BRAHMAWIDYA DAN HUMANISME DALAM BHAGAWADGITA:
MENUJU TEOLOGI HUMANITAS
I Wayan Sukarma
Abstrak
Brahmawidya dan humanisme merupakan dua konsep yang berbeda dan berlawanan,
tetapi secara dialektis dan kreatif dapat menjadi konsep teologi humanitas. Brahmawidya – yang sama dengan teologi
adalah ilmu tentang Tuhan – pada prinsipnya tidak secara tegas memisahkan ketuhanan
dengan kemanusiaan dan kealaman. Teologi semacam ini terangkum dalam konsep Panca Sradha, lima keimanan Hindu terdiri
atas kepercayaan kepada Widhi (Tuhan), Atman (Pribadi), Karma (Perbuatan),
Punarbawa (reinkarnasi), dan Moksa (kebebasan). Demikian juga humanisme Hindu yang
terdiri atas lima nilai kemanusiaan, yaitu kebenaran,
kebajikan, kasih, kedamaian, dan tanpa kekerasan tidak berdiri sendiri lepas dari ketuhanan dan
kealaman karena eksistensi manusia begitu padu dengan alam dan selalu merujuk
pada Tuhan, Realitas Tertinggi. Konsep ini ditelusuri dalam Bhagawadgita karena kitab ini pada hakikatnya
mengajarkan tentang Brahman (Tuhan), Atman (Pribadi), Kala (Waktu), Alam
(Bhuta), dan Karma (Tindakan). Dalam kitab ini, teologi humanitas
teridentifikasi melalui konsep Panca Yadnya, yaitu lima hubungan kekal antara
manusia dengan dewa, pitra (leluhur), rsi (guru), bhuta (alam),
dan manusa (manusia). Lima pola hubungan
yang kekal ini secara analogis menggambarkan esensi, eksistensi, dan aktivitas
Tuhan.
Kata Kunci: Brahmawidya,
Humanisme, Bhagawadgita, dan
Teologi Humanitas.
1. Pendahuluan
Hinduisme membawahi beragam subagama sehingga di
dalamnya terdapat beragam pemikiran dan pengalaman. Ini sebabnya sulit
membedakan antara Hindu sebagai agama, filsafat, dan kebudayaan karena Hindu
adalah filsafat yang disempurnakan dengan ajaran
tentang ketuhanan (Takwin, 2001:3). Keberagaman ini begitu menantang karena Hindu
memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan tradisi agama-agama besar lainnya di dunia
terutama berkaitan dengan otoritas pendiri ajaran, titik awal sejarah, dan teks
utama. Ini menunjukkan bahwa hinduisme
merupakan suatu tradisi yang begitu beragam terdiri atas bermacam-macam
kebiasaan dan keyakinan sehingga menjadikan upaya generalisasi nyaris tidak
mungkin (Stevenson & Haberman, (2001:12). Artinya, Hindu memiliki
kompleksitas ajaran yang begitu luas sehingga para ahli mengalami kesulitan
menentukan posisi Hindu, baik sebagai ilmu, filsafat, agama maupun kebudayaan.
Kompleksitas
ajaran ini, juga menyebabkan upaya mengklaim dan menghadirkan satu teks Hindu
yang bersifat tunggal adalah kesia-kesiaan dan merupakan hal absurd untuk
mencoba menghadirkan kembali Hinduisme dalam suatu teks tunggal. Mengingat tidak ada satu teks
khusus yang dapat diterima sebagai teks otoritas oleh seluruh masyarakat yang
mengidentifikasikan diri mereka sebagai pemeluk Hindu (Stevenson &
Haberman, 2001:15). Walaupun
demikian, secara tradisi pemeluk Hindu mengakui Weda
sebagai otoritas tertinggi kitab sucinya.
Pengakuan terhadap otoritas Weda ini menjadi penting dalam sejarah perkembangan
filsafat dan agama Hindu
di India. Mengingat aliran-aliran filsafat yang tidak mengakui otoritas Weda,
seperti Buddha, Jaina, Carvaka, dan Ajavika dianggap bagian lain dari filsafat Hindu
sehingga disebut nastika. Sebaliknya,
filsafat Hindu yang disebut astika
dibangun dan dikembangkan berdasarkan atas pengakuan terhadap otoritas Weda
sebagai bentuk penafsiran yang mendalam dan radikal terhadap Weda (Luniya,
2002:91; Phalgunadi, 2010:30).
Pada
prinsipnya filsafat Hindu adalah pemikiran spekulatif metafisis tentang hakikat
Brahman, Atman, Maya, Widya, dan Moksa (Phalgunadi,
2010:30). Brahman dimengerti
sebagai
hakikat tertinggi beserta seluruh emanasinya sehingga pengetahuan tentangnya disebut Brahmawidya (Phalgunadi, 2010:32). Brahmawidya
yang lebih banyak disampaikan melalui tattwa ini dapat
disamasejajarkan dengan
teologi dalam konteks agama-agama.
Menurut Pedikso (Supryogo dan Tobroni, 2001:58) teologi merupakan upaya seluruh
orang beriman dalam menangkap, memahami, dan memberlakukan kehendak Tuhan
melalui konteksnya. Dengan kata lain bahwa teologi adalah refleksi orang
beriman tentang bagaimana bentuk dan/atau
nilai-nilai kualitas iman yang dimilikinya. Apabila disepakati bahwa iman
adalah inti dari keyakinan orang beragama, maka teologi adalah rumusan-rumusan
iman yang wajib dipahami oleh umat beragama sebagai landasan religiusitasnya.
Untuk
memahami ide-ide yang membangun
keimanan dan yang berkembang pada sekitar brahmawidya,
kumpulan teks Upanisad merupakan
sumber inspirasi dan rujukan utama. Selain Upanisad,
juga Sangkaracharya menyatakan pentingnya dua teks lainnya, yaitu Brahmasutra dan Bhagawadgita sebagai rujukan otentik untuk memahami brahmawidya. Dengan demikian, Upanisad, Brahmasutra, dan Bhagawadgita adalah tiga teks yang wajib
diperhatikan untuk memahami brahmawidya.
Ketiga teks ini disebut prasthanatraya (Klostermaier,
1988:107). Ini berarti bahwa brahmawidya adalah
pengetahuan ketuhanan menurut agama Hindu yang dirujuk pada prasthanatraya (Pudja, 1999:3). Ini sebabnya brahmawidya menjadi tema yang menarik ditelusuri dalam Bhagawadgita, selain karena kitab ini memang sudah akrab dengan pengalaman beragama
umat Hindu di Indonesia.
Bhagawadgita
memang sudah banyak mewarnai pengalaman beragama umat Hindu di Indonesia,
tetapi masih sulit menemukan referensi yang secara khusus mengkaji tentang brahmawidya
dalam Bhagawadgita.
Memang banyak tokoh agama Hindu yang berminat menerjemahkan Bhagawadgita ke dalam bahasa Indonesia,
seperti Mantra (t.t), Pudja (1981), Pendit (1982), Tim Penerjemah Bhagawadgita Menurut Aslinya karya Swami Prabhupada A.C.
Bhaktivedanta (1986), dan Agus S.
Mantik (2009). Selain terjemahan itu, juga dapat ditemukan kajian terhadap Bhawadgita, antara lain Geguritan Bhagawad Gita (Djelantik,
1971), Ajaran Moral dalam Bhagawadgita (Sudharta,
1990), dan Intisari Bhagawad Gita dalam
dua jilid oleh Bhakta Sri Satya Sai Baba (Drucker, 1988). Hal ini menegaskan bahwa brahmawidya dalam Bhagawadgita merupakan tema penting dan relevan untuk dikaji lebih
jauh guna memperkaya kajian tentang Bhagawadgita.
Penting dipahami bahwa brahmawidya atau teologi Hindu tidak
hanya membahas rumusan-rumusan manusia tentang
Tuhan. Akan tetapi, juga teologi merupakan upaya untuk mempertemukan secara
dialektis, kreatif, serta eksistensial antara teks dan konteks, antara kerygma yang universal dan kenyataan
hidup yang kontekstual (Dharmaputra dalam Suprayogo dan Tobroni, 2001:58). Artinya, teologi merupakan
pengkajian, penghayatan (internalisasi), dan perwujudan (aktualisasi)
nilai-nilai iman (ketuhanan) dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan.
Jalinan antara teologi dan kemanusiaan merupakan masalah kontemporer dalam
kajian sosiologi agama. Mengingat tidak jarang bahwa kultur kekerasan (culture violence) dalam suatu agama
bersumber dari teologi yang dianut (Azra, 2011). Apabila pendapat ini dapat dijadikan
pijakan dalam mencermati gejala sosial kontemporer terkait dengan munculnya tindakan
kekerasan atas nama agama yang marak belakangan ini, maka setiap agama
mempunyai tanggung jawab untuk merekonstruksi teologinya dengan mengedepankan
nilai-nilai humanisme. Dalam konteks inilah teologi humanitas mendapatkan arti
penting untuk mengejawantahkan ajaran-ajaran ketuhanan yang abstrak dalam
praksis kehidupan.
Dengan demikian, pemahaman
tentang teologi dan humanisme
dipandang penting untuk membangun religiusitas umat Hindu secara holistik dan
integral dalam kerangka tattwa, susila, dan
acara. Dalam hal ini, Bhagawadgita dapat dijadikan objek
material, seperti dijelaskan Sudharta (1990:2) bahwa selain konsep yoga dan teologi, juga kemanusiaan dan moralitas merupakan aspek penting dari
ajaran Bhagawadgita. Hal ini menegaskan
bahwa Bhagawadgita sebagai teks Hindu
memiliki keunggulan tersendiri karena sifat ajarannya yang komprehensif tentang teologi dan humanisme.
Jadi, pengungkapan aspek teologi
dan humanisme dalam Bhagawadgita sekurang-kurangnya diharapkan
dapat memperkaya referensi tentang agama Hindu yang lebih humanis.
2. Ringkasan Bhagawadgita
Bhagawadgita
terdiri atas 18 bab dan 700 seloka
serta
tiap-tiap bab membahas
topik secara khusus. Bab I berjudul Arjuna
Visada Yoga terdiri atas 47 seloka. Bab ini dimulai dengan keraguan Arjuna
setelah menyadari bahwa peperangan
bertentangan dengan ajaran agama. Arjuna juga menyadari bahwa ia tidak
mengingkari kemungkinan berbagai alternatif lain, tetapi untuk memantapkannya,
Arjuna mengharapkan bimbingan dari Krishna untuk keluar dari kebingungan. Bab
II berjudul Sāmkhya Yoga terdiri atas
72 seloka. Krisna menanggapi kebingungan Arjuna dengan menjelaskan dasar-dasar
pemikiran Sāmkhya-Yoga. Sāmkhya merupakan ajaran rasionalisme (Jñāna-yoga). Yoga merupakan ajaran disiplin moral sebagai upaya untuk mencapai
tujuan hidup beragama (moksa). Kedua
dasar ajaran ini didasarkan pada konsep Upanisad
yang menguraikan bahwa tujuan hidup manusia pada hakikatnya dapat dicapai
melalui dua jalan, yaitu Pravrtti Marga dan Nivrtti Marga.
Bab
III berjudul Karma Yoga terdiri atas
43 seloka. Bab ini membahas dasar-dasar pengertian karma yoga yang
dibedakan dari ajaran sāmkhya-yoga.
Kedua ajaran ini dibahas dari aspek ajaran sāmkhya
dan yoga. Dengan memahami kesalahan pengertian Karma Yoga sebagai satu sistem yang dianggap bertentangan dengan
sistem samnyasa,
Krsna mencoba menegaskan makna ajaran karma
yoga secara lebih mendetail. Jñāna
dengan ajaran Jñāna Yoga merupakan
inti ajaran Sāmkhya sebaliknya, karma atau tindakan tidak harus berarti
sama dengan Jñāna. Bab IV berjudul Jñāna Yoga terdiri atas 42 seloka. Bab
ini menguraikan Jñāna Yoga yang telah
berkali-kali disampaikan Krisna kepada umat manusia agar menjadi manusia bijak.
Manakala dharma terancam dan adharma merajalela beliau sendiri turun ke dunia dengan mengenakan
badan jasmani untuk melindungi ajaran dharma
dari kehancuran dan melindungi orang-orang bijak.
Bab
V berjudul Karma Samnyasa Yoga
terdiri atas 29 seloka. Bab ini intinya membandingkan antara dua sistem jalan
menuju kesempurnaan, yaitu karma samnyasa
di satu pihak dan yoga di bagian
lain. Di dalam Yoga,
karma itu tetap ada, tetapi tidak dimotivasikan untuk kepentingan pribadi. Karma dimaksudkan untuk pelepasan
keakuan terhadap benda-benda duniawi dengan memusatkan perhatian pada kebaktian
kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan ber-samadhi.
Bab VI berjudul Dhyāna Yoga terdiri
atas 47 seloka. Bab ini menguraikan makna Dhyāna
Yoga sebagai suatu sistem dalam Yoga.
Yoga mengajarkan delapan macam
disiplin untuk memungkinkan seseorang mencapai tingkat kesucian batin dan
kesempurnaan citta. Kedelapan
disiplin itu adalah (1) Yama, (2) Niyama, (3) Asana, (4) Pranayama, (5)
Pratyahara, (6) Darana, (7) Dhyāna, dan
(8) Samadhi.
Bab
VII berjudul Jñāna Vijñana Yoga
terdiri atas 30 seloka. Intinya
membahas Jñāna dan Vijñana. Jnana artinya pengetahuan dan Vijnana adalah serba tahu dalam pengetahuan.
Dengan demikian, perhatian pembahasannya terletak pada tujuan atau objek Dhyāna, yaitu Tuhan Yang Maha Esa yang
dalam agama disebut Para Brahman, Para
Atman, Parama Isvara.
Bab
VIII berjudul Aksara Brahma Yoga
terdiri atas 28 seloka. Aksara Brahma Yoga berbicara
tentang hakikat sifat kekekalan Tuhan Yang Maha Esa. Aksara berarti kekal. Inti bab ini bertujuan untuk menjawab
pertanyaan Arjuna tentang Brahman-Adhyatman dan Karma. Demikian pula tentang Adhibhuta,
Adhidaiva, Adhiyadnya, dan hakikat kematian.
Bab
IX berjudul Rāja Vidyāra Yoga terdiri
atas 34 seloka. Bab ini membahas hakikat dasar-dasar ajaran Raja Yoga
dengan judul Rāja Vidyā Rājaguhya Yoga. Dijelaskan hakikat raja
hanya sebagai istilah untuk menunjukkan raja dari semua ilmu (Vidyā), yaitu ajaran ketuhanan.
Dikatakan demikian karena segala hal yang ada berasal dari Tuhan. Oleh karena
itu, mempelajari Ketuhanan Yang Maha Esa dianggap sangat mulia dan ilmunya
merupakan ilmu tertinggi dari semua ilmu. Bab X berjudul Vibhuti Yoga
terdiri atas 41 seloka. Bab ini menjelaskan
sifat hakikat Tuhan yang absolut secara empiris. Dikatakan bahwa hakikat
absolut transendental sebagai akibat hakikat tanpa permulaan, pertengahan,
akhir. Demikian pula manifestasi Brahman
dalam alam semesta, sebagai kitab suci, Devata,
manusia, dan huruf yang semuanya memerlukan pengertian dan dasar-dasar keimanan
yang kuat.
Bab
XI berjudul Visva Rupa Darsana Yoga
terdiri atas 55 seloka. Visvarupa Darsana
Yoga sebagai penjelasan lebih lanjut dari ajaran Vibhuti Yoga yang mencoba menjelaskan bentuk manifestasinya secara
nyata. Dengan menyadari persamaan itu, maka terjawablah misteri yang ada pada
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai hakikat yang Mahaada. Bab XII berjudul Bhakti Yoga terdiri atas 20 seloka. Di
dalam bhakti yoga manusia bersembah
sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ada dua hal yang ingin dipertanyakan oleh
Arjuna, yaitu (1) menyembah Tuhan dalam wujudnya yang abstrak, dan (2) menyembah
Tuhan dalam wujud nyata misalnya, menggunakan nyasa atau pratima berupa
arca atau mantra.
Bab
XIII berjudul Ksetra Ksetrajna Vibhaga
Yoga terdiri atas 34 seloka. Bab ini membahas hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa yang dihubungkan dengan hakikat purusa
dan prakrti (pradana) sebagai nama-rupa. Kebutuhan nama-rupa
yang digelari dengan purusa dan prakrti adalah untuk memberi landasan
dalam penjelasan bagaimana mengenal Tuhan Yang Maha Esa sebagai hakikat yang
maha mengetahui. Demikian pula, bagaimana proses kejadian ini dari purusa dan prakrti sampai pada segala bentuk ciptaan alam semesta. Bab XIV berjudul Gunatraya Vibhaga Yoga terdiri atas 27
seloka. Bab ini membahas triguna atau
gunatraya, yaitu tiga macam guna yang
terdiri atas sattvam, rajas, tamas.
Manifestasi guna pada diri manusia dapat dilihat dari bentuk tingkah laku
mereka sebagai refleksi dari triguna.
Sebaliknya, yang menjadi tujuan pembahasan gunatraya
ini adalah bagaimana seseorang dapat mengatasi ketiga guna itu sehingga dapat mengatasi segala-galanya.
Bab
XV berjudul Purusottama Yoga terdiri
atas 20 seloka. Bab ini membahas pengertian purusa
sebagai asal dari semua ciptaan. Purusattama
atau purusa utama adalah purusa yang Mahatinggi, yaitu hakikat
Ketuhanan Yang Maha Esa dan hakikat Aku yang transendental. Ia adalah Brahman. Bahasan ini menggambarkan
hakikat hubungan antar Sang Pencipta dengan segala ciptaannya. Bab XVI berjudul Daivasura Sampad Vibhaga Yoga terdiri
atas 24 seloka. Bab ini intinya membahas hakikat tingkah laku manusia yang
dikenal sebagai perbuatan baik dan buruk. Krsna menggambarkan sifat-sifat baik
yang disebut sifat Devata dan
sifat-sifat jahat sebagai sifat-sifat raksasa atau asura.
Bab
XVII berjudul Sraddhatraya Vibhaga Yoga
teridiri dari 28 seloka. Sraddha Traya
Vibhaga Yoga bertujuan untuk meyakinkan,
agar manusia berkeyakinan akan tiga hal, yaitu triguna. Penekanan ini dimaksudkan sebagai penanggulangan terhadap
pengaruh yang timbul karena triguna
dengan tujuan akhir adalah untuk mencapai kesempurnaan hidup. Bab XVIII berjudul Samnyasa Yoga terdiri atas 78 seloka.
Bab ini merupakan bab terakhir dan simpulan dari semua ajaran yang menjadi inti
tujuan pelaksanaan agama, yaitu brahma
nirvana. Dengan simpulan ini, jelaslah bahwa Gita mencoba
mendorong Arjuna untuk bertindak tanpa ragu-ragu dan tidak mengikatkan diri pada
kewajiban dan akibat-akibatnya.
3. Brahmawidya Dalam Bhagawadgita
Brahmawidya
adalah kata dalam bahasa Sanskerta yang artinya sama dengan teologi, yaitu ilmu
yang mempelajari Tuhan (Pudja (1999:3). Menurut Bagus (2002:1090) teologi
dalam bahasa Yunani theologia
dibentuk dari kata theos berarti
Tuhan dan logos berarti wacana atau
ilmu, karena itu teologi berarti wacana atau ilmu tentang Tuhan. Teologi
merupakan bagian dari metafisika yang menyelidiki hal eksisten menurut aspek dari
prinsipnya yang terakhir – suatu prinsip yang luput dari inderawi tunggal.
Objeknya adalah Tuhan, yaitu esensiNya, eksistensiNya, dan aktivitasNya. Ilmu
tentang Tuhan tidak memberikan pengetahuan tentang Tuhan yang dalam setiap hal
sama dengan pengetahuan yang diperoleh dari ilmu tentang objek-objek pengalaman
inderawi. Pernyataan-pernyataan tentang Tuhan tidak memberikan pengetahuan yang
memadai tentang Dia, tetapi hanya pengetahuan yang bersifat analogis.
Pengetahuan
yang bersifat analogis ini menurut Pudja (1999:3) dalam kitab suci Hindu selain disebut Brahmawidya
juga disebut Brahmatattva
Jnana. Brahma berarti Tuhan, gelar yang
diberikan kepada Tuhan sebagai yang memberikan hidup pada ciptaanNya, Yang Mahakuasa.
Widya atau Jnana berarti ilmu. Tattva berarti hakikat
tentang Tat (Itu, yaitu Tuhan dalam bentuk Nirguna Brahman). Tattva
Jnana artinya sama dengan ilmu tentang hakikat, yaitu ilmu tentang Tuhan.
Inti dari Tattva adalah Panca Srada, yaitu lima keimanan menurut agama Hindu. Panca Sraddha terdiri atas lima kepercayaan, yaitu (1) Hyang Widhi, (2) Atman, (3) Karma
Phala, (4) Punarbhawa, dan (5) Moksa (Sudharta dan Punia
Atmaja, 2001:6). Kelima sradha inilah aspek yang
membangun konsep Brahmawaidya yang
hendak diungkap dalam Bhagawadgita.
3.1 Widhi
Sradha
Widhi menurut
Yasa (Sukarma & Budi Utama, 2010) adalah nama
Tuhan menurut umat Hindu di Bali, Indonesia. Kata “widhi” berasal dari bahasa
Sanskerta, yakni dari urat kata wi
“sempurna, tuntas”;
dhà “meletakkan, menaruh”. Widhi artinya takdir, hukum, aturan, penguasa tertinggi, pencipta,
Tuhan Yang Mahakuasa
(Sura, 2000:133). Widhi yang tunggal itu dipanggil dengan banyak nama
sesuai dengan fungsinya. Ia dipanggil Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai
pemelihara, dan Siwa sebagai pelebur, bahkan banyak lagi panggilan yang lainnya.
Ia Mahatahu berada di mana-mana. Orang menyembahNya dengan bermacam-macam cara
dan tempat yang berbeda. KepadaNyalah orang beragama menyerahkan diri, mohon kekuatan,
perlindungan, dan tuntunan, agar selamat tiba di tujuan kehidupan. Dalam
Bhagawadgita
dijelaskan bahwa Tuhan itu Brahman
yang pertama ada, satu adanya, bersifat kekal, pencipta, pemelihara, pelebur,
raja alam semesta, cahaya tertinggi, pelindung, dan inti alam semesta.
Kitab-kitab Upanisad menyatakan
realitas dari Brahman Tertinggi sebagai satu tanpa yang kedua,
tanpa atribut, tanpa penetapan-penetapan yang identik dengan Sang Diri terdalam manusia. Brahman merupakan subjek murni yang
eksistensinya tidak dapat ditolak menjadi dunia eksternal yang objektif. Dalam
hal ini, Brahman memiliki dua aspek,
yaitu Nirguna Brahman dan Saguna Brahman (Panitiya Tujuh Belas,
1986:45).
Kedua
aspek Brahman ini diperjelas lewat
pertanyaan Arjuna dalam Gita, XII.1, “bhakta
yang mantap senantiasa menyembahMu demikian dan yang lain lagi menyembah yang
Yang Abstrak, Yang Kekal Abadi; yang manakah dari keduanya ini yang lebih mahir
dalam yoga”. Seloka ini menyatakan bahwa terdapat dua macam pemusatan pikiran
dalam bhakti, yaitu kepada Tuhan yang
berwujud dalam aspek Saguna Brahman dan kepada Tuhan yang abstrak
dalam aspek Nirguna Brahaman. Demikian juga dengan jawaban
Yang Kuasa dalam Gita, XII. 2, “mereka yang memusatkan pikirannya padaKu,
dengan senantiasa mengendalikannya dan dengan penuh kepercayaan, merekalah yang
Aku anggap terbaik dalam pelaksanaan yoga”.
Ini berarti bahwa memuja
Tuhan yang berkepribadian, yaitu Saguna
Brahman merupakan cara terbaik dalam pelaksanaan bhakti. Sebaliknya, Tuhan dalam aspek Nirguna Brahman dijelaskan dalam Gita, XII.3, “mereka yang memuja
Yang Kekal Abadi, Yang Tak Terumuskan Yang Tak Nyata, Yang melingkupi
segalanya, dan Yang Tak terpikirkan, Yang Tak Berubah, Yang Tak Bergerak, Yang
Abadi”.
3.2 Atman Sradha
Atman
menurut Sudharta dan Oka
Punia Atmaja (2001:16-18)
merupakan
percikan dari Paratman yang berada di dalam makhluk. Ātman menghidupkan sarwaprani
(makhluk) di alam semesta. Indera tidak dapat bekerja, bila tidak ada Atman.
Brahman atau Hyang Widhi sebagai matahari dan Atman
sebagai sinarnya yang terpancar memasuki hidup semua makhluk. Pada dasarnya Atman
itu suci, tetapi setelah bersatu dengan tubuh ia kena pengaruh Maya. Atman sebagai roh individu dalam sifat
sejatinya dijelaskan dalam Gita, (II.11—25) berikut, (1) Acchedya, yaitu tak terlukai oleh senjata, (2) Adahya, yaitu tak terbakar oleh api, (3) Akledya, yaitu tak terkeringkan oleh angin, (4) Asesyah, yaitu tak terbasahkan oleh air,
(5) Nitya, yaitu abadi, (6) Sarwagatah, yaitu ada dimana-mana, (7) Sthanu, yaitu tak berpindah-pindah, (8) Acala, yaitu tak bergerak, (9) Sanatana, yaitu selalu sama, (10) Awyakta, yaitu tak dilahirkan, (11) Acintya, yaitu tak terpikirkan, (12) Awikara, yaitu tak berubah dan sempurna
bukan laki-laki ataupun perempuan.
Atman
dalam Gita,
II:16–18 dijelaskan,
“Dia adalah nyata, meliputi segalanya, kekal, abadi, tak terhancurkan, tanpa
batas”. Sementara itu, Gita, II:24 kembali menyatakan bahwa “Dia
kekal, meliputi segalanya, dan abadi selamanya”. Di samping itu, Gita (VI:31) menetapkan identitas Sang Diri
dengan Brahman yang terkandung dalam
diktum Weda, yaitu “sarva-bhūta-sthitam yo mām”, (‘dia yang memuja Aku
yang bersemayam pada semua insan’), atau “Dia adalah kamu”. Hal ini juga
tegaskan dalam Gita,
XVIII:61, “Yang Maha Esa
berdiam di hati setiap insan”. Dalam Gita, VI.29 dan 30, yaitu setelah
menjelaskan sifat asli dari “kamu”
dan “Dia” selanjutnya,
dinyatakan bahwa “sarva-bhūta-stham ātmānam sarva-bhūtāni cātmani”, (‘Atman ada pada semua insan dan semua insan ada
pada Atman’), dan juga
dijelaskan bahwa “Aku di mana-mana dan segalanya ada padaKu”. Kemudian, seloka
30 menjelaskan, “dia yang melihat Aku di mana-mana dan melihat segalanya ada
padaKu. Aku tak bisa lepas daripadanya dan dia tak bisa lepas daripadaKu”. Seloka ini, juga
menegaskan hubungan yang kekal antara Atman
dan Brahman.
3.3 Karmaphala Sradha
Karmaphala terdiri atas karma dan phala dari
bahasa Sanskerta. Karma berarti
perbuatan dan phala berarti buah,
hasil. Karma adalah prinsip
kerja yang diletakkan secara tuntas, widhi, untuk mengatur siklus hidup
segala makhluk ciptaanNya (Yasa
dalam Sukarma & Budi Utama, 2010). Dengan demikian, karmaphala berarti hasil dari perbuatan. Umat Hindu percaya bahwa
perbuatan baik memberikan hasil yang baik dan perbuatan buruk membawa hasil
yang buruk. Begitu juga Vivekananda (1991:1) menjelaskan
bahwa kata karma berasal dari kata kå yang berarti berbuat.
Segala perbuatan adalah karma. Istilah ini juga berarti akibat dari perbuatan. Apa yang
terjadi sekarang diakibatkan oleh perbuatan masa lampau. Bhagawadgita
(3:4--5) menyatakan bahwa seseorang tidak mungkin tidak berkarma. Manusia
dibuat tak berdaya oleh hukum alam ini. Di samping itu, tampa bekerja manusia
tidak mungkin mencapai kebebasan. Dalam Gita, III.5 dijelaskan bahwa tidak ada yang mampu
melepaskan diri dari karma, “walaupun untuk sesaat tak seorang pun mampu untuk tidak
berbuat karena manusia dibuat tak berdaya oleh hukum alam, yang memaksanya
bertindak”.
Artinya, eksistensi setiap makhluk senantiasa
merujuk pada hukum sebab-akibat. Untuk mempertahan eksistensinya, manusia
terikat pada karmanya, seperti
diterangkan Gita, III.8, “Bekerjalah seperti yang telah ditentukan, sebab
berbuat lebih baik daripada tidak
berbuat, dan bahkan tubuh pun tak akan berhasil terpelihara tanpa
berkarya”. Tegasnya, tanpa melakukan kerja, tanpa berbuat, dan tanpa berkarya,
manusia tidak dapat mempertahankan keberadaannya. Dunia akan hancur dan manusia
akan musnah, bila Tuhan tidak bekerja, seperti diuraikan Gita, III.24, “Dunia
ini akan hancur, jika Aku tidak bekerja; Aku akan menjadi pencipta kekacauan
ini dan memusnahkan manusia”. Dengan demikian, baik Tuhan maupun manusia tidak
dapat berhenti bekerja karena hanya dengan bekerja eksistensi alam semesta dan
manusia dapat dipertahankan. Tidak bekerja berarti kehancuran dan kemusnahan.
Jadi, keberadaan itu sepenuhnya merupakan wujud dukungan dari perbuatan
sehingga tidak ada sesuatu apapun yang dapat menghindarkan diri untuk tidak
berbuat.
3.4 Punarbhawa Sradha
Punarbhàwa berarti Atman dalam kondisi terjebak dalam lingkaran kelahiran karena pikiran cenderung larut dalam obyek
duniawi (Yasa dalam Sukarma & Budi Utama, 2010). Punarbhawa menurut Panitya Tujuh Belas (1986:78-94) serta
Sudharta dan Oka Punia Atmaja (2001:21-23)
berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri atas Punar yang berarti kembali, lagi, atau berulang; dan bhawa yang berarti lahir, hidup, ada,
menjelma atau berwujud. Jadi, punarbhawa
berarti lahir kembali, lahir lagi, tumimbal lahir, menjelma kembali, menitis, dumadi, mangjanma atau
reinkarnasi. Hal ini ditegaskan dalam Gita, II.27, “Sesungguhnya setiap yang
lahir, kematian adalah pasti, demikian pula setiap yang mati kelahiran adalah
pasti, dan ini tak terelakkan”. Seloka ini hendak menyatakan bahwa apa yang ada
tidak akan pernah berhenti ada dan apa yang tidak ada tidak akan pernah menjadi
ada tanpa diciptakan oleh Tuhan. Ini merupakan sebuah kepastian yang tak
terelakkan karena kelahiran sudah pasti akan diikuti oleh kematian dan kematian
diikuti pula oleh kelahiran. Setiap kelahiran disebabkan oleh bekas karma, untuk berkarma, dan menikmati karma.
Oleh karena itu, jiwa yang ada di dalam prakerti
menerima pengaruh dari sifat-sifat prakerti.
Dalam Gita, XIII.21 dikatakan, “Purusa yang diam dalam prakrti
mengalami triguna yang ada pada prakrti sendiri dan ikatan dengan atribut
menimbulkan akibat kelahiran”. Dalam hal
ini dapat pahami bahwa kelahiran atau menjelma kembali merupakan kesempatan
untuk menerima phalakarma yang belum
dinikmati pada masa kelahiran yang lalu. Di samping itu, juga diyakini sebagai
kesempatan untuk memperbaiki segala keburukan atau dosa yang dilakukan pada
masa kelahiran yang lalu. Artinya, kelahiran kembali merupakan kesempatan untuk
menyempurnakan hidup dan kehidupan hingga terhentinya kelahiran.
3.5 Moksa Sradha
Moksa
dalam Upanisad dijelaskan adalah keadaan Atman yang bebas dari ikatan dan bebas
dari punarbhawa dan samsara. Moksa
dapat dicapai, baik selama masih hidup maupun setelah meninggal dunia. Bila moksa dicapai selama masih hidup, orang
tersebut mencapai tingkat moral yang tertinggi dan kehidupannya sempurna.
Sebaliknya, bila moksa dicapai
setelah meninggal dunia, terjadilah menyatunya Atman dengan Brahman,
karena itu Atman tidak lahir kembali.
Moksa adalah tujuan tertinggi
kehidupan manusia dalam agama Hindu. Moksa,, yaitu menunggalnya Atman
dengan Brahman diyakini dapat dicapai, baik dalam kehidupan yang sedang
berlangsung maupun ketika telah meninggalkan badan jasmani. Dalam Gita, II:72 disebutkan dengan
“mencapai nirvana bersatu dengan Brahman”.
Begitu
juga Sudharta dan Punia Atmaja (2001:23) mengatakan bahwa hal ini dapat dicapai
hanyalah bila sudah bebas dari ikatan-ikatan keduniawian. Dalam hal ini, semua
indera benar-benar dapat dikuasai dan dikendalikan, seperti dinyatakan dalam
Gita, II.64 bahwa untuk mencapai nirvana
manusia harus “tetap menguasai indera-inderanya dan bebas dari kesenangan dan
kebencian”.
Begitu juga Gita, II:65 ditegaskan, “pikiran teguh dalam keseimbangan”, dan
Gita, II:71 menyebutkan, “mencampakkan semua keinginannya dan bebas tanpa
keinginan, bebas dari perasaan ‘aku’ dan ‘punyaku”. Keadaan ini disebut jiwanmukti atau moksa semasih hidup, seperti halnya prabhu Janaka dan Maharsi
lainnya yang telah bekerja tanpa pamrih memberikan kesejahteraan pada dunia.
Hal ini juga dijelaskan dalam Gita, III:20, “Sesungguhnya dengan kerja itu saja
prabu Janaka dan yang lainnya mencapai kesempurnaan”.
4. Humanisme Dalam Bhagawadgita
Humanisme menurut Bagus (2002:295)
mempunyai arti, antara lain (a) menganggap individu sebagai paling tinggi; (b)
menganggap individu sebagai sumber nilai terakhir; (c) mengabdi pada pemupukan
perkembangan kreatif dan perkembangan moral individu secara rasional dan berarti
tanpa acuan pada konsep-konsep tentang yang adikodrati. Dalam pengertian ini
humanisme diposisikan sebagai nilai terakhir pada kemanusiaan dan mengabaikan
nilai-nilai pada
konsep-konsep yang bersifat adikodrati. Kemudian, humanisme menurut Poedjawijatna
(1986:48-58) adalah kodrat manusia, yaitu kemanusiaan. Aspek-aspek dasar
kemanusiaan adalah akal (budi) sebagai daya untuk tahu dan kehendak (bebas)
sebagai daya untuk memilih. Kedua aspek inilah yang menjadikan manusia sebagai
individu yang berkepribadian. Aliran ini memandang bahwa yang baik itu adalah
yang sesuai dengan kodrat manusia. Oleh karena itu, tindakan dikatakan baik
bila sesuai dengan derajat manusia dan tidak mengurangi atau menentang
kemanusiaan. Dalam kajian ini humanisme didekati melalui etika sehingga
penekanannya pada tindakan-tindakan manusia dalam hubungannya dengan nilai baik
atau buruk.
Lebih
lanjut, Bhagawan Sri Sathya Narayana (Kasturi N, 1981) mengatakan bahwa
humanisme dalam konsep nilai-nilai kemanusiaan Hindu mempunyai lima dasar,
yaitu (1) sathya (kebenaran), (2) dharma (kebajikan), (3) prema (kasih), (4) shanti (kedamaian), dan (5) ahimsa
(tanpa kekerasan). Kelima dasar nilai kemanusiaan ini bersumber dari rasa kasih
sayang (prema). Oleh karena itu,
beliau berkata sebagai berikut.
(1) “Love as thought is truth” (‘kasih sayang
dalam bentuk pikiran adalah kebenaran, sathya’).
(2)
“Love
as action is right conduct” (‘kasih sayang dalam wujud perbuatan adalah
kebajikan, dharma’).
(3)
“Love
as feeling is peace” (‘kasih sayang dalam wujud rasa adalah kedamaian, shanti’).
(4)
“Love
as understanding is nonviolence” (kasih sayang dalam wujud pengertian
adalah tidak melakukan kekerasan, ahimsa’) (Kasturi N, 1981:68).
4.1 Sathya
Sathya adalah kebenaran. Dalam Kamus Istilah Agama Hindu (2002:103) satya berarti kebenaran, kejujuran, dan kesetiaan. Menurut Sudharta
(2003:5—6) sathya sebagai kebenaran
yang tertinggi. Seperti halnya golongan brahmana
di antara manusia, sebagai matahari di antara sumber cahaya, seperti kepala di
antara anggota badan, dan juga begitu halnya kebenaran di antara kewajiban
manusia. Dalam konteks perbuatan, Sadya (1992:26) menjelaskan bahwa kebenaran
dalam arti moral adalah sifat yang benar, kepribadian; dalam arti metafisik
kebenaran menyatakan kenyataan, dan kebenaran menjadi Sat. Satya diwujudkan
dalam tingkah laku, Sat adalah
tujuan, pengetahuan, dan realisasi atau pandangan. Artinya, kebenaran dapat
dipahami dari tiga demensi makna, yaitu (1) dalam arti metafisik, kebenaran
dipahami sebagai kenyataan (sat atau
‘ada’); (2) dalam arti moralitas, kebenaran dipahami sebagai sifat yang benar
atau kepribadian; dan (3) dalam arti tingkah laku, kebenaran dipahami sebagai
tujuan, pengetahuan, realisasi atau pandangan.
Kebenaran, juga
diungkapkan dalam Gita,
X.14, “saya percaya akan segala kebenaran yang Engkau katakan kepada saya”.
Ajaran sathya sebagai kebenaran
absolut ditegaskan dalam Gita II.45 bahwa “Veda
menguraikan triguna, bebaskanlah
dirimu daripadanya. Bebaskan diri dari dualisme, pusatkan pikiranmu kepada
kebenaran, lepaskan dirimu dari duniawi, bersatu dengan atman”.
Dalam Gita, IV. 9 juga dijelaskan bahwa “dia yang mengetahui sifat kelahiran
ilahi-Ku itu dan bekerja dengan sinar kebenaran, tak akan menjelma lagi setelah
meninggalkan badan jasmaninya dan datang kepada-Ku”. Seloka ini menegaskan
bahwa barang siapa mengetahui hal ini secara benar, maka ia tidak akan lahir
kembali setelah meniggalkan badan raganya, tetapi ia datang kepada Yang Maha
Esa dalam hidup yang sesungguhnya. Dalam Gita, X.7 dinyatakan bahwa “Yang
mengetahui dengan benar kemuliaan dan kekuatanKu yang dilengkapi dengan yoga yang tak tergoyahkan ini, tentang hal
itu tak diragukan lagi”. Seloka ini hendak menegaskan bahwa pengetahuan
kebenaran tidak akan tergoyahkan dan tidak akan diragukan lagi. Selanjutnya,
dalam Gita X. 12 kembali Arjuna menegaskan hakikat kebenaran dengan mengatakan,
“Engkau adalah Para Brahman, tempat kediaman tertinggi,
penyuci tertinggi, Purusa ilahi,
kekal abadi, devata pertama, tak
terlahirkan, mahakuasa, meliputi segalanya”. Selanjutnya, hakikat kebenaran
yang dijelaskan sebagai kemuliaan ilahi diuraikan dari bab X seloka 20 – 42.
4.2
Dharma
Dharma adalah kebajikan. Dalam Kamus Istilah Agama Hindu (2002:29) dijelaskan bahwa dharma berarti (1) kebajikan, kesucian,
kebenaran; (2) kewajiban, hukum. Begitu juga Sadya (1992) mengatakan dharma terdiri atas enam aspek, yaitu
(1) kebenaran, (2) hukum (rita), (3)
pediksan (diksa), (4) disiplin (tapas), (5) Brahman, dan (6) yadnya. Kemudian, Sivananda (1993)
mengatakan sangat sulit merumuskan definisi dharma,
tidak ada kata yang sama tepat dan tidak ada bahasa yang sempurna untuk
merumuskannya. Walaupun demikian, secara umum dharma didefinisikan sebagai kebajikan atau kewajiban, yaitu
prinsip-prinsip kebajikan, kekudusan, dan kesatuan. Dharma yang menuntun manusia menuju jalan kesempurnaan dan
kemuliaan, yang menolong manusia untuk memiliki penyatuan dengan Tuhan.
Realisasi diri adalah dharma yang
tertinggi. Dharma merupakan jantung
susila Hindu. Tuhan merupakan inti dari dharma.
Dharma adalah apa pun yang membantu
manusia untuk penyatuan segalanya dan mengembangkan cinta kasih Tuhan dan
persaudaraan universal.
Dharma tidak dapat dibatasi hanya
pada masyarakat atau bangsa tertentu karena dharma
berhubungan dengan kehidupan semua makhluk hidup di dunia. Dharma atau kebajikan merupakan sifat dasar dan karakter manusia.
Dalam hal ini, Krsna mengajarkan dharma melalui Gita tidak hanya kepada
Arjuna, tetapi untuk seluruh umat manusia. Menurut Bhagavan Sri Narayana (Retno
1999:10) bahwa Ajaran Gita tersebut bukan untuk kasta, agama, ataupun bangsa
tertentu saja. Ajaran Gita adalah napas utama kehidupan semua manusia di dunia.
Hal ini ditegaskan dalam Gita IV.11, “bagaimanapun jalan manusia mendekatiKu,
Aku terima. Manusia mengikuti jalanKu pada segala jalan”. Walaupun diajarkan
empat jalan yang disebut catur yoga
dalam mencari pencerahan, tetapi masih dimungkinkan jalan lain lagi asalkan
jalan itu diretui oleh Tuhan. Selanjutnya dalam Gita, XIV.27 dinyatakan, “Tuhan
adalah amrta yang kekal dan tak
termusnahkan, dharma abadi, dan
kebahagiaan tertinggi”. Dalam seloka ini dharma
dinyatakan sebagai air kehidupan, sebagai sumber kebahagiaan yang tidak
habis-habisnya. Dengan demikian, manusia hendaknya memusatkan dirinya dalam dharma karena dharma adalah sifat dasar hidup itu sendiri.
4.3
Bhakti
Bhakti
adalah kasih yang ditujukan kepada Tuhan. Dalam Kamus Istilah Agama Hindu dijelaskan (2002) bhakti berarti hormat, bakti. Bhakti
marga berarti jalan bhakti; melaksanakan agama dengan jalan
sembahyang, mempersembahkan upakara,
dan sebagainya. Artinya, bhakti
adalah sumber dan asal kedamaian batin. Dalam Gita XII.13 dan 14 dikatakan
bahwa “dia yang tidak membenci segala makhluk, bersahabat dan cinta kasih,
bebas dari kekuatan dan keangkuhan, sama dalam suka dan duka, pemberi maaf”.
Selanjutnya, dalam Gita, XII.14 dikatakan bahwa “seorang yogi yang selalu puas,
mantap dalam meditasi, mengendalikan diri, memiliki keyakinan yang teguh,
dengan pikiran dan kecerdasan dipusatkan kepadaKu, ia sesungguhnya bhakta-Ku yang terkasih”. Seloka ini
menganjurkan yang harus dilaksanakan oleh bhakta
yang sedang melakukan pendakian spiritual. Dengan begitu, seorang bhakta dapat mengukur dan menilai kadar
kasih yang telah dihayati dan diamalkan dalam hidupnya. Walaupun tampaknya
begitu sederhana dan mudah, tetapi memerlukan penghayatan dan kesadaran yang
harus dilalui dalam proses waktu dan disiplin spiritual yang ketat. Artinya, bhakti adalah kasih, persembahan, dan
rasa hormat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Demikian juga ditegaskan, manusia
hendaknya mengasihi semua makhluk (advesta
sarva-bhutanam).
Sebaliknya, Gita IV.7
dan 8 kembali lagi menjelaskan bahwa
Tuhan menunjukkan kebesaran kasihNya dengan menjelma menjadi manusia biasa,
yaitu sebagai avatara ketika hendak
melindungi dharma dari adharma dan menyelamatkan orang-orang baik
dari orang jahat. Artinya, untuk melindungi perkembangan dunia, Tuhan Yang Maha
Kuasa menjelma mengambil wujud manusia sebagai avatara. Dalam wujud avatara,
Beliau dapat dipahami dan dihormati terutama oleh mereka yang kurang bhakti. Mereka ini akan menganggap
perwujudan Tuhan sebagai manusia biasa karena tidak mampu memahami prinsip yang
mutlak. Oleh karena itu, Gita, IX.11 mengatakan, “karena Aku berada dalam tubuh
manusia, mereka yang tolol tidak menghiraukan Aku, tidak mengetahui prakerti-Ku
yang lebih tinggi sebagai Penguasa Agung dari segala yang ada’). Artinya, bagi
mereka yang telah mantap dalam bhakti
sekaligus memiliki pengetahuan kebijaksanaan yang mantap sehingga dapat
menunjukkan pengabdiannya kepada Tuhan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud.
4.4 Ahimsa
Ahimsa
adalah tindakan tanpa kekerasan. Menurut Sudharta (2003:18—19) bahwa orang harus mencurahkan pikiran pada
pelaksanaan kebenaran saja. Ia tidak boleh melakukan kekerasan kepada sesama
manusia. Dalam Kamus Istilah Agama Hindu
(2002) dijelaskan bahwa ahimsa
berarti tidak membunuh-bunuh, tidak menyakiti. Dijelaskan pula bahwa ahimsa adalah dasar pertama dalam asta anggayoga untuk mencapai samadhi. Artinya, ahimsa tidak terbatas dimaknai hanya sebagai tindakan yang tidak
membunuh-bunuh dan tindakan yang tanpa kekerasan, tetapi dimaknai juga sebagai
tindakan yang tidak menyebabkan makhluk lain berduka cita. Oleh karena itu,
Gita seolah-olah tampak tidak mengajarkan ahimsa
karena Krsna menganjurkan agar Arjuna mau mengangkat senjata untuk berperang,
membunuh. Sebaliknya, Arjuna menolak untuk berperang dan berteori tidak memakai
kekerasan adalah ajaran cinta kasih yang tinggi. Dikatakan bahwa berperang itu
bertentangan dengan ajaran ahimsa
yang melarang membunuh-bunuh. Seperti dijelaskan dalam Gita, XVII.14 bahwa ahimsa adalah salah satu tapa dari badan, yaitu “pemujaan kepada
para dewa, para dwijati, guru, dan
orang arif bijaksana; kemurnian, kejujuran, pengendalian nafsu dan tanpa
kekerasan ini dikatakan sebagai tapah
dari badan”.
Perasaan Arjuna mengenai ahimsa
diuraikan dalam Gita I. 28—39, yaitu dalam seloka 28 dinyatakan bahwa “dengan
menyaksikan orang-orangku sendiri, yang berbaris siap untuk berperang”. Dalam seloka 29 dijelaskan bahwa “anggota tubuh
saya menjadi lemas, mulut saya terasa kering, sekujur badan saya gemetar, dan
bulu roma saya berdiri”. Dalam
seloka 30 dijelaskan, “busur Gandeva lepas dari tangan saya, dan seluruh kulit
saya terasa panas membara, tidak kuasa lagi berdiri dan pikiran saya kacau tak
menentu”. Dalam seloka 31 dinyatakan, “tidak ada baiknya
saya membunuh rakyat sendiri dalam peperangan ini”.
Dalam seloka 35 dikatakan, “aku tak hendak membunuh mereka, sekalipun (mereka)
membunuhku”. Dalam seloka 36 dijelaskan, “kebahagaiaan apakah
yang akan kita nikmati setelah membunuh, hanya dosalah yang akan datang”. Dalam
seloka 37 dikatakan bahwa “karenanya, tidak patut kita membunuh, bagaimana kita
bisa bahagia dengan membunuh”.
Kemudian, dalam seloka 39 dijelaskan, “membasmi keluarga merupakan suatu dosa”.
4.5 Santih
Santih
adalah kedamaian. Dalam Kamus Istilah
Agama Hindu (2002) dijelaskan bahwa santih
berarti ketenangan, ketentraman, dan kedamaian. Dalam Gita, XVIII.62 dikatakan,
“berlindunglah engkau kepada Dia, dengan seluruh jiwa ragamu, engkau akan
mencapai kedamaian tertinggi dan tempat yang kekal abadi”. Seloka ini hendak
memperingati manusia bahwa untuk menuju pada kedamaian, jalan yang harus
dilakukan adalah dengan sujud bhakti
dan tunduk ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk mencapai kedamaian diuraikan dalam Gita,II.64—71. Dalam Gita II.64 ditegaskan, “tetap
menguasai indera-indera dan bebas dari kesenangan dan kebencian”. Dalam Gita. II.65, “jiwa yang tenang dan teguh
dalam keseimbangan”. Dalam Gita II.66, “pikiran yang terkendalikan dan
terpusatkan”. Dalam Gita II.69, dijelaskan, “dapat mengendalikan panca indera
sepenuhnya dari segala objek keinginan
dan Gita II. 68, “tetap
tenang tidak bergerak. Dalam Gita
II. 71 dijelaskan, “bertindak bebas
tanpa keinginan dan bebas dari perasaan ‘aku’ dan ‘punyaku’, ia mencapai
kedamaian”. Jadi,
keadaan dalam kedamaian itu berarti badan, mental, spiritual, dan rohani ada
dalam keadaan yang harmonis dan selaras serta terselamatkan.
5. Menuju Teologi Humanitas
Teologi humanitas merupakan rekonstruksi dua konsep yang berbeda,
yaitu teologi dan humanitas. Teologi adalah ilmu tentang Tuhan. Tuhan seperti
diajarkan dalam dogma agama yang merumuskan hakikat Tuhan
yang dikenal, dialami, dan dipercaya, serta kehendakNya untuk manusia dan dunia
(Hardjana, 2005:51). Sebaliknya,
humanitas adalah keadaan kemanusiaan akibat dari proses humanisasi. Dalam hal ini,
humanitas merupakan pemikiran yang menempatkan kemanusiaan sebagai yang utama,
yaitu otonomi manusia. Otonomi ini
meliputi semua kekuatan dan kemampuan aktivitas manusia yang lahir dari ego
yang sadar. Dengan
demikian, kedua konsep ini sesungguhnya memiliki tegangan di dalamnya dirinya
sendiri. Teologi melakukan penyelidikan dengan memusatkan pemikiran pada Tuhan
(teoposentris) dan sebaliknya, humanitas melakukan penyelidikan
dengan memusatkan pemikiran pada manusia (antroposentris).
Konsekuensi dari konsep teologi humanistas
ini, antara lain segala tindakan yang bertentangan dengan hakikat kemanusiaan,
walaupun tindakan itu mengatasnamakan teologi adalah tindakan yang tidak benar,
karena itu sekaligus adalah tindakan yang buruk. Dengan demikian, umat beragama harus mampu merekonstruksi
teologi agamanya agar mampu memuliakan kemanusiaan. Sederhananya, apabila Tuhan
adalah Maha Pengasih kepada makhluk dan alam, maka bhakti manusia kepada Tuhan harus diwujudkan melalui kasih sayang
bukan hanya kepada Tuhan, tetapi juga kepada makhluk dan alam yang dikasihi
oleh Tuhan. Model sradha-bhakti semacam ini dapat ditelusuri dalam panca yadnya.
5.1 Dewa Yadnya
Dewa Yadnya terdiri atas kata “dewa” berasal dari bahasa
Sanskerta “Div” yang artinya sinar
suci dan Yadnya artinya persembahan
atau kurban. Dewa
Yadnya adalah
persembahan atau kurban suci kepada Hyang Widhi dalam
manifestasinya sebagai dewa-dewi. Kurban suci ini dilaksanakan secara rutin atau berkala dan hari-hari khusus,
seperti masaiban, dan hari
suci. Dalam masyarakat Hindu di Bali, Dewa Yadnya dilaksanakan menurut perhitungan wuku, wewaran, dan sasih,
seperti kajeng kliwon, purnama-tilem,
tumpek, buda kliwon, buda cemeng, buda umanis, anggar kasih, dan lainnya
yang sejenis. Sementara itu, bentuk upacaranya dapat berupa piodalan di pura atau marajan, ngenteg linggih atau mendem padagingan, dan melasti. Dewa Yadnya, juga dilakukan dalam bentuk rarahinan, seperti galungan
dan kuningan, tumpek (wayang, landep, bubuh, dan kandang), pagerwesi, saraswati, siwaratri, dan
nyepi (Panitiya Tujuh Belas,
1986:171; Tim Penyusun, 2002:49; Nala dan Wiratmadja, 1993:177).
Dalam Gita, IV:24 disebutkan, "Dipujanya Brahman, persembahannya
Brahman, oleh Brahman dipersembahkan dalam api Brahman, dengan memusatkan
meditasinya kepada Brahman, dalam kerja ia mencapai Brahman". Artinya, dewa yadnya merupakan satu upaya manusia membangun
dan menata hubungan dengan Tuhan yang dimanifestasikan dalam bentuk dewa-dewi
dan bhatara-bhatari agar lebih mudah
melakukan pengahayatan dan mengapresiasikannya dalam keberagamaan. Pemujaan dan
pemuliaan yang dilakukan kepada Tuhan melalui berbagai macam upacara agama
merupakan upaya manusia menunjukkan kelemahan dan kekurangannya di hadapan yang
Mahakuasa dan Mahakasih.
5.2 Pitra Yadnya
Pitra
Yadnya terdiri atas dua unsur,
yaitu pitra artinya roh manusia yang
sudah meninggal dan yadnya artinya
upacara persembahan suci. Pitra
Yadnya adalah upacara pemujaan yang di tujukan
kepada para Pitara dan roh-roh
leluhur. Pitra Yadnya juga berarti
penghormatan dan pemeliharaan atau pemberian sesuatu yang baik dan layak kepada
ayah-bunda dan kepada orang tua yang telah meninggal dalam keluarga sebagai
suatu kelanjutan rasa bakti seorang anak atau keturunan (sentana) terhadap leluhurnya. Pelaksanaan upacara Pitra Yadnya dipandang penting karena sentana mempunyai hutang budi dan jiwa kepada leluhur.
Melalui pitra
yadnya manusia membangun dan menata hubungannya dengan pitra atau leluhur sebagai simbol pencapaian masa lalu yang layak
diteruskan kepada generasi berikutnya. Pitra
sebagai cikal-bakal generasi masa kini merupakan kekuatan untuk menentukan masa
depan yang belum tentu seindah masa kini, karena itu mengacu kepada pencapaian
masa lalu menjadi tindakan bijaksana. Mengingat masa lalu menciptakan dan
mewariskan tradisi yang dijadikan landasan tingkah laku pada masa kini untuk
masa depan yang lebih indah sehingga masa lalu adalah kebenaran. Hakikat
kebenaran yang hanya berlaku dalam dunia-kehidupan yang bersifat relatif tentu
masih layak diuji melalui monitoring perilaku dalam reflektivitas tindakan yang
terus-menerus diubah oleh tradisi itu sendiri. Dengan begitu, tradisi bukan
barang baku dan kaku yang tidak berubah mengikuti zaman, tetapi tradisi
bersifat dinamis berubah seturut dengan perkembangan zaman.
5.3 Rsi Yadnya
Resi Yadnya
adalah upacara yang ditujukan
kepada para maharesi,
orang-orang suci, pinandita,
dan guru yang pelaksanaannya
dapat diwujudkan dalam bentuk upacara diksa, penobatan sulinggih;
membangun tempat
pemujaan sulinggih; menghaturkan/memberikan punia pada saat
tertentu kepada sulinggih; mentaati, menghayati, dan mengamalkan
ajaran-ajaran atau nasihat dari sulinggih;
dan membantu pendidikan
agama (Nala dan Wiratmadja, 1993:196; Panitiya Tujuh Belas,
1986:170; Tim Penyusun, 2002:52). Rsi Yadnya
juga berupa sedekah atau punia atau
persembahan kepada para pandita dan/atau
para pemimpin upacara keagamaan. Sedekah atau persembahan ini dapat dilakukan
pada waktu-waktu tertentu, yaitu pada saat menyelesaikan upacara atau
memberikan diksa kepada sisyanya.
Artinya, umat Hindu hendaknya menghormati orang-orang
suci dengan melakukan Rsi Yadnya
karena tugas dan fungsi pandita atau Rsi, antara lain memimpin upacara yadnya, menyebarkan Weda,
menyelsaikan masalah keagamaan. Memimpin upacara yadnya adalah tugas pandita
(rsi) untuk menyelesaikan upacara yadnya yang dilaksanakan umat Hindu. Menyebarkan Weda berkaitan dengan kewajiban pandita (rsi) sebagai pengajar dan pendidik sebagai perantara ilmu
pengetahuan Weda kepada para
siswanya. Memecahkan masalah keagamaan berkaitan dengan kewajiban pandita (rsi) berperan secara aktif dalam memecahkan masalah-masalah yang
ada hubungannya dengan keagamaan. Misalnya, penentuan hari-hari baik untuk
melakukan yadnya dan memulai suatu
pekerjaan-pekerjaan penting lain.
5.4 Bhuta Yadnya
Bhuta
Yadnya terdiri atas kata “Bhuta” yang artinya unsur-unsur alam dan
kata “Yadnya” yang artinya
persembahan. Bhuta Yadnya berarti
persembahan kepada alam semesta. Kata “Bhuta”
sering dirangkaikan dengan kata “Kala”
yang artinya “waktu” atau “energi”. Bhuta
Kala artinya unsur alam semesta dan kekuatannya. Bhuta Yadnya adalah pemujaan dan persembahan yang ditujukan ke
hadapan Bhuta Kala untuk menjalin
hubungan yang harmonis. Bhuta
Yadnya adalah
kurban suci kepada sarwa bhuta, yaitu makhluk lain, baik yang terlihat (sekala) ataupun yang tidak terlihat (niskala), hewan (binatang),
tumbuh-tumbuhan, dan berbagai jenis makhluk lain yang merupakan ciptaan Hyang
Widhi Wasa. Tegasnya, Bhuta
yadnya bermakna memelihara kesejahteraan alam.
Melalui bhuta
yadnya manusia Hindu membangun dan
menata hubungannya dengan alam dan segala jenis sifatnya. Hubungan ini
ditujukan untuk menjaga keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan dirinya
dengan alam semesta. Dengan begitu, manusia memahami dan menghayati sifat-sifat
alam untuk membangun dan menata pikiranya, agar selalu selaras dengan
prinsip-prinsip hukum alam (Rta).
Berdasarkan pikiran ini, manusia kembali membangun dan menata tingkah lakunya
sesuai dengan prinsip-prinsip hukum moral (Dharma).
Berdasarkan kedua prinsip-prinsip hukum ini manusia menjalakan karmanya, agar
tercapai tujuan kehidupan, yaitu keindahan, kegirangan, dan kebahagiaan. Inilah
upaya manusia menciptakan kemuliaan bagi semua makhluk dan alam semesta.
5.5 Manusa Yadnya
Manusa
yadnya menurut Putra (1998:33) adalah
pemeliharaan, pendidikan, serta penyucian secara spiritual terhadap seseorang
sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir hidupnya. Sejalan
dengan hal ini, Sudharta dan Punia Atmaja (2001:63) menjelaskan bahwa manusa yadnya adalah pengorbanan suci
yang ditujukan kepada kesempurnaan hidup manusia. Dijelaskan pula bahwa upacara
ini dapat dilaksanakan dengan bermacam-macam cara, antara lain (1) mengadakan
upacara selamatan pada waktu bayi dalam kandungan, bayi baru lahir, bayi
berumur 42 hari, bayi berumur 3 bulan, bayi berumur 6 bulan, anak meningkat
dewasa, potong gigi, dan kawin (wiwaha);
(2) mengadakan usaha untuk kemajuan serta kebahagiaan hidup anak dalam
masyarakat antara lain menyelenggarakan pendidikan dan kesehatannya; dan (3)
menolong serta menghormati sesama manusia misalnya, menghormati tamu (atithi krama) dan menolong orang
menderita secara tulus ikhlas.
Begitulah
manusia Hindu membangun dan menata hubungannya dengan sesama dan dengannya
mereka membangun dunia-kehidupan demi keberlanjutan bangsanya. Hubungan dengan
sesama dilakukan bukan hanya bermakna kemanusiaan saja, tetapi juga tidak lepas
dari makna ketuhanan, keleluhuran, keguruan, dan kealaman. Dalam hal ini,
antara manusia dan tuhan, bahkan dengan leluhur, guru, dan alam tidak
dipisahkan secara tegas. Semua dan keselurhannya dimengerti dan dipahami
sebagai ketunggalan yang utuh dalam keselarasan dan keharmonisan. Jadi, melalui
upacara manusia yadnya manusia
menetapkan dan menjalin hubungan mesra dengan semua elemen yang membangun
dirinya, bahkan melalui upacara perkawinan manusia menjaga kelangsungan
bangsanya.
6. Penutup
Pertama, brahmawidya dalam Bhagawadgita terangkum melalui panca sradha, yaitu
(1) kepercayaan kepada Hyang Widhi
Wasa, (2) Atman, (3) Karma Phala, (4) Punarbhawa, dan (5) Moksa.
Inilah ajaran tentang Tuhan, yaitu dogma agama Hindu yang
merumuskan hakikat Tuhan yang dikenal, dialami, dan dipercaya, serta kehendakNya
untuk manusia dan dunia. Tuhan itu Brahman merupakan azas penyebab yang membangun dan sekaligus sebagai
esensi keberadaan, yaitu Atman.
Keberadaan ini mewujud dan ditentukan oleh Karma
sekaligus menunjukkan kehadiran setiap keberadaan. Mengingat adanya penyebab
dan perbuatan sehingga setiap keberadaan mesti dan harus menerima akibat dari
kehadirannya, yaitu Punarbhawa.
Akibat ini sekaligus menentukan dan menunjukkan kualitas kehadiran berikutnya, Samsara. Pada prinsipnya, baik Punarbhawa maupun Samsara hanyalah akibat dan bukan tujuan. Tujuan terakhir yang
sesungguhnya adalah tidak mengalami akibat dari kehadiran. Inilah Moksa, yaitu kembalinya Akibat kepada
Penyebab, Atman kembali lagi sebagai Brahman.
Kedua, humanisme dalam Bhagawadgita
terdiri atas lima nilai kemanusiaan, yaitu sathya, dharma, bhakti, ahimsa, dan prema. Sathya adalah
hakikat kebenaran, yaitu kebenaran absolut. Sathya
dalam kehidupan manusia bermakna sebagai dharma,
yaitu kebajikan, kewajiban hidup, dan hakikat sifat manusia. Sathya yang ditunjukkan sebagai sikap
tunduk dan sujud ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa adalah bhakti, pengabdian kepada sesama makhluk, inti dari yadnya. Sathya sebagai landasan moralitas dalam tindakan dan tingkah laku
yang berwujud kasih sayang kepada sesama makhluk sehingga tidak membiarkan
orang lain dalam kebodohan dan keterikatan material adalah ahimsa. Kemudian, Sathya
sebagai dasar komitmen, cita-cita, dan tujuan hidup manusia adalah santih, yaitu kedamaian dan kebahagiaan,.
Ketiga, teologi humanitas terdiri atas lima pola hubungan manusia
yang kekal, yaitu panca yadnya. Dewa Yadnya menetapkan cara membangun
dan menata hubungan dengan Tuhan, Widhi Wasa. Melalui upacara dewa yadnya ini manusia Hindu hendak meningkatkan kualitas
dirinya dengan lebih mengerti dan memahami kehendak Tuhan atas dunia-kehidupan
yang sedang dijalaninya. Pitra Yadnya
menetapkan cara membangun dan menata hubungan dengan leluhur, orang-orang dekat
yang telah meninggal. Rsi Yadnya
menetapkan cara berhubungan dengan guru, baik guru rupaka (ayah dan ibu), wiwesa
(pemerintah), pengajian (guru
pendidik termasuk para rsi dan yogi),
maupuan swadyaya (Tuhan). Bhuta
Yadnya memberikan cara melakukan
hubungan dengan alam semesta, yaitu panca
mahabhuta, lima unsur dasar pembentuk raga manusia. Melalui yadnya ini, manusia Hindu berupaya
memahami substansi dirinya yang tiada lain adalah anasir api, angin, air,
tanah, dan akasa, serta pikiran, ego, dan kesadaran. Kemudian, manusa yadnya menetapkan cara membangun dan
menata hubungan manusia dengan sesama, yaitu dengan menyediakan makanan karena
makanan dapat menjamin kelangsungan kehidupan, menjalankan kehidupan dengan
susila karena manusia tidak sepenuhnya makhluk aktif-kreatif, dan membangun
ketenteraman dunia-kehidupan.
Daftar Kepustakaan
Adian, Donny
Gahral. 2002. Pilar-pilar Filsafat
Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra
Azra, Azyumardi.
2011. “Culture of Violence and Violence in the Name of Religion“. Makalah. Disampaikan dalam Seminar
dengan tema “Agama dan Kekerasan” pada Program Pascasarjana Universitas Hindu
Indonesia (UNHI) Denpasar.
Bagus, Lorenz. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta:
Gramedia.
Bahar,
Saafroedin. 2001. Konteks
Kenegaraan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Sinar Harapan.
Capra, Fritjop. 2001. The Tao Of Phisycs: Menyingkap Paralelisme
Fisika Modern dan Mistisisme Timur. Yogyakarta: Jalasutra.
Cika, I Wayan. 2003. Kakawin Sabha Parwa Analisis
Filologis. Kuta Bali: Pustaka Larasan.
Drucker, A.
1988. Intisari Bhagavad Gita. Jakarta:
Yayasan Sri Satya Sai Indonesia.
Endraswara,
Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian
Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Gadamer,
Hans-George. 2006. Hermeneutika. Yogyakarta:
LKiS Pelangi Aksara.
Djelantik, Ida Ketoet. 1971. Geguritan Bhagawad Gita. Stensilan: Singaraja.
Kasturi, N. 1981. Pancaran Kasih (Prasthana Vahini) Bhagavan Shri Sathya Sai Baba. Jakarta: Yayasan Sai Centre
Indonesia.
Klostermaier, 1988. A Short Introduction to
Hinduism. London: Oxford University Press.
Lavine, T.Z. 2002.
Sartre : Filsafat Eksistensialisme
Humanis. Yogyakarta: Jendela.
Luniya, B.N.
2002. Indian Culture. Agra.
Mahendra, A.A. Oka, dkk. Supartha, Wayan
(ed) 1994, Hak Asasi Manusia Dalam Hindu.
Denpasar: Pustaka Manikgeni.
Mantik, Agus S.
2009. Bhagawadgita Terjemahan dan
Komentar. Jakarta: Hanuman Sakti.
Mantra, Ida
Bagus. 2009. Bhagawadgita Alih Bahasa
& Terjemahan. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali Percetakan Buku-buku
Penutun Agama Hindu Pasraman Remaja
Pendit, Nyoman S. 2002. Bhagawadgita.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Phalgunadhi, I
Gusti Putu. 2010. Sekilas Sejarah Evolusi
Agama Hindu Edisi Revisi. Denpasar: Widya Dharma.
Poedjawijatna.
1996. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta:
Rineka Cipta.
Poespoprodjo, L. 1987. Interpretasi:
Beberapa Catatan Pendekatan Filsafatinya. Bandung : Remaja Karya.
Pudja, Gde. 1981. Bhagawad Gita. Jakarta:
Hanuman Sakti.
-------------. 1999. Filsafat Hindu. Surabaya:
Paramita.
Raganathananda, Swami. 1996. “Pelayanan sebagai Pemujaan”. Artikel dalam Yajna Basis Kehidupan (Sebuah Canag Sari). Suamba, Ida Bagus Putu. (ed), 1996.
Denpasar: Warta Hindu Dharma.
Ratna, I Nyoman
Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Tekhnik
Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Riffaterre,
Michael. 1978. Semiotic of Poetry. London:
Indiana University Press.
Sharma, L.P.
2001. History of Ancient India:
Pre-Historic Age to 1.200 AD. New Delhi: Motilal Banarsidas.
Stevenson & Haberman. 2001. Manusia dan Kemanusiaan. Yogyakarta:
Kanisius.
Sudharta, Tjokorda
Rai. 1990. Ajaran Moral
dalam Bhagawadgita. Jakarta: Hanuman Sakti.
Sudharta, Tjok. Rai dan Ida Bagus Oka
Punyatmaja. 2001. Upadesa: tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu. Surabaya:
Paramita.
Sugiharto, I.
Bambang. 1996. Postmodernisme Tantangan
Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Sukarma, I Wayan. 2005. “Pengendalian
Diri dan Menjadi Diri Sendiri”. Artikel. Diterbitkan
dalam Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia “Widya Wretta”. Denpasar.
Suprayogo, Imam, dan Tobroni. 2001. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Sura, I Gde, dkk. 2002. Kamus Istilah Agama Hindu. Denpasar:
Pemerintah Provinsi Bali.
Sutrisno, Mudji.
2001. Humanisme, Krisis, Humanisasi. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Takwin, Bagus.
2001. Filsafat Timur Sebuah Pengantar ke
Pemikiran-Pemikiran Timur. Depok: Jalasutra.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori
Sastra. Jakarta Pusat: Pustaka Jaya.
Tim Penerjemah. 1986.
Bhagawadgita Menurut
Aslinya karya
Swami Prabhupada A.C. Bhaktivedanta. P.O. Box
2694 Jakarta Pusat 10001.
Tuhuleley, Said,
Adde Marup WS, Haedar Nashir (ed.).2003. Masa
Depan Kemanusiaan. Yogyakarta: Jendela.
Yasa, I Wayan
Suka. 2010. Rasa Daya Estetik-Religius
Geguritan Sucita. Denpasar: Sari Kahyangan Indonesia.
Zimmer, Heinrich. 2003. Sejarah Filsafat India. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.