PARIWISATA BALI PASCABOM KUTA
Oleh
I Wayan Sukarma
Bali tempo doeloe dan Bali masa kini merupakan dua gambaran paradoks yang hendak dikemukakan dalam buku ini. Dengan merujuk sejarah kerajaan Jawa dan Bali serta beberapa karya etnografi tentang Bali dari antropolog asing, wajah Bali tempo doeloe digambarkan sebagai Bali yang penuh gairah dan pesona. Orang Bali, alam, kebudayaan, dan agamanya dalam khazanah pariwisata lebih menjadi objek daripada subjek karena pertautannya semata-mata merupakan aset pariwisata Bali. Antropolog Barat menemukan Bali sebagai sebuah pulau, di mana budaya dan alam saling berpautan erat, tempat tinggal sebuah masyarakat mapan dan harmonis yang secara berkala digairahkan ritus-ritus yang amat mempesona. Alamnya menyajikan keindahan Bali dalam warna gaib tridatu dan kilauan sunset dewata nawa sanga yang menggetarkan rasa-agama-budhi. Kebudayaan Bali yang diwarnai pernik-pernik yadnya menawarkan keramahan orang Bali khas bhakti dalam tatanan dan tuntunan santun sarat pesona melalui jalinan tattwa-susila-acara (Hindu). Keterpaduan antara kelimpahan upacara, kesenian, dan pemandangan yang hijau menggambarkan ciri arkais kebudayaan Bali. Melimpahnya kegiatan ritual dan seni orang Bali menurut Mead dan Bateson (Picard, 2006) patut dilihat sebagai gejala yang harus dibahas dalam kerangka psikologis-kulturalis. Di mata mereka kebudayaan Bali menjadi semacam sistem pengatur dorongan-dorongan naluri yang menimbulkan sejenis skizofrenia-kultural. Pada kenyataan dalam pengalaman empiris kehidupan sehari-hari jalinan antara agama Hindu dan kebudayaan Bali telah menjadi panduan bagi sikap dan perilaku orang Bali. Dengannya orang Bali membentuk suatu keyakinan, kebudayaan itu merupakan blue-print yang telah menjadi kompas dalam perjalanan hidupnya karena kebudayaan itu dijadikan pedoman tingkah laku. Jalinan antara orang Bali dan alamnya melalui semangat religius dalam bingkai yadnya telah melahirkan harmoni kehidupan mengagumkan sehingga Bali layak dijadikan objek pemuas nafsu-selera manusia modern.
Bali masa kini merupakan gambaran sebaliknya, dengan diwakili dua wajah pariwisata Bali sekitar kawasan Kuta (Samigita: Seminyak-Legian-Kuta) dan Sanur, Badung dan Denpasar. Coreng-moreng iklan-reklame yang menghiasi ruang-ruang publik, ekspresi “kebinatangan” manusia jalanan dalam carut-marut lalu lintas jalan raya, pojok remang-remang pertamanan kota, dan sudut kafe-kapitalistik melengkapi gambaran buram wajah Bali pada masa kini. Bali yang renta dalam keperkasaannya, lusuh dalam kegairahannya, dan luluh dalam semangat dan ketegarannya. Dualisme paradoks ini, seperti fisik-psikis, atas-bawah, dan pusat-pinggiran memang gaya pengungkapan Yudhis M. Burhanuddin tentang implikasi psiko-sosio-budaya pariwisata Bali pascabom Kuta terhadap pendatang dalam pergulatan keagamaan dan etnisitas. Pada kawasan ini ketiga konsep utama digambarkan pada posisi paradoks, antara pendatang dan penduduk asli, Islam dan Hindu, serta etnisitas dan nasionalitas. Pada dasarnya ini merupakan pengungkapan fungsi laten pariwisata Bali pascabom Kuta, antara lain meliputi tanggapan dan sikap orang Bali – konservatif, moderat, dan progresif – terhadap pendatang dalam konteks keagamaan dan etnisitas.
Penelusuran serius dan sungguh-sungguh melalui ide-ide kesejarahan dan eksplorasi kancah yang mendalam – yang menurut penulis sendiri memang lepas dan keluar dari cara kerja penelitian teoretis-akademis – paling tidak telah memberikan pragmentasi pergumulan sosial dan budaya dalam pengalaman langsung antara orang Bali dan pendatang seputar agama dan etnisitas. Hal ini memang tampak jelas sejak awal perbincangan yang dimulai dari bagian pertama dengan label-titel Pertahankan Citra, “Gugat” Pendatang. Pada bagian pertama ini lebih merupakan gambaran paradoks antara budaya induk dan budaya jalanan. Budaya induk digambarkan merupakan tradisi yang telah mapan dalam kultur dan struktur yang hidup dan berkembang melalui sekaa-sekaa fungsional, banjar, dan desa pakraman. Lembaga-lembaga adat ini dipandang citra kemapanan, seperti antara lain keamanan dan kedamaian termasuk ketenteraman merupakan kondisi-strategi-upaya, situasi dan keadaan mana pariwisata Bali bersandar. Sebaliknya, budaya jalanan merupakan anak turunan dari budaya induk berupa “anak yang tidak diharapkan” (unwanted children) karena memiliki sifat-sifat yang tidak sama, bahkan secara normatif dianggap menyimpang dari budaya induknya yang dianggap baku, formal, dan mapan. Burhanuddin memberikan contoh premanisme yang berkembang dalam dua kawasan wisata tersebut. Di antara budaya ini pariwisata Bali dipertaruhkan karena pariwisata lebih ditempatkan pada posisi ideologis, yakni seni bertahan hidup dan pengumpulan kekayaan, baik bagi penduduk asli maupun pendatang. Pada dasarnya ini merupakan dampak dari proses modernisasi dan globalisasi yang memang tidak dapat terhindari. Ini juga yang mendorong terjadinya estetisasi dan komodifikasi kehidupan secara meluas, karena itu “perang” antara idealisme dan materialisme tidak dapat dihindari.
Pengaruh modernisasi dan globalisasi melalui industri pariwisata terhadap aspek-aspek kehidupan masyarakat menjadi perhatian serius Burhanuddin. Dalam kawasan pariwisata Kuta dan Sanur digambarkan keterpinggiran penduduk lokal akibat kalah “perang-melawan” pendatang dalam berbagai sektor terutama ekonomi. “Kekalahan” penduduk lokal dari pendatang disebabkan beberapa faktor, sekaligus sebagai indikator perubahan karakter orang Bali , antara lain seperti berikut. Pertama karena ketidaksiapan dan ketidakmampuan orang Bali untuk bersaing dengan new comers (pendatang). Kedua, persaingan dan pemilahan antara penduduk asli (pribumi) dan pendatang melalui katagorisasi beroposisi (binary opposition) telah membentuk karakter orang Bali yang penuh dengan perasaan curiga, terlebih-lebih lagi sikap itu dijustifikasi melalui simbol kultural. Ketiga, perubahan karakter orang Bali juga dipengaruhi oleh proses monetarisasi. Keempat, banyak institusi sosial dan kultural mulai tidak mampu memerankan fungsi-fungsi manifes, malahan cenderung hanya menjadi media untuk menghidupkan ‘keagungan fisikal masa lalu’. Kelima, sekalipun wacana mengenai pentingnya kebudayaan sebagai ‘panglima’ pembangunan Bali, tetapi dalam implementasinya alokasi biaya untuk kepentingan itu belum sesuai dengan wacana dan harapan. Selain kelima faktor eksternal tersebut perubahan karakter orang Bali, juga disebabkan karena secara internal orang Bali sendiri memiliki potensi terbuka dengan perubahan dan mengakui perubahan itu sebagai suatu ‘titah’ yang harus diikuti.
Keterbukaan orang Bali terhadap pendatang memang tidak ada yang salah, tetapi sikap permisif yang berlebihan pada giliran menimbulkan permasalahan ikutan, seperti ketaksbilan daya dukung ruang, populasi penduduk tak terkendali, persaingan hidup semakin ketat, politik identitas menjadi bagian integral dari eksistensi diri, ruang-ruang sosial semakin padat interaksi dan integrasi sosial semu, otonomi sosial dan diferensiasi budaya terjadi secara meluas. Implikasi ini dijelaskan dalam berbagai fenomena perilaku menyimpang secara psiko-sosial yang mengindikasikan terjadinya penurunan pada dimensi moralitas dan humanitas. Dinamika dan dialektika antara penduduk asli dan pendatang dalam berbagai kancah kehidupan memang bukan fenomena sosial yang dengan mudah dapat diderivikasi begitu saja. Akan tetapi kenyataan tidak selalu menyenangkan karena setidak-tidaknya yang paling menonjol ditemukan Burhanuddin adalah penduduk asli sekitar kawasan wisata harus tunduk dan bertekuk lutut kepada pendatang. Mereka harus menyingkir ke bagian tersempit gang-gang kehidupan yang diciptakan sendiri karena bagian depan berupa ruang-ruang longgar merupakan lokasi pemajangan hasil-hasil industri telah “dikuasai” pendatang. Ironis memang dan kemudian, orang Bali digambarkan menjadi tamu di rumahnya sendiri, mereka tercerabut dari akar tradisinya, karena itu wacana ajeg Bali lebih terdengar sebagai pertahanan diri yang lebih bersifat kesukuan. Akhirnya, tuduhan sebagai masyarakat pengusung etnosentrisme pun tidak dapat dihindari, karena itu pandangan yang menyatakan bahwa Bali adalah sebuah benteng terbuka mendapat legitimasi yang meyakinkan.
Tidak jauh berbeda dengan bagian pertama, juga pada bagian kedua buku ini yang diberi titel Multikultur Itu Kini…ditulis berdasarkan fakta-fakta yang menggayut pada realitas sosial masyarakat perkotaan. Tegasnya, masyarakat perkotaan dalam tatanan nilai-nilai tradisional yang mulai kendor karena selalu dipertanyakan kembali oleh nilai-nilai kemajuan. Modernisme yang lebih mengutamakan akal-nalar-rasional dan mengabaikan kepercayaan-tahayul yang justru menjadi keyakinan dan kebenaran tradisionalisme adalah rintangan dan hambatan yang harus disingkirkan. Pengetahuan dan keterampilan tradisional Bali adalah rintangan bagi kemajuan sehingga harus dibuang ke dalam tong-tong sampah nilai dan norma. Pada bagian ini semangat ketunggalan dalam perbedaan yang menjadi tren dunia masa kini menjadi tema inti perbincangan. Oleh karena itu identitas yang semula dipandang absolut dan kemudian mencair sebagai akibat dari tingginya tingkat mobilitas orang dan barang, juga dipertanyakan kembali dalam semangat kolektivisme. Kasus kependudukan di Kota Denpasar misalnya, yang menonjolkan peran pacalang (penjaga dan pengawal tradisi) yang mungkin lebih baik diletakkan sebagai mekanisme kontrol sosial, ternyata lebih dipandang sebagai mekanisme kontrol keamanan dan ketertiban masyarakat, bahkan bergeser menjadi mekanisme kontrol “tindakan kriminal” sosio-budaya. Warna-warni pandangan terhadap peran pacalang dalam kaitannya dengan identitas-diri para pendatang disajikan dalam berbagai varian dan variasi untuk menunjukkan betapa pentingnya identitas dalam masyarakat multikultur. Hal ini ditunjukkan dengan korelasi positif antara pendatang dan perkembangan jumlah penduduk Provinsi Bali dan kota/kabupaten sejak 2000 hingga 2006. Pada akhirnya, peran pacalang berdasarkan pandangan beberapa informan digambarkan merupakan tanggapan dan sikap orang Bali terhadap pendatang sebagai implikasi dari bom Bali. Tegasnya, “bom Bali adalah peristiwa yang sangat traumatik bagi masyarakat Bali secara umum”.
Sebuah catatan akhir, pada bagian ketiga disajikan tema Berseragam-seragam dahulu, beretnis-etnis kemudian. Keseragaman dalam arti-makna kultur dan struktur diungkapkan sebagai produk sejarah sehingga ditengarai sejarah hanyalah upaya menotalkan realitas yang sesungguhnya terpragmentasi dalam sekat-sekat peristiwa empiris sehari-hari. Sejarah yang hanya upaya menotalkan kebenaran yang retak ke dalam kesatuan pemahaman yang utuh, ternyata cenderung meninggalkan wacana subaltern. Dengan mengikuti pemikiran Spivak, wacana ini dikatakan merupakan warisan kolonialisme sehingga tercipta komunitas dalam kesatuan yang semu, yakni keseragaman. Keseragaman dalam konteks budaya dinyatakan melahirkan etnisitas dalam kadar over-dosis sehingga mendorong lahirnya dua kategori etnis, yaitu mayoritas dan minoritas. Dengan demikian tindak kekerasan dan konflik dalam berbagai dimensi dan skalanya dalam berbagai aspek kehidupan tidak dapat dihindari karena yang mayoritas selalu lebih unggul dari yang minoritas. Lepas dari wacana mayoritas-minoritas etnik, baik orang Bali maupun pendatang memiliki cara khas mengendalikan konflik sehingga tidak perlu menjadi konsumsi publik.
Dalam konteks bernegara dan berbangsa, apabila dibandingkan dengan etnis pendatang di Bali maka etnis Bali adalah minoritas. Status ini menurut Burhanuddin menyebabkan orang Bali tidak berani mengurai konflik secara terbuka. Di samping itu juga karena orang Bali memiliki kearifan lokal yang bisa menekan mental brutalnya. Akan tetapi yang terpenting menurutnya, ketakberanian orang Bali mengungkap konflik secara terbuka lebih disebabkan oleh upaya membangun citra kondusif bagi kegiatan pariwisata. Tindakan penyelamatan pariwisata merupakan pilihan utama orang Bali sebagaimana dianjurkan Dinas Pariwisata bahwa pentingnya menciptakan sapta pesona. Pariwasata, sebagai sumber kesejahteraan, baik bagi penduduk lokal maupun pendatang, terikat dan tergantung pada faktor keamanan, kenyamanan, ketenteraman, dan kedamaian; sedangkan konflik selalu berdampak pada situasi dan kondisi sebaliknya. Jika kedua pihak tidak mampu mengendalikan konflik maka sama dengan mereka memecahkan “periuk-nasi”-nya. Dengan demikian menurut Burhanuddin pariwisata dapat berfungsi menjadi pengendali konflik, karena itu konflik diupayakan tidak muncul secara terbuka. Jikalaupun muncul fenomena konflik antarkelompok ataupun banjar segera ditarik ke wilayah adat maka konflik pun tertutupi oleh emosi-religiusitas sehingga konflik dan akibat yang menyertainya tidak muncul dalam ruang-ruang hukum formal.
Cukup jelas bahwa gagasan inti yang hendak dibungkus Burhanuddin dalam buku ini yang diberi judul: Pendatang, Islam, dan Etnisitas di Bali: Studi Kasus Pasca Bom Bali adalah paradoks antara nilai-nilai tradisi Bali dan nilai-nilai modern. Orang Bali dengan tatanan nilai-nilai tradisinya tidak dapat menghindarkan diri dan harus berhadapan dengan nilai-nilai baru dalam tatanan ekonomi global terutama dalam konteks pariwisata. Walaupun mempertentangkan nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai modernisme dan globalisme dalam konteks pariwisata adalah suatu wacana yang kontraproduktif. Melainkan keduanya harus dilihat sebagai kekuatan yang saling melengkapi dan menyempurnakan, sebagaimana seharusnya antara penduduk lokal dan pendatang. Modernisasi dan globalisasi dalam konteks pariwisata, pertama-tama haruslah dihadapi dengan sikap kritis dan pada waktu yang bersamaan melakukan reinterpretasi terhadap nilai-nilai tradisi yang kurang relevan dan fungsional. Artinya, penggairahan kehidupan adat dan tradisi merupakan suatu keharusan, sementara itu, adaptasi modernitas juga bukanlah sesuatu yang harus ditabukan. Urbanisasi sebagai dampak ikutan proses modernisasi dan industrialisasi merupakan bagian lain yang menghasilkan masyarakat plural yang harus dipahami sungguh-sungguh. Oleh karena itu untuk dapat menghasilkan modus yang paling sesuai dengan situasi orang Bali diperlukan kajian terhadap model-model adaptasi dan adopsi unsur-unsur kebudayaan modern secara berkesinambungan. Kehadiran pariwisata harus dilihat bukan saja sebagai tantangan, tetapi juga sekaligus sebagai peluang bagi proses kreatif orang Bali dalam menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi. Dengan demikian Hindu, baik sebagai agama maupun kebudayaan tidak perlu mendapat posisi dipertetangkan, malahan mendapat nafas segar dalam mempertahankan eksistensinya. Hindu sebagai spirit orang Bali yang menggunakan sistem budaya Bali sebagai wahana berseminya tetap mampu merangkum pengalaman kreatif orang Bali di tengah-tengah pariwisata dalam beragamamnya nilai-nilai modernisme dan globalisme.
Dengan demikian tradisi Bali sebagai kesatuan komitmen yang berlaku pada zamannya, bukan sesuatu yang bebas konflik dan tidak mengalami perubahan, melainkan sistem nilai budaya yang aktif dan dinamis terlibat dalam pergulatan tatanan nilai global sejalan dengan kebutuhan orang Bali yang berkembang setiap saat. Kenyataannya, berbagai kebutuhan baru muncul inheren dalam perkembangan pengetahuan masyarakat sebagai sesuatu yang harus dipenuhi. Kebutuhan baru itu dalam perjalanannya sebagian telah diadaptasi dan diakomodasi serta dijadikan acuan bersama dan di dalamnya terdapat komitmen moral yang semula dirumuskan dan dimaksudkan untuk tujuan baik. Akan tetapi implementasinya dalam masyarakat dewasa ini (kontemporer) telah mengalami benturan, bahkan dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat heterogen sehingga perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap substansi, konteks, dan relevansinya. Semua itu merupakan dorongan alamiah bersifat internal yang menandakan bahwa nilai-nilai tradisional tidak terhindar dari proses perubahan (kemajuan). Perubahan terasa semakin kuat bersamaan dengan derasnya pengaruh faktor eksternal, yaitu modernisasi dan globalisasi dalam konteks pariwisata. Oleh karena itu pengenalan nilai baru dengan budaya deferensial memerlukan tindakan strategis dalam menginterpretasi dan mereposisi tradisi agar dapat menciptakan harmoni peradaban .
Gambaran buram di atas diharapkan dapat mengantar Anda memasuki pintu wilayah jelajah pengungkapan Burhanuddin tentang fenomena sosial-budaya seputar pariwisata Bali pascabom Kuta dalam kawasan wisata Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Sekali lagi, karya Bruhanuddin ini merupakan upaya serius sehingga layak diposisikan dalam khazanah kajian ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang memang sangat diperlukan masyarakat masa kini. Informasi yang berguna dalam membangun dan menata kehidupan sosial dan budaya masyarakat plural untuk menuju masyarakat multikultural, yakni keyakinan munculnya satu nilai yang dapat dibagi bersama. Selain itu, juga informasi tentang strategi pengendalian konflik sosial dan budaya yang sebesar-besarnya diarahkan bagi pembangunan keseimbangan dan keteraturan sosial. Untuk itu perpaduan dimensi pemikiran kesejarahan dan pengalaman empiris sehari-hari dalam permainan bahasa kekinian merupakan kunci adaptif yang selalu ditawarkan pada setiap ruang dan waktu sehingga tindakan sosial senantiasa berada dalam kerangka makna persahabatan. Ini perlu ditegaskan berulang-ulang karena makna sejarah tidak pernah mendapat porsi pemahaman yang tuntas, bahkan selalu seiring dan sejalan dengan makna yang diciptakan anak zaman.
Pada akhirnya harus dikatakan bahwa sungguh disadari mengantarkan “sesuatu” itu memang tidak mudah, akan tetapi semangat berpartisipasi dan berbagi kesenangan dalam segala kesempatan menjadi dorongan terbesarnya. Berbagi kesenangan tanpa membaginya adalah persahabatan. Persahabatan itu adalah kehidupan, dan kurangnya persahabatan adalah kematian (Radhakrishnan, 2003). Semangat hidup dalam persahabatan ini menjadi dorongan kuat untuk mengantarkan Yudhis M. Burhanuddin, dengan meniru gaya Mustofa Bisri mengantarkan Jakob Sumardjo (2007) dalam Melukis Jeihan, memang tidak perlu jauh-jauh dan bertele-tele mengantarkan Burhanuddin karena aktivis muda ini sangat mengenal jalannya dan memang sudah bisa dan biasa berjalan sendiri. Terlebih-lebih meniti alur-alur perubahan sebagaimana Herakleitos memahami realitas: “Pada saat datangnya siang hari, semua yang tak nyata timbul menjadi nyata, dan pada waktu malam hari tiba, yang nyata kembali pada yang disebut tak nyata” (Bhagavad Gita, VIII:18).
Salam pembuka: selamat menikmati garingnya bahasa petualang intelektual muda tentang pariwisata Bali pascabom Kuta: seputar pendatang, Islam, dan etnisitas di Bali.
Denpasar, 15 April 2008
Bumi Rumah Kita
Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam I W a y a n S u k a r m a Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...
Cari Blog Ini
Arsip Blog
Popular Posts
-
SISTEM PENGOBATAN USADA BALI A.A. Ngr Anom Kumbara Pen gantar Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manu...
-
BRAHMAVIDYA DALAM BHUANA KOSA Oleh I Wayan Sukarma Abstrak Bhuana Kosa adalah lontar yang paling tua dalam kelompok lontar-lontar Siwaistik....
-
PERKEMBANGAN SHIWA-BUDDHA DI INDIA DAN INDONESIA (Pendekatan Ilmu Sejarah) Prof. D.Litt...
-
TATTWA JNÀNA: KAJIAN TERHADAP STRUKTUR I Wayan Suka Yasa 1. Pendahuluan “Candi pustaka” yang menjadi kepustakaan Hindu Bali...
-
REINKARNASI Wacana Surga-Bumi-Neraka I Wayan Suka Yasa Abstrak Keyakinan manusia pada reinkarnasi mungkin lebih tua dari se...
Tentang Penulis
Nama: I Wayan Sukarma
Email: putraghanes58@gmail.com