita mencoba mendorong Arjuna untuk bertindak tanpa ragu-ragu dan tidak mengikatkan diri pada kewajiban dan akibat-akibatnya.

3. Brahmawidya Dalam Bhagawadgita
Brahmawidya adalah kata dalam bahasa Sanskerta yang artinya sama dengan teologi, yaitu ilmu yang mempelajari Tuhan (Pudja (1999:3). Menurut Bagus (2002:1090) teologi dalam bahasa Yunani theologia dibentuk dari kata theos berarti Tuhan dan logos berarti wacana atau ilmu, karena itu teologi berarti wacana atau ilmu tentang Tuhan. Teologi merupakan bagian dari metafisika yang menyelidiki hal eksisten menurut aspek dari prinsipnya yang terakhir – suatu prinsip yang luput dari inderawi tunggal. Objeknya adalah Tuhan, yaitu esensiNya, eksistensiNya, dan aktivitasNya. Ilmu tentang Tuhan tidak memberikan pengetahuan tentang Tuhan yang dalam setiap hal sama dengan pengetahuan yang diperoleh dari ilmu tentang objek-objek pengalaman inderawi. Pernyataan-pernyataan tentang Tuhan tidak memberikan pengetahuan yang memadai tentang Dia, tetapi hanya pengetahuan yang bersifat analogis. 
Pengetahuan yang bersifat analogis ini menurut Pudja (1999:3) dalam kitab suci Hindu selain disebut Brahmawidya juga disebut Brahmatattva Jnana. Brahma berarti Tuhan, gelar yang diberikan kepada Tuhan sebagai yang memberikan hidup pada ciptaanNya, Yang Mahakuasa. Widya atau Jnana berarti ilmu. Tattva berarti hakikat tentang Tat (Itu, yaitu Tuhan dalam bentuk Nirguna Brahman). Tattva Jnana artinya sama dengan ilmu tentang hakikat, yaitu ilmu tentang Tuhan. Inti dari Tattva adalah Panca Srada, yaitu lima keimanan menurut agama Hindu. Panca Sraddha terdiri atas lima kepercayaan, yaitu (1) Hyang Widhi, (2) Atman, (3) Karma Phala, (4) Punarbhawa, dan (5) Moksa (Sudharta dan Punia Atmaja, 2001:6). Kelima sradha inilah aspek yang membangun konsep Brahmawaidya yang hendak diungkap dalam Bhagawadgita.

3.1 Widhi Sradha
Widhi menurut Yasa (Sukarma & Budi Utama, 2010) adalah nama Tuhan menurut umat Hindu di Bali, Indonesia. Kata widhi berasal dari bahasa Sanskerta, yakni dari urat kata wi “sempurna, tuntas; dhà “meletakkan, menaruh. Widhi artinya takdir, hukum, aturan, penguasa tertinggi, pencipta, Tuhan Yang Mahakuasa (Sura, 2000:133). Widhi yang tunggal itu dipanggil dengan banyak nama sesuai dengan fungsinya. Ia dipanggil Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara, dan Siwa sebagai pelebur, bahkan banyak lagi panggilan yang lainnya. Ia Mahatahu berada di mana-mana. Orang menyembahNya dengan bermacam-macam cara dan tempat yang berbeda. KepadaNyalah orang beragama menyerahkan diri, mohon kekuatan, perlindungan, dan tuntunan, agar selamat tiba di tujuan kehidupan. Dalam Bhagawadgita dijelaskan bahwa Tuhan itu Brahman yang pertama ada, satu adanya, bersifat kekal, pencipta, pemelihara, pelebur, raja alam semesta, cahaya tertinggi, pelindung, dan inti alam semesta. Kitab-kitab Upanisad menyatakan realitas dari Brahman Tertinggi sebagai satu tanpa yang kedua, tanpa atribut, tanpa penetapan-penetapan yang identik dengan Sang Diri terdalam manusia. Brahman merupakan subjek murni yang eksistensinya tidak dapat ditolak menjadi dunia eksternal yang objektif. Dalam hal ini, Brahman memiliki dua aspek, yaitu Nirguna Brahman dan Saguna Brahman (Panitiya Tujuh Belas, 1986:45).
Kedua aspek Brahman ini diperjelas lewat pertanyaan Arjuna dalam Gita, XII.1, “bhakta yang mantap senantiasa menyembahMu demikian dan yang lain lagi menyembah yang Yang Abstrak, Yang Kekal Abadi; yang manakah dari keduanya ini yang lebih mahir dalam yoga. Seloka ini menyatakan bahwa terdapat dua macam pemusatan pikiran dalam bhakti, yaitu kepada Tuhan yang berwujud dalam aspek Saguna Brahman dan kepada Tuhan yang abstrak dalam aspek Nirguna Brahaman. Demikian juga dengan jawaban Yang Kuasa dalam Gita, XII. 2, “mereka yang memusatkan pikirannya padaKu, dengan senantiasa mengendalikannya dan dengan penuh kepercayaan, merekalah yang Aku anggap terbaik dalam pelaksanaan yoga”. Ini berarti bahwa memuja Tuhan yang berkepribadian, yaitu Saguna Brahman merupakan cara terbaik dalam pelaksanaan bhakti. Sebaliknya, Tuhan dalam aspek Nirguna Brahman dijelaskan dalam Gita, XII.3, “mereka yang memuja Yang Kekal Abadi, Yang Tak Terumuskan Yang Tak Nyata, Yang melingkupi segalanya, dan Yang Tak terpikirkan, Yang Tak Berubah, Yang Tak Bergerak, Yang Abadi”.


3.2 Atman Sradha
Atman menurut Sudharta dan Oka Punia Atmaja (2001:16-18) merupakan percikan dari Paratman yang berada di dalam makhluk. Ātman menghidupkan sarwaprani (makhluk) di alam semesta. Indera tidak dapat bekerja, bila tidak ada Atman. Brahman atau Hyang Widhi sebagai matahari dan Atman sebagai sinarnya yang terpancar memasuki hidup semua makhluk. Pada dasarnya Atman itu suci, tetapi setelah bersatu dengan tubuh ia kena pengaruh Maya. Atman sebagai roh individu dalam sifat sejatinya dijelaskan dalam Gita, (II.11—25) berikut, (1) Acchedya, yaitu tak terlukai oleh senjata, (2) Adahya, yaitu tak terbakar oleh api, (3) Akledya, yaitu tak terkeringkan oleh angin, (4) Asesyah, yaitu tak terbasahkan oleh air, (5) Nitya, yaitu abadi, (6) Sarwagatah, yaitu ada dimana-mana, (7) Sthanu, yaitu tak berpindah-pindah, (8) Acala, yaitu tak bergerak, (9) Sanatana, yaitu selalu sama, (10) Awyakta, yaitu tak dilahirkan, (11) Acintya, yaitu tak terpikirkan, (12) Awikara, yaitu tak berubah dan sempurna bukan laki-laki ataupun perempuan.
Atman dalam Gita, II:16–18 dijelaskan, “Dia adalah nyata, meliputi segalanya, kekal, abadi, tak terhancurkan, tanpa batas. Sementara itu, Gita, II:24 kembali menyatakan bahwa “Dia kekal, meliputi segalanya, dan abadi selamanya. Di samping itu, Gita (VI:31) menetapkan identitas Sang Diri dengan Brahman yang terkandung dalam diktum Weda, yaitu “sarva-bhūta-sthitam yo mām”, (‘dia yang memuja Aku yang bersemayam pada semua insan’), atau “Dia adalah kamu”. Hal ini juga tegaskan dalam Gita, XVIII:61, “Yang Maha Esa berdiam di hati setiap insan”. Dalam Gita, VI.29 dan 30, yaitu setelah menjelaskan sifat asli dari “kamu” dan “Dia” selanjutnya, dinyatakan bahwa “sarva-bhūta-stham ātmānam sarva-bhūtāni cātmani”, (‘Atman ada pada semua insan dan semua insan ada pada Atman), dan juga dijelaskan bahwa “Aku di mana-mana dan segalanya ada padaKu”. Kemudian, seloka 30 menjelaskan, “dia yang melihat Aku di mana-mana dan melihat segalanya ada padaKu. Aku tak bisa lepas daripadanya dan dia tak bisa lepas daripadaKu. Seloka ini, juga menegaskan hubungan yang kekal antara Atman dan Brahman.

3.3 Karmaphala Sradha
Karmaphala terdiri atas karma dan phala dari bahasa Sanskerta. Karma berarti perbuatan dan phala berarti buah, hasil. Karma adalah prinsip kerja yang diletakkan secara tuntas, widhi, untuk mengatur siklus hidup segala makhluk ciptaanNya (Yasa dalam Sukarma & Budi Utama, 2010). Dengan demikian, karmaphala berarti hasil dari perbuatan. Umat Hindu percaya bahwa perbuatan baik memberikan hasil yang baik dan perbuatan buruk membawa hasil yang buruk. Begitu juga Vivekananda (1991:1) menjelaskan bahwa kata karma berasal dari kata yang berarti berbuat. Segala perbuatan adalah karma. Istilah ini juga berarti akibat dari perbuatan. Apa yang terjadi sekarang diakibatkan oleh perbuatan masa lampau. Bhagawadgita (3:4--5) menyatakan bahwa seseorang tidak mungkin tidak berkarma. Manusia dibuat tak berdaya oleh hukum alam ini. Di samping itu, tampa bekerja manusia tidak mungkin mencapai kebebasan. Dalam Gita, III.5 dijelaskan bahwa tidak ada yang mampu melepaskan diri dari karma, “walaupun untuk sesaat tak seorang pun mampu untuk tidak berbuat karena manusia dibuat tak berdaya oleh hukum alam, yang memaksanya bertindak.
Artinya, eksistensi setiap makhluk senantiasa merujuk pada hukum sebab-akibat. Untuk mempertahan eksistensinya, manusia terikat pada karmanya, seperti diterangkan Gita, III.8, “Bekerjalah seperti yang telah ditentukan, sebab berbuat lebih baik daripada tidak  berbuat, dan bahkan tubuh pun tak akan berhasil terpelihara tanpa berkarya”. Tegasnya, tanpa melakukan kerja, tanpa berbuat, dan tanpa berkarya, manusia tidak dapat mempertahankan keberadaannya. Dunia akan hancur dan manusia akan musnah, bila Tuhan tidak bekerja, seperti diuraikan Gita, III.24, “Dunia ini akan hancur, jika Aku tidak bekerja; Aku akan menjadi pencipta kekacauan ini dan memusnahkan manusia”. Dengan demikian, baik Tuhan maupun manusia tidak dapat berhenti bekerja karena hanya dengan bekerja eksistensi alam semesta dan manusia dapat dipertahankan. Tidak bekerja berarti kehancuran dan kemusnahan. Jadi, keberadaan itu sepenuhnya merupakan wujud dukungan dari perbuatan sehingga tidak ada sesuatu apapun yang dapat menghindarkan diri untuk tidak berbuat.

3.4 Punarbhawa Sradha
Punarbhàwa berarti Atman dalam kondisi terjebak dalam lingkaran kelahiran karena pikiran cenderung larut dalam obyek duniawi (Yasa dalam Sukarma & Budi Utama, 2010). Punarbhawa menurut Panitya Tujuh Belas (1986:78-94) serta Sudharta dan Oka Punia Atmaja (2001:21-23) berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri atas Punar yang berarti kembali, lagi, atau berulang; dan bhawa yang berarti lahir, hidup, ada, menjelma atau berwujud. Jadi, punarbhawa berarti lahir kembali, lahir lagi, tumimbal lahir, menjelma kembali, menitis, dumadi, mangjanma atau reinkarnasi. Hal ini ditegaskan dalam Gita, II.27, “Sesungguhnya setiap yang lahir, kematian adalah pasti, demikian pula setiap yang mati kelahiran adalah pasti, dan ini tak terelakkan”. Seloka ini hendak menyatakan bahwa apa yang ada tidak akan pernah berhenti ada dan apa yang tidak ada tidak akan pernah menjadi ada tanpa diciptakan oleh Tuhan. Ini merupakan sebuah kepastian yang tak terelakkan karena kelahiran sudah pasti akan diikuti oleh kematian dan kematian diikuti pula oleh kelahiran. Setiap kelahiran disebabkan oleh bekas karma, untuk berkarma, dan menikmati karma. Oleh karena itu, jiwa yang ada di dalam prakerti menerima pengaruh dari sifat-sifat prakerti.
Dalam Gita, XIII.21 dikatakan, Purusa yang diam dalam prakrti mengalami triguna yang ada pada prakrti sendiri dan ikatan dengan atribut menimbulkan akibat kelahiran. Dalam hal ini dapat pahami bahwa kelahiran atau menjelma kembali merupakan kesempatan untuk menerima phalakarma yang belum dinikmati pada masa kelahiran yang lalu. Di samping itu, juga diyakini sebagai kesempatan untuk memperbaiki segala keburukan atau dosa yang dilakukan pada masa kelahiran yang lalu. Artinya, kelahiran kembali merupakan kesempatan untuk menyempurnakan hidup dan kehidupan hingga terhentinya kelahiran.

3.5  Moksa Sradha
Moksa dalam Upanisad dijelaskan adalah keadaan Atman yang bebas dari ikatan dan bebas dari punarbhawa dan samsara. Moksa dapat dicapai, baik selama masih hidup maupun setelah meninggal dunia. Bila moksa dicapai selama masih hidup, orang tersebut mencapai tingkat moral yang tertinggi dan kehidupannya sempurna. Sebaliknya, bila moksa dicapai setelah meninggal dunia, terjadilah menyatunya Atman dengan Brahman, karena itu Atman tidak lahir kembali. Moksa adalah tujuan tertinggi kehidupan manusia dalam agama Hindu. Moksa,, yaitu menunggalnya Atman dengan Brahman diyakini dapat dicapai, baik dalam kehidupan yang sedang berlangsung maupun ketika telah meninggalkan badan jasmani. Dalam Gita, II:72 disebutkan dengan “mencapai nirvana bersatu dengan Brahman.
Begitu juga Sudharta dan Punia Atmaja (2001:23) mengatakan bahwa hal ini dapat dicapai hanyalah bila sudah bebas dari ikatan-ikatan keduniawian. Dalam hal ini, semua indera benar-benar dapat dikuasai dan dikendalikan, seperti dinyatakan dalam Gita, II.64 bahwa untuk mencapai nirvana manusia harus “tetap menguasai indera-inderanya dan bebas dari kesenangan dan kebencian. Begitu juga Gita, II:65 ditegaskan, “pikiran teguh dalam keseimbangan”, dan Gita, II:71 menyebutkan, “mencampakkan semua keinginannya dan bebas tanpa keinginan, bebas dari perasaan ‘aku’ dan ‘punyaku”. Keadaan ini disebut jiwanmukti atau moksa semasih hidup, seperti halnya prabhu Janaka dan Maharsi lainnya yang telah bekerja tanpa pamrih memberikan kesejahteraan pada dunia. Hal ini juga dijelaskan dalam Gita, III:20, “Sesungguhnya dengan kerja itu saja prabu Janaka dan yang lainnya mencapai kesempurnaan”.

4. Humanisme Dalam Bhagawadgita
Humanisme menurut Bagus (2002:295) mempunyai arti, antara lain (a) menganggap individu sebagai paling tinggi; (b) menganggap individu sebagai sumber nilai terakhir; (c) mengabdi pada pemupukan perkembangan kreatif dan perkembangan moral individu secara rasional dan berarti tanpa acuan pada konsep-konsep tentang yang adikodrati. Dalam pengertian ini humanisme diposisikan sebagai nilai terakhir pada kemanusiaan dan mengabaikan nilai-nilai pada konsep-konsep yang bersifat adikodrati. Kemudian, humanisme menurut Poedjawijatna (1986:48-58) adalah kodrat manusia, yaitu kemanusiaan. Aspek-aspek dasar kemanusiaan adalah akal (budi) sebagai daya untuk tahu dan kehendak (bebas) sebagai daya untuk memilih. Kedua aspek inilah yang menjadikan manusia sebagai individu yang berkepribadian. Aliran ini memandang bahwa yang baik itu adalah yang sesuai dengan kodrat manusia. Oleh karena itu, tindakan dikatakan baik bila sesuai dengan derajat manusia dan tidak mengurangi atau menentang kemanusiaan. Dalam kajian ini humanisme didekati melalui etika sehingga penekanannya pada tindakan-tindakan manusia dalam hubungannya dengan nilai baik atau buruk.  
Lebih lanjut, Bhagawan Sri Sathya Narayana (Kasturi N, 1981) mengatakan bahwa humanisme dalam konsep nilai-nilai kemanusiaan Hindu mempunyai lima dasar, yaitu (1) sathya (kebenaran), (2) dharma (kebajikan), (3) prema (kasih), (4) shanti (kedamaian), dan (5) ahimsa (tanpa kekerasan). Kelima dasar nilai kemanusiaan ini bersumber dari rasa kasih sayang (prema). Oleh karena itu, beliau berkata sebagai berikut.
(1)   Love as thought is truth” (‘kasih sayang dalam bentuk pikiran adalah kebenaran, sathya’).
(2)   Love as action is right conduct” (‘kasih sayang dalam wujud perbuatan adalah kebajikan, dharma’).
(3)   Love as feeling is peace” (‘kasih sayang dalam wujud rasa adalah kedamaian, shanti’).
(4)   Love as understanding is nonviolence” (kasih sayang dalam wujud pengertian adalah tidak melakukan kekerasan, ahimsa’) (Kasturi N, 1981:68).

4.1 Sathya
Sathya adalah kebenaran. Dalam Kamus Istilah Agama Hindu (2002:103) satya berarti kebenaran, kejujuran, dan kesetiaan. Menurut Sudharta (2003:5—6) sathya sebagai kebenaran yang tertinggi. Seperti halnya golongan brahmana di antara manusia, sebagai matahari di antara sumber cahaya, seperti kepala di antara anggota badan, dan juga begitu halnya kebenaran di antara kewajiban manusia. Dalam konteks perbuatan, Sadya (1992:26) menjelaskan bahwa kebenaran dalam arti moral adalah sifat yang benar, kepribadian; dalam arti metafisik kebenaran menyatakan kenyataan, dan kebenaran menjadi Sat. Satya diwujudkan dalam tingkah laku, Sat adalah tujuan, pengetahuan, dan realisasi atau pandangan. Artinya, kebenaran dapat dipahami dari tiga demensi makna, yaitu (1) dalam arti metafisik, kebenaran dipahami sebagai kenyataan (sat atau ‘ada’); (2) dalam arti moralitas, kebenaran dipahami sebagai sifat yang benar atau kepribadian; dan (3) dalam arti tingkah laku, kebenaran dipahami sebagai tujuan, pengetahuan, realisasi atau pandangan.  
Kebenaran, juga diungkapkan dalam Gita, X.14, “saya percaya akan segala kebenaran yang Engkau katakan kepada saya”. Ajaran sathya sebagai kebenaran absolut ditegaskan dalam Gita II.45 bahwa “Veda menguraikan triguna, bebaskanlah dirimu daripadanya. Bebaskan diri dari dualisme, pusatkan pikiranmu kepada kebenaran, lepaskan dirimu dari duniawi, bersatu dengan atman. Dalam Gita, IV. 9 juga dijelaskan bahwa “dia yang mengetahui sifat kelahiran ilahi-Ku itu dan bekerja dengan sinar kebenaran, tak akan menjelma lagi setelah meninggalkan badan jasmaninya dan datang kepada-Ku”. Seloka ini menegaskan bahwa barang siapa mengetahui hal ini secara benar, maka ia tidak akan lahir kembali setelah meniggalkan badan raganya, tetapi ia datang kepada Yang Maha Esa dalam hidup yang sesungguhnya. Dalam Gita, X.7 dinyatakan bahwa “Yang mengetahui dengan benar kemuliaan dan kekuatanKu yang dilengkapi dengan yoga yang tak tergoyahkan ini, tentang hal itu tak diragukan lagi”. Seloka ini hendak menegaskan bahwa pengetahuan kebenaran tidak akan tergoyahkan dan tidak akan diragukan lagi. Selanjutnya, dalam Gita X. 12 kembali Arjuna menegaskan hakikat kebenaran dengan mengatakan, “Engkau adalah Para Brahman, tempat kediaman tertinggi, penyuci tertinggi, Purusa ilahi, kekal abadi, devata pertama, tak terlahirkan, mahakuasa, meliputi segalanya”. Selanjutnya, hakikat kebenaran yang dijelaskan sebagai kemuliaan ilahi diuraikan dari bab X seloka 20 – 42.

4.2 Dharma
Dharma adalah kebajikan. Dalam Kamus Istilah Agama Hindu (2002:29) dijelaskan bahwa dharma berarti (1) kebajikan, kesucian, kebenaran; (2) kewajiban, hukum. Begitu juga Sadya (1992) mengatakan dharma terdiri atas enam aspek, yaitu (1) kebenaran, (2) hukum (rita), (3) pediksan (diksa), (4) disiplin (tapas), (5) Brahman, dan (6) yadnya. Kemudian, Sivananda (1993) mengatakan sangat sulit merumuskan definisi dharma, tidak ada kata yang sama tepat dan tidak ada bahasa yang sempurna untuk merumuskannya. Walaupun demikian, secara umum dharma didefinisikan sebagai kebajikan atau kewajiban, yaitu prinsip-prinsip kebajikan, kekudusan, dan kesatuan. Dharma yang menuntun manusia menuju jalan kesempurnaan dan kemuliaan, yang menolong manusia untuk memiliki penyatuan dengan Tuhan. Realisasi diri adalah dharma yang tertinggi. Dharma merupakan jantung susila Hindu. Tuhan merupakan inti dari dharma. Dharma adalah apa pun yang membantu manusia untuk penyatuan segalanya dan mengembangkan cinta kasih Tuhan dan persaudaraan universal.
Dharma tidak dapat dibatasi hanya pada masyarakat atau bangsa tertentu karena dharma berhubungan dengan kehidupan semua makhluk hidup di dunia. Dharma atau kebajikan merupakan sifat dasar dan karakter manusia. Dalam hal ini, Krsna mengajarkan dharma melalui Gita tidak hanya kepada Arjuna, tetapi untuk seluruh umat manusia. Menurut Bhagavan Sri Narayana (Retno 1999:10) bahwa Ajaran Gita tersebut bukan untuk kasta, agama, ataupun bangsa tertentu saja. Ajaran Gita adalah napas utama kehidupan semua manusia di dunia. Hal ini ditegaskan dalam Gita IV.11, “bagaimanapun jalan manusia mendekatiKu, Aku terima. Manusia mengikuti jalanKu pada segala jalan”. Walaupun diajarkan empat jalan yang disebut catur yoga dalam mencari pencerahan, tetapi masih dimungkinkan jalan lain lagi asalkan jalan itu diretui oleh Tuhan. Selanjutnya dalam Gita, XIV.27 dinyatakan, “Tuhan adalah amrta yang kekal dan tak termusnahkan, dharma abadi, dan kebahagiaan tertinggi”. Dalam seloka ini dharma dinyatakan sebagai air kehidupan, sebagai sumber kebahagiaan yang tidak habis-habisnya. Dengan demikian, manusia hendaknya memusatkan dirinya dalam dharma karena dharma adalah sifat dasar hidup itu sendiri.

4.3 Bhakti
Bhakti adalah kasih yang ditujukan kepada Tuhan. Dalam Kamus Istilah Agama Hindu dijelaskan (2002) bhakti berarti hormat, bakti. Bhakti marga berarti jalan bhakti; melaksanakan agama dengan jalan sembahyang, mempersembahkan upakara, dan sebagainya. Artinya, bhakti adalah sumber dan asal kedamaian batin. Dalam Gita XII.13 dan 14 dikatakan bahwa “dia yang tidak membenci segala makhluk, bersahabat dan cinta kasih, bebas dari kekuatan dan keangkuhan, sama dalam suka dan duka, pemberi maaf”. Selanjutnya, dalam Gita, XII.14 dikatakan bahwa “seorang yogi yang selalu puas, mantap dalam meditasi, mengendalikan diri, memiliki keyakinan yang teguh, dengan pikiran dan kecerdasan dipusatkan kepadaKu, ia sesungguhnya bhakta-Ku yang terkasih”. Seloka ini menganjurkan yang harus dilaksanakan oleh bhakta yang sedang melakukan pendakian spiritual. Dengan begitu, seorang bhakta dapat mengukur dan menilai kadar kasih yang telah dihayati dan diamalkan dalam hidupnya. Walaupun tampaknya begitu sederhana dan mudah, tetapi memerlukan penghayatan dan kesadaran yang harus dilalui dalam proses waktu dan disiplin spiritual yang ketat. Artinya, bhakti adalah kasih, persembahan, dan rasa hormat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Demikian juga ditegaskan, manusia hendaknya mengasihi semua makhluk (advesta sarva-bhutanam).
Sebaliknya, Gita IV.7 dan 8 kembali lagi menjelaskan bahwa Tuhan menunjukkan kebesaran kasihNya dengan menjelma menjadi manusia biasa, yaitu sebagai avatara ketika hendak melindungi dharma dari adharma dan menyelamatkan orang-orang baik dari orang jahat. Artinya, untuk melindungi perkembangan dunia, Tuhan Yang Maha Kuasa menjelma mengambil wujud manusia sebagai avatara. Dalam wujud avatara, Beliau dapat dipahami dan dihormati terutama oleh mereka yang kurang bhakti. Mereka ini akan menganggap perwujudan Tuhan sebagai manusia biasa karena tidak mampu memahami prinsip yang mutlak. Oleh karena itu, Gita, IX.11 mengatakan, “karena Aku berada dalam tubuh manusia, mereka yang tolol tidak menghiraukan Aku, tidak mengetahui prakerti-Ku yang lebih tinggi sebagai Penguasa Agung dari segala yang ada’). Artinya, bagi mereka yang telah mantap dalam bhakti sekaligus memiliki pengetahuan kebijaksanaan yang mantap sehingga dapat menunjukkan pengabdiannya kepada Tuhan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud. 

4.4 Ahimsa
Ahimsa adalah tindakan tanpa kekerasan. Menurut Sudharta (2003:18—19) bahwa  orang harus mencurahkan pikiran pada pelaksanaan kebenaran saja. Ia tidak boleh melakukan kekerasan kepada sesama manusia. Dalam Kamus Istilah Agama Hindu (2002) dijelaskan bahwa ahimsa berarti tidak membunuh-bunuh, tidak menyakiti. Dijelaskan pula bahwa ahimsa adalah dasar pertama dalam asta anggayoga untuk mencapai samadhi. Artinya, ahimsa tidak terbatas dimaknai hanya sebagai tindakan yang tidak membunuh-bunuh dan tindakan yang tanpa kekerasan, tetapi dimaknai juga sebagai tindakan yang tidak menyebabkan makhluk lain berduka cita. Oleh karena itu, Gita seolah-olah tampak tidak mengajarkan ahimsa karena Krsna menganjurkan agar Arjuna mau mengangkat senjata untuk berperang, membunuh. Sebaliknya, Arjuna menolak untuk berperang dan berteori tidak memakai kekerasan adalah ajaran cinta kasih yang tinggi. Dikatakan bahwa berperang itu bertentangan dengan ajaran ahimsa yang melarang membunuh-bunuh. Seperti dijelaskan dalam Gita, XVII.14 bahwa ahimsa adalah salah satu tapa dari badan, yaitu “pemujaan kepada para dewa, para dwijati, guru, dan orang arif bijaksana; kemurnian, kejujuran, pengendalian nafsu dan tanpa kekerasan ini dikatakan sebagai tapah dari badan”.
Perasaan Arjuna mengenai ahimsa diuraikan dalam Gita I. 28—39, yaitu dalam seloka 28 dinyatakan bahwa “dengan menyaksikan orang-orangku sendiri, yang berbaris siap untuk berperang. Dalam seloka 29 dijelaskan bahwa “anggota tubuh saya menjadi lemas, mulut saya terasa kering, sekujur badan saya gemetar, dan bulu roma saya berdiri”. Dalam seloka 30 dijelaskan, “busur Gandeva lepas dari tangan saya, dan seluruh kulit saya terasa panas membara, tidak kuasa lagi berdiri dan pikiran saya kacau tak menentu. Dalam seloka 31 dinyatakan, “tidak ada baiknya saya membunuh rakyat sendiri dalam peperangan ini. Dalam seloka 35 dikatakan, “aku tak hendak membunuh mereka, sekalipun (mereka) membunuhku. Dalam seloka 36 dijelaskan, “kebahagaiaan apakah yang akan kita nikmati setelah membunuh, hanya dosalah yang akan datang”. Dalam seloka 37 dikatakan bahwa “karenanya, tidak patut kita membunuh, bagaimana kita bisa bahagia dengan membunuh. Kemudian, dalam seloka 39 dijelaskan, “membasmi keluarga merupakan suatu dosa”.

4.5 Santih
Santih adalah kedamaian. Dalam Kamus Istilah Agama Hindu (2002) dijelaskan bahwa santih berarti ketenangan, ketentraman, dan kedamaian. Dalam Gita, XVIII.62 dikatakan, “berlindunglah engkau kepada Dia, dengan seluruh jiwa ragamu, engkau akan mencapai kedamaian tertinggi dan tempat yang kekal abadi”. Seloka ini hendak memperingati manusia bahwa untuk menuju pada kedamaian, jalan yang harus dilakukan adalah dengan sujud bhakti dan tunduk ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk mencapai kedamaian diuraikan dalam Gita,II.64—71. Dalam Gita II.64 ditegaskan, tetap menguasai indera-indera dan bebas dari kesenangan dan kebencian. Dalam Gita. II.65, “jiwa yang tenang dan teguh dalam keseimbangan”. Dalam Gita II.66, “pikiran yang terkendalikan dan terpusatkan”. Dalam Gita II.69, dijelaskan, “dapat mengendalikan panca indera sepenuhnya dari segala objek keinginan dan Gita II. 68, “tetap tenang tidak bergerak. Dalam  Gita II. 71 dijelaskan, “bertindak bebas tanpa keinginan dan bebas dari perasaan ‘aku’ dan ‘punyaku’, ia mencapai kedamaian. Jadi, keadaan dalam kedamaian itu berarti badan, mental, spiritual, dan rohani ada dalam keadaan yang harmonis dan selaras serta terselamatkan. 

5. Menuju Teologi Humanitas
Teologi humanitas merupakan rekonstruksi dua konsep yang berbeda, yaitu teologi dan humanitas. Teologi adalah ilmu tentang Tuhan. Tuhan seperti diajarkan dalam dogma agama yang merumuskan hakikat Tuhan yang dikenal, dialami, dan dipercaya, serta kehendakNya untuk manusia dan dunia (Hardjana, 2005:51). Sebaliknya, humanitas adalah keadaan kemanusiaan akibat dari proses humanisasi. Dalam hal ini, humanitas merupakan pemikiran yang menempatkan kemanusiaan sebagai yang utama, yaitu otonomi manusia. Otonomi ini meliputi semua kekuatan dan kemampuan aktivitas manusia yang lahir dari ego yang sadar. Dengan demikian, kedua konsep ini sesungguhnya memiliki tegangan di dalamnya dirinya sendiri. Teologi melakukan penyelidikan dengan memusatkan pemikiran pada Tuhan (teoposentris) dan sebaliknya, humanitas melakukan penyelidikan dengan memusatkan pemikiran pada manusia (antroposentris).
Konsekuensi dari konsep teologi humanistas ini, antara lain segala tindakan yang bertentangan dengan hakikat kemanusiaan, walaupun tindakan itu mengatasnamakan teologi adalah tindakan yang tidak benar, karena itu sekaligus adalah tindakan yang buruk. Dengan demikian, umat beragama harus mampu merekonstruksi teologi agamanya agar mampu memuliakan kemanusiaan. Sederhananya, apabila Tuhan adalah Maha Pengasih kepada makhluk dan alam, maka bhakti manusia kepada Tuhan harus diwujudkan melalui kasih sayang bukan hanya kepada Tuhan, tetapi juga kepada makhluk dan alam yang dikasihi oleh Tuhan. Model sradha-bhakti semacam ini dapat ditelusuri dalam panca yadnya.

5.1 Dewa Yadnya
Dewa Yadnya terdiri atas kata “dewa” berasal dari bahasa Sanskerta “Div” yang artinya sinar suci dan Yadnya artinya persembahan atau kurban. Dewa Yadnya adalah persembahan atau kurban suci kepada Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai dewa-dewi. Kurban suci ini dilaksanakan secara rutin atau berkala dan hari-hari khusus, seperti masaiban, dan hari suci. Dalam masyarakat Hindu di Bali, Dewa Yadnya dilaksanakan menurut perhitungan wuku, wewaran, dan sasih, seperti kajeng kliwon, purnama-tilem, tumpek, buda kliwon, buda cemeng, buda umanis, anggar kasih, dan lainnya yang sejenis. Sementara itu, bentuk upacaranya dapat berupa piodalan di pura atau marajan, ngenteg linggih atau mendem padagingan, dan melasti. Dewa Yadnya, juga dilakukan dalam bentuk rarahinan, seperti galungan dan kuningan, tumpek (wayang, landep, bubuh, dan kandang), pagerwesi, saraswati, siwaratri, dan nyepi (Panitiya Tujuh Belas, 1986:171; Tim Penyusun, 2002:49; Nala dan Wiratmadja, 1993:177).
Dalam Gita, IV:24 disebutkan, "Dipujanya Brahman, persembahannya Brahman, oleh Brahman dipersembahkan dalam api Brahman, dengan memusatkan meditasinya kepada Brahman, dalam kerja ia mencapai Brahman". Artinya, dewa yadnya merupakan satu upaya manusia membangun dan menata hubungan dengan Tuhan yang dimanifestasikan dalam bentuk dewa-dewi dan bhatara-bhatari agar lebih mudah melakukan pengahayatan dan mengapresiasikannya dalam keberagamaan. Pemujaan dan pemuliaan yang dilakukan kepada Tuhan melalui berbagai macam upacara agama merupakan upaya manusia menunjukkan kelemahan dan kekurangannya di hadapan yang Mahakuasa dan Mahakasih.

5.2 Pitra Yadnya
Pitra Yadnya terdiri atas dua unsur, yaitu pitra artinya roh manusia yang sudah meninggal dan yadnya artinya upacara persembahan suci. Pitra Yadnya adalah upacara pemujaan yang di tujukan kepada para Pitara dan roh-roh leluhur. Pitra Yadnya juga berarti penghormatan dan pemeliharaan atau pemberian sesuatu yang baik dan layak kepada ayah-bunda dan kepada orang tua yang telah meninggal dalam keluarga sebagai suatu kelanjutan rasa bakti seorang anak atau keturunan (sentana) terhadap leluhurnya. Pelaksanaan upacara Pitra Yadnya dipandang penting karena sentana mempunyai hutang budi dan jiwa kepada leluhur. 
Melalui pitra yadnya manusia membangun dan menata hubungannya dengan pitra atau leluhur sebagai simbol pencapaian masa lalu yang layak diteruskan kepada generasi berikutnya. Pitra sebagai cikal-bakal generasi masa kini merupakan kekuatan untuk menentukan masa depan yang belum tentu seindah masa kini, karena itu mengacu kepada pencapaian masa lalu menjadi tindakan bijaksana. Mengingat masa lalu menciptakan dan mewariskan tradisi yang dijadikan landasan tingkah laku pada masa kini untuk masa depan yang lebih indah sehingga masa lalu adalah kebenaran. Hakikat kebenaran yang hanya berlaku dalam dunia-kehidupan yang bersifat relatif tentu masih layak diuji melalui monitoring perilaku dalam reflektivitas tindakan yang terus-menerus diubah oleh tradisi itu sendiri. Dengan begitu, tradisi bukan barang baku dan kaku yang tidak berubah mengikuti zaman, tetapi tradisi bersifat dinamis berubah seturut dengan perkembangan zaman.

5.3 Rsi Yadnya
Resi Yadnya adalah upacara yang ditujukan kepada para maharesi, orang-orang suci, pinandita, dan guru yang pelaksanaannya dapat diwujudkan dalam bentuk upacara diksa, penobatan sulinggih; membangun tempat pemujaan sulinggih; menghaturkan/memberikan punia pada saat tertentu kepada sulinggih; mentaati, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran atau nasihat dari sulinggih; dan membantu pendidikan agama (Nala dan Wiratmadja, 1993:196; Panitiya Tujuh Belas, 1986:170; Tim Penyusun, 2002:52). Rsi Yadnya juga berupa sedekah atau punia atau persembahan kepada para pandita dan/atau para pemimpin upacara keagamaan. Sedekah atau persembahan ini dapat dilakukan pada waktu-waktu tertentu, yaitu pada saat menyelesaikan upacara atau memberikan diksa kepada sisyanya.
Artinya, umat Hindu hendaknya menghormati orang-orang suci dengan melakukan Rsi Yadnya karena tugas dan fungsi pandita atau Rsi, antara lain memimpin upacara yadnya, menyebarkan Weda, menyelsaikan masalah keagamaan. Memimpin upacara yadnya adalah tugas pandita (rsi) untuk menyelesaikan upacara yadnya yang dilaksanakan umat Hindu. Menyebarkan Weda berkaitan dengan kewajiban pandita (rsi) sebagai pengajar dan pendidik sebagai perantara ilmu pengetahuan Weda kepada para siswanya. Memecahkan masalah keagamaan berkaitan dengan kewajiban pandita (rsi) berperan secara aktif dalam memecahkan masalah-masalah yang ada hubungannya dengan keagamaan. Misalnya, penentuan hari-hari baik untuk melakukan yadnya dan memulai suatu pekerjaan-pekerjaan penting lain.

5.4 Bhuta Yadnya
Bhuta Yadnya terdiri atas kata “Bhuta” yang artinya unsur-unsur alam dan kata “Yadnya” yang artinya persembahan. Bhuta Yadnya berarti persembahan kepada alam semesta. Kata “Bhuta” sering dirangkaikan dengan kata “Kala” yang artinya “waktu” atau “energi”. Bhuta Kala artinya unsur alam semesta dan kekuatannya. Bhuta Yadnya adalah pemujaan dan persembahan yang ditujukan ke hadapan Bhuta Kala untuk menjalin hubungan yang harmonis. Bhuta Yadnya adalah kurban suci kepada sarwa bhuta, yaitu makhluk lain, baik yang terlihat (sekala) ataupun yang tidak terlihat (niskala), hewan (binatang), tumbuh-tumbuhan, dan berbagai jenis makhluk lain yang merupakan ciptaan Hyang Widhi Wasa. Tegasnya, Bhuta yadnya bermakna memelihara kesejahteraan alam.
Melalui bhuta yadnya manusia Hindu membangun dan menata hubungannya dengan alam dan segala jenis sifatnya. Hubungan ini ditujukan untuk menjaga keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan dirinya dengan alam semesta. Dengan begitu, manusia memahami dan menghayati sifat-sifat alam untuk membangun dan menata pikiranya, agar selalu selaras dengan prinsip-prinsip hukum alam (Rta). Berdasarkan pikiran ini, manusia kembali membangun dan menata tingkah lakunya sesuai dengan prinsip-prinsip hukum moral (Dharma). Berdasarkan kedua prinsip-prinsip hukum ini manusia menjalakan karmanya, agar tercapai tujuan kehidupan, yaitu keindahan, kegirangan, dan kebahagiaan. Inilah upaya manusia menciptakan kemuliaan bagi semua makhluk  dan alam semesta.

5.5  Manusa Yadnya
Manusa yadnya menurut Putra (1998:33) adalah pemeliharaan, pendidikan, serta penyucian secara spiritual terhadap seseorang sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir hidupnya. Sejalan dengan hal ini, Sudharta dan Punia Atmaja (2001:63) menjelaskan bahwa manusa yadnya adalah pengorbanan suci yang ditujukan kepada kesempurnaan hidup manusia. Dijelaskan pula bahwa upacara ini dapat dilaksanakan dengan bermacam-macam cara, antara lain (1) mengadakan upacara selamatan pada waktu bayi dalam kandungan, bayi baru lahir, bayi berumur 42 hari, bayi berumur 3 bulan, bayi berumur 6 bulan, anak meningkat dewasa, potong gigi, dan kawin (wiwaha); (2) mengadakan usaha untuk kemajuan serta kebahagiaan hidup anak dalam masyarakat antara lain menyelenggarakan pendidikan dan kesehatannya; dan (3) menolong serta menghormati sesama manusia misalnya, menghormati tamu (atithi krama) dan menolong orang menderita secara tulus ikhlas.
Begitulah manusia Hindu membangun dan menata hubungannya dengan sesama dan dengannya mereka membangun dunia-kehidupan demi keberlanjutan bangsanya. Hubungan dengan sesama dilakukan bukan hanya bermakna kemanusiaan saja, tetapi juga tidak lepas dari makna ketuhanan, keleluhuran, keguruan, dan kealaman. Dalam hal ini, antara manusia dan tuhan, bahkan dengan leluhur, guru, dan alam tidak dipisahkan secara tegas. Semua dan keselurhannya dimengerti dan dipahami sebagai ketunggalan yang utuh dalam keselarasan dan keharmonisan. Jadi, melalui upacara manusia yadnya manusia menetapkan dan menjalin hubungan mesra dengan semua elemen yang membangun dirinya, bahkan melalui upacara perkawinan manusia menjaga kelangsungan bangsanya.

6. Penutup
Pertama, brahmawidya dalam Bhagawadgita terangkum melalui panca sradha, yaitu (1) kepercayaan kepada Hyang Widhi Wasa, (2) Atman, (3) Karma Phala, (4) Punarbhawa, dan (5) Moksa. Inilah ajaran tentang Tuhan, yaitu dogma agama Hindu yang merumuskan hakikat Tuhan yang dikenal, dialami, dan dipercaya, serta kehendakNya untuk manusia dan dunia. Tuhan itu Brahman merupakan azas penyebab yang membangun dan sekaligus sebagai esensi keberadaan, yaitu Atman. Keberadaan ini mewujud dan ditentukan oleh Karma sekaligus menunjukkan kehadiran setiap keberadaan. Mengingat adanya penyebab dan perbuatan sehingga setiap keberadaan mesti dan harus menerima akibat dari kehadirannya, yaitu Punarbhawa. Akibat ini sekaligus menentukan dan menunjukkan kualitas kehadiran berikutnya, Samsara. Pada prinsipnya, baik Punarbhawa maupun Samsara hanyalah akibat dan bukan tujuan. Tujuan terakhir yang sesungguhnya adalah tidak mengalami akibat dari kehadiran. Inilah Moksa, yaitu kembalinya Akibat kepada Penyebab,  Atman kembali lagi sebagai Brahman.
Kedua, humanisme dalam Bhagawadgita terdiri atas lima nilai kemanusiaan, yaitu sathya, dharma, bhakti, ahimsa, dan prema. Sathya adalah hakikat kebenaran, yaitu kebenaran absolut. Sathya dalam kehidupan manusia bermakna sebagai dharma, yaitu kebajikan, kewajiban hidup, dan hakikat sifat manusia. Sathya yang ditunjukkan sebagai sikap tunduk dan sujud ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa adalah bhakti, pengabdian kepada sesama makhluk, inti dari yadnya. Sathya sebagai landasan moralitas dalam tindakan dan tingkah laku yang berwujud kasih sayang kepada sesama makhluk sehingga tidak membiarkan orang lain dalam kebodohan dan keterikatan material adalah ahimsa. Kemudian, Sathya sebagai dasar komitmen, cita-cita, dan tujuan hidup manusia adalah santih, yaitu kedamaian dan kebahagiaan,.
Ketiga, teologi humanitas terdiri atas lima pola hubungan manusia yang kekal, yaitu panca yadnya. Dewa Yadnya menetapkan cara membangun dan menata hubungan dengan Tuhan, Widhi Wasa. Melalui upacara dewa yadnya ini manusia Hindu hendak meningkatkan kualitas dirinya dengan lebih mengerti dan memahami kehendak Tuhan atas dunia-kehidupan yang sedang dijalaninya. Pitra Yadnya menetapkan cara membangun dan menata hubungan dengan leluhur, orang-orang dekat yang telah meninggal. Rsi Yadnya menetapkan cara berhubungan dengan guru, baik guru rupaka (ayah dan ibu), wiwesa (pemerintah), pengajian (guru pendidik termasuk para rsi dan yogi), maupuan swadyaya (Tuhan). Bhuta Yadnya memberikan cara melakukan hubungan dengan alam semesta, yaitu panca mahabhuta, lima unsur dasar pembentuk raga manusia. Melalui yadnya ini, manusia Hindu berupaya memahami substansi dirinya yang tiada lain adalah anasir api, angin, air, tanah, dan akasa, serta pikiran, ego, dan kesadaran. Kemudian, manusa yadnya menetapkan cara membangun dan menata hubungan manusia dengan sesama, yaitu dengan menyediakan makanan karena makanan dapat menjamin kelangsungan kehidupan, menjalankan kehidupan dengan susila karena manusia tidak sepenuhnya makhluk aktif-kreatif, dan membangun ketenteraman dunia-kehidupan.

Daftar Kepustakaan

Adian, Donny Gahral. 2002. Pilar-pilar Filsafat Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra

Azra, Azyumardi. 2011. “Culture of Violence and Violence in the Name of Religion“. Makalah. Disampaikan dalam Seminar dengan tema “Agama dan Kekerasan” pada Program Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar.

Bagus, Lorenz. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.

Bahar, Saafroedin. 2001. Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Sinar Harapan.

Capra, Fritjop. 2001. The Tao Of Phisycs: Menyingkap Paralelisme Fisika Modern dan Mistisisme Timur. Yogyakarta: Jalasutra.

Cika, I Wayan. 2003. Kakawin Sabha Parwa Analisis Filologis. Kuta Bali: Pustaka Larasan.

Drucker, A. 1988. Intisari Bhagavad Gita. Jakarta: Yayasan Sri Satya Sai Indonesia.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Gadamer, Hans-George. 2006. Hermeneutika. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.

Djelantik, Ida Ketoet. 1971. Geguritan Bhagawad Gita. Stensilan: Singaraja.

Kasturi, N. 1981. Pancaran Kasih (Prasthana Vahini) Bhagavan Shri Sathya Sai Baba. Jakarta: Yayasan Sai Centre Indonesia.

Klostermaier, 1988. A Short Introduction to Hinduism. London: Oxford University Press.

Lavine, T.Z. 2002. Sartre : Filsafat Eksistensialisme Humanis. Yogyakarta: Jendela.

Luniya, B.N. 2002. Indian Culture. Agra.

Mahendra, A.A. Oka, dkk. Supartha, Wayan (ed) 1994, Hak Asasi Manusia Dalam Hindu. Denpasar: Pustaka Manikgeni.

Mantik, Agus S. 2009. Bhagawadgita Terjemahan dan Komentar. Jakarta: Hanuman Sakti.

Mantra, Ida Bagus. 2009. Bhagawadgita Alih Bahasa & Terjemahan. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali Percetakan Buku-buku Penutun Agama Hindu Pasraman Remaja

Pendit, Nyoman S. 2002. Bhagawadgita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Phalgunadhi, I Gusti Putu. 2010. Sekilas Sejarah Evolusi Agama Hindu Edisi Revisi. Denpasar: Widya Dharma.

Poedjawijatna. 1996. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: Rineka Cipta.

Poespoprodjo, L. 1987. Interpretasi: Beberapa Catatan Pendekatan Filsafatinya. Bandung : Remaja Karya.

Pudja, Gde. 1981. Bhagawad Gita. Jakarta: Hanuman Sakti.

-------------. 1999. Filsafat Hindu. Surabaya: Paramita.

Raganathananda, Swami. 1996. “Pelayanan sebagai Pemujaan”. Artikel dalam Yajna Basis Kehidupan (Sebuah Canag Sari). Suamba, Ida Bagus Putu. (ed), 1996. Denpasar: Warta Hindu Dharma.

Ratna, I Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Tekhnik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotic of Poetry. London: Indiana University Press.

Sharma, L.P. 2001. History of Ancient India: Pre-Historic Age to 1.200 AD. New Delhi: Motilal Banarsidas.

Stevenson & Haberman. 2001. Manusia dan Kemanusiaan. Yogyakarta: Kanisius.

Sudharta, Tjokorda Rai. 1990. Ajaran Moral dalam Bhagawadgita. Jakarta: Hanuman Sakti.

Sudharta, Tjok. Rai dan Ida Bagus Oka Punyatmaja. 2001. Upadesa: tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Sugiharto, I. Bambang. 1996. Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Sukarma, I Wayan. 2005. “Pengendalian Diri dan Menjadi Diri Sendiri”. Artikel. Diterbitkan dalam Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia “Widya Wretta”. Denpasar.

Suprayogo, Imam, dan Tobroni. 2001. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Sura, I Gde, dkk. 2002. Kamus Istilah Agama Hindu. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali.

Sutrisno, Mudji. 2001. Humanisme, Krisis, Humanisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Takwin, Bagus. 2001. Filsafat Timur Sebuah Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur. Depok: Jalasutra.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta Pusat: Pustaka Jaya.

Tim Penerjemah. 1986. Bhagawadgita Menurut Aslinya karya Swami Prabhupada A.C. Bhaktivedanta. P.O. Box 2694 Jakarta Pusat 10001.

Tuhuleley, Said, Adde Marup WS, Haedar Nashir (ed.).2003. Masa Depan Kemanusiaan. Yogyakarta: Jendela.

Yasa, I Wayan Suka. 2010. Rasa Daya Estetik-Religius Geguritan Sucita. Denpasar: Sari Kahyangan Indonesia.

Zimmer, Heinrich. 2003. Sejarah Filsafat India. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...