senni tradisi

SENI TRADISI INDONESIA
SEBAGAI KOMPONEN BELA NEGARA DAN PERTAHANAN NASIONAL

I Wayan Sukarma

Pendahuluan
“Suatu kenyataan bahwa di sekitar kita masih hidup dengan segar berbagai karya seni warisan masa lampau, yang biasa kita sebut seni tradisi. ... Pada kita, karya seni warisan masa lampau itu tetap hidup, berkembang, dan dipelihara sebagai bagian dari konteks sosio-budaya masyarakat. Masyarakat Indonesia sekarang ini merupakan campur-aduk tata nilai dari berbagai konteks sejarahnya” (Sumardjo, 2000:388).

Eksistensi seni tradisi Indonesia yang diungkapkan oleh Sumardjo ini merupakan undangan untuk memahaminya secara lebih mendalam dan mengapresiasikannya dalam bentuk kelakuan. Ini mengandaikan bahwa seniman adalah manusia yang ‘bebas nilai’ sehingga sudah sepantasnya perduli terhadap konteks nilai yang melahirkan seni tradisi tersebut. Artinya, seorang seniman senyatanya memang memiliki kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengekspresikan ide, gagasan, dan kemampuannya dalam wujud kreativitas. Akan tetapi juga penting dibangun kesadaran agar kreativitas tersebut menjadi kreativitas konstruktif dan memberi peranan bagi kemaslahatan hidup manusia, alam, dan lingkungan. Mengingat kreativitas yang tanpa pertimbangan nilai dapat berakibat destruktif bagi kemanusiaan itu sendiri. Dalam rumusan lain bahwa kesempurnaan kreativitas seni berkaitan erat dengan unsur kesempurnaan duniawi, seperti logika, etika, dan estetika.
Seni, sejak peradaban manusia hadir bagi manusia untuk kepentingan sosial, memperhalus budhi pencipta dan penikmatnya. Seni sebagai ekspresi manusia diwujudkan melalui berbagai media dalam wilayah yang sangat luas yang memungkinkan menjadi bahasa ekspresi yang tanpa batas (Sastra, 2004:233). Seni sebagai teks dan juga sebagai salah satu unsur kebudayaan (Koentjaraningrat, 1986; Bandem, 1996; Triguna, 2002) yang dapat dibaca secara etik ataupun emik, tergantung pada interpretasi pembacanya. Ada beberapa konsep dasar yang biasa digunakan untuk menilai karya seni, antara lain ‘nilai seni’, ‘keindahan’, ‘kualitas’, ‘taksu’, dan ‘orisinalitas’ (Harjana, 2003:252-253). Namun konsep-konsep ini juga semakin kabur ketika kreativitas seni berkembang begitu bebas dan tanpa keajegan misalnya, muncul dalam seni pop maupun kontemporer. Seni berkembang sebagai aksi maupun reaksi, tumbuh dalam suasana tanpa batas, dan untuk semuanya di zaman yang terus berubah dan penuh kontroversi, karena itu tidak ada satupun tanda-tanda yang mempersatukan wajahnya. Dengan demikian evaluasi terhadap kreativitas seni penting dilakukan tanpa bermaksud mengingkari kebebasan berkreativitas, tetapi untuk menyadari kembali makna seni bagi kehidupan manusia.
Menyadari makna seni tradisi Indonesia dan menghidupkannya dalam konteks bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bukanlah sutau wacana mengada-ada tanpa makna produktivitas. Kenyataannya, seni tradisi masih segar di masyarakat pedesaan dan perkauman etnik yang memiliki konteks tata nilainya sendiri. Malahan seni tradisi masih hidup segar dalam konteks ideologi masyarakat pedesaan harus didekati secara objektif berdasarkan tata nilai mereka (Sumardjo, 2000:338--339). Artinya, seni tradisi, baik jenis seni statis maupun dinamis mengandung nilai tersendiri yang secara signifikan berpengaruh terhadap perkembangan sosial masyarakat pemiliknya. Malahan juga seni tradisi mengalami perubahan, bahkan mengalami signifikansi bagi kepentingan masyarakat itu sendiri, yakni sejalan dengan perubahan struktur sosialnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seni tradisi Indonesia memiliki peran dan fungsi dalam kehidupan sosial dan kebudayaan, karena itu dapat menjadi salah satu komponen bela negara dan pertahanan nasional.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang multidimensional, multikultural, dan multibentuk, nilai-nilai seni tradisi perlu dikedepankan. Seni tradisi diharapkan mampu menjadi perekat persaudaraan, persahabatan, dan persatuan, baik secara mikro maupun makro. Adanya kecendrungan seni tradisi dijadikan alat kekuasaan, politik, bahkan ekonomi dapat menyeretnya ke dalam ruang sempit dan parsial. Sementara itu, pemahamaan seni tradisi yang semata-mata berdasarkan kedaerahan (lokalitas) juga akan semakin menjauhkan masyarakat pemiliknya dari cita-cita hidup rukun dan toleran. Dalam kerangka ini penting menumbuhkan daya kreatif masyarakat dalam berkebudayaan terutama untuk merespon gejala kehidupan berbangsa dan bernegara yang cederung mengarah pada terjadinya diisintegrasi. Seni tradisi sebagai salah satu unsur kebudayaan perlu direinterpretasi dan direposisi untuk membangkitkan semangat bela negara demi kokohnya pertahanan nasional. Fakta bahwa kebudayaan nasional yang berasal dari puncak-puncak kebudayaan daerah, ternyata memang memiliki daya bangkit terhadap jiwa nasionalisme, seperti ketika terjadi klaim atas Tari Reog, Pendet, Batik, dan sebagainya oleh negara tetangga.

Seni Tradisi sebagai Komponen Bela Negara
Bela negara pada dasarnya berarti Warga Negara Indonesia yang memiliki tekad, sikap, dan perilaku yang dijiwai cinta Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang rela berkorban demi kelangsungan hidup bangsa dan negara. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 30 tertulis bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara". Kemudian, syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang(http://www.dmcindonesia.web.id/ diakses 16 Desember 2009). Artinya, semua warga negara memiliki kewajiban membela negara dari segala macam ancaman, gangguan, tantangan, dan hambatan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Adapun kriteria warga negara yang memiliki kesadaran bela negara adalah mereka yang bersikap dan bertindak senantiasa berorientasi pada nilai-nilai bela negara.
Nilai-nilai bela negara yang dikembangkan dalam rangka pertahanan nasional, antara lain pertama, cinta tanah air, yaitu mengenal, memahami, dan mencintai wilayah nasional; menjaga tanah dan pekarangan serta seluruh ruang wilayah Indonesia; melestarikan dan mencintai lingkungan hidup; memberikan kontribusi pada kemajuan bangsa dan negara; menjaga nama baik bangsa dan negara serta bangga sebagai bangsa Indonesia dengan cara waspada dan siap membela tanah air terhadap ancaman tantangan, hambatan, dan gangguan yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa serta negara dari manapun dan siapapun. Nilai yang kedua adalah sadar akan berbangsa dan bernegara, yaitu dengan membina kerukunan menjaga persatuan dan kesatuan dari lingkungan terkecil atau keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan pendidikan, dan lingkungan kerja; mencintai budaya bangsa dan produksi dalam negeri; mengakui, menghargai, dan menghormati bendera merah putih, lambang negara dan lagu kebangsaan indonesia raya; menjalankan hak dan kewajiban sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dan mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan
pribadi, keluarga dan golongan (http://www.dmcindonesia.web.id/ diakses 16 Desember 2009).
Nilai ketiga adalah yakin kepada Pancasila sebagai ideologi negara, yaitu memahami hakikat atau nilai Pancasila, melaksanakan nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan Pancasila sebagai pemersatu bangsa dan negara, serta yakin pada kebenaran Pancasila sebagai ideologi negara. Nilai keempat rela adalah berkorban untuk bangsa dan negara, yaitu bersedia mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran untuk kemajuan bangsa dan negara, siap mengorbankan jiwa dan raga demi membela bangsa dan negara dari berbagai ancaman, berpastisipasi aktif dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan negara, gemar membantu sesama warga negara yg mengalami kesulitan, serta yakin dan percaya bahwa pengorbanan untuk bangsa dan negara tidak sia-sia (http://www.dmcindonesia.web.id/ diakses 16 Desember 2009).
Nilai-nilai bela negara ini sejalan dengan kemampuan manusia sebagai makhluk multidimensional dalam berkebudayaan. Dalam konsep manusia sebagai makhluk multidimensional ditemukan beberapa faktor utama yang membuat manusia mampu berbudaya, antara lain karena manusia merespons alam; manusia mengembangkan intelegensi; manusia melakukan inovasi, menerapkannya, dan menyebarkan ke lingkungan masyarakat lain (Harsojo, 1988; Kusumohamidjojo, 2000). Ini menunjukkan secara fenomenologis bahwa kemampuan manusia menangkap gejala merupakan kemampuan jiwa yang inheren dalam dirinya dan sekaligus membedakannnya dari makhluk lain. Kemampuan ini yang menempatkan manusia pada kedudukan untuk mau atau tidak mau, atau bisa atau tidak bisa, memberi atau tidak memberi arti pada gejala yang dihadapinya. Dengan cara demikian Bakker (1984) menempatkan faktor kebudayaan menjadi unsur eksternal yang menggerakkan manusia untuk menghasilkan kebudayaan. Jadi, jika tidak terdapat unsur eksternal yang menggerakkan manusia untuk menghasilkan kebudayaan maka manusia tidak akan bergerak menghasilkan kebudayaan. Konsekuensinya, manusia betul-betul bisa dipisahkan dari kebudayaannya dan hal itu sebenarnya sukar dijumpai dalam kenyataan sebenarnya.
Mengingat kebudayaan yang tiada lain adalah tatan nilai dan makna yang membatasi tindakan masyarakat penganutnya yang dalam terminologi Koentjaraningrat (1974) disebut tata kelakuan atau tradisi yang dalam bentuk jamak adat istiadat. Jadi, adat dan tradisi adalah sebuah konsepsi yang dianggap bernilai dalam suatu komunitas tertentu pada zamannya. Selain berupa nilai, konsepsi itu juga berwujud suatu cara, pola tindakan, dan struktur sosial. Adat dan tradisi acapkali diyakini sebagai representasi komitmen moral para anggota komunitas pendukungnya untuk hidup bersama secara damai dan berbudi. Sebagai komitmen moral yang diyakini bernilai, maka menjadi kewajiban bagi setiap anggota untuk memelihara, melestarikan, dan memaknainya dengan cara yang paling baik menurut ukuran nilai mereka. Banyaknya cara yang tersedia untuk memaknai tradisi itu, membuka peluang adanya polarisasi cara sehingga dapat dan/atau telah menimbulkan bias terhadap fungsi utama tradisi, yaitu memelihara komitmen moral untuk hidup bersama secara damai dan berbudi (Triguna, 2004).
Komitmen moral ini tidak jarang disampaikan melalui berbagai bentuk seni tradisi, baik dalam jenis seni statis maupun dinamis. Seni statis misalnya, seni rupa, arsitektur, sastra tulis, sedangkan seni dinamis, antara lain seni musik, seni tari, seni teater, dan sastra lisan. Menurut Sumardjo (2000:339) seni tradisi ini telah mengalami perubahan yang disebabkan oleh pengaruh kekuasaan. Ditegaskan, pada dasarnya terdapat tiga perubahan besar dalam sejarah budaya Indonesia, yakni masuknya pengaruh seni India, masuknya agama Islam, dan masuknya pengaruh Belanda. Artinya, hubungan antara pusat kekuasaan dan pusat kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat pedesaan tergantung pada sistem komunikasi antarlembaga pemerintahan.
Berbeda dengan pusat kekuasaan sebagai pusat kebudayaan yang melek huruf, lebih individual, lebih profesional, dan terdidik sebaliknya, kebudayaan masyarakat pedesaan bertumpu pada tata nilai asli yang komunal, seragam, lisan, sambil melanjutkan pendidikan tradisional mereka. Oleh karena itu, Sumardjo (2000:341) menilai bahwa masyarakat pedesaan relatif setia pada tata nilai konteks asli sehingga setiap pengaruh budaya asing dari pusat budaya kota akan diserap menjadi bagian budaya mereka. Artinya, tradisi sebagai kesatuan komitmen yang berlaku pada zamannya, bukanlah sesuatu yang a-historis dan tidak mengalami perubahan. Dari waktu ke waktu berbagai ‘kebutuhan baru’ muncul yang dianggap sebagai sesuatu yang harus dipenuhi. Kebutuhan baru itu dalam perjalanannya sebagian telah diadaptasi, diakomodasi, dan dijadikan acuan bersama.
Pada kenyataan dalam pengalaman kehidupan sehari-hari terdapat pula komitmen moral yang tadinya dirumuskan untuk tujuan baik dalam implementasinya dewasa ini telah mengalami benturan, bahkan dianggap sebagai sesuatu yang tidak sesuai sehingga perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap substansi, konteks, dan relevansinya. Semua itu merupakan dorongan alamiah yang bersifat internal, yang menandakan bahwa tidak ada satu pihakpun yang terhindar dari proses perubahan. Perubahan semakin terasa kuat bersamaan dengan derasnya pengaruh faktor eksternal, yaitu modernisasi dan globalisasi. Oleh karena itu, pengenalan terhadap nilai baru memerlukan tindakan strategis dalam menginterpretasi dan mereposisi seni tradisi agar tetap dan selalu dapat menciptakan harmoni dan peradaban.
Menciptakan harmoni sosial inilah salah satu peran seni tradisi dalam konteks bela negara karena negara senantiasa memerlukan kehidupan sosial masyarakat yang teratur dan seimbang. Dalam mewujudkan keteraturan dan keseimbangan sosial inilah seni tradisi yang dilandasi spirit komune memiliki peran penting dan relevan dengan perkembangan sosial kekinian. Seni tradisi yang sarat simbol sebagai ekspresi religiusitas, etika, dan estetika memang relevan dijadikan pondasi sosial. Malahan seni tradisi tidak jarang terlahir karena terinspirasi oleh religi lokal yang juga merupakan ekspresi untuk memahami Realitas Tertinggi. Konsep Siwanataraja misalnya, yang begitu populer pada masyarakat Hindu adalah penggambaran Siwa sebagai penari kosmis, sekaligus merupakan visualisasi dari filsafat Saiwa Siddhanta. Siwa diyakini sebagai pencipta seni dan sekaligus menjadi tujuan kerativitas yang dipersembahkan (Suamba, 2003:5). Kehadiran Yang Illahi dalam kreativitas seni menegaskan orientasi kesenian sebagai media persembahan kepada Tuhan. Di sinilah seni menjadi tradisi religius yang dibangun di atas kerangka ketuhanan, keseimbangan hidup, kalangwan (kelangenan), tuntunan, dan taksu. Malahan Sedyawati (2006) menegaskan karya seni itu menggugah rasa, yang berkisar pada rasa indah, rasa haru, rasa hormat, kagum, dan empati terhadap perikehidupan di alam ini. Dengan demikian, kehadiran spirit ketuhanan, kemanusiaan, estetika, dan etika telah menjadi keutamaan dari seni tradisional nusantara pada setiap zamannya.
Ketika seni tradisi Indonesia telah melingkupi nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan lingkungan alam pada setiap zamannya, maka seni tradisi ini tetap relevan untuk membangun dan mengembangkan sistem nilai pada zaman kini. Dalam hal ini seni tradisi menjadi penting dan relevan dalam pengembangan nilai-nilai kebangsaan termasuk dalam pengembangan spirit bela negara sebagai salah satu komponen pertahanan nasional. Pemahaman mengenai seni tradisi yang berkelanjutan dalam perubahan (continuity in change) semestinya disandarkan pada nilai-nilai keutamaan di atas. Kepekaan pada pertanda zaman menjadi inspirasi lahirnya produk-produk kreatif dalam berkesenian baik, klasik maupun kreasi baru hingga kontemporer. Melalui pengalaman, kepekaan, imajinasi, dan kekayaan batin para seniman diharapkan mampu melahirkan karya yang mencerahkan masyarakat. Arah pengembangan seni menuju “pencerahan” inilah yang mesti diupayakan oleh para seniman, kritikus seni, dan pemerintah demi terbentuknya jati diri bangsa yang kuat dan tangguh. Dengan demikian seni tradisi Indonesia dapat menjadi komponen yang relevan dan signifikan dalam upaya membangun semangat bela negara.
Artinya, seni tradisi Indonesia fungsional dalam membangun identitas bangsa dan jati diri bangsa merupakan satu kekuatan yang dapat digunakan sebagai modal untuk menghadapi penetrasi budaya global yang berlangsung begitu cepat. Mengingat kegagalan dalam bersaing dengan bangsa-bangsa lain akan melahirkan “penjajahan” dalam bentuk lain terhadap bangsa ini. Pada gilirannya melalui proses glokalisasi dan lokalisasi diharapkan, seni tradisi Indonesia dapat mendorong kesanggupan bangsa untuk bersaing dalam dunia internasional. Hal ini setidak-tidaknya telah ditunjukkan oleh panitia seminar bahwa ide-ide dan karya-karya Rahayu Supanggah yang bersandar pada seni tradisi Indonesia telah diapresiasi secara internsional.

Seni Tradisi sebagai Komponen Pertahanan Nasional
Pertahanan nasional merupakan tema penting diwacanakan karena heterogenitas masyarakat indonesia memang dapat dipahami sebagai suatu kekayaan dalam konteks keanekaragaman budaya. Akan tetapi dalam banyak urusan selebihnya keanekaragaman itu lebih potensial menjadi batu sandungan, apalagi jika kenyataan itu dieksploitasikan secara sengaja dan struktural (Kusumohamidjojo, 2000:49). Fakta menunjukkan bahwa selain keragaman ras, juga masyarakat Indonesia berkeragaman secara etnisitas atau kesukubangsaan.
Kelompok etnik dikenal sebagai suatu populasi yang (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) mementukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain (Narroll dalam Leliweri, 2005:9).

Keberagaman masyarakat dan kebudayaan Indonesia memang dapat menjadi ancaman bagi pertahanan nasional, tetapi secara eksternal bukan berarti ketahanan nasional bebas dari ancaman dan gangguan. Ketahanan nasional sebagai landasan konsepsional bangsa Indonesia merupakan kondisi dinamis bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala kemungkinan ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri, baik langsung maupun tidak langsung yang dapat membahayakan kelangsungan hidup bangsa. Ketahanan nasional ini meliputi tri gatra dan panca gatra. Tri gatra merupakan aspek statis, yaitu geografi, demografi, dan sumberdaya nasional, sedangkan panca gatra merupakan aspek dinamis yang selalu berkembang dan berinteraksi, baik dalam kehidupan nasional, regional, dan internasional (Lemhanas, 1981). Aspek dinamis ini meliputi, antara lain ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Aspek ini sejalan dengan kondisi dinamis bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan untuk mengembangkan kekuatan nasional mengandaikan bahwa kondisi demikian bukan hanya berkaitan dengan hal-hal fisikal. Akan tetapi juga berkaitan erat dengan psiko-mental bangsa yang sebagian berada pada wilayah sosial dan budaya. Dalam kebudayaan inilah eksistensi seni tradisi berstandar sehingga antara seni tradisi dan ketahanan nasional memang erat saling ketergantungan. Mengingat dalam setiap kebudayaan daerah terdapat nilai tradisi yang relatif tidak dapat dipengaruhi oleh budaya asing. Dengannya seni tradisi yang merupakan unsur kesenian yang menjadi bagian hidup masyarakat pada gilirannya berpartisipasi dalam membentuk kebudayaan nasional.
Ini berarti seni tradisi sebagai sumberdaya budaya dapat merekatkan kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda. Keanekaragaman sumber daya budaya dengan ciri-ciri lokal yang didukung oleh etnis masing-masing bukan merupakan perbedaan yang dipertentangkan, tetapi sebagai sintesis yang memperkaya makna persatuan (Laksmi dalam Sutaba, dkk. (ed.), 2002:51). Kesatuan dalam keberagaman inilah merupakan wujud ideal dari pertahanan nasional sehingga pemberdayaan budaya lokal termasuk seni tradisi menjadi penting yang layak diupayakan. Terwujudnya pemberdayaan seni tradisi sebagai kekayaan budaya nasional melalui pengembangan dan peningkatan mutu akan mendorong berkembangnya kehidupan masyarakat fluralis yang menghormati perbedaan. Selain itu, mengingat seni tradisi yang lazimnya berkaitan erat dengan aktivitas keagamaan dalam suatu wilayah etnis sehingga pembinaan terhadap seni tradisi akan mendorong peningkatan penghayatan, pengamalan, dan peribadatan. Religiusitas masyarakat juga dapat menjadi potensi besar dalam pembangunan dan pengembangan pertahanan nasional. Upaya pembinaan terhadap seni tradisi dalam bentuk lainnya yang juga strategis misalnya, mengakulturasikan antarbudaya daerah. Misalnya, dalam Dharma Shanti Nyepi 28 April 2007 di Ardha Candra Denpasar, dipertunjukan kesenian berjudul Tari Nusantara mengusung tema Bhinneka Tungal Ika. Model ini dapat memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka memperkokoh Negara Kesatuan Replubik Indonesia.



Simpulan
Secara implisit telah dikemukakan bahwa modernisasi dan globalisasi telah memperkenalkan nilai baru dalam lingkungan tradisi sehingga perlu dilakukan pembacaan ulang terhadap seni tradisi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tradisi. Sebagai komponen bela negara, seni tradisi yang dibentuk atas dasar setting agraris, yakni komunal, religius-magis, setempat, dan konkrit pada dasarnya dapat membentuk identitas bangsa. Dalam konteks ini, seni tradisi digunakan sebagai media sosialisasi nilai-nilai kearifan lokal yang pada prinsipnya berpartisipasi dalam membentuk nilai nasional. Memang semangat kejuangan dan kebangsaan sebagaimana ditunjukkan sejarah nasional misalnya, tidak jarang lebih bergema melalui seni tradisi. Dengan demikian, sesungguhnya seni tradisi yang hidup dalam suatu etnis, bukan hanya menjadi milik etnis tersebut misalnya, ketika salah satu atau beberapa seni tradisi diklaim oleh negara tetangga yang melakukan perlawanan bukan hanya etnis pemiliknya.
Selain mempererat emosi kebangsaan, juga seni tradisi merupakan kearifan lokal yang memiliki kesanggupan memperkaya kebajikan bangsa yang memang sungguh sulit bila hendak dirumuskan dalam sebuah konsep. Oleh karena seni tradisi, sebagaimana umumnya kesenian merupakan suatu nilai yang hadir lebih memenuhi pengalaman batin daripada pikiran objektif. Pengalaman batin, apalagi pengalaman batin sebuah bangsa yang terdiri atas banyak etnis dan budaya tentu merupakan kompleksitas pengalaman unik yang di luar kesadaran telah membangun jiwa kebangsaan itu sendiri. Di sini seni tradisi telah merasuki semangat kebangsaan sekaligus telah turut serta membangun pertahanan nasional.

Bacaan
Bandem, I Made. 1996. Evolusi tari Bali, Yogyakarta: Kanisius.
Bleeker, C.J. 2004. Pertemuan Agama-Agama Dunia, Menuju Humanisme Relejius dan Perdamaianan Universal, Yogyakarta: Pustaka Dian Pratama.

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: P.T. Gramedia.

Kusumohamidjojo, Budiono. 2000. Kebhinnekaan Masyarakat Indonesia: Suatu Problimatik Filsafat Kebudayaan, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Leliweri, A. 2001. 2005. Prasangka dan Etnik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LKiS.

Lemhanas. 1981. Kewiraan untuk Mahasiswa. Jakarta: PT Gramedia.

Sastra, Andar Indra. 2004. “Nyanyian Religius dalam Ratik Saman”, dalam Seni Tradisi Menantang Perubahan (Bunga Rampai), Padangpanjang: STSI Padangpanjang Press.

Sedyawati, Edi. 2000. “Agama dan Kesenian: Permasalahan Data dan Interpretasinya”. (Tulisan ini disampaikan pada pameran “Temuan Satu Abad (1900-1999): Perjalanan Sejarah Kebudayaan Indonesia” Museum Nasional bekerjasama dengan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Jakarta. Jakarta, 20-21 Oktober 2000.

Soedarso, Sp. 2006. Trilogi Seni: Penciptaan Eksistensi Dan Kegunaan Seni, Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta.

Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB.

Sutaba, dkk. 2002. Manfaat Arkeologi Untuk Memperkokoh Integrasi Bangsa. Denpasar: Upada Sastra.

Triguna, IBG Yudha. 2002. “Hubungan Agama dan Adat Dengan Perkembangan Kesenian Bali” (Makalah disampaikan dalam Sarasehan Budaya di Jakarta, 2002)

____________. 2003. Estetika Hindu dan Pembangunan Bali, Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...