PROF. DR. IDA BAGUS MANTRA



PROF. DR. IDA BAGUS MANTRA
Membangun Harga Diri Orang Bali

I Wayan Sukarma

“Orang Bali harus menyadari harga dirinya” (Panitia, 2006:24). Begitulah pesan moral Ida Bagus Mantra kepada orang Bali karena merasa prihatin pada tradisi Bali yang semakin ditindas oleh budaya Barat. Kolektivisme, kebersamaan, kekeluargaan, dan gotong royong yang menjadi ciri tradisi Bali digilas oleh budaya Barat yang teridentifikasi sebagai konstruk budaya modern. Budaya modern yang lazimnya berdiri di atas prinsip-prinsip rasio, subjek, identitas, ego, totalitas, ide-ide absolut, kemajuan linear, objektivitas, otonomi, emansipasi, dan oposisi biner. Kecemasan moral itu, juga muncul karena harga diri berada di lubuk hati yang paling dalam sehingga begitu abstrak, sublim, dan tidak mudah diraba, karena itu cenderung terlupakan. Padahal harga diri orang Bali adalah aspek rohani dari tradisi Bali, yaitu inti kebudayaan yang dipraktikkan di desa pakraman. Harga diri orang Bali, juga menyebabkan dinamika kebudayaan tetap terjaga sehingga tradisi Bali selalu hidup inheren dalam perubahan zaman. Harga diri adalah kekuatan moral yang menyebabkan orang Bali dapat mengambil tanggung jawab sosial dan budaya dalam rangka membangun ketertiban sosial dan keteraturan budaya. 
Harga diri orang Bali menurut Ida Bagus Mantra dapat dibangun dan ditata melalui lima hubungan korelasional antara agama, seni, budaya, bahasa, dan ekonomi yang disebut dengan landasan kebudayaan (Atmaja, (Ed), 1988; Panitia, 2006; dan Agastia, 2006). Agama Hindu merupakan spirit dan sumber inspirasi kebudayaan Bali sehingga perlu dibangun dan dikembangkan secara maksimal melalui lembaga pendidikan tinggi. Untuk itu didirikanlah Institut Hindu Dharma (sekarang: Universitas Hindu Indonesia – Unhi). Agama Hindu merupakan spirit pengembangan kesenian Bali sehingga seni Bali dapat dibedakan atas tiga hal, yaitu sakral (wali), sakral-profan (bebali), dan profan (balih-balihan). Untuk membangun dan mengembangkan kesenian Bali didirikanlah Akademi Seni Tari Indonesia (sekarang: Institut Seni Indonesia ISI). Kemudian, budaya dikembangkan melalui pembangunan Werdi Budaya (Art Centre) dan pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB). Bahasa sebagai satuan kebudayaan dikembangkan melalui Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Sementara itu, ekonomi dibangun melalui pengembangan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dan Badan Usaha Desa Adat (BUDA) (Sukawati (Ed), 1993; Tim Penulis, 1998; Panitia, 2006). Semua itu merupakan gagasan dan karya monumental Ida Bagus Mantra untuk masyarakat Bali.
“Kita ingin agar masyarakat belajar bertanggung jawab pada agamanya” (Panitia, 2006:29), ungkap Ida Bagus Mantra ketika hendak membangun ide dasar kebudayaan Bali. Belajar bertanggung jawab pada agama adalah suatu proses pengenalan dan pemahaman tentang agama Hindu agar lebih mudah dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari menjadi tatanan nilai, yaitu kebudayaan. Ida Bagus Mantra menyadari bahwa kebudayaan itu bersifat dinamis dan transformatif sehingga pemahaman tentang inti kebudayaan menjadi hal yang paling strategis. “Menghadapi perubahan-perubahan yang terus-menerus dari waktu ke waktu, kita perlu mengetahui lebih mendalam tentang dasar-dasar inti kebudayaan. Inti dasar kebudayaan adalah ide sentral yang memberikan pengaruh pada bentuk luar yang dapat berubah-ubah, tetapi tidak terlepas dari ide sentralnya. Hal ini dapat dilaksanakan melalui reinterpretasi, reintegrasi, dan adaptasi sehingga perubahan itu tidak memperlemah tradisi, justru lebih memperkuat karena tetap dijiwai oleh ide sentral”, tulis Ida Bagus Mantra untuk menghadapi masa depan Bali (Panitia, 2006:27). Ide sentral kebudayaan Bali menurutnya adalah Rta, yaitu keadaan teratur berupa tata tertib alam semesta yang nilai dasarnya adalah sathya (kebenaran), yaitu keselarasan ucapan, pikiran, dan tindakan; yadnya (kurban suci), yaitu pemurnian ego manusia; dan tapas (pengendalian diri), yaitu pengawasan diri yang diperoleh lewat disiplin. Keutuhan ide dasar kebudayaan ini dapat dibina dengan penghayatan yang utuh dan menyeluruh terhadap kebenaran, kurban suci, dan penguasaan diri. Budaya rohani inilah yang mengendalikan perkembangan bentuk-bentuk budaya luar. Dengan begitu, pembinaan rohani perlu mendapat perhatian dalam memelihara aktivitas masyarakat yang sedang membangun.  
Pembinaan kebudayaan Bali diarahkan kepada tiga hal. Pertama, kebudayaan Bali dipertahankan tetap hidup dan selalu menjadi sumber ilham, inspirasi, dan kreasi. Kedua, menekan sekecil-kecilnya pengaruh negatif budaya luar. Ketiga, memperkuat kepribadian bangsa, kebudayaan nasional, dan kesatuan nasional. Program pembinaan ini dilaksanakan dalam tiga tahapan. Pertama, program pengembangan kebudayaan berupa penggalian dan pewarisan seni dan budaya tradisional. Kedua, melakukan usaha penggalian, pewarisan, dan pendokumentasian seni dan budaya tradisional. Ketiga, pengembangan hasil-hasil seni dan budaya yang telah dicapai. Dalam konteks inilah Taman Budaya diperlukan sebagai arena pementasan seni dan budaya Bali. Pentas seni dan budaya ini dilaksanakan setiap tahun dalam bungkus Pesta Kesenian Bali (PKB) yang oleh Wija (2013:1) disebut Pesta Rakyat. Pesta rakyat ini tiada lain adalah upaya persembahan karya cipta seni dan budaya orang Bali sebagai yadnya. Dengan begitu, PKB menjadi media untuk menggali, mewarisi, dan melestarikan seni dan budaya Bali demi kesejahteraan bagi semua.
Ida Bagus Mantra melihat betapa mendesaknya pembangunan pada bidang seni dan kesenian. Baginya, seni merupakan fungsi dalam masyarakat yang dapat memperkuat kohesi dan interaksi sosial sehingga seniman mempunyai kedudukan sosial yang dihormati. Seni dilihat sebagai unsur yang dapat menumbuhkan rasa kemuliaan dan keagungan dalam hidup. Seni menjadi nilai universal yang dibagi bersama dalam masyarakat sehingga seni tidak terpisahkan dari kehidupan. Seni dapat meningkatkan harkat-derajat manusia, dapat menumbuhkan religiusitas, dan dapat menghaluskan cipta, rasa, dan karsa. Sementara itu, pengembangan seni diarahkan pada seni tari, seni tabuh, seni rupa, seni sastra, seni tembang, seni pahat, seni lukis, dan seni pedalangan. Pada prinsipnya seni-seni ini merupakan sumber kekayaan budaya dan inspirasi masyarakat Bali. Pengembangan seni ini dimaksudkan hendak mempertahankan keagungan seni dan budaya Bali, membentuk kader-kader seni sebagai pewaris dan pelanjut budaya, serta mengikutsertakan masyarakat menjadi pembina seni yang aktif. Dengan demikian, tumbuh apresiasi yang tinggi yang dapat memperkaya rohani dan meninggikan moral sebagai imbangan terhadap pengaruh negatif budaya Barat (Tim Penulis, 1998; Panitia, 2006; Agastia, 2006).
Kesenian merupakan unsur kebudayaan Bali yang menjadi perhatian serius Ida Bagus Mantra. Mengingat bidang ini berhasil membangun identitas (identity), kebanggaan (pride), dan kepribadian (personality) orang Bali yang eksotis dan estetis. Eksotis karena seluruh aktivitas adat, budaya, dan agama orang Bali tidak pernah luput dari aktivitas seni. Estetis karena seni mengarahkan orang Bali pada kehalusan jiwa dan menggerakkannya ke arah konstruktif dalam berbagai lapangan hidup, antara lain rasa jengah yang berdasarkan rajasika dan sattwika (Mantra, 1996:12). Oleh karena itu, pembangunan pada bidang seni dan kesenian Bali menjadi gagasan penting Ida Bagus Mantra, baik pada tataran konseptual maupun aplikasi. Pendirian Akademi Seni Tari Indonesia (ISI Denpasar) menunjukkan upaya serius dan sungguh-sungguh Ida Bagus Mantra untuk membangun kesenian Bali melalui ranah akademik. Selain itu, juga Pesta Kesenian Bali (PKB) menjadi media penggalian potensi budaya dan/atau tradisi Bali untuk dilestarikan dan dikembangkan. Penggalian ini sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman melalui revitalisasi, yaitu kegiatan menghidupkan kembali unsur-unsur budaya yang potensial sehingga tradisi Bali yang luhur itu ikut serta dalam upaya-upaya pembangunan sebagai pendorong yang menjiwainya. Bidang seni yang dimaksud, meliputi seni pertunjukan, seni lukis, seni suara, seni tabuh (gamelan), arsitektur, seni tari, pertemuan-pertemuan sastra, bahasa Bali, seni kriya atau kerajinan dengan berbagai penemuan barunya termasuk seni tenun, seni masak Bali, seni merangkai bunga, seni berpakaian tradisional dengan hasil-hasil motif temuan baru yang diiringi gambelan Bali, dan sebagainya (Mantra, 2006:12). Gagasan ini menunjukkan bahwa Ida Bagus Mantra menghendaki adanya pelestarian dan pengembangan kesenian Bali secara satu-padu. Berbagai karya seni yang menjadi warisan masa lalu dilestarikan keberadaannya, sedangkan yang berpotensi untuk dikembangkan diberikan ruang untuk pengembangannya secara dinamis dan kreatif. 
Berkenaan dengan hal tersebut, Mantra (2006:3) menegaskan pentingnya membangun landasan budaya yang kuat dan kreatif yang berakar pada kepribadian. Tanpa kebudayaan yang mendalam modernisasi hanya akan menghanyutkan bangsa pada ketergantungan dengan dunia luar. Untuk memahami gagasan budaya kreatif ini, penting melihat kembali dua konsep dasar kreatif menurut Ida Bagus Mantra, yaitu taksu dan jengah. Taksu adalah inner power (kekuatan dalam) yang memberi kecerdasan, keindahan, dan mukjizat. Dalam berbagai aktivitas kebudayaan Bali, taksu mempunyai pula arti sebagai genuine creativity, suatu kreativitas budaya murni yang memberi kekuatan spiritual kepada seorang seniman untuk mengungkapkan dirinya ‘lebih besar’ dari kehidupan sehari-hari. Seorang seniman dapat dikatakan memiliki taksu, bila ia mampu mentransformasikan diri secara utuh sesuai dengan peran yang ditampilkannya. Seniman muncul dengan stage presence yang memukau sehingga dengan penampilan itu ia dapat menyatu dengan masyarakat pendukungnya. Jengah adalah competitive pride, yaitu semangat untuk bersaing guna menumbuhkan karya seni yang bermutu. Apabila taksu mempunyai arti sebagai kreativitas budaya, maka jengah adalah sifat-sifat dinamis yang dimiliki oleh budaya itu sendiri, yaitu suatu proses atau gerak yang menjadi pangkal segala perubahan dalam kehidupan masyarakat (Mantra, 1996:26—28). Dalam konteks strategi kebudayaan Bali untuk menghadapi modernitas, taksu dan jengah inilah yang harus dijadikan “harga diri” sebagai orang Bali.
Memahami gagasan Ida Bagus Mantra tentang pelestarian dan pengembangan kesenian Bali memang tidak bisa dilepaskan dari konsepnya tentang harga diri. Menjadikan kesenian Bali sebagai kreativitas seni yang bermartabat bermuara pada gagasannya tentang taksu. Dalam hal ini, taksu bukanlah sekadar keahlian dan keterampilan dalam mencipta atau menyuguhkan karya seni, tetapi lebih pada inner power para seniman yang bersumber dari spiritualitas. Sementara itu, untuk menjadikan para seniman Bali yang bermartabat dibangun melalui prinsip jengah, yakni semangat berkompetisi untuk melahirkan karya-karya seni terbaik. Tegasnya, kemartabatan karya seni dan seniman Bali tidak ternilai harganya sehingga kesenian Bali tidak boleh dikembangkan hanya untuk kepentingan budaya touris (touristic culture) yang bersifat rendah, remeh-temeh, dan sementara.   
Ide-ide dan gagasan Ida Bagus Mantra tentang pentingnya menjaga “harga diri” melalui penguatan lima pilar tradisi Bali ini, selain karena hereditas sebagai pembawaan lahir, juga tidak lepas dari peran lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ida Bagus Mantra lahir pada 8 Mei 1928 dari pasangan Ida Bagus Rai (mediksa menjadi Ida Pedanda Ketut Telaga) dan Gusti Istri Rai. Saudara kandung dari Ida Bagus Japa (alm.), Ida Ayu Oka Wati, dan Ida Ayu Agung Martini ini menikah dengan I Gusti Ayu Badri yang kemudian, melahirkan Ida Ayu Widjayanti (Denpasar, 18 Januari 1946), Ida Bagus Diksotama (Jakarta, 20 Mei 1950), Ida Bagus Oka Udayana (Denpasar, 13 April 1959 – alm.), Ida Bagus Gde Wira Wibawa (Denpasar, 2 Pebruari 1961), dan Ida Bagus Rai Dharmawijaya (Denpasar, 30 Mei 1967) (Tim Penulis, 1998; Panitia, 2006).   
  
Prof. Dr. Ida Bagus Mantra bersama Istri, I Gusti Ayu Badri.  
Lingkungan pendidikan yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan Ida Bagus Mantra berikutnya, antara lain Holland Inlandsche School (HIS) di Denpasar (1940), Tyogakko di Singaraja (1944), Algemere Middelbare School (AMS) di Makasar (1949). Pada 1950 Ida Bagus Mantra dipercaya Pemerintah Indonesia melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Visva Bharati Santiniketan, India – perguruan tingi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Pada 1954 meraih gelar Master of Art dengan tesis “Ancient Indian History and Culture”. Kemudian, pada 1957 meraih gelar Docktor of  Philosophy dengan disertasi “Hindu Leterature and Religion in Indonesia”. Selama menempuh pendidikan inilah terutama sejak mengikuti pendidikan di AMS, Ida Bagus Mantra begitu banyak bergumul dengan Sejarah Kebudayaan Timur, seperti pemikiran Mahatma Gandhi dan Rabindranath Tagore (Tim Penulis, 1998; Panitia, 2006).
Lingkungan sosial yang turut serta membangun perkembangan Ida Bagus Mantra, antara lain pada 31 Agustus 1945 di Denpasar lahir organisasi Angkatan Muda Indonesia yang kemudian lebur ke dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI) yang berkembang pesat hingga ke Desa Kesiman, tempat Ida Bagus Mantra berkiprah sebagai ketua PRI. Pengalaman berorganisasi ini mendorong Ida Bagus Mantra mewujudkan pemikirannya untuk mengembangkan kehinduan di Indonesia khususnya dalam masyarakat Bali. Ia memulai dengan mengadakan pertemuan pada Januari 1959 di Pesanggaran Bedugul yang disebut Rapat Perancang Hindu Bali Sabha yang sepakat membentuk organisasi yang diberi nama Hindu Bali. Kemudian, pada 21 s.d 23 Pebruari 1959 mengadakan Pesamuhan Agung Hindu Bali di Fakultas Satra, Universitas Udayana, Denpasar yang melahirkan Parisada Dharma Hindu Bali (PDHB) – cikal-bakal Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) (Tim Penulis, 1998; Panitia, 2006).
Karier Ida Bagus Mantra dimulai dengan menjadi Juru Tulis pada Kantor Swapraja Badung setamat dari Tyogakko di Singaraja hingga Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Kemudian, Ida Bagus Mantra pernah menjadi dosen di Fakultas Satra, Universitas Indonesia (1956), Dekan Fakultas Sastra, Universitas Udayana (1958-1962) dan di sini Ida Bagus Mantra ditetapkan menjadi profesor (guru besar) pada 1 Nopember 1961, Anggota Dewan Perancang Nasional – Denpernas (1959-1960), Rektor Universitas Udayana (1965-1968), Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong – DRPGR (1968-1969), Dirjen Kebudayaan Depdikbud (1968-1978), Gubernur Bali (1978-1988), Dubes RI di India (1989-1992), dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung – DPA (1993-1995). Ida Bagus Mantra tidak sempat menyelesaikan tugas-tugasnya di DPA yang seharusnya berakhir pada 1998 karena pada 7 Juli 1995 beliau berpulang ke pangkuan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tim Penulis, 1998; Panitia, 2006).
Ida Bagus Mantra telah mencetuskan grand design pembangunan agama Hindu dan kebudayaan Bali yang berakar pada “harga diri” termasuk kesenian sebagai unsur utamanya. Membangun karya seni dan melahirkan seniman Bali yang bermartabat adalah pesan moral yang hendak disampaikan kepada orang Bali. Potensi itu telah ada dalam sekaa-sekaa sebunan yang tersebar di seluruh pelosok Bali. Kualitas seni berpusat pada taksu yang tidak dapat dipelajari dan diperoleh melalui daya intelektual belaka, tetapi melalui spirit ke-Illahian. Pesan inilah yang mesti ditransformasikan ISI Denpasar menjadi spirit pelestarian dan pengembangan kesenian Bali melalui kajian dan penciptaan seni yang berkualitas. ISI Denpasar harus berhasil membangkitkan daya kreatif para seniman Bali untuk terus berkarya dalam berbagai bidang seni yang digelutinya. Seni dan kesenian Bali adalah harga diri orang Bali yang patut diperjuangkan kemartabatannya. Ida Bagus Mantra adalah seniman yang telah melukis, mengukir, menyanyikan, dan menarikan Bali di pentas dunia, ruang harga diri orang Bali dipertaruhkan. 

Daftar Kepustakaan
Agastia, Ida Bagus. 2006. Menemui Diri Sendiri: Percikan Pemikiran Prof. Dr. Ida Bagus Mantra. Denpasar: Yayasan Upada Sastra.

Atmaja, Jiwa (Ed). 1988. Puspanjali: Persembahan Untuk Prof. Dr. Ida Bagus Mantra. Denpasar: CV. Kayumas.
Mantra, Ida Bagus. 1996. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

Panitia Pelaksana Pameran. 2006. Asih Ing Bali: Perjalanan Hidup dan Perjuangan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra. Denpasar: Arti Foundation.

Sukawati, Sukaya (Ed). 1993. Bali: Masalah Sosial Budaya dan Modernisasi. Denpasar: Upada Satra.

Tim Penulis. 1998. Prof. Ida Bagus Mantra: Biografi Seorang Budayawan 1928--1995. Denpasar: Upada Sastra.

Wija, I Nyoman. 2013. Pesta Kesenian Bali: Pestanya Media Massa. Denpasar: Pustaka Larasan.

Biodata Penulis:

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...