Dilematika Perempuan Bali
(Sabda No 09 April 2011:hal. 38—39)
I Wayan Sukarma
Manusia terdiri atas dua jenis, lazimnya laki-laki dan perempuan. Kalaupun masih ditemukan jenis lainnya umumnya, tatanan sosial dan budaya masyarakat Indonesia memandangnya sebagai penyimpangan. Dalam dunia sosialnya, manusia disatukan oleh cinta dan dipisahkan oleh benci. Cinta mengikat mereka menjadi kesatuan sosial, seperti keluarga, komunitas, dan masyarakat. Di sinilah cinta diterjemahkan menjadi sistem nilai dan norma yang fungsinya mengatur tingkah laku bersama. Sistem nilai dan norma inilah yang membentuk sekaligus membedakan antara peran laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran sosial dan budaya ini tampak begitu mencolok dalam sistem sosial orang Bali. Sistem patriarkhi telah menempatkan kaum perempuan di bawah superioritas laki-laki. Citra baku (stereotipe) telah menempatkan laki-laki sebagai yang kuat dan tegar, sedangkan perempuan sebagai yang lemah dan lembut. Dengan begitu, peranan perempuan dalam peranan gender dibakukan ke dalam sektor domestik, sedangkan peran laki-laki dibakukan ke dalam sektor publik.
Dalam keluarga misalnya, perempuan Bali berperan menjadi ibu rumah tangga. Dalam peran ini seorang ibu diwajibkan oleh tradisi menjalan fungsinya, antara lain merawat dan mendidik anak, mengatur gizi dan mengusahakan kesehatan keluarga, melaksanakan kegiatan keagamaan, dan menjaga citra keluarga. Peran inilah menempatkan perempuan Bali dalam kungkungan domestik yang begitu kuat sehingga terasing dari wilayah publik. Kalaupun ditemukan di antaranya ada yang merambah wilayah publik, ternyata mereka lebih banyak mengalami kesulitan melakukan adaptasi di wilayah domestik. Mengingat keluarga bukanlah wilayah kekuasaan perempuan, tetapi sepenuhnya di bawah kendali laki-laki. Hampir semua kebijakan keluarga berada pada otoritas laki-laki, karena itu perempuan hanya menjadi objek penderita yang harus mendukung. Begitulah laki-laki berada pada pihak yang berkuasa dan perempuan pada pihak yang dikuasai. Laki-laki mestilah benar karena memutuskan dan perempuan haruslah baik karena melakukan. Begitulah kebenaran itu milik laki-laki dan kebaikan menjadi milik perempuan (luh luih).
Demikian juga dalam pabanjaran, perempuan Bali sebagai krama istri harus menerima otoritas dan kekuasaan laki-laki sebagai krama lanang. Krama lanang menentukan azas dan tujuan banjar (pamikukuh lan patitis), menentapkan jalan yang harus ditempuh, dan cara menempuhnya. Begitulah krama lanang memiliki otoritas dan kekuasaan penuh atas perumusan dan pelaksanaan awig-awig banjar. Bukan hanya pada tataran normatif, bahkan pada tataran pragmatis sekalipun karma lanang masih memegang kendali penuh, seperti berkaitan dengan pembangunan dan pengembangan banjar sepenuhnya diputuskan dan dikerjakan oleh karma lanang. Sementara itu, krama istri hanya menjadi pendukung, karena itu hanya melakukan perintah krama lanang. Malahan kegiatan keagamaan termasuk upacara piodalan di Pura Penyarikan Banjar, juga ditentukan oleh krama lanang. Begitulah krama istri membuat sarana upacara piodalan dan perayaan hari suci agama Hindu atas perintah krama lanang. Dengan demikian, hak inisiatif sepenuhnya berada di tangan krama lanang.
Walaupun zaman kemajuan telah membawa perubahan dalam kehidupan sosial dan kebudayaan orang Bali, tetapi perubahan ini kurang berpengaruh terhadap sistem patriarkhi yang mereka anut secara turun-temurun. Perubahan yang dihadapi pada tataran kognitif dan mental kebudayaan, antara lain pada satu sisi kuatnya orientasi kosmis-siklis Hinduistik yang menjadikan kokohnya pakem epistemologi bagi individu dalam perilaku sosial. Sementara itu, pada sisi lain derasnya arus konsep historisitas linear dari masyarakat Barat yang hadir ke Bali telah mengusung nilai-nilai global. Kuatnya tradisi dalam menyelaraskan individu-masyarakat dengan ritme alam berhadapan langsung dengan budaya perhitungan eksak yang harus dicapai dalam periode waktu tanpa menghiraukan ritme alam, bahkan cenderung mengeksploitasi alam. Pengaruh langsung benturan budaya ini terjadi pada lapis budaya material, yaitu semakin konsumtifnya perilaku orang Bali. Sementara itu, pada lapis budaya sosial terjadinya toleransi (dan ini dituangkan dalam awig-awig) bagi anggota komunitas banjar untuk bertempat tinggal di luar komunitasnya. Perilaku konsumtif yang disebabkan oleh benturan budaya material Barat telah menyebabkan kaum perempuan Bali memasuki wilayah publik, baik sebagai pekerja penuh maupun paruh waktu. Sementara itu, toleransi berupa kelonggaran untuk bertempat tinggal di luar komunitas banjar juga turut memperlunak ikatan-ikatan domestik, karena itu ruang perempuan Bali untuk bekerja di wilayah publik semakin terbuka luas.
Terdapat beberapa alasan yang mendorong perempuan Bali bekerja pada sektor publik. Pertama, bagi golongan yang tidak mampu, mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangganya. Kedua, bagi golongan menengah ke atas, mereka bekerja untuk menggunakan keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki, serta mengembangkan dan mengaktualisasikan diri. Apapun motif perempuan bekerja secara implisit senantiasa dijumpai adanya keinginan akan pengakuan dan aktualisasi diri dalam lingkungan sosial dan kultural. Hal ini sejalan dengan menguatnya diskursus emansipasi dan kesetaraan gender dalam budaya posmodern. Emansipasi yang sesungguhnya berarti persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan pada kenyataannya, lebih dimaknai sebagai gerakan kaum perempuan untuk menuntut persamaan haknya dengan laki-laki. Demikian juga dengan wacana kesetaraan gender yang menempatkan kesetaraan peran dan fungsi tanpa membedakan jenis kelamin, juga dominan diperjuangkan oleh kaum perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Modernisme yang telah menjanjikan berbagai kemudahan dalam rasionalitas yang matang, ternyata telah mendorong perempuan merasa memiliki hak yang sama dengan laki-laki, baik pada sektor domestik maupun publik.
Walaupun demikian, ketika perempuan mulai merambah sektor publik, maka sektor domestik mulai mengalami guncangan. Keluarga telah kehilangan rohnya dan dimaknai hanya sebagai tempat tinggal bersama tanpa ikatan emosi, tidak berbeda dengan para tamu dalam suatu hotel. Ini merupakan satu kesulitan untuk memahami sisi perempuan karena ia selalu tertinggal dalam ranah bawah sadar, imajiner yang menurut gagasan Freud disebut oedipal atau oudipus. Oudipus adalah suatu fase perkembangan anak laki-laki memasuki ranah simbolik, wahana bahasa, dan Diri. Malahan karena anak laki-laki tidak pernah secara lengkap menyelesaikan fase oudipal¬nya sehingga perempuan tertinggal di ranah imajiner sebagai keadaan untuk ditangisi. Kesulitan yang sama juga dialami oleh seorang ahli filsafat Barat John Stuard Mill dalam The Subjection of Women mengatakan bahwa perempuan cenderung tidak suka memaparkan tentang dirinya disebabkan status mereka umumnya ditempatkan lebih rendah, bila dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan cenderung ingin menyembunyikan dirinya (mystique) sehingga laki-laki amat sulit menafsirkan, memahami, dan mengerti perempuan.
Walaupun begitu pemahaman tentang perempuan sesungguhnya adalah pengetahuan tentang perempuan dari sudut pandang laki-laki karena perempuan selalu berada pada posisi imajiner dan ilusi. Artinya, segala sesuatu yang kita ketahui tentang yang imajiner dan perempuan termasuk hasrat seksualnya didapat dari sudut pandang laki-laki. Dengan kata lain, satu-satunya (jenis) perempuan yang kita kenal adalah ”perempuan yang maskulin”, feminin falik, perempuan sebagaimana dilihat oleh laki-laki. Akan tetapi, ada jenis perempuan lain yang juga harus dikenali, ”perempuan feminin”, perempuan sebagaimana dilihat perempuan. Laki-laki dan perempuan mempunyai identitas seksual berbeda, tidak berarti identitas ini dimanisfestasikan dengan cara yang sama oleh setiap ”perempuan” dan ”laki-laki”. ”Perempuan” tidak mempunyai makna pada tingkat ontologis, tetapi hanya pada tingkat politis. Keyakinan bahwa ’seseorang adalah perempuan’ adalah hampir sama absurd dan kabur dengan keyakinan bahwa ’seseorang adalah laki-laki’. Rupanya kesulitan pemahaman terhadap perempuan tidak berhenti pada tataran konsep, tetapi juga terjadi setelah kegagalan modernisme dan feminisme melekatkan label kesetaraan gender pada bidang-bidang kehidupan.
Sampai di sini, dilematika perempuan Bali terjadi dalam dua arah. Pertama, dominannya sistem patriarkhi dalam sistem sosial dan budaya orang Bali telah menempatkan perempuan pada posisi marjinal dan subordinat sedemikian rupa. Kedua, sikap perempuan Bali merespons dominasi ini justru bersifat kebablasan sehingga mereka gagal memaknai kediriannya sebagai perempuan yang feminin. Malahan tidak jarang ditemukan bahwa perempuan Bali yang sukses di ranah publik seringkali menempatkan dirinya superior di ranah domestik, karena itu hampir lupa kewajiban menjadi istri dan ibu yang baik bagi suami dan anak-anaknya. Oleh karena itu, posisi laki-laki dan perempuan Bali perlu diapresiasi sebagai kesetimbangan dan kesepasangan, bukan binari-oposisi. Konsep Shiwa-Shakti, Ardhana-Iswari, Purusha-Pradhana yang mewujudkan kesepasangan transendental harus dibumikan untuk mencerahi sistem sosial dan budaya orang Bali. Pencerahan ini menjadi penting, kalau orang Bali ingin menata dan membangun dunia sosial dan budayanya menjadi dunia kehidupan yang indah (sundaram).
Bumi Rumah Kita
Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam I W a y a n S u k a r m a Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...
Cari Blog Ini
Arsip Blog
Popular Posts
-
SISTEM PENGOBATAN USADA BALI A.A. Ngr Anom Kumbara Pen gantar Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manu...
-
BRAHMAVIDYA DALAM BHUANA KOSA Oleh I Wayan Sukarma Abstrak Bhuana Kosa adalah lontar yang paling tua dalam kelompok lontar-lontar Siwaistik....
-
PERKEMBANGAN SHIWA-BUDDHA DI INDIA DAN INDONESIA (Pendekatan Ilmu Sejarah) Prof. D.Litt...
-
TATTWA JNÀNA: KAJIAN TERHADAP STRUKTUR I Wayan Suka Yasa 1. Pendahuluan “Candi pustaka” yang menjadi kepustakaan Hindu Bali...
-
REINKARNASI Wacana Surga-Bumi-Neraka I Wayan Suka Yasa Abstrak Keyakinan manusia pada reinkarnasi mungkin lebih tua dari se...
Tentang Penulis
Nama: I Wayan Sukarma
Email: putraghanes58@gmail.com