TAJEN

TAJEN DALAM MASYARAKAT BALI

Oleh
I Wayan Sukarma


1. Pendahuluan
Beberapa antropolog asing pernah menulis perihal keunikan sabung ayam yang ada pada masyarakat Bali. Di antara mereka adalah G. Bateson dan M. Mead dalam karyanya, Balinese Character: A Photographic Analysis (1942); J. Belo “The Balinese Temper” dalam Traditional Balinese Culture (1970), aslinya diterbitkan pada tahun 1935); dan C.Geertz dan H. Geertz dalam The Interpretation of Cultures: Selected Essays (1974). Bagi mereka sabung ayam yang berfungsi sebagai tabuh rah semata maupun untuk memenuhi fungsi sekuler lainnya adalah kenyataan kultural dan simbolis.
Sebagai sesuatu yang simbolis, sekalipun yang bertarung hanya jago-jago (siap), tetapi sesungguhnya yang bertarung di sana adalah manusia-manusia dengan segala lelucon, pembicaraan yang dangkal, dan pelepasan berbagai ketegangan. Di dalamnya terjadi permainan dan penyaluran kekerasan, relasi kekuasaan dan perayaan hasrat akan kemenangan, dan berbagai bentuk histeria yang tidak mungkin disalurkan dalam dunia kehidupan norma dan nilai. Malahan Bateson dan Mead menyatakan paralel dengan konsep orang Bali tentang tubuh sebagai seperangkat bagian-bagian berjiwa dan terpisah-pisah, jago dianggap sebagai zakar yang dapat ditanggalkan, yang dapat bergerak sendiri sebagai alat kelamin yang berjalan-jalan, dan hidup. Geertz malahan menyatakan lebih tegas bahwa jago adalah simbol kejantanan par excellence, ibarat kepastian bahwa air mengalir menuruni bukit.
Kedekatan orang Bali dengan sabung ayam (tajen) atau keakraban orang Bali dengan jago-jago mereka lebih daripada sekadar metaforis. Sebagian besar orang Bali menghabiskan waktu mereka untuk merawat, memberi makan, membicarakan akan ketangguhan, mencoba satu sama lain, dan menatap jago mereka dengan kekaguman dan lamunan mengasyikan serta menerawang penuh harap. Sang jago diperlakukan secara khusus, baik berkaitan dengan makan, cara memandikan, dan memelihara bulu-bulu mereka. Seorang laki-laki yang keranjingan jago, seorang yang antusias dalam arti harfiah, dapat menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk jago-jago itu. Malahan menghabiskan tidak hanya sesuatu yang tampak bagi orang luar, melainkan juga bagi diri mereka sendiri, sejumlah besar waktu untuk jago-jago itu. Demikian antusiasnya gambaran orang Bali terhadap jagonya, sebagaimana diungkapkan Geertz sehingga kita tidak sadar juga telah terbius keantusiasan memegang jago kita masing-masing dalam kesempatan ini.

2. Tajen: Pada Masa Lalu dan Kini

Tajen sebagai fenomena kultural pada masa lalu terutama diarahkan untuk memenuhi fungsi yadnya, berupa tabuh rah, antara lain tajen nyuh dan tajen taluh. Tajen jenis ini dilaksanakan setelah tari kincang-kincung, berupa tarian dengan sarana tombak dan keris (kadutan) pada menjelang upacara piodalan selesai. Tari dan tajen jenis ini merupakan ekspresi kekerasan dalam bentuk pertarungan hingga menang-kalah karena kekalahan (kematian) pada satu pihak bermakna memberi kemenangan (kehidupan) pada pihak lain. Perang dan kematian adalah kebutuhan rohani, kebutuhan religi. Religi selalu berhubungan dengan metakosmos dan menghadirkan yang “yang di luar sana” itu dalam dunia manusia, agar berkah transenden lebih menghidupkan manusia. Pada dasarnya mereka juga tidak menyukai kematian dan perang. Akan tetapi hidup harus dilakukan seperti itu karena hanya dengan cara itulah hidup ini dimungkinkan. Dengan demikian kehidupan dapat berjalan normal kembali tanpa tekanan, baik fisik maupun psikis. Ini mengandaikan bahwa setiap orang termasuk orang Bali dalam dirinya telah terkandung unsur-unsur kekerasan, bahkan ketegangan-ketegangan yang secara normal harus mendapat saluran pelepasan. Melalui upacara keagamaan yang ditautkan pada kesenian dan tradisi lainnya rupanya, orang Bali memperoleh penyaluran kekerasan dan pelepasan ketegangan hidup yang dialami sehari-hari. Itu sebabnya sabung ayam yang pertama senantiasa dilaksanakan di areal pura. Jika dipandang perlu dilanjutkan maka hal itu diselenggarakan di jabaan pura dengan tetap diikat oleh tata krama yang semestinya berlaku dalam areal pura.
Kalaupun tajen dilaksanakan bukan di kekeran tempat suci dan dalam konteks upacara (dan umumnya dilaksanakan enam bulan sekali) maka sebelum dilaksanakan sambung ayam dapat dipastikan selalu akan didahului dengan upacara keagamaan. Setidaknya dalam areal itu akan dipasang sanggah cucuk yang salah satu maknanya mengingatkan manusia agar dalam menjalani kehidupan yang sarat dengan aspek gambling, senantiasa tetap berada pada koridor kejujuran, etika, sopan-santun, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pemantapan makna itu. Artinya, sekalipun disadari ada unsur judi yang melekat pada pelaksanaan tabuh rah, tetapi unsur-unsur judi senantiasa dicoba diminimalkan dengan proses ritual dan simbolis. Sebaliknya, saat ini tajen cenderung dilaksanakan sepanjang waktu lepas dari konteks upacara. Jikapun dilaksanakan dalam konteks upacara, acapkali hal itu dilaksanakan sebagai kamuflase dari sebuah upacara tertentu, yang boleh jadi tidak apa-apa jika tidak diisi dengan tajen.
Tajen pada masa yang lalu umumnya dilaksanakan oleh desa dan atau banjar adat dengan berbagai prosedur, ketaatan warga untuk mentaati perarem yang telah mereka rumuskan, percayai, dan dijadikan pedoman bertingkah laku. Jikapun karena kemampuannya seorang warga diminta mengkoordinasikan pelaksanaan tajen maka orang itu tetap tunduk pada desa dan banjar adat yang menjadi penanggung jawab pelaksanaan tejen. Jadi, segala hak dan kewajiban yang melekat pada kedudukan sebagai koordinator pelaksanaan tajen, bukan merupakan hak dan kewajiban individu. Belakangan ini malahan saya melihat bahwa tajen acapkali diselenggarakan oleh individu dan atau kelompok orang dengan hak-hak dan kewajiban yang diklaim sebagai hak individu atau kelompok, lepas dari tanggung jawab desa atau banjar adat. Tentu yang lebih memprihatinkan lagi jika betul adanya sinyalemen keterlibatan oknum aparat dalam penyelenggaraan tajen misalnya, dengan meminta hasil satu kali putaran dari siklus yang disepakati.
Pola ini membawa konskuensi yang amat luas secara sosiologis. Jika pada masa lalu, tajen tidak dapat dihindarkan pelaksanaan maupun unsur judinya, tetapi tajen tetap dapat dikendalikan dan diisolir secara relatif. Sirkulasi ‘kekayaan’ warga, juga bergerak di sekitar itu dengan nilai yang relatif terjangkau. Sebaliknya, dengan network individu atau kelompok penyelenggara semakin luas, semakin terbuka pula adanya kapital ‘asing’ masuk ke dalam tataran ekonomi lokal sehingga keseimbangan sirkulasi ekonomi kerakyatan tidak dapat dipertahankan lagi. Fungsi rekreasi, releksasi, dan pelepasan dari berbagai kesuntukan sebagaimana dinyatakan Geertz tidak lagi dapat dipenuhi, malahan ketegangan-ketegangan baru mulai tercipta.
Ketegangan-ketegangan itu merupakan wujud awal dari sebuah pertikaian. Dalam upacara keagamaan, justru pertikaian itulah yang membuat pasangan oposisi. Dalam pertikaian, dalam perang, dan dalam kematian yang diakibatkannya, hadir suatu yang transenden. Daya-daya hidup ini justru hadir dalam bentuk kematian. Kematian adalah kehidupan. Perang adalah syarat perdamaian, kemakmuran, dan kesuburan. Bagi si pemenang dan yang dikalahkan kematian diperlukan agar hidup dapat dilanjutkan. Ini bukan berarti masyarakat tidak menjalanan hidup dalam kelompok-kelompok sosial. Hidup bersama dalam satu kelompok itu kodrati karena manusia memang makhluk sosial. Manusia tidak mungkin hidup sendirian. Akan tetapi kesosialan ini juga tetap berpegang teguh pada prinsip pemisahan. Setiap banjar atau desa pakraman mempunyai pasangan banjar atau desa pakraman masing-masing. Pasangan-pasangan itu, bahkan membentuk federasi banjar atau desa pakraman. Namun pasangan-pasangan banjar atau desa pakraman tadi bukan dalam arti perkawinan, melainkan pasangan perang. Pasangan persaingan. Pasangan tetap dalam perseteruan. Ini memungkikan kehidupan tetap belangsung.
Dalam pasangan oposisi laki-laki versus perempuan dalam budaya perang, tentu saja laki-laki yang mengalahkan perempuan. Suami-istri juga harus dipisahkan. Ada rumah perempuan dan ada rumah lelaki. Ada ruang perempuan dan ada ruang lelaki dalam satu rumah. Garis pemisahnya harus jelas. Pemisahan dan jarak itulah yang baik. Lelaki lebih berkuasa daripada perempuan. Lelaki adalah hidup itu sendiri. Pemujaan lelaki, pemujaan phalus, pemujaan kelamin lelaki menguasai kehidupan. Anak laki-laki lebih diharapkan karena memungkinkan hidup kolektif terus berlangsung. Perempuan bukan tidak diperlukan, tetapi dikalahkan. Perempuan kelas dua. Pemujaan lelaki, pemujaan pahlawan yang gugur dalam perang mendapat tempat terhormat dalam etika sosial. Mereka adalah manusia-manusia berjasa bagi kelompok.
Apabila benar ini pola pikir yang mendasari kelahiran tajen di Bali maka fenomena tajen itu pada prinsipnya sejalan dengan gagasan Jakob Sumardjo tentang masyarakat yang membangun budayanya berdasarkan berpikir pola dua, yakni bahwa hidup itu pemisahan. Hidup itu persaingan; hidup itu konflik; dan konflik itu adalah perang. Adanya pasangan oposisi semua hal harus dipecahkan dengan mengalahkan salah satu. Jikalau pasangannya kalah, lenyap, dan mati maka hidup dimungkinkan. Kematian satu pihak memungkinkan pihak lain itu hidup. Kondisi hidup ini mau tak mau harus diterima seperti itu. Hidup itu pemisahan karena penyatuan tidak menyenangkan. Dalam masyarakat berpola dua jumlah kelompok sosial bukan semakin menyatu, tetapi semakin terpisah-pisah. Semakin lama jumlah suku semakin banyak. Bahasa semakin bervarian dan sengaja membedakan diri dengan kelompok lain yang jelas dipandang sebagai pesaingnya. Ini sebabnya pro-kontra dan pertikaian menjadi warna kehidupan budaya masyarakat.

3. Pro-Kontra terhadap Tajen
Dari fenomena terurai di atas dalam berbagai diskursus maupun pembicaraan di lingkungan masyarakat kebanyakan telah berkembang dua pemikiran utama dalam menyikapi masalah tajen, yaitu sebagai berikut.
Pertama, perspektif ini lebih bertitik tolak dari pemikiran idealisme-normatif. Termasuk dalam kelompok ini juga mereka yang menganut paham teologis. Argumentasi mereka adalah tajen berbeda dengan tabuh rah. Tajen merupakan bias dari konsep tabuh rah yang notabenanya sarat dengan nuansa ritual-religius. Tabuh rah adalah sebuah proses awal dari rangkaian ritual berikutnya. Tabuh rah berhubungan dengan upaya manusia untuk memelihara hubungan baik dengan dunia bawah, dunia yang memerlukan kurban, binatang, dan darah yang langsung mengalir dari tubuh koban. Jadi, tabuh rah berfungsi menetralkan hubungan manusia dengan dunia bawah, sebelum menapak dunia tengah dan atas. Oleh karena tajen merupakan bias dari konsepsi tabuh rah, dan cendrung telah menjadi sebuah game yang mengandung unsur spekulasi dan taruhan dengan harapan memperoleh keuntungan maka tajen bukanlah sesuatu yang patut dilestarikan, melainkan sebaiknya diminimalkan keberadaannya. Penganut pemikiran ini beranggapan bahwa tajen sebagai fenomena judi merupakan ‘candu’ bagi masyarakat. Ia hanya menjajikan kebahagiaan, membawa orang ke alam hampa udara dan tidak pernah dapat berdiri dengan tegak. Malahan pandangan yang agak sinis dilontarkan untuk itu dengan menyatakan bahwa tidak ada orang yang kaya karena judi, tetapi sebaliknya banyak dijumpai orang menjadi miskin dan menderita karena judi. Sebab itu, judi dalam segala bentuknya harus dihindarkan.
Pandangan ini cendrung berpretensi puritanisme yang dibawa oleh nasionalisme radikal. Penganut paham ini cenderung khawatir akan petani miskin, orang yang tidak terdidik mempertaruhkan seluruh harta mereka dalam game itu. Mereka juga khawatir terhadap adanya perilaku menyia-nyiaan waktu, padahal sebagai bangsa yang sedang membangun memanfaatkan waktu secara baik merupakan awal dari kesuksesan. Dalam pernyataan yang agak sinis, para penganut paham ini kembali melontarkan pernyataan: bagaimana mungkin kita akan masuk ke dalam setting global, jika sebagian besar waktu yang ada dimanfaatkan hanya untuk memelihara jago dan mengadunya?
Kedua, kelompok ini disebut dengan emperisme-pragmatis karena argumentasi yang dilontarkannya senantiasa berdimensi empiris dan pragmatis. Bagi mereka tajen adalah sebuah wadah bagi orang Bali dalam mengekspresikan berbagai emosi dan sebagai perwujudan karakter mereka. Tajen sebagai sesuatu fakta, ia ada dan tidak mungkin dinisbikan hanya oleh kekuasaan birokrasi, terlebih hal itu merupakan keinginan masyarakat. Dalam proses historis, sekalipun pada masa pemerintahan Belanda dan Republik, tajen dilarang toh dalam kenyataannya tajen tetap ada dan semakin semarak saja.
Tajen tidak saja telah memungkinkan tumbuh dan berkembangnya sektor informal dalam arena pertandingan jago, seperti saya, tukang taji, pekembar, dan sebagainya; tetapi ia telah mampu memberi kehidupan bagi lingkungan yang lebih luas di luar arena. Dalam aspek emperis, terbukti terdapat banyak infrastruktur desa yang dibangun dari hasil tajen, tidak terbatas hanya pada bangunan sekuler, tetapi juga bangunan yang disucikan. Oleh karena itu, menisbikan tajen sama artinya dengan tidak mau tahu dengan kenyataan yang ada. Malahan para penganut paham ini menyatakan: mengapa kita harus takut dengan judi, bukankah hidup kita ini sesungguhnya sebuah permainan atau gambling?

4. Tajen dan Pembangunan Berbudaya
Komitmen pembangunan Bali berdasarkan kebudayaan yang bersumber dari agama Hindu memiliki implikasi luas, termasuk dalam upaya memahami dan menempatkan persoalan tajen dalam proses pembangunan lainnya. Jika kita konsisten terhadap makna teologis pembangunan berbudaya maka seharusnya menjadi komitmen bersama untuk meminimalkan segala bentuk judi. Artinya, jikapun tajen belakangan ini kelihatan semakin marak di Bali, bukan merupakan sebuah pembenar untuk melegalkan hal itu. Sebab, pengalaman teologis sebagaimana digambarkan dalam kisah Mahabharata telah memberikan cukup bekal kepada kita bahwa (1) judi telah membuat orang menderita dalam kurun waktu yang cukup lama dengan berbagai cobaannya; (2) judi telah menimbulkan adanya berbagai konflik kepentingan di dalam lingkungan keluarga; (3) judi telah menyebabkan runtuhnya etika dan sopan santun.
Jika karena semakin maraknya tajen kemudian dilegalkan maka logika yang sama tidak dapat dihindarkan ketika kita mencoba memahami dan mengkaji patologis sosial lainnya, seperti pelacuran. Bukankah pelacuran telah ada bersamaan dengan adanya manusia, dan bukankah pula realitas menunjukkan bahwa belakangan ini hal seperti itu juga semakin marak? Konskuensinya kita juga tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan ini, dan bagaimana dengan judi lainnya, seperti bola adil, blok kiu, spirit, dan sejenisnya.
Semakin maraknya tajen, metuakan, dan patologis sosial lainnya seperti prostitusi juga tidak mengharuskan untuk melegalkannya. Krisis ekonomi berkepanjangan yang mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja, masih terbatasnya lapangan kerja produktif, dan karena itu mengakibatkan waktu senggang menjadi sedemikian banyaknya, merupakan sebab yang harus dicari jalan keluarnya. Jadi, maraknya persoalan tajen, metuakan, dan prostitusi tidak mengharuskan kita mengambil kebijakan yang bertentangan dengan pertimbangan teologis dan kultural.
Pendapat saya (boleh setuju maupun tidak), semakin maraknya judi dalam segala bentuknya terkait dengan banyaknya waktu luang yang belum dimanfaatkan secara efektif. Jika saja setiap orang telah memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan dan kewajiban sosial lainnya maka tindakan ke arah itu (judi) tentu akan dapat diminimalkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah ke arah optimalisasi peran, seperti memanfaatkan potensi pemuda untuk mengaktifkan kembali pekan olahraga dan seni desa, melaksanakan lomba sekaa teruna, dan melaksanakan berbagai bentuk pendalaman sradha pada seluruh lapisan masyarakat. Dengan kata lain, untuk melepaskan diri kita dari tarikan semacam itu maka kita harus kembali ke jalan dharma. Bukankah kita telah diajarkan oleh para leluhur untuk menikmati kesenangan (khama) berdasarkan dharma, demikian pula dalam rangka menghasilkan artha harus dilandasi oleh dharma. Jika ini tetap menjadi pegangan pembangunan berwawasan budaya bernafaskan agama Hindu maka tampaknya kita harus bersama-sama berusaha ke arah itu.
Proses ke arah itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Ia memerlukan kesungguhan hati, niat yang luar biasa, ketabahan, dan latihan terus-menerus. Dalam menapaki proses ke arah itu, kita akan dihadapkan pada berbagai tantangan dan godaan, malahan pengucilan-pengucilan tertentu karena dianggap tidak sesuai dengan opini yang berlaku saat itu. Sekalipun demikian, kami akan berusaha tetap melaksanakan amanat pembangunan berbudaya bernafaskan agama Hindu dengan tidak menutup mata pada kenyataan bahwa masih ada banyak persoalan kemanusiaan, adat, agama, dan lingkungan yang memerlukan perhatian lebih serius.

5. Simpulan
Berdasarkan uraian itu dapat kami simpulan, bahwa tajen merupakan bias dari konsep tabuh rah. Sebagai suatu game yang mengandung spikulasi dan harapan untung rugi, tajen hendaknya dikembalikan kepada konsepsi dasar, yaitu tabuh rah – sebuah sarana persembahan kepada Tuhan dalam rangka memelihara hubungan harmonis dengan tuhan, alam, dan manusia. Artinya, saat ini telah terjadi pergeseran makna sabungan ayam pada masyarakat Bali, dari memenuhi fungsi ritual, sosial, emosional ke arah fungsi spekualisi dan judi.
Maraknya tajen tidak harus diikuti dengan usaha melegalkan permainan itu, melainkan memberi pembobotan yang padat dan berisi kepada setiap orang Bali (umat) yang memiliki banyak waktu luang. Pembobotan kepada setiap umat, diharapkan tidak akan mengalihkan perhatian terhadap hal semacam itu, tetapi juga akan memberikan proses pencerahan, untuk selanjutnya digunakan bekal masuk dalam setting global yang sebentar lagi menghadang di hadapan kita. Upaya perlawanan dengan hukum positif rupanya juga bukan jalan keluar yang memuaskan karena basis budaya berdasarkan berpikir pola dua mengendapkan persaingan, pertikaian, dan konflik adalah kodrati. Di dalamnya diperlukan upaya bersama semua pihak dan terus-menerus karena upaya menekan tajen pada tataran pelarangan akhirnya, mendapat reaksi yang sepadan. Dengan kenyataan ini patut dipertimbangkan sebuah penelusuran terhadap akar budaya masyarakat sebagaimana tampak dalam ritual-ritual keagamaan. Dengan demikian orang Bali yang berbudaya dan berciri Hindu tetap survive dalam pertarungan global.
Demikian beberapa pokok pikiran yang dapat saya sampaikan disertai harapan semoga pikiran baik datang dari segala penjuru dan diberikan petujuk oleh-NYA dalam melaksanakan amanat dharma agama dan dharma negara.











TAJEN DALAM MASYARAKAT BALI

Oleh
I Wayan Sukarma


1. Pendahuluan
Beberapa antropolog asing pernah menulis perihal keunikan sabung ayam yang ada pada masyarakat Bali. Di antara mereka adalah G. Bateson dan M. Mead dalam karyanya, Balinese Character: A Photographic Analysis (1942); J. Belo “The Balinese Temper” dalam Traditional Balinese Culture (1970), aslinya diterbitkan pada tahun 1935); dan C.Geertz dan H. Geertz dalam The Interpretation of Cultures: Selected Essays (1974). Bagi mereka sabung ayam yang berfungsi sebagai tabuh rah semata maupun untuk memenuhi fungsi sekuler lainnya adalah kenyataan kultural dan simbolis.
Sebagai sesuatu yang simbolis, sekalipun yang bertarung hanya jago-jago (siap), tetapi sesungguhnya yang bertarung di sana adalah manusia-manusia dengan segala lelucon, pembicaraan yang dangkal, dan pelepasan berbagai ketegangan. Di dalamnya terjadi permainan dan penyaluran kekerasan, relasi kekuasaan dan perayaan hasrat akan kemenangan, dan berbagai bentuk histeria yang tidak mungkin disalurkan dalam dunia kehidupan norma dan nilai. Malahan Bateson dan Mead menyatakan paralel dengan konsep orang Bali tentang tubuh sebagai seperangkat bagian-bagian berjiwa dan terpisah-pisah, jago dianggap sebagai zakar yang dapat ditanggalkan, yang dapat bergerak sendiri sebagai alat kelamin yang berjalan-jalan, dan hidup. Geertz malahan menyatakan lebih tegas bahwa jago adalah simbol kejantanan par excellence, ibarat kepastian bahwa air mengalir menuruni bukit.
Kedekatan orang Bali dengan sabung ayam (tajen) atau keakraban orang Bali dengan jago-jago mereka lebih daripada sekadar metaforis. Sebagian besar orang Bali menghabiskan waktu mereka untuk merawat, memberi makan, membicarakan akan ketangguhan, mencoba satu sama lain, dan menatap jago mereka dengan kekaguman dan lamunan mengasyikan serta menerawang penuh harap. Sang jago diperlakukan secara khusus, baik berkaitan dengan makan, cara memandikan, dan memelihara bulu-bulu mereka. Seorang laki-laki yang keranjingan jago, seorang yang antusias dalam arti harfiah, dapat menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk jago-jago itu. Malahan menghabiskan tidak hanya sesuatu yang tampak bagi orang luar, melainkan juga bagi diri mereka sendiri, sejumlah besar waktu untuk jago-jago itu. Demikian antusiasnya gambaran orang Bali terhadap jagonya, sebagaimana diungkapkan Geertz sehingga kita tidak sadar juga telah terbius keantusiasan memegang jago kita masing-masing dalam kesempatan ini.

2. Tajen: Pada Masa Lalu dan Kini

Tajen sebagai fenomena kultural pada masa lalu terutama diarahkan untuk memenuhi fungsi yadnya, berupa tabuh rah, antara lain tajen nyuh dan tajen taluh. Tajen jenis ini dilaksanakan setelah tari kincang-kincung, berupa tarian dengan sarana tombak dan keris (kadutan) pada menjelang upacara piodalan selesai. Tari dan tajen jenis ini merupakan ekspresi kekerasan dalam bentuk pertarungan hingga menang-kalah karena kekalahan (kematian) pada satu pihak bermakna memberi kemenangan (kehidupan) pada pihak lain. Perang dan kematian adalah kebutuhan rohani, kebutuhan religi. Religi selalu berhubungan dengan metakosmos dan menghadirkan yang “yang di luar sana” itu dalam dunia manusia, agar berkah transenden lebih menghidupkan manusia. Pada dasarnya mereka juga tidak menyukai kematian dan perang. Akan tetapi hidup harus dilakukan seperti itu karena hanya dengan cara itulah hidup ini dimungkinkan. Dengan demikian kehidupan dapat berjalan normal kembali tanpa tekanan, baik fisik maupun psikis. Ini mengandaikan bahwa setiap orang termasuk orang Bali dalam dirinya telah terkandung unsur-unsur kekerasan, bahkan ketegangan-ketegangan yang secara normal harus mendapat saluran pelepasan. Melalui upacara keagamaan yang ditautkan pada kesenian dan tradisi lainnya rupanya, orang Bali memperoleh penyaluran kekerasan dan pelepasan ketegangan hidup yang dialami sehari-hari. Itu sebabnya sabung ayam yang pertama senantiasa dilaksanakan di areal pura. Jika dipandang perlu dilanjutkan maka hal itu diselenggarakan di jabaan pura dengan tetap diikat oleh tata krama yang semestinya berlaku dalam areal pura.
Kalaupun tajen dilaksanakan bukan di kekeran tempat suci dan dalam konteks upacara (dan umumnya dilaksanakan enam bulan sekali) maka sebelum dilaksanakan sambung ayam dapat dipastikan selalu akan didahului dengan upacara keagamaan. Setidaknya dalam areal itu akan dipasang sanggah cucuk yang salah satu maknanya mengingatkan manusia agar dalam menjalani kehidupan yang sarat dengan aspek gambling, senantiasa tetap berada pada koridor kejujuran, etika, sopan-santun, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pemantapan makna itu. Artinya, sekalipun disadari ada unsur judi yang melekat pada pelaksanaan tabuh rah, tetapi unsur-unsur judi senantiasa dicoba diminimalkan dengan proses ritual dan simbolis. Sebaliknya, saat ini tajen cenderung dilaksanakan sepanjang waktu lepas dari konteks upacara. Jikapun dilaksanakan dalam konteks upacara, acapkali hal itu dilaksanakan sebagai kamuflase dari sebuah upacara tertentu, yang boleh jadi tidak apa-apa jika tidak diisi dengan tajen.
Tajen pada masa yang lalu umumnya dilaksanakan oleh desa dan atau banjar adat dengan berbagai prosedur, ketaatan warga untuk mentaati perarem yang telah mereka rumuskan, percayai, dan dijadikan pedoman bertingkah laku. Jikapun karena kemampuannya seorang warga diminta mengkoordinasikan pelaksanaan tajen maka orang itu tetap tunduk pada desa dan banjar adat yang menjadi penanggung jawab pelaksanaan tejen. Jadi, segala hak dan kewajiban yang melekat pada kedudukan sebagai koordinator pelaksanaan tajen, bukan merupakan hak dan kewajiban individu. Belakangan ini malahan saya melihat bahwa tajen acapkali diselenggarakan oleh individu dan atau kelompok orang dengan hak-hak dan kewajiban yang diklaim sebagai hak individu atau kelompok, lepas dari tanggung jawab desa atau banjar adat. Tentu yang lebih memprihatinkan lagi jika betul adanya sinyalemen keterlibatan oknum aparat dalam penyelenggaraan tajen misalnya, dengan meminta hasil satu kali putaran dari siklus yang disepakati.
Pola ini membawa konskuensi yang amat luas secara sosiologis. Jika pada masa lalu, tajen tidak dapat dihindarkan pelaksanaan maupun unsur judinya, tetapi tajen tetap dapat dikendalikan dan diisolir secara relatif. Sirkulasi ‘kekayaan’ warga, juga bergerak di sekitar itu dengan nilai yang relatif terjangkau. Sebaliknya, dengan network individu atau kelompok penyelenggara semakin luas, semakin terbuka pula adanya kapital ‘asing’ masuk ke dalam tataran ekonomi lokal sehingga keseimbangan sirkulasi ekonomi kerakyatan tidak dapat dipertahankan lagi. Fungsi rekreasi, releksasi, dan pelepasan dari berbagai kesuntukan sebagaimana dinyatakan Geertz tidak lagi dapat dipenuhi, malahan ketegangan-ketegangan baru mulai tercipta.
Ketegangan-ketegangan itu merupakan wujud awal dari sebuah pertikaian. Dalam upacara keagamaan, justru pertikaian itulah yang membuat pasangan oposisi. Dalam pertikaian, dalam perang, dan dalam kematian yang diakibatkannya, hadir suatu yang transenden. Daya-daya hidup ini justru hadir dalam bentuk kematian. Kematian adalah kehidupan. Perang adalah syarat perdamaian, kemakmuran, dan kesuburan. Bagi si pemenang dan yang dikalahkan kematian diperlukan agar hidup dapat dilanjutkan. Ini bukan berarti masyarakat tidak menjalanan hidup dalam kelompok-kelompok sosial. Hidup bersama dalam satu kelompok itu kodrati karena manusia memang makhluk sosial. Manusia tidak mungkin hidup sendirian. Akan tetapi kesosialan ini juga tetap berpegang teguh pada prinsip pemisahan. Setiap banjar atau desa pakraman mempunyai pasangan banjar atau desa pakraman masing-masing. Pasangan-pasangan itu, bahkan membentuk federasi banjar atau desa pakraman. Namun pasangan-pasangan banjar atau desa pakraman tadi bukan dalam arti perkawinan, melainkan pasangan perang. Pasangan persaingan. Pasangan tetap dalam perseteruan. Ini memungkikan kehidupan tetap belangsung.
Dalam pasangan oposisi laki-laki versus perempuan dalam budaya perang, tentu saja laki-laki yang mengalahkan perempuan. Suami-istri juga harus dipisahkan. Ada rumah perempuan dan ada rumah lelaki. Ada ruang perempuan dan ada ruang lelaki dalam satu rumah. Garis pemisahnya harus jelas. Pemisahan dan jarak itulah yang baik. Lelaki lebih berkuasa daripada perempuan. Lelaki adalah hidup itu sendiri. Pemujaan lelaki, pemujaan phalus, pemujaan kelamin lelaki menguasai kehidupan. Anak laki-laki lebih diharapkan karena memungkinkan hidup kolektif terus berlangsung. Perempuan bukan tidak diperlukan, tetapi dikalahkan. Perempuan kelas dua. Pemujaan lelaki, pemujaan pahlawan yang gugur dalam perang mendapat tempat terhormat dalam etika sosial. Mereka adalah manusia-manusia berjasa bagi kelompok.
Apabila benar ini pola pikir yang mendasari kelahiran tajen di Bali maka fenomena tajen itu pada prinsipnya sejalan dengan gagasan Jakob Sumardjo tentang masyarakat yang membangun budayanya berdasarkan berpikir pola dua, yakni bahwa hidup itu pemisahan. Hidup itu persaingan; hidup itu konflik; dan konflik itu adalah perang. Adanya pasangan oposisi semua hal harus dipecahkan dengan mengalahkan salah satu. Jikalau pasangannya kalah, lenyap, dan mati maka hidup dimungkinkan. Kematian satu pihak memungkinkan pihak lain itu hidup. Kondisi hidup ini mau tak mau harus diterima seperti itu. Hidup itu pemisahan karena penyatuan tidak menyenangkan. Dalam masyarakat berpola dua jumlah kelompok sosial bukan semakin menyatu, tetapi semakin terpisah-pisah. Semakin lama jumlah suku semakin banyak. Bahasa semakin bervarian dan sengaja membedakan diri dengan kelompok lain yang jelas dipandang sebagai pesaingnya. Ini sebabnya pro-kontra dan pertikaian menjadi warna kehidupan budaya masyarakat.

3. Pro-Kontra terhadap Tajen
Dari fenomena terurai di atas dalam berbagai diskursus maupun pembicaraan di lingkungan masyarakat kebanyakan telah berkembang dua pemikiran utama dalam menyikapi masalah tajen, yaitu sebagai berikut.
Pertama, perspektif ini lebih bertitik tolak dari pemikiran idealisme-normatif. Termasuk dalam kelompok ini juga mereka yang menganut paham teologis. Argumentasi mereka adalah tajen berbeda dengan tabuh rah. Tajen merupakan bias dari konsep tabuh rah yang notabenanya sarat dengan nuansa ritual-religius. Tabuh rah adalah sebuah proses awal dari rangkaian ritual berikutnya. Tabuh rah berhubungan dengan upaya manusia untuk memelihara hubungan baik dengan dunia bawah, dunia yang memerlukan kurban, binatang, dan darah yang langsung mengalir dari tubuh koban. Jadi, tabuh rah berfungsi menetralkan hubungan manusia dengan dunia bawah, sebelum menapak dunia tengah dan atas. Oleh karena tajen merupakan bias dari konsepsi tabuh rah, dan cendrung telah menjadi sebuah game yang mengandung unsur spekulasi dan taruhan dengan harapan memperoleh keuntungan maka tajen bukanlah sesuatu yang patut dilestarikan, melainkan sebaiknya diminimalkan keberadaannya. Penganut pemikiran ini beranggapan bahwa tajen sebagai fenomena judi merupakan ‘candu’ bagi masyarakat. Ia hanya menjajikan kebahagiaan, membawa orang ke alam hampa udara dan tidak pernah dapat berdiri dengan tegak. Malahan pandangan yang agak sinis dilontarkan untuk itu dengan menyatakan bahwa tidak ada orang yang kaya karena judi, tetapi sebaliknya banyak dijumpai orang menjadi miskin dan menderita karena judi. Sebab itu, judi dalam segala bentuknya harus dihindarkan.
Pandangan ini cendrung berpretensi puritanisme yang dibawa oleh nasionalisme radikal. Penganut paham ini cenderung khawatir akan petani miskin, orang yang tidak terdidik mempertaruhkan seluruh harta mereka dalam game itu. Mereka juga khawatir terhadap adanya perilaku menyia-nyiaan waktu, padahal sebagai bangsa yang sedang membangun memanfaatkan waktu secara baik merupakan awal dari kesuksesan. Dalam pernyataan yang agak sinis, para penganut paham ini kembali melontarkan pernyataan: bagaimana mungkin kita akan masuk ke dalam setting global, jika sebagian besar waktu yang ada dimanfaatkan hanya untuk memelihara jago dan mengadunya?
Kedua, kelompok ini disebut dengan emperisme-pragmatis karena argumentasi yang dilontarkannya senantiasa berdimensi empiris dan pragmatis. Bagi mereka tajen adalah sebuah wadah bagi orang Bali dalam mengekspresikan berbagai emosi dan sebagai perwujudan karakter mereka. Tajen sebagai sesuatu fakta, ia ada dan tidak mungkin dinisbikan hanya oleh kekuasaan birokrasi, terlebih hal itu merupakan keinginan masyarakat. Dalam proses historis, sekalipun pada masa pemerintahan Belanda dan Republik, tajen dilarang toh dalam kenyataannya tajen tetap ada dan semakin semarak saja.
Tajen tidak saja telah memungkinkan tumbuh dan berkembangnya sektor informal dalam arena pertandingan jago, seperti saya, tukang taji, pekembar, dan sebagainya; tetapi ia telah mampu memberi kehidupan bagi lingkungan yang lebih luas di luar arena. Dalam aspek emperis, terbukti terdapat banyak infrastruktur desa yang dibangun dari hasil tajen, tidak terbatas hanya pada bangunan sekuler, tetapi juga bangunan yang disucikan. Oleh karena itu, menisbikan tajen sama artinya dengan tidak mau tahu dengan kenyataan yang ada. Malahan para penganut paham ini menyatakan: mengapa kita harus takut dengan judi, bukankah hidup kita ini sesungguhnya sebuah permainan atau gambling?

4. Tajen dan Pembangunan Berbudaya
Komitmen pembangunan Bali berdasarkan kebudayaan yang bersumber dari agama Hindu memiliki implikasi luas, termasuk dalam upaya memahami dan menempatkan persoalan tajen dalam proses pembangunan lainnya. Jika kita konsisten terhadap makna teologis pembangunan berbudaya maka seharusnya menjadi komitmen bersama untuk meminimalkan segala bentuk judi. Artinya, jikapun tajen belakangan ini kelihatan semakin marak di Bali, bukan merupakan sebuah pembenar untuk melegalkan hal itu. Sebab, pengalaman teologis sebagaimana digambarkan dalam kisah Mahabharata telah memberikan cukup bekal kepada kita bahwa (1) judi telah membuat orang menderita dalam kurun waktu yang cukup lama dengan berbagai cobaannya; (2) judi telah menimbulkan adanya berbagai konflik kepentingan di dalam lingkungan keluarga; (3) judi telah menyebabkan runtuhnya etika dan sopan santun.
Jika karena semakin maraknya tajen kemudian dilegalkan maka logika yang sama tidak dapat dihindarkan ketika kita mencoba memahami dan mengkaji patologis sosial lainnya, seperti pelacuran. Bukankah pelacuran telah ada bersamaan dengan adanya manusia, dan bukankah pula realitas menunjukkan bahwa belakangan ini hal seperti itu juga semakin marak? Konskuensinya kita juga tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan ini, dan bagaimana dengan judi lainnya, seperti bola adil, blok kiu, spirit, dan sejenisnya.
Semakin maraknya tajen, metuakan, dan patologis sosial lainnya seperti prostitusi juga tidak mengharuskan untuk melegalkannya. Krisis ekonomi berkepanjangan yang mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja, masih terbatasnya lapangan kerja produktif, dan karena itu mengakibatkan waktu senggang menjadi sedemikian banyaknya, merupakan sebab yang harus dicari jalan keluarnya. Jadi, maraknya persoalan tajen, metuakan, dan prostitusi tidak mengharuskan kita mengambil kebijakan yang bertentangan dengan pertimbangan teologis dan kultural.
Pendapat saya (boleh setuju maupun tidak), semakin maraknya judi dalam segala bentuknya terkait dengan banyaknya waktu luang yang belum dimanfaatkan secara efektif. Jika saja setiap orang telah memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan dan kewajiban sosial lainnya maka tindakan ke arah itu (judi) tentu akan dapat diminimalkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah ke arah optimalisasi peran, seperti memanfaatkan potensi pemuda untuk mengaktifkan kembali pekan olahraga dan seni desa, melaksanakan lomba sekaa teruna, dan melaksanakan berbagai bentuk pendalaman sradha pada seluruh lapisan masyarakat. Dengan kata lain, untuk melepaskan diri kita dari tarikan semacam itu maka kita harus kembali ke jalan dharma. Bukankah kita telah diajarkan oleh para leluhur untuk menikmati kesenangan (khama) berdasarkan dharma, demikian pula dalam rangka menghasilkan artha harus dilandasi oleh dharma. Jika ini tetap menjadi pegangan pembangunan berwawasan budaya bernafaskan agama Hindu maka tampaknya kita harus bersama-sama berusaha ke arah itu.
Proses ke arah itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Ia memerlukan kesungguhan hati, niat yang luar biasa, ketabahan, dan latihan terus-menerus. Dalam menapaki proses ke arah itu, kita akan dihadapkan pada berbagai tantangan dan godaan, malahan pengucilan-pengucilan tertentu karena dianggap tidak sesuai dengan opini yang berlaku saat itu. Sekalipun demikian, kami akan berusaha tetap melaksanakan amanat pembangunan berbudaya bernafaskan agama Hindu dengan tidak menutup mata pada kenyataan bahwa masih ada banyak persoalan kemanusiaan, adat, agama, dan lingkungan yang memerlukan perhatian lebih serius.

5. Simpulan
Berdasarkan uraian itu dapat kami simpulan, bahwa tajen merupakan bias dari konsep tabuh rah. Sebagai suatu game yang mengandung spikulasi dan harapan untung rugi, tajen hendaknya dikembalikan kepada konsepsi dasar, yaitu tabuh rah – sebuah sarana persembahan kepada Tuhan dalam rangka memelihara hubungan harmonis dengan tuhan, alam, dan manusia. Artinya, saat ini telah terjadi pergeseran makna sabungan ayam pada masyarakat Bali, dari memenuhi fungsi ritual, sosial, emosional ke arah fungsi spekualisi dan judi.
Maraknya tajen tidak harus diikuti dengan usaha melegalkan permainan itu, melainkan memberi pembobotan yang padat dan berisi kepada setiap orang Bali (umat) yang memiliki banyak waktu luang. Pembobotan kepada setiap umat, diharapkan tidak akan mengalihkan perhatian terhadap hal semacam itu, tetapi juga akan memberikan proses pencerahan, untuk selanjutnya digunakan bekal masuk dalam setting global yang sebentar lagi menghadang di hadapan kita. Upaya perlawanan dengan hukum positif rupanya juga bukan jalan keluar yang memuaskan karena basis budaya berdasarkan berpikir pola dua mengendapkan persaingan, pertikaian, dan konflik adalah kodrati. Di dalamnya diperlukan upaya bersama semua pihak dan terus-menerus karena upaya menekan tajen pada tataran pelarangan akhirnya, mendapat reaksi yang sepadan. Dengan kenyataan ini patut dipertimbangkan sebuah penelusuran terhadap akar budaya masyarakat sebagaimana tampak dalam ritual-ritual keagamaan. Dengan demikian orang Bali yang berbudaya dan berciri Hindu tetap survive dalam pertarungan global.
Demikian beberapa pokok pikiran yang dapat saya sampaikan disertai harapan semoga pikiran baik datang dari segala penjuru dan diberikan petujuk oleh-NYA dalam melaksanakan amanat dharma agama dan dharma negara.











TAJEN DALAM MASYARAKAT BALI

Oleh
I Wayan Sukarma


1. Pendahuluan
Beberapa antropolog asing pernah menulis perihal keunikan sabung ayam yang ada pada masyarakat Bali. Di antara mereka adalah G. Bateson dan M. Mead dalam karyanya, Balinese Character: A Photographic Analysis (1942); J. Belo “The Balinese Temper” dalam Traditional Balinese Culture (1970), aslinya diterbitkan pada tahun 1935); dan C.Geertz dan H. Geertz dalam The Interpretation of Cultures: Selected Essays (1974). Bagi mereka sabung ayam yang berfungsi sebagai tabuh rah semata maupun untuk memenuhi fungsi sekuler lainnya adalah kenyataan kultural dan simbolis.
Sebagai sesuatu yang simbolis, sekalipun yang bertarung hanya jago-jago (siap), tetapi sesungguhnya yang bertarung di sana adalah manusia-manusia dengan segala lelucon, pembicaraan yang dangkal, dan pelepasan berbagai ketegangan. Di dalamnya terjadi permainan dan penyaluran kekerasan, relasi kekuasaan dan perayaan hasrat akan kemenangan, dan berbagai bentuk histeria yang tidak mungkin disalurkan dalam dunia kehidupan norma dan nilai. Malahan Bateson dan Mead menyatakan paralel dengan konsep orang Bali tentang tubuh sebagai seperangkat bagian-bagian berjiwa dan terpisah-pisah, jago dianggap sebagai zakar yang dapat ditanggalkan, yang dapat bergerak sendiri sebagai alat kelamin yang berjalan-jalan, dan hidup. Geertz malahan menyatakan lebih tegas bahwa jago adalah simbol kejantanan par excellence, ibarat kepastian bahwa air mengalir menuruni bukit.
Kedekatan orang Bali dengan sabung ayam (tajen) atau keakraban orang Bali dengan jago-jago mereka lebih daripada sekadar metaforis. Sebagian besar orang Bali menghabiskan waktu mereka untuk merawat, memberi makan, membicarakan akan ketangguhan, mencoba satu sama lain, dan menatap jago mereka dengan kekaguman dan lamunan mengasyikan serta menerawang penuh harap. Sang jago diperlakukan secara khusus, baik berkaitan dengan makan, cara memandikan, dan memelihara bulu-bulu mereka. Seorang laki-laki yang keranjingan jago, seorang yang antusias dalam arti harfiah, dapat menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk jago-jago itu. Malahan menghabiskan tidak hanya sesuatu yang tampak bagi orang luar, melainkan juga bagi diri mereka sendiri, sejumlah besar waktu untuk jago-jago itu. Demikian antusiasnya gambaran orang Bali terhadap jagonya, sebagaimana diungkapkan Geertz sehingga kita tidak sadar juga telah terbius keantusiasan memegang jago kita masing-masing dalam kesempatan ini.

2. Tajen: Pada Masa Lalu dan Kini

Tajen sebagai fenomena kultural pada masa lalu terutama diarahkan untuk memenuhi fungsi yadnya, berupa tabuh rah, antara lain tajen nyuh dan tajen taluh. Tajen jenis ini dilaksanakan setelah tari kincang-kincung, berupa tarian dengan sarana tombak dan keris (kadutan) pada menjelang upacara piodalan selesai. Tari dan tajen jenis ini merupakan ekspresi kekerasan dalam bentuk pertarungan hingga menang-kalah karena kekalahan (kematian) pada satu pihak bermakna memberi kemenangan (kehidupan) pada pihak lain. Perang dan kematian adalah kebutuhan rohani, kebutuhan religi. Religi selalu berhubungan dengan metakosmos dan menghadirkan yang “yang di luar sana” itu dalam dunia manusia, agar berkah transenden lebih menghidupkan manusia. Pada dasarnya mereka juga tidak menyukai kematian dan perang. Akan tetapi hidup harus dilakukan seperti itu karena hanya dengan cara itulah hidup ini dimungkinkan. Dengan demikian kehidupan dapat berjalan normal kembali tanpa tekanan, baik fisik maupun psikis. Ini mengandaikan bahwa setiap orang termasuk orang Bali dalam dirinya telah terkandung unsur-unsur kekerasan, bahkan ketegangan-ketegangan yang secara normal harus mendapat saluran pelepasan. Melalui upacara keagamaan yang ditautkan pada kesenian dan tradisi lainnya rupanya, orang Bali memperoleh penyaluran kekerasan dan pelepasan ketegangan hidup yang dialami sehari-hari. Itu sebabnya sabung ayam yang pertama senantiasa dilaksanakan di areal pura. Jika dipandang perlu dilanjutkan maka hal itu diselenggarakan di jabaan pura dengan tetap diikat oleh tata krama yang semestinya berlaku dalam areal pura.
Kalaupun tajen dilaksanakan bukan di kekeran tempat suci dan dalam konteks upacara (dan umumnya dilaksanakan enam bulan sekali) maka sebelum dilaksanakan sambung ayam dapat dipastikan selalu akan didahului dengan upacara keagamaan. Setidaknya dalam areal itu akan dipasang sanggah cucuk yang salah satu maknanya mengingatkan manusia agar dalam menjalani kehidupan yang sarat dengan aspek gambling, senantiasa tetap berada pada koridor kejujuran, etika, sopan-santun, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pemantapan makna itu. Artinya, sekalipun disadari ada unsur judi yang melekat pada pelaksanaan tabuh rah, tetapi unsur-unsur judi senantiasa dicoba diminimalkan dengan proses ritual dan simbolis. Sebaliknya, saat ini tajen cenderung dilaksanakan sepanjang waktu lepas dari konteks upacara. Jikapun dilaksanakan dalam konteks upacara, acapkali hal itu dilaksanakan sebagai kamuflase dari sebuah upacara tertentu, yang boleh jadi tidak apa-apa jika tidak diisi dengan tajen.
Tajen pada masa yang lalu umumnya dilaksanakan oleh desa dan atau banjar adat dengan berbagai prosedur, ketaatan warga untuk mentaati perarem yang telah mereka rumuskan, percayai, dan dijadikan pedoman bertingkah laku. Jikapun karena kemampuannya seorang warga diminta mengkoordinasikan pelaksanaan tajen maka orang itu tetap tunduk pada desa dan banjar adat yang menjadi penanggung jawab pelaksanaan tejen. Jadi, segala hak dan kewajiban yang melekat pada kedudukan sebagai koordinator pelaksanaan tajen, bukan merupakan hak dan kewajiban individu. Belakangan ini malahan saya melihat bahwa tajen acapkali diselenggarakan oleh individu dan atau kelompok orang dengan hak-hak dan kewajiban yang diklaim sebagai hak individu atau kelompok, lepas dari tanggung jawab desa atau banjar adat. Tentu yang lebih memprihatinkan lagi jika betul adanya sinyalemen keterlibatan oknum aparat dalam penyelenggaraan tajen misalnya, dengan meminta hasil satu kali putaran dari siklus yang disepakati.
Pola ini membawa konskuensi yang amat luas secara sosiologis. Jika pada masa lalu, tajen tidak dapat dihindarkan pelaksanaan maupun unsur judinya, tetapi tajen tetap dapat dikendalikan dan diisolir secara relatif. Sirkulasi ‘kekayaan’ warga, juga bergerak di sekitar itu dengan nilai yang relatif terjangkau. Sebaliknya, dengan network individu atau kelompok penyelenggara semakin luas, semakin terbuka pula adanya kapital ‘asing’ masuk ke dalam tataran ekonomi lokal sehingga keseimbangan sirkulasi ekonomi kerakyatan tidak dapat dipertahankan lagi. Fungsi rekreasi, releksasi, dan pelepasan dari berbagai kesuntukan sebagaimana dinyatakan Geertz tidak lagi dapat dipenuhi, malahan ketegangan-ketegangan baru mulai tercipta.
Ketegangan-ketegangan itu merupakan wujud awal dari sebuah pertikaian. Dalam upacara keagamaan, justru pertikaian itulah yang membuat pasangan oposisi. Dalam pertikaian, dalam perang, dan dalam kematian yang diakibatkannya, hadir suatu yang transenden. Daya-daya hidup ini justru hadir dalam bentuk kematian. Kematian adalah kehidupan. Perang adalah syarat perdamaian, kemakmuran, dan kesuburan. Bagi si pemenang dan yang dikalahkan kematian diperlukan agar hidup dapat dilanjutkan. Ini bukan berarti masyarakat tidak menjalanan hidup dalam kelompok-kelompok sosial. Hidup bersama dalam satu kelompok itu kodrati karena manusia memang makhluk sosial. Manusia tidak mungkin hidup sendirian. Akan tetapi kesosialan ini juga tetap berpegang teguh pada prinsip pemisahan. Setiap banjar atau desa pakraman mempunyai pasangan banjar atau desa pakraman masing-masing. Pasangan-pasangan itu, bahkan membentuk federasi banjar atau desa pakraman. Namun pasangan-pasangan banjar atau desa pakraman tadi bukan dalam arti perkawinan, melainkan pasangan perang. Pasangan persaingan. Pasangan tetap dalam perseteruan. Ini memungkikan kehidupan tetap belangsung.
Dalam pasangan oposisi laki-laki versus perempuan dalam budaya perang, tentu saja laki-laki yang mengalahkan perempuan. Suami-istri juga harus dipisahkan. Ada rumah perempuan dan ada rumah lelaki. Ada ruang perempuan dan ada ruang lelaki dalam satu rumah. Garis pemisahnya harus jelas. Pemisahan dan jarak itulah yang baik. Lelaki lebih berkuasa daripada perempuan. Lelaki adalah hidup itu sendiri. Pemujaan lelaki, pemujaan phalus, pemujaan kelamin lelaki menguasai kehidupan. Anak laki-laki lebih diharapkan karena memungkinkan hidup kolektif terus berlangsung. Perempuan bukan tidak diperlukan, tetapi dikalahkan. Perempuan kelas dua. Pemujaan lelaki, pemujaan pahlawan yang gugur dalam perang mendapat tempat terhormat dalam etika sosial. Mereka adalah manusia-manusia berjasa bagi kelompok.
Apabila benar ini pola pikir yang mendasari kelahiran tajen di Bali maka fenomena tajen itu pada prinsipnya sejalan dengan gagasan Jakob Sumardjo tentang masyarakat yang membangun budayanya berdasarkan berpikir pola dua, yakni bahwa hidup itu pemisahan. Hidup itu persaingan; hidup itu konflik; dan konflik itu adalah perang. Adanya pasangan oposisi semua hal harus dipecahkan dengan mengalahkan salah satu. Jikalau pasangannya kalah, lenyap, dan mati maka hidup dimungkinkan. Kematian satu pihak memungkinkan pihak lain itu hidup. Kondisi hidup ini mau tak mau harus diterima seperti itu. Hidup itu pemisahan karena penyatuan tidak menyenangkan. Dalam masyarakat berpola dua jumlah kelompok sosial bukan semakin menyatu, tetapi semakin terpisah-pisah. Semakin lama jumlah suku semakin banyak. Bahasa semakin bervarian dan sengaja membedakan diri dengan kelompok lain yang jelas dipandang sebagai pesaingnya. Ini sebabnya pro-kontra dan pertikaian menjadi warna kehidupan budaya masyarakat.

3. Pro-Kontra terhadap Tajen
Dari fenomena terurai di atas dalam berbagai diskursus maupun pembicaraan di lingkungan masyarakat kebanyakan telah berkembang dua pemikiran utama dalam menyikapi masalah tajen, yaitu sebagai berikut.
Pertama, perspektif ini lebih bertitik tolak dari pemikiran idealisme-normatif. Termasuk dalam kelompok ini juga mereka yang menganut paham teologis. Argumentasi mereka adalah tajen berbeda dengan tabuh rah. Tajen merupakan bias dari konsep tabuh rah yang notabenanya sarat dengan nuansa ritual-religius. Tabuh rah adalah sebuah proses awal dari rangkaian ritual berikutnya. Tabuh rah berhubungan dengan upaya manusia untuk memelihara hubungan baik dengan dunia bawah, dunia yang memerlukan kurban, binatang, dan darah yang langsung mengalir dari tubuh koban. Jadi, tabuh rah berfungsi menetralkan hubungan manusia dengan dunia bawah, sebelum menapak dunia tengah dan atas. Oleh karena tajen merupakan bias dari konsepsi tabuh rah, dan cendrung telah menjadi sebuah game yang mengandung unsur spekulasi dan taruhan dengan harapan memperoleh keuntungan maka tajen bukanlah sesuatu yang patut dilestarikan, melainkan sebaiknya diminimalkan keberadaannya. Penganut pemikiran ini beranggapan bahwa tajen sebagai fenomena judi merupakan ‘candu’ bagi masyarakat. Ia hanya menjajikan kebahagiaan, membawa orang ke alam hampa udara dan tidak pernah dapat berdiri dengan tegak. Malahan pandangan yang agak sinis dilontarkan untuk itu dengan menyatakan bahwa tidak ada orang yang kaya karena judi, tetapi sebaliknya banyak dijumpai orang menjadi miskin dan menderita karena judi. Sebab itu, judi dalam segala bentuknya harus dihindarkan.
Pandangan ini cendrung berpretensi puritanisme yang dibawa oleh nasionalisme radikal. Penganut paham ini cenderung khawatir akan petani miskin, orang yang tidak terdidik mempertaruhkan seluruh harta mereka dalam game itu. Mereka juga khawatir terhadap adanya perilaku menyia-nyiaan waktu, padahal sebagai bangsa yang sedang membangun memanfaatkan waktu secara baik merupakan awal dari kesuksesan. Dalam pernyataan yang agak sinis, para penganut paham ini kembali melontarkan pernyataan: bagaimana mungkin kita akan masuk ke dalam setting global, jika sebagian besar waktu yang ada dimanfaatkan hanya untuk memelihara jago dan mengadunya?
Kedua, kelompok ini disebut dengan emperisme-pragmatis karena argumentasi yang dilontarkannya senantiasa berdimensi empiris dan pragmatis. Bagi mereka tajen adalah sebuah wadah bagi orang Bali dalam mengekspresikan berbagai emosi dan sebagai perwujudan karakter mereka. Tajen sebagai sesuatu fakta, ia ada dan tidak mungkin dinisbikan hanya oleh kekuasaan birokrasi, terlebih hal itu merupakan keinginan masyarakat. Dalam proses historis, sekalipun pada masa pemerintahan Belanda dan Republik, tajen dilarang toh dalam kenyataannya tajen tetap ada dan semakin semarak saja.
Tajen tidak saja telah memungkinkan tumbuh dan berkembangnya sektor informal dalam arena pertandingan jago, seperti saya, tukang taji, pekembar, dan sebagainya; tetapi ia telah mampu memberi kehidupan bagi lingkungan yang lebih luas di luar arena. Dalam aspek emperis, terbukti terdapat banyak infrastruktur desa yang dibangun dari hasil tajen, tidak terbatas hanya pada bangunan sekuler, tetapi juga bangunan yang disucikan. Oleh karena itu, menisbikan tajen sama artinya dengan tidak mau tahu dengan kenyataan yang ada. Malahan para penganut paham ini menyatakan: mengapa kita harus takut dengan judi, bukankah hidup kita ini sesungguhnya sebuah permainan atau gambling?

4. Tajen dan Pembangunan Berbudaya
Komitmen pembangunan Bali berdasarkan kebudayaan yang bersumber dari agama Hindu memiliki implikasi luas, termasuk dalam upaya memahami dan menempatkan persoalan tajen dalam proses pembangunan lainnya. Jika kita konsisten terhadap makna teologis pembangunan berbudaya maka seharusnya menjadi komitmen bersama untuk meminimalkan segala bentuk judi. Artinya, jikapun tajen belakangan ini kelihatan semakin marak di Bali, bukan merupakan sebuah pembenar untuk melegalkan hal itu. Sebab, pengalaman teologis sebagaimana digambarkan dalam kisah Mahabharata telah memberikan cukup bekal kepada kita bahwa (1) judi telah membuat orang menderita dalam kurun waktu yang cukup lama dengan berbagai cobaannya; (2) judi telah menimbulkan adanya berbagai konflik kepentingan di dalam lingkungan keluarga; (3) judi telah menyebabkan runtuhnya etika dan sopan santun.
Jika karena semakin maraknya tajen kemudian dilegalkan maka logika yang sama tidak dapat dihindarkan ketika kita mencoba memahami dan mengkaji patologis sosial lainnya, seperti pelacuran. Bukankah pelacuran telah ada bersamaan dengan adanya manusia, dan bukankah pula realitas menunjukkan bahwa belakangan ini hal seperti itu juga semakin marak? Konskuensinya kita juga tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan ini, dan bagaimana dengan judi lainnya, seperti bola adil, blok kiu, spirit, dan sejenisnya.
Semakin maraknya tajen, metuakan, dan patologis sosial lainnya seperti prostitusi juga tidak mengharuskan untuk melegalkannya. Krisis ekonomi berkepanjangan yang mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja, masih terbatasnya lapangan kerja produktif, dan karena itu mengakibatkan waktu senggang menjadi sedemikian banyaknya, merupakan sebab yang harus dicari jalan keluarnya. Jadi, maraknya persoalan tajen, metuakan, dan prostitusi tidak mengharuskan kita mengambil kebijakan yang bertentangan dengan pertimbangan teologis dan kultural.
Pendapat saya (boleh setuju maupun tidak), semakin maraknya judi dalam segala bentuknya terkait dengan banyaknya waktu luang yang belum dimanfaatkan secara efektif. Jika saja setiap orang telah memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan dan kewajiban sosial lainnya maka tindakan ke arah itu (judi) tentu akan dapat diminimalkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah ke arah optimalisasi peran, seperti memanfaatkan potensi pemuda untuk mengaktifkan kembali pekan olahraga dan seni desa, melaksanakan lomba sekaa teruna, dan melaksanakan berbagai bentuk pendalaman sradha pada seluruh lapisan masyarakat. Dengan kata lain, untuk melepaskan diri kita dari tarikan semacam itu maka kita harus kembali ke jalan dharma. Bukankah kita telah diajarkan oleh para leluhur untuk menikmati kesenangan (khama) berdasarkan dharma, demikian pula dalam rangka menghasilkan artha harus dilandasi oleh dharma. Jika ini tetap menjadi pegangan pembangunan berwawasan budaya bernafaskan agama Hindu maka tampaknya kita harus bersama-sama berusaha ke arah itu.
Proses ke arah itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Ia memerlukan kesungguhan hati, niat yang luar biasa, ketabahan, dan latihan terus-menerus. Dalam menapaki proses ke arah itu, kita akan dihadapkan pada berbagai tantangan dan godaan, malahan pengucilan-pengucilan tertentu karena dianggap tidak sesuai dengan opini yang berlaku saat itu. Sekalipun demikian, kami akan berusaha tetap melaksanakan amanat pembangunan berbudaya bernafaskan agama Hindu dengan tidak menutup mata pada kenyataan bahwa masih ada banyak persoalan kemanusiaan, adat, agama, dan lingkungan yang memerlukan perhatian lebih serius.

5. Simpulan
Berdasarkan uraian itu dapat kami simpulan, bahwa tajen merupakan bias dari konsep tabuh rah. Sebagai suatu game yang mengandung spikulasi dan harapan untung rugi, tajen hendaknya dikembalikan kepada konsepsi dasar, yaitu tabuh rah – sebuah sarana persembahan kepada Tuhan dalam rangka memelihara hubungan harmonis dengan tuhan, alam, dan manusia. Artinya, saat ini telah terjadi pergeseran makna sabungan ayam pada masyarakat Bali, dari memenuhi fungsi ritual, sosial, emosional ke arah fungsi spekualisi dan judi.
Maraknya tajen tidak harus diikuti dengan usaha melegalkan permainan itu, melainkan memberi pembobotan yang padat dan berisi kepada setiap orang Bali (umat) yang memiliki banyak waktu luang. Pembobotan kepada setiap umat, diharapkan tidak akan mengalihkan perhatian terhadap hal semacam itu, tetapi juga akan memberikan proses pencerahan, untuk selanjutnya digunakan bekal masuk dalam setting global yang sebentar lagi menghadang di hadapan kita. Upaya perlawanan dengan hukum positif rupanya juga bukan jalan keluar yang memuaskan karena basis budaya berdasarkan berpikir pola dua mengendapkan persaingan, pertikaian, dan konflik adalah kodrati. Di dalamnya diperlukan upaya bersama semua pihak dan terus-menerus karena upaya menekan tajen pada tataran pelarangan akhirnya, mendapat reaksi yang sepadan. Dengan kenyataan ini patut dipertimbangkan sebuah penelusuran terhadap akar budaya masyarakat sebagaimana tampak dalam ritual-ritual keagamaan. Dengan demikian orang Bali yang berbudaya dan berciri Hindu tetap survive dalam pertarungan global.
Demikian beberapa pokok pikiran yang dapat saya sampaikan disertai harapan semoga pikiran baik datang dari segala penjuru dan diberikan petujuk oleh-NYA dalam melaksanakan amanat dharma agama dan dharma negara.











TAJEN DALAM MASYARAKAT BALI

Oleh
I Wayan Sukarma


1. Pendahuluan
Beberapa antropolog asing pernah menulis perihal keunikan sabung ayam yang ada pada masyarakat Bali. Di antara mereka adalah G. Bateson dan M. Mead dalam karyanya, Balinese Character: A Photographic Analysis (1942); J. Belo “The Balinese Temper” dalam Traditional Balinese Culture (1970), aslinya diterbitkan pada tahun 1935); dan C.Geertz dan H. Geertz dalam The Interpretation of Cultures: Selected Essays (1974). Bagi mereka sabung ayam yang berfungsi sebagai tabuh rah semata maupun untuk memenuhi fungsi sekuler lainnya adalah kenyataan kultural dan simbolis.
Sebagai sesuatu yang simbolis, sekalipun yang bertarung hanya jago-jago (siap), tetapi sesungguhnya yang bertarung di sana adalah manusia-manusia dengan segala lelucon, pembicaraan yang dangkal, dan pelepasan berbagai ketegangan. Di dalamnya terjadi permainan dan penyaluran kekerasan, relasi kekuasaan dan perayaan hasrat akan kemenangan, dan berbagai bentuk histeria yang tidak mungkin disalurkan dalam dunia kehidupan norma dan nilai. Malahan Bateson dan Mead menyatakan paralel dengan konsep orang Bali tentang tubuh sebagai seperangkat bagian-bagian berjiwa dan terpisah-pisah, jago dianggap sebagai zakar yang dapat ditanggalkan, yang dapat bergerak sendiri sebagai alat kelamin yang berjalan-jalan, dan hidup. Geertz malahan menyatakan lebih tegas bahwa jago adalah simbol kejantanan par excellence, ibarat kepastian bahwa air mengalir menuruni bukit.
Kedekatan orang Bali dengan sabung ayam (tajen) atau keakraban orang Bali dengan jago-jago mereka lebih daripada sekadar metaforis. Sebagian besar orang Bali menghabiskan waktu mereka untuk merawat, memberi makan, membicarakan akan ketangguhan, mencoba satu sama lain, dan menatap jago mereka dengan kekaguman dan lamunan mengasyikan serta menerawang penuh harap. Sang jago diperlakukan secara khusus, baik berkaitan dengan makan, cara memandikan, dan memelihara bulu-bulu mereka. Seorang laki-laki yang keranjingan jago, seorang yang antusias dalam arti harfiah, dapat menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk jago-jago itu. Malahan menghabiskan tidak hanya sesuatu yang tampak bagi orang luar, melainkan juga bagi diri mereka sendiri, sejumlah besar waktu untuk jago-jago itu. Demikian antusiasnya gambaran orang Bali terhadap jagonya, sebagaimana diungkapkan Geertz sehingga kita tidak sadar juga telah terbius keantusiasan memegang jago kita masing-masing dalam kesempatan ini.

2. Tajen: Pada Masa Lalu dan Kini

Tajen sebagai fenomena kultural pada masa lalu terutama diarahkan untuk memenuhi fungsi yadnya, berupa tabuh rah, antara lain tajen nyuh dan tajen taluh. Tajen jenis ini dilaksanakan setelah tari kincang-kincung, berupa tarian dengan sarana tombak dan keris (kadutan) pada menjelang upacara piodalan selesai. Tari dan tajen jenis ini merupakan ekspresi kekerasan dalam bentuk pertarungan hingga menang-kalah karena kekalahan (kematian) pada satu pihak bermakna memberi kemenangan (kehidupan) pada pihak lain. Perang dan kematian adalah kebutuhan rohani, kebutuhan religi. Religi selalu berhubungan dengan metakosmos dan menghadirkan yang “yang di luar sana” itu dalam dunia manusia, agar berkah transenden lebih menghidupkan manusia. Pada dasarnya mereka juga tidak menyukai kematian dan perang. Akan tetapi hidup harus dilakukan seperti itu karena hanya dengan cara itulah hidup ini dimungkinkan. Dengan demikian kehidupan dapat berjalan normal kembali tanpa tekanan, baik fisik maupun psikis. Ini mengandaikan bahwa setiap orang termasuk orang Bali dalam dirinya telah terkandung unsur-unsur kekerasan, bahkan ketegangan-ketegangan yang secara normal harus mendapat saluran pelepasan. Melalui upacara keagamaan yang ditautkan pada kesenian dan tradisi lainnya rupanya, orang Bali memperoleh penyaluran kekerasan dan pelepasan ketegangan hidup yang dialami sehari-hari. Itu sebabnya sabung ayam yang pertama senantiasa dilaksanakan di areal pura. Jika dipandang perlu dilanjutkan maka hal itu diselenggarakan di jabaan pura dengan tetap diikat oleh tata krama yang semestinya berlaku dalam areal pura.
Kalaupun tajen dilaksanakan bukan di kekeran tempat suci dan dalam konteks upacara (dan umumnya dilaksanakan enam bulan sekali) maka sebelum dilaksanakan sambung ayam dapat dipastikan selalu akan didahului dengan upacara keagamaan. Setidaknya dalam areal itu akan dipasang sanggah cucuk yang salah satu maknanya mengingatkan manusia agar dalam menjalani kehidupan yang sarat dengan aspek gambling, senantiasa tetap berada pada koridor kejujuran, etika, sopan-santun, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pemantapan makna itu. Artinya, sekalipun disadari ada unsur judi yang melekat pada pelaksanaan tabuh rah, tetapi unsur-unsur judi senantiasa dicoba diminimalkan dengan proses ritual dan simbolis. Sebaliknya, saat ini tajen cenderung dilaksanakan sepanjang waktu lepas dari konteks upacara. Jikapun dilaksanakan dalam konteks upacara, acapkali hal itu dilaksanakan sebagai kamuflase dari sebuah upacara tertentu, yang boleh jadi tidak apa-apa jika tidak diisi dengan tajen.
Tajen pada masa yang lalu umumnya dilaksanakan oleh desa dan atau banjar adat dengan berbagai prosedur, ketaatan warga untuk mentaati perarem yang telah mereka rumuskan, percayai, dan dijadikan pedoman bertingkah laku. Jikapun karena kemampuannya seorang warga diminta mengkoordinasikan pelaksanaan tajen maka orang itu tetap tunduk pada desa dan banjar adat yang menjadi penanggung jawab pelaksanaan tejen. Jadi, segala hak dan kewajiban yang melekat pada kedudukan sebagai koordinator pelaksanaan tajen, bukan merupakan hak dan kewajiban individu. Belakangan ini malahan saya melihat bahwa tajen acapkali diselenggarakan oleh individu dan atau kelompok orang dengan hak-hak dan kewajiban yang diklaim sebagai hak individu atau kelompok, lepas dari tanggung jawab desa atau banjar adat. Tentu yang lebih memprihatinkan lagi jika betul adanya sinyalemen keterlibatan oknum aparat dalam penyelenggaraan tajen misalnya, dengan meminta hasil satu kali putaran dari siklus yang disepakati.
Pola ini membawa konskuensi yang amat luas secara sosiologis. Jika pada masa lalu, tajen tidak dapat dihindarkan pelaksanaan maupun unsur judinya, tetapi tajen tetap dapat dikendalikan dan diisolir secara relatif. Sirkulasi ‘kekayaan’ warga, juga bergerak di sekitar itu dengan nilai yang relatif terjangkau. Sebaliknya, dengan network individu atau kelompok penyelenggara semakin luas, semakin terbuka pula adanya kapital ‘asing’ masuk ke dalam tataran ekonomi lokal sehingga keseimbangan sirkulasi ekonomi kerakyatan tidak dapat dipertahankan lagi. Fungsi rekreasi, releksasi, dan pelepasan dari berbagai kesuntukan sebagaimana dinyatakan Geertz tidak lagi dapat dipenuhi, malahan ketegangan-ketegangan baru mulai tercipta.
Ketegangan-ketegangan itu merupakan wujud awal dari sebuah pertikaian. Dalam upacara keagamaan, justru pertikaian itulah yang membuat pasangan oposisi. Dalam pertikaian, dalam perang, dan dalam kematian yang diakibatkannya, hadir suatu yang transenden. Daya-daya hidup ini justru hadir dalam bentuk kematian. Kematian adalah kehidupan. Perang adalah syarat perdamaian, kemakmuran, dan kesuburan. Bagi si pemenang dan yang dikalahkan kematian diperlukan agar hidup dapat dilanjutkan. Ini bukan berarti masyarakat tidak menjalanan hidup dalam kelompok-kelompok sosial. Hidup bersama dalam satu kelompok itu kodrati karena manusia memang makhluk sosial. Manusia tidak mungkin hidup sendirian. Akan tetapi kesosialan ini juga tetap berpegang teguh pada prinsip pemisahan. Setiap banjar atau desa pakraman mempunyai pasangan banjar atau desa pakraman masing-masing. Pasangan-pasangan itu, bahkan membentuk federasi banjar atau desa pakraman. Namun pasangan-pasangan banjar atau desa pakraman tadi bukan dalam arti perkawinan, melainkan pasangan perang. Pasangan persaingan. Pasangan tetap dalam perseteruan. Ini memungkikan kehidupan tetap belangsung.
Dalam pasangan oposisi laki-laki versus perempuan dalam budaya perang, tentu saja laki-laki yang mengalahkan perempuan. Suami-istri juga harus dipisahkan. Ada rumah perempuan dan ada rumah lelaki. Ada ruang perempuan dan ada ruang lelaki dalam satu rumah. Garis pemisahnya harus jelas. Pemisahan dan jarak itulah yang baik. Lelaki lebih berkuasa daripada perempuan. Lelaki adalah hidup itu sendiri. Pemujaan lelaki, pemujaan phalus, pemujaan kelamin lelaki menguasai kehidupan. Anak laki-laki lebih diharapkan karena memungkinkan hidup kolektif terus berlangsung. Perempuan bukan tidak diperlukan, tetapi dikalahkan. Perempuan kelas dua. Pemujaan lelaki, pemujaan pahlawan yang gugur dalam perang mendapat tempat terhormat dalam etika sosial. Mereka adalah manusia-manusia berjasa bagi kelompok.
Apabila benar ini pola pikir yang mendasari kelahiran tajen di Bali maka fenomena tajen itu pada prinsipnya sejalan dengan gagasan Jakob Sumardjo tentang masyarakat yang membangun budayanya berdasarkan berpikir pola dua, yakni bahwa hidup itu pemisahan. Hidup itu persaingan; hidup itu konflik; dan konflik itu adalah perang. Adanya pasangan oposisi semua hal harus dipecahkan dengan mengalahkan salah satu. Jikalau pasangannya kalah, lenyap, dan mati maka hidup dimungkinkan. Kematian satu pihak memungkinkan pihak lain itu hidup. Kondisi hidup ini mau tak mau harus diterima seperti itu. Hidup itu pemisahan karena penyatuan tidak menyenangkan. Dalam masyarakat berpola dua jumlah kelompok sosial bukan semakin menyatu, tetapi semakin terpisah-pisah. Semakin lama jumlah suku semakin banyak. Bahasa semakin bervarian dan sengaja membedakan diri dengan kelompok lain yang jelas dipandang sebagai pesaingnya. Ini sebabnya pro-kontra dan pertikaian menjadi warna kehidupan budaya masyarakat.

3. Pro-Kontra terhadap Tajen
Dari fenomena terurai di atas dalam berbagai diskursus maupun pembicaraan di lingkungan masyarakat kebanyakan telah berkembang dua pemikiran utama dalam menyikapi masalah tajen, yaitu sebagai berikut.
Pertama, perspektif ini lebih bertitik tolak dari pemikiran idealisme-normatif. Termasuk dalam kelompok ini juga mereka yang menganut paham teologis. Argumentasi mereka adalah tajen berbeda dengan tabuh rah. Tajen merupakan bias dari konsep tabuh rah yang notabenanya sarat dengan nuansa ritual-religius. Tabuh rah adalah sebuah proses awal dari rangkaian ritual berikutnya. Tabuh rah berhubungan dengan upaya manusia untuk memelihara hubungan baik dengan dunia bawah, dunia yang memerlukan kurban, binatang, dan darah yang langsung mengalir dari tubuh koban. Jadi, tabuh rah berfungsi menetralkan hubungan manusia dengan dunia bawah, sebelum menapak dunia tengah dan atas. Oleh karena tajen merupakan bias dari konsepsi tabuh rah, dan cendrung telah menjadi sebuah game yang mengandung unsur spekulasi dan taruhan dengan harapan memperoleh keuntungan maka tajen bukanlah sesuatu yang patut dilestarikan, melainkan sebaiknya diminimalkan keberadaannya. Penganut pemikiran ini beranggapan bahwa tajen sebagai fenomena judi merupakan ‘candu’ bagi masyarakat. Ia hanya menjajikan kebahagiaan, membawa orang ke alam hampa udara dan tidak pernah dapat berdiri dengan tegak. Malahan pandangan yang agak sinis dilontarkan untuk itu dengan menyatakan bahwa tidak ada orang yang kaya karena judi, tetapi sebaliknya banyak dijumpai orang menjadi miskin dan menderita karena judi. Sebab itu, judi dalam segala bentuknya harus dihindarkan.
Pandangan ini cendrung berpretensi puritanisme yang dibawa oleh nasionalisme radikal. Penganut paham ini cenderung khawatir akan petani miskin, orang yang tidak terdidik mempertaruhkan seluruh harta mereka dalam game itu. Mereka juga khawatir terhadap adanya perilaku menyia-nyiaan waktu, padahal sebagai bangsa yang sedang membangun memanfaatkan waktu secara baik merupakan awal dari kesuksesan. Dalam pernyataan yang agak sinis, para penganut paham ini kembali melontarkan pernyataan: bagaimana mungkin kita akan masuk ke dalam setting global, jika sebagian besar waktu yang ada dimanfaatkan hanya untuk memelihara jago dan mengadunya?
Kedua, kelompok ini disebut dengan emperisme-pragmatis karena argumentasi yang dilontarkannya senantiasa berdimensi empiris dan pragmatis. Bagi mereka tajen adalah sebuah wadah bagi orang Bali dalam mengekspresikan berbagai emosi dan sebagai perwujudan karakter mereka. Tajen sebagai sesuatu fakta, ia ada dan tidak mungkin dinisbikan hanya oleh kekuasaan birokrasi, terlebih hal itu merupakan keinginan masyarakat. Dalam proses historis, sekalipun pada masa pemerintahan Belanda dan Republik, tajen dilarang toh dalam kenyataannya tajen tetap ada dan semakin semarak saja.
Tajen tidak saja telah memungkinkan tumbuh dan berkembangnya sektor informal dalam arena pertandingan jago, seperti saya, tukang taji, pekembar, dan sebagainya; tetapi ia telah mampu memberi kehidupan bagi lingkungan yang lebih luas di luar arena. Dalam aspek emperis, terbukti terdapat banyak infrastruktur desa yang dibangun dari hasil tajen, tidak terbatas hanya pada bangunan sekuler, tetapi juga bangunan yang disucikan. Oleh karena itu, menisbikan tajen sama artinya dengan tidak mau tahu dengan kenyataan yang ada. Malahan para penganut paham ini menyatakan: mengapa kita harus takut dengan judi, bukankah hidup kita ini sesungguhnya sebuah permainan atau gambling?

4. Tajen dan Pembangunan Berbudaya
Komitmen pembangunan Bali berdasarkan kebudayaan yang bersumber dari agama Hindu memiliki implikasi luas, termasuk dalam upaya memahami dan menempatkan persoalan tajen dalam proses pembangunan lainnya. Jika kita konsisten terhadap makna teologis pembangunan berbudaya maka seharusnya menjadi komitmen bersama untuk meminimalkan segala bentuk judi. Artinya, jikapun tajen belakangan ini kelihatan semakin marak di Bali, bukan merupakan sebuah pembenar untuk melegalkan hal itu. Sebab, pengalaman teologis sebagaimana digambarkan dalam kisah Mahabharata telah memberikan cukup bekal kepada kita bahwa (1) judi telah membuat orang menderita dalam kurun waktu yang cukup lama dengan berbagai cobaannya; (2) judi telah menimbulkan adanya berbagai konflik kepentingan di dalam lingkungan keluarga; (3) judi telah menyebabkan runtuhnya etika dan sopan santun.
Jika karena semakin maraknya tajen kemudian dilegalkan maka logika yang sama tidak dapat dihindarkan ketika kita mencoba memahami dan mengkaji patologis sosial lainnya, seperti pelacuran. Bukankah pelacuran telah ada bersamaan dengan adanya manusia, dan bukankah pula realitas menunjukkan bahwa belakangan ini hal seperti itu juga semakin marak? Konskuensinya kita juga tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan ini, dan bagaimana dengan judi lainnya, seperti bola adil, blok kiu, spirit, dan sejenisnya.
Semakin maraknya tajen, metuakan, dan patologis sosial lainnya seperti prostitusi juga tidak mengharuskan untuk melegalkannya. Krisis ekonomi berkepanjangan yang mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja, masih terbatasnya lapangan kerja produktif, dan karena itu mengakibatkan waktu senggang menjadi sedemikian banyaknya, merupakan sebab yang harus dicari jalan keluarnya. Jadi, maraknya persoalan tajen, metuakan, dan prostitusi tidak mengharuskan kita mengambil kebijakan yang bertentangan dengan pertimbangan teologis dan kultural.
Pendapat saya (boleh setuju maupun tidak), semakin maraknya judi dalam segala bentuknya terkait dengan banyaknya waktu luang yang belum dimanfaatkan secara efektif. Jika saja setiap orang telah memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan dan kewajiban sosial lainnya maka tindakan ke arah itu (judi) tentu akan dapat diminimalkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah ke arah optimalisasi peran, seperti memanfaatkan potensi pemuda untuk mengaktifkan kembali pekan olahraga dan seni desa, melaksanakan lomba sekaa teruna, dan melaksanakan berbagai bentuk pendalaman sradha pada seluruh lapisan masyarakat. Dengan kata lain, untuk melepaskan diri kita dari tarikan semacam itu maka kita harus kembali ke jalan dharma. Bukankah kita telah diajarkan oleh para leluhur untuk menikmati kesenangan (khama) berdasarkan dharma, demikian pula dalam rangka menghasilkan artha harus dilandasi oleh dharma. Jika ini tetap menjadi pegangan pembangunan berwawasan budaya bernafaskan agama Hindu maka tampaknya kita harus bersama-sama berusaha ke arah itu.
Proses ke arah itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Ia memerlukan kesungguhan hati, niat yang luar biasa, ketabahan, dan latihan terus-menerus. Dalam menapaki proses ke arah itu, kita akan dihadapkan pada berbagai tantangan dan godaan, malahan pengucilan-pengucilan tertentu karena dianggap tidak sesuai dengan opini yang berlaku saat itu. Sekalipun demikian, kami akan berusaha tetap melaksanakan amanat pembangunan berbudaya bernafaskan agama Hindu dengan tidak menutup mata pada kenyataan bahwa masih ada banyak persoalan kemanusiaan, adat, agama, dan lingkungan yang memerlukan perhatian lebih serius.

5. Simpulan
Berdasarkan uraian itu dapat kami simpulan, bahwa tajen merupakan bias dari konsep tabuh rah. Sebagai suatu game yang mengandung spikulasi dan harapan untung rugi, tajen hendaknya dikembalikan kepada konsepsi dasar, yaitu tabuh rah – sebuah sarana persembahan kepada Tuhan dalam rangka memelihara hubungan harmonis dengan tuhan, alam, dan manusia. Artinya, saat ini telah terjadi pergeseran makna sabungan ayam pada masyarakat Bali, dari memenuhi fungsi ritual, sosial, emosional ke arah fungsi spekualisi dan judi.
Maraknya tajen tidak harus diikuti dengan usaha melegalkan permainan itu, melainkan memberi pembobotan yang padat dan berisi kepada setiap orang Bali (umat) yang memiliki banyak waktu luang. Pembobotan kepada setiap umat, diharapkan tidak akan mengalihkan perhatian terhadap hal semacam itu, tetapi juga akan memberikan proses pencerahan, untuk selanjutnya digunakan bekal masuk dalam setting global yang sebentar lagi menghadang di hadapan kita. Upaya perlawanan dengan hukum positif rupanya juga bukan jalan keluar yang memuaskan karena basis budaya berdasarkan berpikir pola dua mengendapkan persaingan, pertikaian, dan konflik adalah kodrati. Di dalamnya diperlukan upaya bersama semua pihak dan terus-menerus karena upaya menekan tajen pada tataran pelarangan akhirnya, mendapat reaksi yang sepadan. Dengan kenyataan ini patut dipertimbangkan sebuah penelusuran terhadap akar budaya masyarakat sebagaimana tampak dalam ritual-ritual keagamaan. Dengan demikian orang Bali yang berbudaya dan berciri Hindu tetap survive dalam pertarungan global.
Demikian beberapa pokok pikiran yang dapat saya sampaikan disertai harapan semoga pikiran baik datang dari segala penjuru dan diberikan petujuk oleh-NYA dalam melaksanakan amanat dharma agama dan dharma negara.










TAJEN DALAM MASYARAKAT BALI

Oleh
I Wayan Sukarma


1. Pendahuluan
Beberapa antropolog asing pernah menulis perihal keunikan sabung ayam yang ada pada masyarakat Bali. Di antara mereka adalah G. Bateson dan M. Mead dalam karyanya, Balinese Character: A Photographic Analysis (1942); J. Belo “The Balinese Temper” dalam Traditional Balinese Culture (1970), aslinya diterbitkan pada tahun 1935); dan C.Geertz dan H. Geertz dalam The Interpretation of Cultures: Selected Essays (1974). Bagi mereka sabung ayam yang berfungsi sebagai tabuh rah semata maupun untuk memenuhi fungsi sekuler lainnya adalah kenyataan kultural dan simbolis.
Sebagai sesuatu yang simbolis, sekalipun yang bertarung hanya jago-jago (siap), tetapi sesungguhnya yang bertarung di sana adalah manusia-manusia dengan segala lelucon, pembicaraan yang dangkal, dan pelepasan berbagai ketegangan. Di dalamnya terjadi permainan dan penyaluran kekerasan, relasi kekuasaan dan perayaan hasrat akan kemenangan, dan berbagai bentuk histeria yang tidak mungkin disalurkan dalam dunia kehidupan norma dan nilai. Malahan Bateson dan Mead menyatakan paralel dengan konsep orang Bali tentang tubuh sebagai seperangkat bagian-bagian berjiwa dan terpisah-pisah, jago dianggap sebagai zakar yang dapat ditanggalkan, yang dapat bergerak sendiri sebagai alat kelamin yang berjalan-jalan, dan hidup. Geertz malahan menyatakan lebih tegas bahwa jago adalah simbol kejantanan par excellence, ibarat kepastian bahwa air mengalir menuruni bukit.
Kedekatan orang Bali dengan sabung ayam (tajen) atau keakraban orang Bali dengan jago-jago mereka lebih daripada sekadar metaforis. Sebagian besar orang Bali menghabiskan waktu mereka untuk merawat, memberi makan, membicarakan akan ketangguhan, mencoba satu sama lain, dan menatap jago mereka dengan kekaguman dan lamunan mengasyikan serta menerawang penuh harap. Sang jago diperlakukan secara khusus, baik berkaitan dengan makan, cara memandikan, dan memelihara bulu-bulu mereka. Seorang laki-laki yang keranjingan jago, seorang yang antusias dalam arti harfiah, dapat menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk jago-jago itu. Malahan menghabiskan tidak hanya sesuatu yang tampak bagi orang luar, melainkan juga bagi diri mereka sendiri, sejumlah besar waktu untuk jago-jago itu. Demikian antusiasnya gambaran orang Bali terhadap jagonya, sebagaimana diungkapkan Geertz sehingga kita tidak sadar juga telah terbius keantusiasan memegang jago kita masing-masing dalam kesempatan ini.

2. Tajen: Pada Masa Lalu dan Kini

Tajen sebagai fenomena kultural pada masa lalu terutama diarahkan untuk memenuhi fungsi yadnya, berupa tabuh rah, antara lain tajen nyuh dan tajen taluh. Tajen jenis ini dilaksanakan setelah tari kincang-kincung, berupa tarian dengan sarana tombak dan keris (kadutan) pada menjelang upacara piodalan selesai. Tari dan tajen jenis ini merupakan ekspresi kekerasan dalam bentuk pertarungan hingga menang-kalah karena kekalahan (kematian) pada satu pihak bermakna memberi kemenangan (kehidupan) pada pihak lain. Perang dan kematian adalah kebutuhan rohani, kebutuhan religi. Religi selalu berhubungan dengan metakosmos dan menghadirkan yang “yang di luar sana” itu dalam dunia manusia, agar berkah transenden lebih menghidupkan manusia. Pada dasarnya mereka juga tidak menyukai kematian dan perang. Akan tetapi hidup harus dilakukan seperti itu karena hanya dengan cara itulah hidup ini dimungkinkan. Dengan demikian kehidupan dapat berjalan normal kembali tanpa tekanan, baik fisik maupun psikis. Ini mengandaikan bahwa setiap orang termasuk orang Bali dalam dirinya telah terkandung unsur-unsur kekerasan, bahkan ketegangan-ketegangan yang secara normal harus mendapat saluran pelepasan. Melalui upacara keagamaan yang ditautkan pada kesenian dan tradisi lainnya rupanya, orang Bali memperoleh penyaluran kekerasan dan pelepasan ketegangan hidup yang dialami sehari-hari. Itu sebabnya sabung ayam yang pertama senantiasa dilaksanakan di areal pura. Jika dipandang perlu dilanjutkan maka hal itu diselenggarakan di jabaan pura dengan tetap diikat oleh tata krama yang semestinya berlaku dalam areal pura.
Kalaupun tajen dilaksanakan bukan di kekeran tempat suci dan dalam konteks upacara (dan umumnya dilaksanakan enam bulan sekali) maka sebelum dilaksanakan sambung ayam dapat dipastikan selalu akan didahului dengan upacara keagamaan. Setidaknya dalam areal itu akan dipasang sanggah cucuk yang salah satu maknanya mengingatkan manusia agar dalam menjalani kehidupan yang sarat dengan aspek gambling, senantiasa tetap berada pada koridor kejujuran, etika, sopan-santun, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pemantapan makna itu. Artinya, sekalipun disadari ada unsur judi yang melekat pada pelaksanaan tabuh rah, tetapi unsur-unsur judi senantiasa dicoba diminimalkan dengan proses ritual dan simbolis. Sebaliknya, saat ini tajen cenderung dilaksanakan sepanjang waktu lepas dari konteks upacara. Jikapun dilaksanakan dalam konteks upacara, acapkali hal itu dilaksanakan sebagai kamuflase dari sebuah upacara tertentu, yang boleh jadi tidak apa-apa jika tidak diisi dengan tajen.
Tajen pada masa yang lalu umumnya dilaksanakan oleh desa dan atau banjar adat dengan berbagai prosedur, ketaatan warga untuk mentaati perarem yang telah mereka rumuskan, percayai, dan dijadikan pedoman bertingkah laku. Jikapun karena kemampuannya seorang warga diminta mengkoordinasikan pelaksanaan tajen maka orang itu tetap tunduk pada desa dan banjar adat yang menjadi penanggung jawab pelaksanaan tejen. Jadi, segala hak dan kewajiban yang melekat pada kedudukan sebagai koordinator pelaksanaan tajen, bukan merupakan hak dan kewajiban individu. Belakangan ini malahan saya melihat bahwa tajen acapkali diselenggarakan oleh individu dan atau kelompok orang dengan hak-hak dan kewajiban yang diklaim sebagai hak individu atau kelompok, lepas dari tanggung jawab desa atau banjar adat. Tentu yang lebih memprihatinkan lagi jika betul adanya sinyalemen keterlibatan oknum aparat dalam penyelenggaraan tajen misalnya, dengan meminta hasil satu kali putaran dari siklus yang disepakati.
Pola ini membawa konskuensi yang amat luas secara sosiologis. Jika pada masa lalu, tajen tidak dapat dihindarkan pelaksanaan maupun unsur judinya, tetapi tajen tetap dapat dikendalikan dan diisolir secara relatif. Sirkulasi ‘kekayaan’ warga, juga bergerak di sekitar itu dengan nilai yang relatif terjangkau. Sebaliknya, dengan network individu atau kelompok penyelenggara semakin luas, semakin terbuka pula adanya kapital ‘asing’ masuk ke dalam tataran ekonomi lokal sehingga keseimbangan sirkulasi ekonomi kerakyatan tidak dapat dipertahankan lagi. Fungsi rekreasi, releksasi, dan pelepasan dari berbagai kesuntukan sebagaimana dinyatakan Geertz tidak lagi dapat dipenuhi, malahan ketegangan-ketegangan baru mulai tercipta.
Ketegangan-ketegangan itu merupakan wujud awal dari sebuah pertikaian. Dalam upacara keagamaan, justru pertikaian itulah yang membuat pasangan oposisi. Dalam pertikaian, dalam perang, dan dalam kematian yang diakibatkannya, hadir suatu yang transenden. Daya-daya hidup ini justru hadir dalam bentuk kematian. Kematian adalah kehidupan. Perang adalah syarat perdamaian, kemakmuran, dan kesuburan. Bagi si pemenang dan yang dikalahkan kematian diperlukan agar hidup dapat dilanjutkan. Ini bukan berarti masyarakat tidak menjalanan hidup dalam kelompok-kelompok sosial. Hidup bersama dalam satu kelompok itu kodrati karena manusia memang makhluk sosial. Manusia tidak mungkin hidup sendirian. Akan tetapi kesosialan ini juga tetap berpegang teguh pada prinsip pemisahan. Setiap banjar atau desa pakraman mempunyai pasangan banjar atau desa pakraman masing-masing. Pasangan-pasangan itu, bahkan membentuk federasi banjar atau desa pakraman. Namun pasangan-pasangan banjar atau desa pakraman tadi bukan dalam arti perkawinan, melainkan pasangan perang. Pasangan persaingan. Pasangan tetap dalam perseteruan. Ini memungkikan kehidupan tetap belangsung.
Dalam pasangan oposisi laki-laki versus perempuan dalam budaya perang, tentu saja laki-laki yang mengalahkan perempuan. Suami-istri juga harus dipisahkan. Ada rumah perempuan dan ada rumah lelaki. Ada ruang perempuan dan ada ruang lelaki dalam satu rumah. Garis pemisahnya harus jelas. Pemisahan dan jarak itulah yang baik. Lelaki lebih berkuasa daripada perempuan. Lelaki adalah hidup itu sendiri. Pemujaan lelaki, pemujaan phalus, pemujaan kelamin lelaki menguasai kehidupan. Anak laki-laki lebih diharapkan karena memungkinkan hidup kolektif terus berlangsung. Perempuan bukan tidak diperlukan, tetapi dikalahkan. Perempuan kelas dua. Pemujaan lelaki, pemujaan pahlawan yang gugur dalam perang mendapat tempat terhormat dalam etika sosial. Mereka adalah manusia-manusia berjasa bagi kelompok.
Apabila benar ini pola pikir yang mendasari kelahiran tajen di Bali maka fenomena tajen itu pada prinsipnya sejalan dengan gagasan Jakob Sumardjo tentang masyarakat yang membangun budayanya berdasarkan berpikir pola dua, yakni bahwa hidup itu pemisahan. Hidup itu persaingan; hidup itu konflik; dan konflik itu adalah perang. Adanya pasangan oposisi semua hal harus dipecahkan dengan mengalahkan salah satu. Jikalau pasangannya kalah, lenyap, dan mati maka hidup dimungkinkan. Kematian satu pihak memungkinkan pihak lain itu hidup. Kondisi hidup ini mau tak mau harus diterima seperti itu. Hidup itu pemisahan karena penyatuan tidak menyenangkan. Dalam masyarakat berpola dua jumlah kelompok sosial bukan semakin menyatu, tetapi semakin terpisah-pisah. Semakin lama jumlah suku semakin banyak. Bahasa semakin bervarian dan sengaja membedakan diri dengan kelompok lain yang jelas dipandang sebagai pesaingnya. Ini sebabnya pro-kontra dan pertikaian menjadi warna kehidupan budaya masyarakat.

3. Pro-Kontra terhadap Tajen
Dari fenomena terurai di atas dalam berbagai diskursus maupun pembicaraan di lingkungan masyarakat kebanyakan telah berkembang dua pemikiran utama dalam menyikapi masalah tajen, yaitu sebagai berikut.
Pertama, perspektif ini lebih bertitik tolak dari pemikiran idealisme-normatif. Termasuk dalam kelompok ini juga mereka yang menganut paham teologis. Argumentasi mereka adalah tajen berbeda dengan tabuh rah. Tajen merupakan bias dari konsep tabuh rah yang notabenanya sarat dengan nuansa ritual-religius. Tabuh rah adalah sebuah proses awal dari rangkaian ritual berikutnya. Tabuh rah berhubungan dengan upaya manusia untuk memelihara hubungan baik dengan dunia bawah, dunia yang memerlukan kurban, binatang, dan darah yang langsung mengalir dari tubuh koban. Jadi, tabuh rah berfungsi menetralkan hubungan manusia dengan dunia bawah, sebelum menapak dunia tengah dan atas. Oleh karena tajen merupakan bias dari konsepsi tabuh rah, dan cendrung telah menjadi sebuah game yang mengandung unsur spekulasi dan taruhan dengan harapan memperoleh keuntungan maka tajen bukanlah sesuatu yang patut dilestarikan, melainkan sebaiknya diminimalkan keberadaannya. Penganut pemikiran ini beranggapan bahwa tajen sebagai fenomena judi merupakan ‘candu’ bagi masyarakat. Ia hanya menjajikan kebahagiaan, membawa orang ke alam hampa udara dan tidak pernah dapat berdiri dengan tegak. Malahan pandangan yang agak sinis dilontarkan untuk itu dengan menyatakan bahwa tidak ada orang yang kaya karena judi, tetapi sebaliknya banyak dijumpai orang menjadi miskin dan menderita karena judi. Sebab itu, judi dalam segala bentuknya harus dihindarkan.
Pandangan ini cendrung berpretensi puritanisme yang dibawa oleh nasionalisme radikal. Penganut paham ini cenderung khawatir akan petani miskin, orang yang tidak terdidik mempertaruhkan seluruh harta mereka dalam game itu. Mereka juga khawatir terhadap adanya perilaku menyia-nyiaan waktu, padahal sebagai bangsa yang sedang membangun memanfaatkan waktu secara baik merupakan awal dari kesuksesan. Dalam pernyataan yang agak sinis, para penganut paham ini kembali melontarkan pernyataan: bagaimana mungkin kita akan masuk ke dalam setting global, jika sebagian besar waktu yang ada dimanfaatkan hanya untuk memelihara jago dan mengadunya?
Kedua, kelompok ini disebut dengan emperisme-pragmatis karena argumentasi yang dilontarkannya senantiasa berdimensi empiris dan pragmatis. Bagi mereka tajen adalah sebuah wadah bagi orang Bali dalam mengekspresikan berbagai emosi dan sebagai perwujudan karakter mereka. Tajen sebagai sesuatu fakta, ia ada dan tidak mungkin dinisbikan hanya oleh kekuasaan birokrasi, terlebih hal itu merupakan keinginan masyarakat. Dalam proses historis, sekalipun pada masa pemerintahan Belanda dan Republik, tajen dilarang toh dalam kenyataannya tajen tetap ada dan semakin semarak saja.
Tajen tidak saja telah memungkinkan tumbuh dan berkembangnya sektor informal dalam arena pertandingan jago, seperti saya, tukang taji, pekembar, dan sebagainya; tetapi ia telah mampu memberi kehidupan bagi lingkungan yang lebih luas di luar arena. Dalam aspek emperis, terbukti terdapat banyak infrastruktur desa yang dibangun dari hasil tajen, tidak terbatas hanya pada bangunan sekuler, tetapi juga bangunan yang disucikan. Oleh karena itu, menisbikan tajen sama artinya dengan tidak mau tahu dengan kenyataan yang ada. Malahan para penganut paham ini menyatakan: mengapa kita harus takut dengan judi, bukankah hidup kita ini sesungguhnya sebuah permainan atau gambling?

4. Tajen dan Pembangunan Berbudaya
Komitmen pembangunan Bali berdasarkan kebudayaan yang bersumber dari agama Hindu memiliki implikasi luas, termasuk dalam upaya memahami dan menempatkan persoalan tajen dalam proses pembangunan lainnya. Jika kita konsisten terhadap makna teologis pembangunan berbudaya maka seharusnya menjadi komitmen bersama untuk meminimalkan segala bentuk judi. Artinya, jikapun tajen belakangan ini kelihatan semakin marak di Bali, bukan merupakan sebuah pembenar untuk melegalkan hal itu. Sebab, pengalaman teologis sebagaimana digambarkan dalam kisah Mahabharata telah memberikan cukup bekal kepada kita bahwa (1) judi telah membuat orang menderita dalam kurun waktu yang cukup lama dengan berbagai cobaannya; (2) judi telah menimbulkan adanya berbagai konflik kepentingan di dalam lingkungan keluarga; (3) judi telah menyebabkan runtuhnya etika dan sopan santun.
Jika karena semakin maraknya tajen kemudian dilegalkan maka logika yang sama tidak dapat dihindarkan ketika kita mencoba memahami dan mengkaji patologis sosial lainnya, seperti pelacuran. Bukankah pelacuran telah ada bersamaan dengan adanya manusia, dan bukankah pula realitas menunjukkan bahwa belakangan ini hal seperti itu juga semakin marak? Konskuensinya kita juga tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan ini, dan bagaimana dengan judi lainnya, seperti bola adil, blok kiu, spirit, dan sejenisnya.
Semakin maraknya tajen, metuakan, dan patologis sosial lainnya seperti prostitusi juga tidak mengharuskan untuk melegalkannya. Krisis ekonomi berkepanjangan yang mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja, masih terbatasnya lapangan kerja produktif, dan karena itu mengakibatkan waktu senggang menjadi sedemikian banyaknya, merupakan sebab yang harus dicari jalan keluarnya. Jadi, maraknya persoalan tajen, metuakan, dan prostitusi tidak mengharuskan kita mengambil kebijakan yang bertentangan dengan pertimbangan teologis dan kultural.
Pendapat saya (boleh setuju maupun tidak), semakin maraknya judi dalam segala bentuknya terkait dengan banyaknya waktu luang yang belum dimanfaatkan secara efektif. Jika saja setiap orang telah memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan dan kewajiban sosial lainnya maka tindakan ke arah itu (judi) tentu akan dapat diminimalkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah ke arah optimalisasi peran, seperti memanfaatkan potensi pemuda untuk mengaktifkan kembali pekan olahraga dan seni desa, melaksanakan lomba sekaa teruna, dan melaksanakan berbagai bentuk pendalaman sradha pada seluruh lapisan masyarakat. Dengan kata lain, untuk melepaskan diri kita dari tarikan semacam itu maka kita harus kembali ke jalan dharma. Bukankah kita telah diajarkan oleh para leluhur untuk menikmati kesenangan (khama) berdasarkan dharma, demikian pula dalam rangka menghasilkan artha harus dilandasi oleh dharma. Jika ini tetap menjadi pegangan pembangunan berwawasan budaya bernafaskan agama Hindu maka tampaknya kita harus bersama-sama berusaha ke arah itu.
Proses ke arah itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Ia memerlukan kesungguhan hati, niat yang luar biasa, ketabahan, dan latihan terus-menerus. Dalam menapaki proses ke arah itu, kita akan dihadapkan pada berbagai tantangan dan godaan, malahan pengucilan-pengucilan tertentu karena dianggap tidak sesuai dengan opini yang berlaku saat itu. Sekalipun demikian, kami akan berusaha tetap melaksanakan amanat pembangunan berbudaya bernafaskan agama Hindu dengan tidak menutup mata pada kenyataan bahwa masih ada banyak persoalan kemanusiaan, adat, agama, dan lingkungan yang memerlukan perhatian lebih serius.

5. Simpulan
Berdasarkan uraian itu dapat kami simpulan, bahwa tajen merupakan bias dari konsep tabuh rah. Sebagai suatu game yang mengandung spikulasi dan harapan untung rugi, tajen hendaknya dikembalikan kepada konsepsi dasar, yaitu tabuh rah – sebuah sarana persembahan kepada Tuhan dalam rangka memelihara hubungan harmonis dengan tuhan, alam, dan manusia. Artinya, saat ini telah terjadi pergeseran makna sabungan ayam pada masyarakat Bali, dari memenuhi fungsi ritual, sosial, emosional ke arah fungsi spekualisi dan judi.
Maraknya tajen tidak harus diikuti dengan usaha melegalkan permainan itu, melainkan memberi pembobotan yang padat dan berisi kepada setiap orang Bali (umat) yang memiliki banyak waktu luang. Pembobotan kepada setiap umat, diharapkan tidak akan mengalihkan perhatian terhadap hal semacam itu, tetapi juga akan memberikan proses pencerahan, untuk selanjutnya digunakan bekal masuk dalam setting global yang sebentar lagi menghadang di hadapan kita. Upaya perlawanan dengan hukum positif rupanya juga bukan jalan keluar yang memuaskan karena basis budaya berdasarkan berpikir pola dua mengendapkan persaingan, pertikaian, dan konflik adalah kodrati. Di dalamnya diperlukan upaya bersama semua pihak dan terus-menerus karena upaya menekan tajen pada tataran pelarangan akhirnya, mendapat reaksi yang sepadan. Dengan kenyataan ini patut dipertimbangkan sebuah penelusuran terhadap akar budaya masyarakat sebagaimana tampak dalam ritual-ritual keagamaan. Dengan demikian orang Bali yang berbudaya dan berciri Hindu tetap survive dalam pertarungan global.
Demikian beberapa pokok pikiran yang dapat saya sampaikan disertai harapan semoga pikiran baik datang dari segala penjuru dan diberikan petujuk oleh-NYA dalam melaksanakan amanat dharma agama dan dharma negara.























TAJEN DALAM MASYARAKAT BALI

Oleh
I Wayan Sukarma


1. Pendahuluan
Beberapa antropolog asing pernah menulis perihal keunikan sabung ayam yang ada pada masyarakat Bali. Di antara mereka adalah G. Bateson dan M. Mead dalam karyanya, Balinese Character: A Photographic Analysis (1942); J. Belo “The Balinese Temper” dalam Traditional Balinese Culture (1970), aslinya diterbitkan pada tahun 1935); dan C.Geertz dan H. Geertz dalam The Interpretation of Cultures: Selected Essays (1974). Bagi mereka sabung ayam yang berfungsi sebagai tabuh rah semata maupun untuk memenuhi fungsi sekuler lainnya adalah kenyataan kultural dan simbolis.
Sebagai sesuatu yang simbolis, sekalipun yang bertarung hanya jago-jago (siap), tetapi sesungguhnya yang bertarung di sana adalah manusia-manusia dengan segala lelucon, pembicaraan yang dangkal, dan pelepasan berbagai ketegangan. Di dalamnya terjadi permainan dan penyaluran kekerasan, relasi kekuasaan dan perayaan hasrat akan kemenangan, dan berbagai bentuk histeria yang tidak mungkin disalurkan dalam dunia kehidupan norma dan nilai. Malahan Bateson dan Mead menyatakan paralel dengan konsep orang Bali tentang tubuh sebagai seperangkat bagian-bagian berjiwa dan terpisah-pisah, jago dianggap sebagai zakar yang dapat ditanggalkan, yang dapat bergerak sendiri sebagai alat kelamin yang berjalan-jalan, dan hidup. Geertz malahan menyatakan lebih tegas bahwa jago adalah simbol kejantanan par excellence, ibarat kepastian bahwa air mengalir menuruni bukit.
Kedekatan orang Bali dengan sabung ayam (tajen) atau keakraban orang Bali dengan jago-jago mereka lebih daripada sekadar metaforis. Sebagian besar orang Bali menghabiskan waktu mereka untuk merawat, memberi makan, membicarakan akan ketangguhan, mencoba satu sama lain, dan menatap jago mereka dengan kekaguman dan lamunan mengasyikan serta menerawang penuh harap. Sang jago diperlakukan secara khusus, baik berkaitan dengan makan, cara memandikan, dan memelihara bulu-bulu mereka. Seorang laki-laki yang keranjingan jago, seorang yang antusias dalam arti harfiah, dapat menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk jago-jago itu. Malahan menghabiskan tidak hanya sesuatu yang tampak bagi orang luar, melainkan juga bagi diri mereka sendiri, sejumlah besar waktu untuk jago-jago itu. Demikian antusiasnya gambaran orang Bali terhadap jagonya, sebagaimana diungkapkan Geertz sehingga kita tidak sadar juga telah terbius keantusiasan memegang jago kita masing-masing dalam kesempatan ini.

2. Tajen: Pada Masa Lalu dan Kini

Tajen sebagai fenomena kultural pada masa lalu terutama diarahkan untuk memenuhi fungsi yadnya, berupa tabuh rah, antara lain tajen nyuh dan tajen taluh. Tajen jenis ini dilaksanakan setelah tari kincang-kincung, berupa tarian dengan sarana tombak dan keris (kadutan) pada menjelang upacara piodalan selesai. Tari dan tajen jenis ini merupakan ekspresi kekerasan dalam bentuk pertarungan hingga menang-kalah karena kekalahan (kematian) pada satu pihak bermakna memberi kemenangan (kehidupan) pada pihak lain. Perang dan kematian adalah kebutuhan rohani, kebutuhan religi. Religi selalu berhubungan dengan metakosmos dan menghadirkan yang “yang di luar sana” itu dalam dunia manusia, agar berkah transenden lebih menghidupkan manusia. Pada dasarnya mereka juga tidak menyukai kematian dan perang. Akan tetapi hidup harus dilakukan seperti itu karena hanya dengan cara itulah hidup ini dimungkinkan. Dengan demikian kehidupan dapat berjalan normal kembali tanpa tekanan, baik fisik maupun psikis. Ini mengandaikan bahwa setiap orang termasuk orang Bali dalam dirinya telah terkandung unsur-unsur kekerasan, bahkan ketegangan-ketegangan yang secara normal harus mendapat saluran pelepasan. Melalui upacara keagamaan yang ditautkan pada kesenian dan tradisi lainnya rupanya, orang Bali memperoleh penyaluran kekerasan dan pelepasan ketegangan hidup yang dialami sehari-hari. Itu sebabnya sabung ayam yang pertama senantiasa dilaksanakan di areal pura. Jika dipandang perlu dilanjutkan maka hal itu diselenggarakan di jabaan pura dengan tetap diikat oleh tata krama yang semestinya berlaku dalam areal pura.
Kalaupun tajen dilaksanakan bukan di kekeran tempat suci dan dalam konteks upacara (dan umumnya dilaksanakan enam bulan sekali) maka sebelum dilaksanakan sambung ayam dapat dipastikan selalu akan didahului dengan upacara keagamaan. Setidaknya dalam areal itu akan dipasang sanggah cucuk yang salah satu maknanya mengingatkan manusia agar dalam menjalani kehidupan yang sarat dengan aspek gambling, senantiasa tetap berada pada koridor kejujuran, etika, sopan-santun, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pemantapan makna itu. Artinya, sekalipun disadari ada unsur judi yang melekat pada pelaksanaan tabuh rah, tetapi unsur-unsur judi senantiasa dicoba diminimalkan dengan proses ritual dan simbolis. Sebaliknya, saat ini tajen cenderung dilaksanakan sepanjang waktu lepas dari konteks upacara. Jikapun dilaksanakan dalam konteks upacara, acapkali hal itu dilaksanakan sebagai kamuflase dari sebuah upacara tertentu, yang boleh jadi tidak apa-apa jika tidak diisi dengan tajen.
Tajen pada masa yang lalu umumnya dilaksanakan oleh desa dan atau banjar adat dengan berbagai prosedur, ketaatan warga untuk mentaati perarem yang telah mereka rumuskan, percayai, dan dijadikan pedoman bertingkah laku. Jikapun karena kemampuannya seorang warga diminta mengkoordinasikan pelaksanaan tajen maka orang itu tetap tunduk pada desa dan banjar adat yang menjadi penanggung jawab pelaksanaan tejen. Jadi, segala hak dan kewajiban yang melekat pada kedudukan sebagai koordinator pelaksanaan tajen, bukan merupakan hak dan kewajiban individu. Belakangan ini malahan saya melihat bahwa tajen acapkali diselenggarakan oleh individu dan atau kelompok orang dengan hak-hak dan kewajiban yang diklaim sebagai hak individu atau kelompok, lepas dari tanggung jawab desa atau banjar adat. Tentu yang lebih memprihatinkan lagi jika betul adanya sinyalemen keterlibatan oknum aparat dalam penyelenggaraan tajen misalnya, dengan meminta hasil satu kali putaran dari siklus yang disepakati.
Pola ini membawa konskuensi yang amat luas secara sosiologis. Jika pada masa lalu, tajen tidak dapat dihindarkan pelaksanaan maupun unsur judinya, tetapi tajen tetap dapat dikendalikan dan diisolir secara relatif. Sirkulasi ‘kekayaan’ warga, juga bergerak di sekitar itu dengan nilai yang relatif terjangkau. Sebaliknya, dengan network individu atau kelompok penyelenggara semakin luas, semakin terbuka pula adanya kapital ‘asing’ masuk ke dalam tataran ekonomi lokal sehingga keseimbangan sirkulasi ekonomi kerakyatan tidak dapat dipertahankan lagi. Fungsi rekreasi, releksasi, dan pelepasan dari berbagai kesuntukan sebagaimana dinyatakan Geertz tidak lagi dapat dipenuhi, malahan ketegangan-ketegangan baru mulai tercipta.
Ketegangan-ketegangan itu merupakan wujud awal dari sebuah pertikaian. Dalam upacara keagamaan, justru pertikaian itulah yang membuat pasangan oposisi. Dalam pertikaian, dalam perang, dan dalam kematian yang diakibatkannya, hadir suatu yang transenden. Daya-daya hidup ini justru hadir dalam bentuk kematian. Kematian adalah kehidupan. Perang adalah syarat perdamaian, kemakmuran, dan kesuburan. Bagi si pemenang dan yang dikalahkan kematian diperlukan agar hidup dapat dilanjutkan. Ini bukan berarti masyarakat tidak menjalanan hidup dalam kelompok-kelompok sosial. Hidup bersama dalam satu kelompok itu kodrati karena manusia memang makhluk sosial. Manusia tidak mungkin hidup sendirian. Akan tetapi kesosialan ini juga tetap berpegang teguh pada prinsip pemisahan. Setiap banjar atau desa pakraman mempunyai pasangan banjar atau desa pakraman masing-masing. Pasangan-pasangan itu, bahkan membentuk federasi banjar atau desa pakraman. Namun pasangan-pasangan banjar atau desa pakraman tadi bukan dalam arti perkawinan, melainkan pasangan perang. Pasangan persaingan. Pasangan tetap dalam perseteruan. Ini memungkikan kehidupan tetap belangsung.
Dalam pasangan oposisi laki-laki versus perempuan dalam budaya perang, tentu saja laki-laki yang mengalahkan perempuan. Suami-istri juga harus dipisahkan. Ada rumah perempuan dan ada rumah lelaki. Ada ruang perempuan dan ada ruang lelaki dalam satu rumah. Garis pemisahnya harus jelas. Pemisahan dan jarak itulah yang baik. Lelaki lebih berkuasa daripada perempuan. Lelaki adalah hidup itu sendiri. Pemujaan lelaki, pemujaan phalus, pemujaan kelamin lelaki menguasai kehidupan. Anak laki-laki lebih diharapkan karena memungkinkan hidup kolektif terus berlangsung. Perempuan bukan tidak diperlukan, tetapi dikalahkan. Perempuan kelas dua. Pemujaan lelaki, pemujaan pahlawan yang gugur dalam perang mendapat tempat terhormat dalam etika sosial. Mereka adalah manusia-manusia berjasa bagi kelompok.
Apabila benar ini pola pikir yang mendasari kelahiran tajen di Bali maka fenomena tajen itu pada prinsipnya sejalan dengan gagasan Jakob Sumardjo tentang masyarakat yang membangun budayanya berdasarkan berpikir pola dua, yakni bahwa hidup itu pemisahan. Hidup itu persaingan; hidup itu konflik; dan konflik itu adalah perang. Adanya pasangan oposisi semua hal harus dipecahkan dengan mengalahkan salah satu. Jikalau pasangannya kalah, lenyap, dan mati maka hidup dimungkinkan. Kematian satu pihak memungkinkan pihak lain itu hidup. Kondisi hidup ini mau tak mau harus diterima seperti itu. Hidup itu pemisahan karena penyatuan tidak menyenangkan. Dalam masyarakat berpola dua jumlah kelompok sosial bukan semakin menyatu, tetapi semakin terpisah-pisah. Semakin lama jumlah suku semakin banyak. Bahasa semakin bervarian dan sengaja membedakan diri dengan kelompok lain yang jelas dipandang sebagai pesaingnya. Ini sebabnya pro-kontra dan pertikaian menjadi warna kehidupan budaya masyarakat.

3. Pro-Kontra terhadap Tajen
Dari fenomena terurai di atas dalam berbagai diskursus maupun pembicaraan di lingkungan masyarakat kebanyakan telah berkembang dua pemikiran utama dalam menyikapi masalah tajen, yaitu sebagai berikut.
Pertama, perspektif ini lebih bertitik tolak dari pemikiran idealisme-normatif. Termasuk dalam kelompok ini juga mereka yang menganut paham teologis. Argumentasi mereka adalah tajen berbeda dengan tabuh rah. Tajen merupakan bias dari konsep tabuh rah yang notabenanya sarat dengan nuansa ritual-religius. Tabuh rah adalah sebuah proses awal dari rangkaian ritual berikutnya. Tabuh rah berhubungan dengan upaya manusia untuk memelihara hubungan baik dengan dunia bawah, dunia yang memerlukan kurban, binatang, dan darah yang langsung mengalir dari tubuh koban. Jadi, tabuh rah berfungsi menetralkan hubungan manusia dengan dunia bawah, sebelum menapak dunia tengah dan atas. Oleh karena tajen merupakan bias dari konsepsi tabuh rah, dan cendrung telah menjadi sebuah game yang mengandung unsur spekulasi dan taruhan dengan harapan memperoleh keuntungan maka tajen bukanlah sesuatu yang patut dilestarikan, melainkan sebaiknya diminimalkan keberadaannya. Penganut pemikiran ini beranggapan bahwa tajen sebagai fenomena judi merupakan ‘candu’ bagi masyarakat. Ia hanya menjajikan kebahagiaan, membawa orang ke alam hampa udara dan tidak pernah dapat berdiri dengan tegak. Malahan pandangan yang agak sinis dilontarkan untuk itu dengan menyatakan bahwa tidak ada orang yang kaya karena judi, tetapi sebaliknya banyak dijumpai orang menjadi miskin dan menderita karena judi. Sebab itu, judi dalam segala bentuknya harus dihindarkan.
Pandangan ini cendrung berpretensi puritanisme yang dibawa oleh nasionalisme radikal. Penganut paham ini cenderung khawatir akan petani miskin, orang yang tidak terdidik mempertaruhkan seluruh harta mereka dalam game itu. Mereka juga khawatir terhadap adanya perilaku menyia-nyiaan waktu, padahal sebagai bangsa yang sedang membangun memanfaatkan waktu secara baik merupakan awal dari kesuksesan. Dalam pernyataan yang agak sinis, para penganut paham ini kembali melontarkan pernyataan: bagaimana mungkin kita akan masuk ke dalam setting global, jika sebagian besar waktu yang ada dimanfaatkan hanya untuk memelihara jago dan mengadunya?
Kedua, kelompok ini disebut dengan emperisme-pragmatis karena argumentasi yang dilontarkannya senantiasa berdimensi empiris dan pragmatis. Bagi mereka tajen adalah sebuah wadah bagi orang Bali dalam mengekspresikan berbagai emosi dan sebagai perwujudan karakter mereka. Tajen sebagai sesuatu fakta, ia ada dan tidak mungkin dinisbikan hanya oleh kekuasaan birokrasi, terlebih hal itu merupakan keinginan masyarakat. Dalam proses historis, sekalipun pada masa pemerintahan Belanda dan Republik, tajen dilarang toh dalam kenyataannya tajen tetap ada dan semakin semarak saja.
Tajen tidak saja telah memungkinkan tumbuh dan berkembangnya sektor informal dalam arena pertandingan jago, seperti saya, tukang taji, pekembar, dan sebagainya; tetapi ia telah mampu memberi kehidupan bagi lingkungan yang lebih luas di luar arena. Dalam aspek emperis, terbukti terdapat banyak infrastruktur desa yang dibangun dari hasil tajen, tidak terbatas hanya pada bangunan sekuler, tetapi juga bangunan yang disucikan. Oleh karena itu, menisbikan tajen sama artinya dengan tidak mau tahu dengan kenyataan yang ada. Malahan para penganut paham ini menyatakan: mengapa kita harus takut dengan judi, bukankah hidup kita ini sesungguhnya sebuah permainan atau gambling?

4. Tajen dan Pembangunan Berbudaya
Komitmen pembangunan Bali berdasarkan kebudayaan yang bersumber dari agama Hindu memiliki implikasi luas, termasuk dalam upaya memahami dan menempatkan persoalan tajen dalam proses pembangunan lainnya. Jika kita konsisten terhadap makna teologis pembangunan berbudaya maka seharusnya menjadi komitmen bersama untuk meminimalkan segala bentuk judi. Artinya, jikapun tajen belakangan ini kelihatan semakin marak di Bali, bukan merupakan sebuah pembenar untuk melegalkan hal itu. Sebab, pengalaman teologis sebagaimana digambarkan dalam kisah Mahabharata telah memberikan cukup bekal kepada kita bahwa (1) judi telah membuat orang menderita dalam kurun waktu yang cukup lama dengan berbagai cobaannya; (2) judi telah menimbulkan adanya berbagai konflik kepentingan di dalam lingkungan keluarga; (3) judi telah menyebabkan runtuhnya etika dan sopan santun.
Jika karena semakin maraknya tajen kemudian dilegalkan maka logika yang sama tidak dapat dihindarkan ketika kita mencoba memahami dan mengkaji patologis sosial lainnya, seperti pelacuran. Bukankah pelacuran telah ada bersamaan dengan adanya manusia, dan bukankah pula realitas menunjukkan bahwa belakangan ini hal seperti itu juga semakin marak? Konskuensinya kita juga tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan ini, dan bagaimana dengan judi lainnya, seperti bola adil, blok kiu, spirit, dan sejenisnya.
Semakin maraknya tajen, metuakan, dan patologis sosial lainnya seperti prostitusi juga tidak mengharuskan untuk melegalkannya. Krisis ekonomi berkepanjangan yang mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja, masih terbatasnya lapangan kerja produktif, dan karena itu mengakibatkan waktu senggang menjadi sedemikian banyaknya, merupakan sebab yang harus dicari jalan keluarnya. Jadi, maraknya persoalan tajen, metuakan, dan prostitusi tidak mengharuskan kita mengambil kebijakan yang bertentangan dengan pertimbangan teologis dan kultural.
Pendapat saya (boleh setuju maupun tidak), semakin maraknya judi dalam segala bentuknya terkait dengan banyaknya waktu luang yang belum dimanfaatkan secara efektif. Jika saja setiap orang telah memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan dan kewajiban sosial lainnya maka tindakan ke arah itu (judi) tentu akan dapat diminimalkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah ke arah optimalisasi peran, seperti memanfaatkan potensi pemuda untuk mengaktifkan kembali pekan olahraga dan seni desa, melaksanakan lomba sekaa teruna, dan melaksanakan berbagai bentuk pendalaman sradha pada seluruh lapisan masyarakat. Dengan kata lain, untuk melepaskan diri kita dari tarikan semacam itu maka kita harus kembali ke jalan dharma. Bukankah kita telah diajarkan oleh para leluhur untuk menikmati kesenangan (khama) berdasarkan dharma, demikian pula dalam rangka menghasilkan artha harus dilandasi oleh dharma. Jika ini tetap menjadi pegangan pembangunan berwawasan budaya bernafaskan agama Hindu maka tampaknya kita harus bersama-sama berusaha ke arah itu.
Proses ke arah itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Ia memerlukan kesungguhan hati, niat yang luar biasa, ketabahan, dan latihan terus-menerus. Dalam menapaki proses ke arah itu, kita akan dihadapkan pada berbagai tantangan dan godaan, malahan pengucilan-pengucilan tertentu karena dianggap tidak sesuai dengan opini yang berlaku saat itu. Sekalipun demikian, kami akan berusaha tetap melaksanakan amanat pembangunan berbudaya bernafaskan agama Hindu dengan tidak menutup mata pada kenyataan bahwa masih ada banyak persoalan kemanusiaan, adat, agama, dan lingkungan yang memerlukan perhatian lebih serius.

5. Simpulan
Berdasarkan uraian itu dapat kami simpulan, bahwa tajen merupakan bias dari konsep tabuh rah. Sebagai suatu game yang mengandung spikulasi dan harapan untung rugi, tajen hendaknya dikembalikan kepada konsepsi dasar, yaitu tabuh rah – sebuah sarana persembahan kepada Tuhan dalam rangka memelihara hubungan harmonis dengan tuhan, alam, dan manusia. Artinya, saat ini telah terjadi pergeseran makna sabungan ayam pada masyarakat Bali, dari memenuhi fungsi ritual, sosial, emosional ke arah fungsi spekualisi dan judi.
Maraknya tajen tidak harus diikuti dengan usaha melegalkan permainan itu, melainkan memberi pembobotan yang padat dan berisi kepada setiap orang Bali (umat) yang memiliki banyak waktu luang. Pembobotan kepada setiap umat, diharapkan tidak akan mengalihkan perhatian terhadap hal semacam itu, tetapi juga akan memberikan proses pencerahan, untuk selanjutnya digunakan bekal masuk dalam setting global yang sebentar lagi menghadang di hadapan kita. Upaya perlawanan dengan hukum positif rupanya juga bukan jalan keluar yang memuaskan karena basis budaya berdasarkan berpikir pola dua mengendapkan persaingan, pertikaian, dan konflik adalah kodrati. Di dalamnya diperlukan upaya bersama semua pihak dan terus-menerus karena upaya menekan tajen pada tataran pelarangan akhirnya, mendapat reaksi yang sepadan. Dengan kenyataan ini patut dipertimbangkan sebuah penelusuran terhadap akar budaya masyarakat sebagaimana tampak dalam ritual-ritual keagamaan. Dengan demikian orang Bali yang berbudaya dan berciri Hindu tetap survive dalam pertarungan global.
Demikian beberapa pokok pikiran yang dapat saya sampaikan disertai harapan semoga pikiran baik datang dari segala penjuru dan diberikan petujuk oleh-NYA dalam melaksanakan amanat dharma agama dan dharma negara.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...